-Corporate -Hukumonline


Usaha dagang yang tidak berbadan hukum
 
Apakah hukum membenarkan suatu usaha dagang dan jasa tidak berbadan hukum? Jika benar, pada kondisi bagaimana. Jika salah, dasar hukumnya apa, dan harus bagaimana? Bagaimana pula kedudukan usaha dagang dan jasa yang tidak berbadan hukum dalam membuat ikatan kontrak? Siapa yang harus menanggung kewajiban bila terjadi wanprestasi? Sampai sejauh mana?
anonim

Jawaban:
Setiap usaha dagang (�bisnis') dijalankan melalui suatu �kendaraan bisnis', yang disebut �perusahaan'. Perusahaan terbagi atas 3 (tiga) jenis: (i) perusahaan perseorangan; (ii) perusahaan perorangan; dan (iii) perusahaan yang berbadan hukum. Pada prinsipnya, tidak ada larangan dalam memilih jenis perusahaan dalam rangka menjalankan bisnis sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum yang berlaku, dan dengan ketentuan bahwa dalam bisnis(-bisnis) tertentu, seperti halnya usaha bank, maka perusahaan yang untuk menjalankan usaha bank harus berbadan hukum.

Hukum membedakan ketiga jenis perusahaan di atas dengan mendasarkan pada prinsip �tanggung jawab kepada pihak ketiga'. Dalam perusahaan perseorangan dan perorangan, tanggung jawab kepada pihak ketiga dibebankan kepada individu-individu yang menjalankan perusahaan yang bersangkutan. Realisasi tanggung jawab tersebut adalah terhadap �seluruh kekayaan' individu yang berangkutan. �Seluruh harta kekayaan' berarti mencakup �kekayaan pribadi' dan �kekayaan perusahaan'. Dengan demikian, hukum tidak membedakan pengertian antara keduanya.

Perusahaan perseorangan pada dasarnya dijalankan oleh satu pengusaha. Lain halnya dengan perusahaan perorangan, yang secara umum menurut hukum disebut sebagai �persekutuan' yang terbagi atas 3 (tiga), yaitu: (i) persekutuan perdata; (ii) persekutuan dengan firma; dan (iii) persekutuan komanditer. Dalam macam perusahaan ini, pengusaha harus terdiri dari 2 (dua) atau lebih. Mereka harus membuat perjanjian di antara mereka (termasuk tanggung jawab kepada pihak ketiga) dalam rangka menjalankan perusahaan yang mereka dirikan, yang disebut sebagai �anggaran dasar'. Di Indonesia, persekutuan perdata diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1618 hingga Pasal 1652. Sedangkan, persekutuan dengan firma dan persekutuan komanditer diatur secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Pasal 15 hingga Pasal 35.
Pada prinsipnya, setiap pengusaha (istilah hukumnya: sekutu) yang menjadi pengurus (sekutu-pengurus) berwenang untuk bertindak atas nama persekutuan (termasuk melakukan ikatan kontrak dengan pihak ketiga) sepanjang pengusaha(-pengusaha) lain yang menjadi pengurus pun menyetujui atau mengetahui tindakannya tersebut. Dalam hal demikian: 

(i)        Setiap ikatan atau perikatan dengan pihak ketiga akan menjadi tanggung jawab renteng di antara para individu pengusaha tersebut. Menurut hukum, arti �tanggung jawab renteng' tetap harus berprinsip pada kepentingan pihak ketiga, dimana pelunasan atau penyelesaian oleh satu individu pengusaha atas pelaksanaan tanggung jawab persekutuan (termasuk wanprestasi) terhadap pihak ketiga akan melunasi tanggung jawab dia pribadi dan individu(-individu) pengusaha lain. Urusan internal antara para pengusaha sehubungan dengan pelunasan atau penyelesaian tersebut bukan �urusan pihak ketiga', dan harus telah diatur dalam perjanjian di antara mereka, atau bila tidak telah diatur maka telah diatur menurut hukum secara umum;
(ii)       Bila pengusaha(-pengusaha) lain yang dimaksud di atas tidak menyetujui atau tidak mengetahui tindakan tersebut, maka pengusaha yang bersangkutan lah yang bertanggung jawab secara pribadi atas ikatan kontrak tersebut (termasuk dalam hal wanprestasi); dan
(iii)       Khusus dalam hal persekutuan dengan firma dan persekutuan komanditer dibubarkan, pelunasan kewajiban atau hutang kepada pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan kas perusahaan terlebih dahulu, dan bila tidak cukup baru dengan menggunakan kekayaan pribadi sekutu secara tanggung renteng.

@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Senin, 08 April 2002

Komentar

Postingan Populer