Hukumonline-Perdata-

RABU, 19 OKTOBER 2011

Apakah Penggugat Boleh Memilih Siapa yang Hendak Digugatnya?
 
Dear Hukum online, dalam Hukum Acara Perdata, apakah boleh seorang Penggugat memilih siapa yang hendak digugatnya untuk menjadi Tergugat? Thanks.  
Jawaban:

Mengutip yang disampaikan oleh Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH dalam bukunya “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek” (hal. 3), dalam hukum acara perdata, penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Perkataan “merasa” dan “dirasa” dalam tanda petik, sengaja dipakai di sini, oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat.
 Untuk mengerti lebih jelas yang dimaksud dengan “…belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat”, Retnowulan dan Iskandar mencontohkan sebagai berikut (hal. 3):
 Seorang anak angkat almarhum Maksudi dan almarhumah Nyi Siti Aminah, yang bernama Atikah, menggugat pamannya, adik dari almarhum Maksudi, yang bernama Yakub, oleh karena pamannya itu menguasai sebidang tanah bekas milik ayah almarhum Maksudi dan Yakub.
Atikah, sebagai penggugat, “merasa” bahwa Yakub melanggar haknya. Akan tetapi, oleh karena menurut hukum adat daerah Jawa Barat, seorang anak angkat tidak mewaris warisan yang semula adalah harta asal orang tua angkatnya, yaitu oleh karena ada azas bahwa “asal mulih kaasalna”, maka yang berhak atas tanah sengketa adalah Yakub dan bukan Atikah. Walhasil gugat akan ditolak. Atikah “merasa” haknya dilanggar, akan tetapi menurut hukum, sesungguhnya Yakub tidak melanggar hak Atikah.
Dasar hukum pengajuan gugatan perdata antara lain adalah karena wanprestasi (Pasal 1243 KUHPer) atau perbuatan melawan hukum (PMH) (Pasal 1365 KUHPer). Lebih jauh simak Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH.
Memang, adalah menjadi hak dan atas inisiatif penggugat untuk menggugat pihak lain yang “dirasa” melanggar haknya dan merugikan dirinya. Tapi, tidak serta merta semua orang dapat menggugat orang lain. Pengajuan gugatan ini haruslah memiliki dasar, yaitu adanya kepentingan atau hak yang dilanggar oleh orang lain, sehingga tidak sembarang orang bisa digugat dan menjadi tergugat.

Lebih jauh dijelaskan oleh Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H. dalam bukunya “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata” (hal. 8) bahwa dalam hukum acara perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, setelah berperkara diajukan, ia dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya. (lihat Putusan Mahkamah Agung tertanggal 28 Oktober 1970 No. 546 K/Sip/1970, termuat dalam Yurisprudensi Indonesia, diterbitkan oleh Mahkamah agung Republik Indonesia, penerbitan 1971, halaman 374-red).
Jadi, masih menurut Makarao, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (wo kein klager ist, ist kein richter; nemo judex sine actore). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya (Judex ne procedat ex officio).  
Termasuk dalam menentukan siapa yang akan digugat, tentu penggugat tahu siapa yang “dirasa” telah melanggar haknya dan merugikan dirinya. Dengan demikian, penggugat dapat memilih siapa yang akan dijadikan tergugat dengan mencantumkannya dalam surat gugatan.

Contoh sederhana untuk dapat memahami bagaimana menentukan tergugat antara lain:
-         Istri yang hendak menggugat cerai suaminya, tentu yang dijadikan sebagai tergugat adalah suami sahnya, bukan suami orang lain.
-         A dan B mengadakan suatu perjanjian jual beli, kemudian B sebagai pembeli tidak membayar lunas sesuai harga yang ditentukan dalam perjanjian, maka A dapat menggugat B atau dengan kata lain menjadikan B sebagai tergugat atas dasar wanprestasi.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer