Hukumonline-Perdata-
Sampai saat ini kaidah-kaidah hukum acara perdata di Indonesia masih tersebar pengaturannya. Sebagian termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement(“HIR”), Stb. 1941 No. 44, yang hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewestern(“RBg”), Stb. 1927 No. 27, yang berlaku untuk kepulauan lainnya di luar Jawa dan Madura. Kedua peraturan perundang-undangan ini ditegaskan keberlakuannya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1965.
Jika merujuk kembali pada pertanyaan apakah pengadilan diperbolehkan untuk membuatkan surat gugatan tertulis maka hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBg, yang menyebutkan:
Pasal 120 HIR
“Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya.”
Pasal 144 RBg
“(1) Bila penggugat tidak dapat menulis, maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mebuat catatan atau memerintahkan untuk membuat catatan gugatan itu. Seorang kuasa tidak dapat mengajukan gugatan secara lisan.
(2) Bila penggugat bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah hukum magistrat (kejaksaan) di tempat kedudukan suatu pengadilan negeri atau ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat itu, maka gugatan lisan tersebut dapat diajukan kepada magistrat di tempat tinggal atau tempat kediaman penggugat, yang kemudian membuat catatan tentang gugatan lisan tersebut dan secepat mungkin menyampaikan catatan itu kepada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
(3) Ketua pengadilan negeri itu selanjutnya bertindak seperti bila gugatan itu diajukan kepadanya sendiri.
Dari kedua pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pengadilan negeri diperbolehkan untuk membuatkan surat gugatan tertulis untuk pihak penggugat yang tidak cakap menulis atau buta huruf. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Acara Perdata”, ketentuan Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBg di atas hanya dimaksudkan untuk penggugat yang tidak bisa membaca dan menulis dan bukan untuk orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum.
Selain kedua pasal di atas, dalam yurisprudensi juga diatur mengenai cara pengajuan gugatan lisan melalui Putusan Mahkamah Agung No. 396 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975, ditegaskan bahwa Penggugat harus menyampaikan secara pribadi gugatan secara lisan dan tidak boleh diwakili oleh kuasanya. Yurisprudensi lainnya yang juga mengatur mengenai gugatan lisan adalah Putusan Mahkamah Agung No. 195 K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956 yang menyatakan bahwa dalam hal gugatan lisan, adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.
Sebagai kesimpulan, pengadilan diperkenankan untuk membuatkan surat gugatan tertulis untuk pihak penggugat yang buta huruf dengan ketentuan penggugat tersebut harus menyampaikan sendiri secara lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugatan lisan, dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menuangkannya dalam bentuk tulisan.
[Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat tempat Penjawab bekerja.]
Dasar Hukum:
1. Rechtsreglement Buitengewestern (“RBg”), Stb. 1927 No. 27
Putusan:
1. Putusan Mahkamah Agung No. 195 K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956
2. Putusan Mahkamah Agung No. 396 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar