Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Selasa, 21 September 2010
Gadai
Saham PT Go Public
1) Hal-hal apa saja yang perlu
diperhatikan/dipenuhi dalam hal kita menerima jaminan pembayaran hutang berupa
penggadaian atas saham-saham PT go public yang sudah tercatat di bursa efek,
sehingga jaminan tersebut nantinya dapat dieksekusi (dalam hal debitur
wanprestasi)? 2) Bagaimana pula bila saham-saham tersebut sudah scriptless? 3)
Apakah sudah ada juklak atau peraturan lainnya (khususnya dari badan/lembaga
yang terkait dengan pasar modal) yang mengatur masalah eksekusi atas saham PT
go public tersebut? 4) Apakah sudah ada contoh kasus eksekusi gadai saham di
Bursa Efek Indonesia?
1. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan/dipenuhi dalam menerima jaminan gadai saham antara lain:
a)
seberapa besar nilai saham yang
dapat dijadikan agunan/jaminan gadai. Hal ini karena saham sebagai surat
berharga yang diperdagangkan sering mengalami fluktuasi/perubahan harga;
b)
bagaimana bila terjadi penurunan
harga saham yang sangat tajam, yang mengakibatkan harga saham tidak mencukupi
lagi terhadap pemenuhan kebutuhan jaminan;
c)
Gadai saham ini wajib dicatatkan
dalam Daftar Pemegang Saham dan Daftar Khusus Pemegang Saham. Hal ini sesuai
dengan pasal 60 ayat (3) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”);
d)
Benda yang dijadikan objek gadai
harus dikeluarkan dari kekuasaan kreditur, untuk ditaruh di bawah kekuasaan
kreditur atau pihak ketiga yang disetujui kedua belah pihak. Hal ini dikenal
sebagai inbezitstelling, dan merupakan syarat utama terjadinya gadai. Inbezitstelling
sendiri diatur dalam pasal 1152 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).
Pada saham-saham yang masih berbentuk lembaran, maka pelepasan penguasaan
debitur atas saham mudah dilakukan, yaitu dengan menyerahkan lembaran saham itu
kepada penguasaan kreditur atau pihak ketiga. Namun, untuk saham-saham tanpa
warkat (scriptless) maka pelepasan penguasaan debitur atas saham yang
digadaikan dapat dilakukan melalui bantuan Kustodian Sentral Efek Indonesia
(KSEI).
2. apabila saham sudah scriptless
(tanpa warkat). Pada saat ini, umumnya saham-saham yang diperdagangkan sudah
berbentuk scriptless. Jadi, pemegang saham sudah tidak lagi memegang
saham dalam bentuk fisik lembaran saham. Bukti kepemilikan saham yag
dimilikinya tidak berupa lembaran saham secara fisik, namun berupa rekening
saham yang dia miliki melalui Perusahaan Efek, Bank Kustodian, dan Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian. Saham-saham yang dimiliki oleh pemegang saham
tersebut dicatatkan atas nama pemegang saham dalam catatan rekening yang
terpisah dari keuangan Perusahaan Efek. Perusahaan Efek ini kemudian menitipkan
saham tersebut atas nama Perusahaan Efek yang bersangkutan pada Bank Kustodian.
Kemudian, Bank Kustodian menitipkan saham tersebut ke Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian (yang dalam hal ini di Indonesia dijalankan oleh PT Kustodian
Sentral Efek Indonesia/KSEI). Rekening yang dititipkan oleh Bank Kustodian di
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian ini tercatat atas nama Bank Kustodian yang
bersangkutan sebagai wakil substitusi Perusahaan Efek yang mewakili pemegang
saham. Selanjutnya, berdasarkan rekening saham yang terdapat pada tiga lembaga
tersebut, Emiten mencatatkan kepemilikan saham atas dirinya melalui Biro
Administrasi Efek. Jadi, bukti rekening itulah yang dijadikan sebagai bukti
bahwa si pemegang saham memiliki saham-saham di suatu Emiten.
3. Setahu kami, hingga saat ini belum
ada peraturan perundang-undangan ataupun petunjuk pelaksanaan yang secara
khusus dan terperinci mengatur mengenai gadai saham maupun cara eksekusinya.
Pelaksanaan gadai saham masih mengacu pada aturan-aturan gadai saham secara
umum dalam UUPT dan Kepdir KSEI No.:
KEP-012/DIR/KSEI/0807 tentang Perubahan Peraturan Jasa Kustodian Sentral
(“Kepdir KSEI”)
tanggal 9 Desember 2009, serta aturan tentang gadai dalam KUHPer. Dalam Kepdir
KSEI soal gadai saham diatur di bawah butir 2.2. tentang Administrasi atas Efek
yang Diagunkan. Butir 2.2.1. Kepdir KSEI berbunyi:
“Pemegang rekening dapat mengagunkan Efek dalam Rekening
Efeknya sebagai agunan utang, dengan mengajukan permohonan agunan Efek
secara tertulis kepada Kustodian Sentral Efek Indonesia. Setiap permohonan
untuk mengagunkan Efek harus memuat keterangan antara lain: jumlah, jenis
Efek, pihak yang menerima agunan dan persyaratan agunan lainnya.”
4. Contoh kasus eksekusi gadai saham PT
terbuka adalah pada kasus gadai saham oleh pemegang saham PT BFI Finance
Indonesia Tbk melawan PT Aryaputra Teguharta di Pengadlan Negeri Jakarta Pusat,
seperti dapat Anda baca di artikel-artikel berikut:
Demikian
yang kami ketahui, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
- Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
- Keputusan Direktur PT Kustodian Sentral Efek Indonesia No.: KEP-012/DIR/KSEI/0807 tentang Perubahan Peraturan Jasa Kustodian Sentral
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 15 Pebruari 2002
Pertanyaan:
Giro
kosong
bung pokrol, Saya menerima 4 lembar
giro dari rekan kongsi saya sebagai perhitungan pengakhiran kerjasama, yang
akan saya tanyakan sejauhmana kekuatan hukumnya apabila giro yang bersangkutan
ternyata kosong. Apakah bila perjanjian tsb dibuat dalam bentuk akte di depan
notaris, dapat dilakukan tindakan hukum terhadap yang bersangkutan. Bagaimana
bunyi pasal yg sebaiknya dicantumkan dalam akte penyelesaian kerjasama untuk
mengamankan posisi saya sebagai pihak yang akan menerima giro tsb, mohon
pendapatnya
Yang perlu anda pastikan adalah
bagaimana transaksi kerjasama itu harus dilakukan dan erat atau tidaknya dengan
mekanisme pembayaran yang harus dilakukan. Pelaksanaan pembayaran selalu
berpatokan pada bayar dimuka dan bayar diakhir. Walau demikian selalu ada cara
ditengah-tengah. Bayar dimuka sebagian, sisanya dibayar dengan cicilan. Bayar
dicicil untuk masa waktu tertentu dan sisanya bayar diakhir. Untuk pengaturan
yang mana saja, pasti ada perlu jaminan pembayaran. Bisa berupa agunan (berupa
barang/hak) atau jaminan dari pihak ketiga atau jaminan berupa kredibilitas
yang tinggi dari rekan anda sendiri. Lebih baik memanfaatkan jasa atau
kredibilitas pihak ketiga yang anda dapat percayai dalam hal memastikan
pembayaran akan terlaksana.
Giro merupakan instrumen pembayaran
bukan agunan pembayaran. Dan berarti bukan pula jaminan pembayaran. Mungkin
anda dapat mensyaratkan (bila perlu dan disetujui oleh rekan kerjasama anda)
bahwa rekan anda memakai instrumen
pembayaran lain, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai jaminan karena ada konfirmasi
pihak ketiga yang dapat dipercaya (misalnya bank yang anda tunjuk). Misalnya,
garansi bank (biasa berlaku bagi dunia usaha konstruksi) atau L/C (dengan tetap
memperhatikan syarat-syarat penerbitan L/C).
Bila telah terlanjur menggunakan
instrumen pembayaran dengan giro dan ternyata itu adalah giro kosong, maka anda
dapat mensyaratkan rekan anda untuk mengaku berhutang berdasarkan akta notaris
pengakuan hutang, dimana dia dapat diwajibkan untuk membayar secara angsuran
atau sekaligus pada waktu dan dengan cara yang anda tentukan dan sepanjang
rekan anda setuju. Akta itu bukan merupakan instrumen pembayaran melainkan
instrumen hutang dan dapat dilaksanakan langsung seperti halnya kekuatan suatu
putusan pengadilan. Disebut juga grosse akte.
Perjanjian yang dibuat di hadapan
Notaris memang mempunyai kekuatan otentik yang paling kuat dari segi pembuktian
(ps.165 HIR dan ps.1868 KUH Perdata). Dengan demikian bukan berarti yang dibuat
di bawah tangan tidak kuat; hanya kurang kuat.
Bila dibuat di bawah tangan,
tegaskan dalam klausula akhir perjanjian, bahwa perjanjian dibuat dalam rangkap
2 (dua) misalnya, satu untuk anda satu untuk rekan anda, masing-masing
mempunyai kekuatan hukum yang sama. Jadi, kata kunci-nya adalah Sepanjang
tertulis akan lebih mudah mekanisme pembuktian daripada tidak ada yang tertulis
sama sekali.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 01 April 2011
Haruskah
Kembalikan Dana Hasil Salah Transfer?
Saya memiliki sejumlah uang di
tabungan yang jumlah pastinya tidak ingat. Kami melakukan penarikan melalui ATM
sampai saldonya habis. Beberapa minggu kemudian ada telapon dari bank tempat
saya menabung yang menyatakan bahwa bank melakukan sebuah kesalahan sehingga
saldo saya bertambah tanpa sepengetahuan saya, sehingga bank meminta saya untuk
mengembalikan sejumlah uang tersebut. Apakah secara hukum saya wajib
mengebalikan atau saya mempunyai hak untuk tidak mengembalikan?
Transfer Dana berdasarkan definisi Pasal
1 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer
Dana
(“UU 3/2011”) adalah
rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang
bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam
Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima. Dari
definisi tersebut, suatu transfer dana pasti diawali dengan suatu perintah
kepada bank untuk memindahkan sejumlah dana kepada penerima yang telah
disebutkan dalam perintah transfer dana.
Dalam hal terjadinya kesalahan
transfer oleh bank, Anda wajib mengembalikan uang tersebut. Penguasaan dana
hasil transfer oleh seseorang yang diketahui atau patut diketahui bukan
miliknya diancam pidana yang diatur dalam Pasal 85 UU 3/2011;
“Setiap orang yang dengan
sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya Dana hasil transfer yang
diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).”
Selain
itu, jika uang tersebut tidak dikembalikan, sedangkan pihak bank sudah
memberitahukan kesalahan tersebut (meminta kembali), maka Anda juga dapat
dituntut dengan Pasal 372 KUHP mengenai tindak pidana penggelapan.
Sementara, dari jalur perdata,
menurut advokat Kevin Omar Sidharta dari kantor advokat Ali Budiardjo,
Nugroho, Reksodiputro, ketika terjadi salah transfer dana, bank juga dapat
meminta nasabah mengembalikan uang tersebut atas dasar Pasal 1359 dan Pasal
1360 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Jadi, secara hukum Anda
wajib mengembalikan uang yang bukan milik Anda tersebut kepada bank yang
melakukan salah transfer. Namun, sebelum mengembalikan uang tersebut, Anda
harus melakukan cross-check kepada bank yang bersangkutan bahwa benar
bank tersebut telah melakukan salah transfer dan juga mengenai jumlah uangnya.
Anda berhak meminta bank
membuat surat atau pemberitahuan resmi mengenai kesalahan transfer tersebut.
Selain kewajiban dari bank, hal ini untuk menghindarkan terjadinya penipuan
dari oknum-oknum tertentu dengan mengatasnamakan bank.
Di sisi
lain, pihak bank wajib membuktikan adanya kekeliruan transfer tersebut kepada
Anda, di antaranya dengan menunjukkan adanya perintah transfer dana dari
Pengirim Asal dan Penerima yang seharusnya menerima dana tersebut (lihat Pasal
78 UU 3/2011).
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 29 Juli 2011
Hukum
Praktik Saham Pinjam Nama (Nominee Arrangement)
Yth. Hukum Online. Saya ingin
bertanya mengenai kepemilikan saham dalam PT. Bila dalam suatu PT terdiri dari
beberapa orang pemegang saham sebagaimana yang tercantum dalam Akta Notaris,
sedangkan saham-saham tersebut kenyataannya adalah milik pihak lain yang di dalam
akta hanya "Pinjam Nama". Yang ingin saya tanyakan adalah: 1. Apakah
dalam UU PT atau peraturan lainnya diakui/diatur tentang saham yang pinjam
nama? 2. Bagaimana menyiasati supaya aman secara hukum bila sewaktu-waktu
pemilik saham aslinya menghendaki si pemegang saham yang namanya dipinjam
tersebut untuk mundur atau menjual kembali sahamnya sesuai keinginan pemilik
saham yang asli? Demikian mohon pencerahannya. Terima kasih.
1. Apa yang Anda sebut dengan praktik
“saham pinjam nama” lazim juga dikenal sebagai nominee arrangement.
Sebagaimana telah kami uraikan dalam artikel jawaban terdahulu (baca Akta Notaris Pengikatan Saham dan Kuasa Saham) praktik nominee arrangement
dilarang oleh UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
(“UUPM”). Pasal
33 ayat (1) UUPM melarang penanam modal dalam negeri dan penanam modal
asing untuk membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa
kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain. Pasal
33 ayat (2) UUPM selanjutnya mengatur bahwa perjanjian semacam itu
dinyatakan batal demi hukum.
Selain
itu, di dalam Pasal 48 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga secara tegas diatur bahwa saham
dikeluarkan atas nama pemiliknya. Jadi, saham itu wajib atas nama si
pemegang sahamnya, tidak bisa nama pemegang saham berbeda dengan pemilik
sebenarnya.
2. Seperti telah dijelaskan pada
jawaban no. 1 di atas, khususnya ketentuan Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) UUPM,
penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dilarang membuat perjanjian
dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan
terbatas untuk dan atas nama orang lain. Jika ada perjanjian semacam itu, maka
perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum. Jadi, tidak ada cara yang sah
untuk bisa menjamin si pemegang saham yang namanya dipinjam akan menjual
kembali sahamnya kepada pemegang saham (penanam modal) yang sebenarnya. Hal ini
karena struktur nominee arrangement dilarang dalam peraturan
perundang-undangan kita.
Demikian
penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 15 Desember 2003
hukum
surat berharga
Surat Utang Negara diterbitkan dalam
bentuk warkat (klausula atas nama ataupun atas unjuk) dan bentuk tanpa warkat
(Scripless). Bagaimanakah cara pengalihan SUN dalam bentuk tanpa warkat?
Transaksi pengalihan Surat Utang
Negara tanpa warkat tunduk pada ketentuan yang ditetapkan oleh bursa efek yang
bersangkutan (atau dalam hal ini dilaksanakan di Bursa Efek ) atau peraturan
yang ditetapkan oleh pihak yang menyelenggarakan predagangan Surat Utang Negara
(SUN) di luar bursa efek (dalam hal ini dilaksanakan di bursa efek), Dalam
menyelesaikan pelaksanaan (settlement) transaksi pengalihan kepemilikan
"SUN tanpa warkat" tersebut terdapat dua unsur, yaitu
"settlement surat berharga " dan "settlement dana".
Untuk melakukan "settlement
surat berharga", pihak yang melakukan transaksi harus memiliki rekening
surat berharga di Central Registry, namun dalam hal ini pihak terse
but tidak memiliki rekening surat
berharga di Central Registry, pihak tersebut harus menunjuk Sub Registry.
Dalam melakukan "settlement
dana", pihak yang melakukan transaksi harus memiliki rakening giro Rupiah
di Bank Indonesia. Namun dalam hal pihak tersebut tidak memilliki rekening giro
Rupiah di Bank Indonesia, pihak tersebut harus menunjuk suatu Bank untuk
melakukan "settlement dana" dan bank tersebut harus memiliki rekening
giro Rupiah di Bank Indonesia.
sudah merupakan keharusan bahwa
rekening surat berharga tersebut diatas harus memiliki saldo SUN yang mencukupi
untuk melakukan transaksi tersebut (kewajiban mana berlaku terhadap pihak yang
melakukan pengalihan atau Sub Registry yang bertindak untuk kepentingan pihak
yang melakukan pengalihan) dan rekening giro rupiah tersebut diatas juga harus
memiliki sldo dana yang mencukupi untuk melakukan transaksi tersebut (kewajiban
mana berlaku terhadap pihak ynag menerima pengalihan atau bank yang bertindak
untuk kepentingan pihak yang menerima pengalihan tersebut).
Sehingga (i) nilai SUN yang
dialihkan akan di-debet dari rakening surat berharga yang dimiliki oleh pihak
yang melakukan pengalihan dan dikreditkan ke dalam rekening surat berharga yang
dimiliki oleh pihak yang menerima pengalihan, dan
(ii) nilal transaksi akan di-debet
dari rekening giro Rupiah yang dimiliki oleh pihak yang menerima pengalihan dan
dikreditkan ke dalam rekening giro Rupiah yang dimiliki oleh pihak yang
melakukan pengalihan.
Settlement transaksi SUN dapat
dilakukan atas dasar prinsip Delivery Versus Payment (DVP) atau Free of Payment
(FOP), DVP merupakan settlement transaksi SUN dengan cara settlement surat
berharga dilakukan bersamaan dengan settlement dana di Bank Indonesia,
sedangkan FoP merupakan settlement transaksi SUN denqan cara settlement surat
berharga dilakukan di Central Registry, sedangkan settlement dana dilakukan
tidak secara bersamaan dengan settlement surat berharga atau tanpa settlement
dana.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin,
08 Maret 2010
Ijin Usaha
Saya
awam dalam bidang hukum, mau tanya tentang: 1. Apa itu kegunaan HO (izin
gangguan) dalam mendirikan usaha/bisnis? 2. Apa perbedaan HGB (hak guna
bangunan), HM (hak milik) dalam properti? 3. Adakah format perjanjian
jual/beli, sewa dan pinjam/meminjam yang standard sehingga jika ada masalah di
kemudian hari dapat diproses secara hukum? 4. Apakah setiap perjanjian yang
sudah dibubuhi oleh materai dan tanda tangan kedua belah pihak sudah sah di
mata hukum? Terima kasih sebelumnya.
1.
Kegunaan HO (hinder ordonantie) atau UU Gangguan (stb.
1926 No. 226 yang diubah/ditambah, terakhir dengan stb. No. 450)
adalah sebagai kemudahan dalam mengurus surat izin operasional usaha, khususnya
bagi beberapa bidang usaha yang memang diwajibkan untuk memiliki Izin HO,
seperti; usaha industri bahan kimia, industri penyulingan, usaha penyembelihan,
industri tembakau, pergudangan, pabrik porselen dan tanah, industri pembuatan
kapal, dan industri-industri lainnya yang sejenis.
2.
Perbedaan antara Hak Milik (HM) dan Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU PA)
adalah:
-
Hak Milik (HM) adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sifat-sifat hak milik yang
membedakannya dengan hak-hak lainnya adalah hak yang “terkuat dan terpenuh”,
maksudnya untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dipunyai
orang, hak miliklah yang paling kuat dan penuh. Dari segi subyeknya HM hanya
dapat dimiliki oleh WNI; Badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan
syarat-syaratnya ditetapkan oleh pemerintah; atau orang-orang asing yang
sesudah berlakunya UU PA memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat
atau percampuran harta karena perkawinan.
-
Hak Guna Bangunan
(HGB) adalah hak
untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling
lama 20 tahun. Dari segi subyeknya HGB dapat dimiliki oleh WNI; atau Badan
Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
3.
Perjanjian di Indonesia menganut sistem terbuka, hal ini berdasarkan
asas kebebasan berkontrak dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer) yang mengatur bahwa ‘semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya’.
Lebih lanjut, pasal 1320 tentang
syarat sahnya perjanjian mengatur syarat-syaratnya adalah sebagai berikut:
1)
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (tidak disebabkan karena
kekhilafan atau paksaan, tidak boleh terdapat unsur penipuan)
2)
kecakapan untuk membuat Perikatan (perikatan tidak dilakukan
dengan orang yang belum dewasa atau berada dalam pangampuan);
3)
suatu hal tertentu (Perjanjian harus menentukan jenis objek yang
diperjanjikan);
4)
suatu sebab yang halal.
Syarat No. 1
dan 2 disebut sebagai syarat subyektif, di mana tidak terpenuhinya salah satu
syarat tersebut, akan berakibat perjanjian yang dibuat dapat dimintakan
pembatalan. Syarat No. 3 dan 4 disebut syarat objektif, di mana tidak
terpenuhinya salah satu syarat tersebut, akan berakibat perjanjian yang dibuat
akan batal demi hukum.
Dengan adanya
kedua pasal tersebut di atas, pada dasarnya tidak ada format baku tertentu yang
membatasi pembuatan perjanjian, selama syarat-syarat pembuatan perjanjian
sebagaimana disebutkan tersebut diatas telah dipenuhi. Terhadap perjanjian yang
telah memenuhi syarat-syarat di atas, apabila terjadi masalah di kemudian hari,
dapat diproses secara hukum.
4.
Syarat tanda tangan adalah merupakan persetujuan mengikatkan diri (consent
to the bound) dan tidak otomatis menentukan sahnya suatu perjanjian karena
dalam keadaan tertentu dapat dibantah oleh pihak yang bersangkutan bahwa tanda
tangan diberikan dalam paksaan, pemalsuan atau alasan lainnya untuk menolak
tanda tangan tersebut. Oleh karenanya, sebaiknya perjanjian dibuat dalam bentuk
akta otentik di hadapan notaris yang kekuatan pembuktiannya sempurna.
Adapun perjanjian yang dibuat dan
ditandatangani hanya di antara para pihak (perjanjian “di bawah tangan”)
kekuatan pembuktiannya tidak sempurna dan dapat dibantah oleh pihak yang
bersangkutan, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa,
03 Juli 2012
Independensi Otoritas Jasa Keuangan
(OJK)
Di dalam
UU Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) ditetapkan bahwa OJK adalah lembaga yang
independen, apa maksudnya? Dan bagaimana pelaksanaannya? Bagaimana perbedaaan
antara independensi Bank Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam UU tentang Bank
Indonesia dan independensi OJK sebagaimana ditetapkan dalam UU OJK?
1. Merujuk pada Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat
(1) UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan
(“UU OJK”), OJK sebagai lembaga independen maksudnya adalah lembaga yang
bertugas mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bebas dari campur tangan
pihak manapun kecuali untuk hal-hal yang disebutkan secara tegas dalam
UU OJK.
Lebih jauh dalam penjelasan umum UU
OJK disebutkan bahwa OJK dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada
di luar pemerintah. Jadi, seharusnya tidak terpengaruh oleh pemerintah
(independen).
2. Meski secara normatif disebutkan bahwa OJK adalah lembaga
independen, pada beberapa kalangan masih timbul keraguan akan independensi OJK
tersebut. Dalam pelaksanaannya, OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang terdiri
dari 9 orang anggota sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU OJK. Komposisi
Dewan Komisioner (DK) yang akan ditempati oleh mantan pegawai lembaga keuangan
tertentu, menjadi dasar adanya keraguan bahwa OJK akan benar-benar independen.
Demikian disampaikan dosen ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Rimawan
Pradiptyo sebagaimana dikutip dalam artikel Belum Dibentuk, Independensi OJK
Diragukan.
Menurut Rimawan, siapa pun yang
menjadi DK di OJK akan terlibat secara batin, karena lama bekerja di satu
lembaga keuangan. Mereka dikhawatirkan akan sulit bersikap objektif karena
ingin membalas budi kepada lembaga yang telah membesarkannya.
Seperti diketahui, susunan anggota DK
OJK terdiri dari; seorang Ketua merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif
Pengawas Perbankan merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal merangkap anggota, seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Keuangan Lainnya merangkap anggota.
Kemudian, seorang Ketua Dewan Audit
Merangkap anggota, seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan
konsumen, seorang anggota ex officio dari Bank Indonesia
yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, seorang anggota ex
officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat
setingkat eselon I Kementerian Keuangan. Baca nama-nama DK OJK terpilih dalam
artikel Paripurna DPR Setujui Dewan
Komisioner OJK.
Jadi, adanya unsur ex officio dalam
Dewan Komisaris OJK itulah yang kemudian dikhawatirkan akan mempengaruhi
pelaksanaan independensi OJK. Lebih jauh simak artikel Politikus Harus Biarkan OJK
Independen.
Selebihnya, kami belum bisa menjelaskan lebih jauh karena OJK sendiri baru
terbentuk.
3. Independensi Bank Indonesia (BI) dan OJK pada dasarnya adalah
sama, keduanya diamanatkan sebagai lembaga independen yang bebas dari campur
tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya. Independensi BI ini disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (“UU
BI”) sebagaimana diubah dengan UU No.3 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Meskipun, sesuai uraian kami
sebelumnya, ada kekhawatiran bahwa independensi OJK akan terpengaruh dengan
adanya unsur ex officio dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan.
Jadi, menjawab pertanyaan Saudara,
seharusnya tidak ada perbedaan independensi antara BI dan OJK. Keduanya
diamanatkan sebagai lembaga yang dalam tugas dan kedudukannya bebas dari campur
tangan pemerintah maupun pihak-pihak lain.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak
juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu,
25 Agustus 2010
Izin Advokat
Dengan
adanya Undang-Undang Advokat apa untung dan ruginya tidak memiliki kartu izin
advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat? khususnya advokat yang
diangkat setelah mengikuti aturan-aturan dalam undang-undang advokat. apakah
dengan tidak adanya izin advokat maka seorang sarjana hukum tidak dapat
melakukan pekerjaan sebagai seorang ahli hukum? Terima kasih banyak atas
penjelasan dari hukumonline. Semoga dapat banyak membantu.
Advokat adalah orang yang berprofesi
memberi jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang telah memenuhi
persyaratan dalam Undang-undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU
Advokat”) (Pasal 1 Angka 1).
Pengertian pekerjaan ahli hukum
sendiri sebenarnya tidak dijelaskan dalam UU Advokat. Namun penafsiran kami,
pekerjaan seorang ahli hukum yang anda maksud tentunya adalah dalam rangka
memberikan konsultasi hukum dan bantuan hukum lainnya.
UU Advokat membatasi pekerjaan
untuk memberikan konsultasi hukum dan bantuan hukum termasuk menjalankan kuasa,
mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum diperuntukan
terbatas hanya untuk profesi advokat (Pasal 1 Angka 2 UU Advokat).
Namun dalam prakteknya untuk
pekerjaan pemberian konsultasi hukum dan bantuan hukum yang tidak terkait
dengan litigasi pengadilan, dapat dilakukan oleh sarjana hukum yang tidak
memegang izin atau lisensi advokat.
Bentuk izin advokat, mengacu
kepada Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 07/SEK/01/I/2007
tertanggal 11 Januari 2007, adalah berupa Kartu Tanda Pengenal Advokat
(KTPA) atas nama Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang diterbitkan oleh
Dewan Pimpinan Nasional PERADI yang menggantikan KTPA yang dikeluarkan oleh
Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebelumnya.
Sebenarnya UU Advokat telah
mengatur soal sanksi pidana terhadap setiap orang yang dengan sengaja
menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-olah sebagai advokat
tetapi bukan advokat, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Advokat. Namun,
selanjutnya ketentuan Pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya No. 006/PUU-II/2004.
Jadi, untung rugi Anda tidak
memiliki izin advokat adalah sebagai berikut:
Keuntungan:
a.
Anda tidak tunduk dalam ketentuan UU Advokat terutama terhadap hal-hal
yang menyangkut kode etik profesi;
b.
Anda tetap dapat memberikan jasa hukum di luar jasa hukum litigasi
pengadilan.
Kerugian:
a.
Anda tidak dapat memberikan jasa hukum secara litigasi yang meliputi
seluruh wilayah negara Republik Indonesia;
b.
Anda tidak memiliki status sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin oleh hukum;
c.
Anda tidak memiliki hak imunitas yang dimiliki oleh profesi advokat.
Demikian penjelasan saya, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Komentar
Posting Komentar