Sanctity of Contract
Terbangun karna Sanctity of Contract, Tertidur Kelam karna Hambar Posisi Tawar
Pengaruh paradigma kebebasan
berkontrak atau otonomi kehendak didapat dari dasar bekerjanya sistem hukum
untuk menjustifikasi dasar kekuatan mengikat dan pelaksanaan kontrak. Disamping
itu pandangan akan kesucian kontrak sebagai salah satu ajaran yang dianut teori
hukum kontrak klasik sebagai akibat langsung adanya kebebasan berkontrak. Seperti
layaknya landasan filosofis kekuatan mengikatnya kontrak dalam hukum Islam bersumber
langsung dari Al Quran (Ridwan Khairandy).
Dalam dunia bisnis
kontrak sangat awam dipergunakan, bahkan hampir semua kegiatan bisnis selalu
diawali oleh adanya kontrak, walaupun dibuat secara sederhana. Melalui kontrak tercipta perikatan atau hubungan hukum yang melahirkan
hak dan kewajiban para pihak. Lazimnya para pihak terikat untuk mematuhi
kontrak yang telah mereka buat tersebut. Disisi ini kontrak berperan sama persis perundang-undangan, tapi hanya
berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak juga dapat
dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku
pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi). Kontrak (perjanjian)
adalah suatu "peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di
mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal "(Subekti, 1983:1).
Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam
berbagai produk hukum seperti UU dan
Kepres. Terkait asas yang
mendasari dimulai Kebebasan Berkontrak, Konsensualisme, Pacta
Sunt Servanda, Itikad baik, kepribadian, kepercayaan,
persamaan hukum, keseimbangan, kepastian hukum, moral, kepatuhan, kebiasaan,
dan perlindungan.
Secara legalistik berlakunya asas kebebasan berkontrak dijamin oleh oleh
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, "setiap perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Secara global aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH
Perdata (BW) , yang menyiratkan adanya 3 (tiga asas) yang seyogyanya dalam
perjanjian yaitu mengenai terjadinya
perjanjian, tentang akibat perjanjian, tentang isi perjanjian.
Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya
memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya,sama seperti perundang-undangan. Sedikit
mengingat, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan
apa saja di dalam isi sebuah kontrak. Bermula dari syarat sahnya kontrak (Pasal 1320 KUH
Perdata); Kesepakatan, Kecakapan, Hal
tertentu, Sebab yang halal. Kemudian beranjak ke penyusunannya dari tahapan
persiapan/perencanaan (Negosiasi, Memorandum of Undersatnding (MoU), Studi
kelayakan, Negosiasi (lanjutan), tahapan kontrak( naskah awal, Perbaikan naskah,
naskah akhir, Penandatanganan), pascakontrak (Pelaksanaan, Penafsiran, Penyelesaian sengketa).
Disini sengaja
tidak akan mengulas secara detail tapi menyesuaikan dasar penulisan karna
terbangunnya penulis karna susah tidur kenyataannya. Hanya sebatas ungkapan
keluh atas reliata yang ada terkait dunia kontrak dalam masyarakat.
Semangat renegosiasi yang menggebu-gebu atas banyak hal melatar
belakanginya. Menurut bahasa, re·ne·go·si·a·si /rénégosiasi, berarti perundingan kembali. Terkait
masyarakat luas, konon renegosiasi kontrak menjadi pilihan
supaya tercipta pembagian yang adil antara pemerintah dan perusahaan asing di
masa mendatang serta dikarenakan kegelisahan sudah pada tingkat yang
mengkhawatirkan.
Di sisi lain, renegosiasi menjadi pisau bermata dua jika dilakukan
secara membabi buta tanpa mengindahkan kontrak yang sudah berjalan. Meskipun
akan banyak tentangan dari pihak asing, komitmen pemerintah dalam renegosiasi
kontrak yang berdasar atas asas kedaulatan dan berkeadilan harus direalisasikan
secara matang.
Salah satu contohnya, bentuk respons positif dari komitmen pemerintah, DPR menyambut upaya renegosiasi kontrak di sektor pertambangan maupun di sektor migas dengan mengagendakan pembahasan secara intensif mengenai revisi Undang-Undang Migas No 22/2001 maupun meninjau kembali pasal-pasal dalamUndang-Undang Mineral dan Batu Bara No 4/2009, meskipun secara realita dan sampai sekarang tak kunjung terealisasi.
Jangan sampai dilihat secara umum, akan tetapi harus dikaji kasus per
kasus. Tidak bisa misalnya pemerintah memutus di tengah jalan kontrak yang
sudah ditandatangani. Pemerintah bisa melakukan renegosiasi terhadap
kontrakkontrak yang sudah habis. Dalam renegosiasi, pemerintah bisa memasukkan
klausul untuk menghentikan perpanjangan. Ada pula klausul yang mensyaratkan
penggunaan teknologi yang lebih baik.
Realitanya, ada dua
perusahaan besar yang disebut-sebut ‘sulit dibujuk’ untuk renegosiasi, yakni
PT. Freeport Indonesia dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Dua-duanya memang raksasa
dari Amerika Serikat: Newmont, perusahaan emas terbesar kedua di dunia,
sedangkan Freeport di urutan keempat. Tentu saja, tidak mudah untuk menggertak
kedua raksasa-dasamuka itu. Langkah-langkah
pemerintah dinilai masyarakat sangat lembek dalam proses renegosiasi. Prinsip
‘negara berdaulat’ tidak dipergunakan pemerintah dalam proses renegosiasi.
Sebaliknya, pemerintah tetap saja bertindak layaknya mental agen kolonial:
meminta bermain aman.
Katanya, soal
renegosiasi ini adalah soal kedaulatan bangsa. Ini sepenuhnya masalah politik
negara: bagaimana negara mengontrol sumber daya alam itu dan mempergunakannya
dalam kerangka kepentingan nasionalnya. Itulah prinsip politik perekonomian
negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945: “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Apakah kepatuhan
pemerintah terhadap ‘kesucian kontrak’ menghalangi pemerintah untuk bertindak
sebagai pemerintahan dari sebuah “negara berdaulat” ? Bukankah kontrak itu telah
merugikan kepentingan nasional ?
Selama ini ditunjukkan
akan tidak berdayanya berhadapan dengan kekuatan modal korporasi, baik dalam
negeri maupun (terutama) luar negeri. Segala keluh ini, kita tetap harapkan
adanya langkah yang nyata, dari pihak manapun, minimal sebagai obat tidur
sejenak hingga terbit matahari esok hari.
Posisi tawar
pemerintah sangat rendah di mata pengusaha terkait kontrak karya seperti soal
royalti, divestasi saham, pembangunan pabrik pemurnian mineral (smelter),
perpanjangan kontrak, penggunaan jasa dan barang dari dalam negeri, dan
luas wilayah pertambangan.
Apakah tetap
memaksakan renegosiasi ? Dengan teknik seperti apalagi? Apakah harus kita buang
jauh terkait prinsip keadilan dan amanat
UU? Lantas mau dikemanakan asas Sanctity
of Contract? apakah bisa dikesampingkan dengan asas keadilan? mungkinkah
pemerintah menerapkan pemutusan kontrak atau sanksi yang lainnya apabila tak
ada titik temu? Lebih jauh bagaimana posisi kasus kita nantinya dalam arbitrasi
internasional?
Pengaruh paradigma kebebasan berkontrak atau otonomi kehendak
didapatkan dasar bekerjanya sistem hukum untuk menjustifikasi dasar kekuatan
mengikat dan pelaksanaan kontrak. Disamping itu pandangan akan kesucian kontrak
sebagai salah satu ajaran yang dianut teori hukum kontrak klasik sebagai akibat
langsung adanya kebebasan berkontrak. Seperti layaknya landasan filosofis
kekuatan mengikatnya kontrak dalam hukum Islam bersumber langsung dari Al
Quran.
Sumber:
Menjunjung Tinggi Asas Sanctity of Contract,
Satya Widya Yudha, ANGGOTA KOMISI VII DPR FRAKSI PARTAI GOLKAR, : SINDO, 19 Maret 2012
Landasan
Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Ridwan Khairandy,JURNAL HUKUM NO. EDISI KHUSUS VOL. 18
OKTOBER 2011: 36 - 55
Alim. The World’s Mose Useful Islamic Software (CD-ROM).
ISL Software Corp, USA
1986 – 2000.
PT Freeport Dilaporkan ke
KPK « KABAR PAPUA.htm
Berita satu,soal-renegosiasi-kontrak-karya-pemerintah-dinilai-tunduk-pada-asing.html
Komentar
Posting Komentar