Hukumonline-Perdata-
Apakah perjanjian yang dibuat merupakan akta otentik atau akta di bawah tangan? Berdasarkan Pasal 162 HIR dinyatakan bahwa alat bukti tertulis dalam perkara perdata dapat dibedakan menjadi:
1. Akta otentik: dibuat di depan pejabat publik (notaris, dll.)
2. Akta di bawah tangan: dibuat tidak di depan pejabat publik, namun ditandatangani oleh para pihak dan saksi).
3. Bukti tertulis lainnya: bukti tertulis dibuat tidak dalam rangka pembuktian di depan persidangan.
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sedangkan akta di bawah tangan memiliki kekuatan pembuktian pembuktian yang sempurna hanya jika diakui oleh pihak lawan.
Dalam kasus Saudara, jikalau perjanjian yang dibuat merupakan akta otentik, maka Hakim terikat pada ketentuan yang dibuat di dalam akta tersebut, bukan kepada kuitansi. Jikalau perjanjian bukanlah merupakan akta otentik, hanya akta bawah tangan, maka kekuatan pembuktian atas hal tersebut bergantung kepada lawan. Apabila lawan mengakui, maka akta di bawah tangan akan bersifat mengikat para pihak. Dalam hal ini, Saudara masih bisa menuntut pengembalian uang saya tanpa harus menunggu pembayaran dari si B ke A.
Namun, apabila perjanjian tidak diakui oleh lawan, maka harus dikuatkan dengan alat bukti lain di depan persidangan. Hal tersebut bisa dibuktikan dengan kuitansi, saksi, persangkaan hakim, ataupun sumpah.
Demikian penjelasan dari saya, semoga berguna.
Dasar hukum:
Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar