-Corporate -Hukumonline
Jawaban:
Single Presence Policy (SPP) atau pemilikan tunggal bank merupakan salah satu kebijakan dari Bank Indonesia yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan economic of scale dan pengawasan terhadap bank-bank di Indonesia. Selain juga sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat.
Kebijakan mengenai SPP diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia.
Tujuan dikeluarkannya PBI tersebut selaras dengan PBI yang mengatur
tentang ketentuan Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum, yaitu untuk
mengarahkan bank-bank di Indonesia agar memiliki struktur permodalan
yang kuat (lihat boks). Salah satu caranya adalah dengan cara
konsolidasi (pemisahan), merger (penggabungan), atau akuisisi (pengambilalihan).
Boks: Kebijakan Jumlah Modal Minimum Bank
Dalam
mendukung struktur perbankan dan pertumbuhan ekonomi nasional
diperlukan permodalan yang sehat dan kuat. Oleh karena itu, BI
menetapkan modal inti yang harus dimiliki oleh bank yaitu sebesar Rp80
milyar pada tanggal 31 Desember 2007 dan apabila jumlah tersebut telah
terpenuhi wajib memiliki modal inti sebesar Rp100 milyar pada tanggal 31
Desember 2010 (PBI No. 7/15/PBI/2005 sebagaimana telah diubah dengan
PBI No. 9/16/PBI/2007 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum).
Tingginya jumlah modal inti yang harus dimiliki oleh bank menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh bank-bank di Indonesia, hal ini dikarenakan perbankan di Indonesia
belum memiliki permodalan yang kuat. Oleh karenanya bank-bank di
Indonesia dianjurkan untuk melakukan merger, konsolidasi, atau akuisisi
(lihat pasal 2A PBI No. 9/16/PBI/2007).
|
Apakah BI dapat memaksa bank melakukan RUPS Tahunan atau RUPS Luar Biasa?
Pada
dasarnya, sesuai ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, kewenangan untuk melakukan merger, akuisisi, atau konsolidasi
berdasarkan suara pemegang saham dalam RUPS. Untuk menjawab pertanyaan
ini, mungkin kita perlu menyimak kembali bahwa tujuan kebijakan SPP
adalah selaras dengan PBI tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum,
yaitu untuk mengarahkan bank-bank di Indonesia agar memiliki struktur
permodalan yang kuat yang salah satu caranya adalah dengan cara
konsolidasi, merger, atau akuisisi. Memang tidak terdapat ketentuan yang
memberikan wewenang pada BI untuk memaksa diadakannya RUPS Tahunan atau
RUPS Luar Biasa, namun dengan adanya ketentuan modal inti yang harus
dimiliki oleh bank menjadikan merger, konsolidasi, atau akuisisi menjadi
jalan keluar yang dapat ditempuh oleh bank untuk memiliki modal inti
yang telah ditentukan. Hanya saja ada konsekuensi hukum jika bank tidak
memenuhi jumlah modal inti minimum yaitu BI akan melakukan pembatasan
kegiatan usaha dari bank tersebut (lihat pasal 4 PBI No. 9/16/PBI/2007).
Seandainya mayoritas pemegang saham dalam RUPS tidak berkehendak mengonsolidasikan banknya, apakah BI memiliki kekuatan memaksa?
Mengenai
hal tersebut, Saudara perlu memperhatikan pasal 9 ayat (1) PBI No.
8/16/PBI/2006 yang menyatakan bahwa pemegang saham pengendali yang tidak
melakukan penyesuaian struktur kepemilikan dalam jangka waktu yang
telah ditetapkan dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki
saham dengan hak suara pada masing-masing bank lebih dari 10% dari
jumlah saham bank. Sehingga, pemegang saham pengendali harus
menyesuaikan struktur kepemilikannya baik dengan cara merger, akuisisi,
atau konsolidasi dan yang terpenting pemegang saham pengendalinya
tunggal.
Bagaimana
regulasi penyesuaian struktur perbankan dihubungkan dengan hak otonom
pelaku usaha untuk menjalankan dan mengembangkan usahanya?
Pada
dasarnya, setiap pelaku usaha mempunyai hak untuk menjalankan kegiatan
usahanya, akan tetapi yang perlu diingat bahwa hak tersebut tidak
selamanya dapat dilaksanakan secara bebas. Terdapat ketentuan-ketentuan
yang harus dipatuhi oleh setiap pelaku usaha. Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
juga mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha,
misalnya perjanjian penetapan harga (pasal 5). Dengan adanya ketentuan
tersebut maka dapat dikatakan bahwa ada juga hal-hal yang dibatasi oleh
UU. Sehingga dalam hal ini, bank memang mempunyai hak untuk melakukan
kegiatan usahanya, akan tetapi tetap harus mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku. Misalnya UU BI, UU Perbankan, UU
Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
Selain itu juga, BI sebagai lembaga independen juga mempunyai kewenangan
dalam hal mengatur dan mengawasi bank-bank di Indonesia (Pasal 8 UU No.
23 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
tentang Bank Indonesia). Oleh karena itu, berbagai regulasi tersebut
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam menjalankan
kegiatan usahanya setiap pelaku usaha, dalam hal ini bank, harus mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait:
1. UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
3. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4. PBI No. 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia.
5. PBI No. 9/16/PBI/2007 tentang Perubahan atas PBI No. 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum
@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Rabu, 19 Agustus 2009
Komentar
Posting Komentar