Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Jumat, 29 Juni 2012
Kewenangan Pengawasan Bank Indonesia
Pada tahun 2001 sebuah Bank melelang
jaminan kredit macet. Pemegang saham bank tersebut mengikuti lelang Terbuka dan
menjadi pemenang lelang dengan cara dibayarkan lunas oleh pihak Bank, sehingga
pemegang saham Bank tersebut harus mengangsur kepada Bank (oper kredit). Bank
tidak pernah mengeluarkan surat tagih, sehingga pemegang saham kesulitan dalam
membayarkan angsuran. Pada tahun 2010 Bank Indonesia kemudian meminta kepada
Bank untuk menyelesaikan permasalahan agunan tersebut dengan cara mengizinkan
pemegang saham untuk membayar cicilan dalam surat yang ditandatangani oleh
Deputi Bank Indonesia. Tujuh bulan kemudian, pada tahun 2011, Bank Indonesia kemudian
mengeluarkan keputusan untuk MENGHENTIKAN cicilan tersebut dan menyuruh bank
untuk mengembalikan seluruh cicilan yang sebelumnya sudah diterima melalui
surat yang ditandatangani oleh Deputi Bank Indonesia yang sama. Apakah staf
Bank Indonesia dapat mengeluarkan 2 keputusan yang bertentangan untuk kemudian
HARUS ditaati oleh pemegang saham serta Bank tersebut? Pemiizzegang saham telah
berupaya menyampaikan keluhannya kepada pihak Bank Indonesia namun tidak ada
tanggapan apapun yang diberikan. Mohon bantuan Hukumonline untuk memberikan 1.
kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank? 2. Apakah Bank Indonesia
dapat mengintervensi RUPS suatu bank?
Pada
kasus yang Saudara sampaikan, terdapat dua keputusan yang bertentangan padahal
pelaksanaan dari keputusan yang pertama belum selesai dilaksanakan sehingga
memang dimungkinkan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya. Oleh karena
itu, kami menyarankan agar Saudara tetap melakukan upaya yang lebih aktif
(misalnya, dengan cara menghadap langsung ke pihak Bank Indonesia) untuk
meminta kejelasan.
Menjawab kedua pertanyaan Saudara,
berikut penjelasan kami:
1.
Kewenangan pengawasan Bank Indonesia
terhadap bank diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia. (“UUBI”)
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan
terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. Kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka
pengawasan bank diatur dalam Pasal 23 UUBI, antara lain:
a.
Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan
perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (Pasal 24 ayat (1) UUBI);
b. Bank Indonesia berwenang memberikan dan mencabut izin usaha
Bank; memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank;
memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank; dan memberikan
izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. (Pasal
26 UUBI);
c.
Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk
menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan Bank Indonesia hal ini juga dapat
diberlakukan untuk perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak
terafiliasi dari bank. (Pasal 28 UUBI);
d.
Bank Indonesia dapat memeriksa
keterangan dan data mengenai pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya. Hal ini apabila diperlukan dapat dilakukan terhadap
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
Bank. (Pasal 29 UUBI);
e.
Bank Indonesia dapat menugasi pihak
lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 (Pasal 30 ayat (1) UUBI);
f.
Bank Indonesia dapat memerintahkan
Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi
tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi
patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan(Pasal 31 ayat (1)
UUBI);
g.
Dalam hal keadaan suatu Bank menurut
penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan
dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang
membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan
sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku (Pasal
33 UUBI).
Secara singkat, kami kutip dari laman resmi Bank Indonesia, kewenangan Bank Indonesia untuk mengawasi (right to control), adalah
kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site
supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision).
Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang
bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk
memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk
mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan
kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui
alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil
pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI
dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi
perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur
bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas
pemeriksaan.
Dalam Pasal 34 jo. Pasal 35 UUBI diatur bahwa
pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia selama lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan belum terbentuk.
Sejak tahun 2011 telah disahkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”). Seperti diberitakan Hukumonline, dengan
disahkannya UU OJK, sebagian besar kewenangan Bank Indonesia (BI) akan
dialihkan ke lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lebih jauh simak artikel OJK Reduksi Kewenangan
Bank Indonesia.
Masih dalam artikel yang sama disebutkan bahwa tanggung
jawab pengaturan dan pengawasan dari BI sudah harus beralih ke OJK, setidaknya
pada 31 Desember 2013 atau awal tahun 2014.
2. Mengenai intervensi dari Bank Indonesia, merujuk pada Pasal
3 dan Pasal 6 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank:
Pasal 3
(1) Dalam hal suatu bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat
melakukan tindakan agar:
a. pemegang saham menambah modal;
b. pemegang saham mengganti dewan
komisaris dan atau direksi bank;
c. bank menghapusbukukan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya;
d. bank melakukan merger atau
konsolidasi dengan bank lain;
e. bank dijual kepada pembeli yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f.
bank
menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak
lain;
g. bank menjual sebagian atau seluruh
harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
(2) Apabila:
a. tindakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan
atau
b. menurut penilaian Bank Indonesia
keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank
Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk
segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan
hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
(3) Dalam hal direksi bank tidak
menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan
tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Apabila Rapat Umum Pemegang Saham
tidak dapat diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), atau dapat diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan
pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi, Pimpinan Bank
Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi:
a. pembubaran
badan hukum Bank;
b. penunjukan
Tim Likuidasi;
c. perintah
pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini;
d. perintah
agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi kepada Bank
Indonesia.
|
Dari ketentuan di atas, diketahui bahwa pihak Bank Indonesia
dapat memerintahkan kepada Direksi bank untuk dilakukan RUPS
untuk tujuan pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi. Akan
tetapi, untuk proses acara RUPS itu sendiri Bank Indonesia tidak diatur lebih
spesifik mengenai campur tangan langsung dari BI pada bank yang mengalami
kesulitan.
Jadi, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi
kegiatan usaha bank berdasarkan Pasal 24 sampai Pasal 35 UU BI. Akan
tetapi, kewenangan ini nantinya akan berkurang karena telah dibentuknya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia dapat memerintahkan untuk
diselenggarakannya RUPS bank dalam hal proses likuidasi untuk membubarkan badan
hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 06 Desember 2010
Klaim Asuransi
Pada tanggal 04 Januari 2007 saya
membeli asuransi kapal. Masa berlaku polis tersebut adalah dari tanggal 04
Januari 2007 s/d 03 Januari 2008. Total premi yang harus saya bayar adalah
sebesar 70 juta rupiah. Pembayaran premi diperjanjikan dengan cara 2 kali
angsuran. Angsuran pertama sebesar 40 juta rupiah jatuh tempo pada tanggal 04
Januari 2007 dan angsuran kedua sebesar 30 juta rupiah jatuh tempo pada tanggal
04 Maret 2007. Saya telah melakukan pembayaran angsuran pertama pada tanggal 04
Januari 2007, namun saya tidak melakukan pembayaran angsuran kedua tersebut.
Pada tanggal 01 November 2007 kapal saya tenggelam dikarenakan oleh ombak besar
di perairan sekitar Sumatra. Di dalam polis asuransi terdapat klausula
"KLAUSUL PREMI DITANGGUHKAN & PENUH APABILA TERJADI KERUGIAN"
yang berisi: Apabila premi tidak dibayarkan secara penuh dalam ketentuan kredit
yang diizinkan, maka tanggungan yang disanggupi oleh polis ini dianggap
berakhir pada tengah malam pada tanggal jatuh tempo tersebut. Selanjutnya dipahami
dan disepakati bahwa apabila muncul klaim berdasarkan polis ini yang menurut
Penilai Kerugian Rerata yang ditunjuk, perkiraan jumlah klaim tersebut melebihi
premi angsuran yang dibayarkan pada polis ini, premi angsuran tersebut kemudian
tunggakannya menjadi jatuh tempo dan harus segera dibayarkan. Pertanyaan saya:
Apakah saya tetap bisa mengajukan klaim asuransi saya tersebut dikarenakan saya
tidak melakukan pembayaran angsuran kedua?
Untuk
menjawab pertanyaan anda, sebenarnya perlu untuk melihat secara keseluruhan
polis tersebut, tidak bisa melihat pada satu klausula saja. Untuk itu,
sebaiknya anda bertemu dengan ahli hukum untuk mendiskusikan polis tersebut.
Sementara,
jika melihat hanya pada klausula yang anda sebutkan, menurut pemahaman saya
yang perlu diperhatikan dalam pengakhiran polis asuransi ini adalah klausula “Apabila premi tidak dibayarkan secara
penuh dalam ketentuan kredit yang diizinkan, maka tanggungan yang disanggupi
oleh polis ini dianggap berakhir pada tengah malam pada tanggal jatuh tempo
tersebut”. Dalam hal anda tidak membayar
premi secara penuh, maka tanggungan asuransi tersebut berakhir pada tengah
malam pada tanggal jatuh tempo tersebut. Artinya, setelah tengah malam pada
tanggal jatuh tempo tersebut asuransi anda sudah tidak menanggung resiko
terhadap kapal anda lagi.
Seperti
diuraikan oleh Prof. Dr. H. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U. dalam
bukunya “Aspek-Aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga”, premi
merupakan kewajiban tertanggung untuk membayarnya pada penaggung sebagai
kontra prestasi dari ganti kerugian yang akan penanggung berikan padanya.
Apabila premi tidak dibayar oleh tertanggung pada waktunya, maka penanggung
dapat meminta pengakhiran perjanjian asuransi tersebut. Hal ini sejalan dengan
klausula anda di atas, bahwa jika premi tidak dibayarkan secara penuh, maka
tanggungan polis asuransi tersebut dianggap berakhir.
Dalam
kasus anda, anda mengatakan bahwa anda tidak melakukan pembayaran angsuran
kedua. Ini artinya anda tidak membayar premi asuransi tersebut secara penuh,
dan dengan demikian berlakulah klausula tersebut, dan tanggungan asuransinya
dianggap berakhir. Dengan berakhirnya tanggungan asuransi tersebut, maka tentu
anda sudah tidak bisa mengajukan klaim.
Demikian
yang saya pahami. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 10 September 2001
klaim lingkungan perumahan
Saya membeli rumah dengan
menggunakan fasilitas KPR BTN. Yang menjadi persoalan persis didepan Blok kami
terdapat gundukan sampah yang sangat menggangu kami. Sementara tempat itu bukan
untuk tempat pembuangan sampah. Pertanyaanya : siapakah yang harus bertanggung
jawab atas masalah ini apakah depelover atau fihak bank? Kemudian bagaimana
cara kita untuk mengklaim menurut hukum?
Terlepas
dari fungsi tempat di mana gundukan sampah itu berada, masalah yang anda alami
pada dasarnya dari segi tata kelola lingkungan kompleks perumahan adalah
tanggung jawab developer. Namun masyarakat sekitar (bersama-sama dengan
wakil-wakil developer) dapat menyelesaikan gangguan tersebut dengan cara musyawarah dan gotong royong dalam
rangka menjaga lingkungan sendiri agar tetap bersih. Usaha-usaha tersebut
sebaiknya dipimpin oleh Ketua RT atau RW.
Dalam
pelaksanaannya, anggota masyarakat di sekitar gundukan sampah tersebut dapat
menyisihkan uang mereka masing-masing untuk memperkerjakan orang-orang setempat
untuk bertanggung jawab mengurus masalah sampah tersebut. Tentunya pengurusan
tersebut jangan menimbulkan hal yang sama di tempat lain.
Bagaimana
hukum melihat persoalan gundukan sampah di atas? Hal itu dapat dilihat dari
berbagai sisi antara lain sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Dari
sisi perjanjian fasilitas KPR BTN anda, pihak bank adalah kreditur anda bukan
kreditur developer. Jadi seharusnya bank lebih perhatian kepada kemampuan anda
dalam membayar jumlah-jumlah yang wajib dibayar kepadanya daripada memberikan
perhatian kepada kinerja/tanggung jawab developer.
Dari
sisi kreditur(-kreditur) developer, biasanya dalam perjanjian fasilitas
pinjaman terdapat klausula pemenuhan dan senantiasa tunduk pada hukum dan
peraturan yang berlaku dalam menjalankan perusahaan dan usahanya agar tidak menggangu
secara material keberadaan dan jalannya perusahaan dan atau kekayaan (termasuk
bisnisnya). Dengan demikian, bank harus memperhatikan apakah unsur mengganggu
secara material tersebut telah terpenuhi benar-benar. Dapat saja bila masalah
gundukan sampah bila memang telah melanggar ketentuan hukum yang berlaku dan
telah memenuhi unsur mengganggu secara material, maka akibat hukum tertentu
atas pelanggaran klausula itu dapat diberlakukan kepada developer. Biasanya
developer disyaratkan untuk memperbaiki keadaan yang mengganggu secara material
tersebut atas tanggungan atau biaya sendiri.
Dari sisi developer sendiri, pada
dasarnya developer harus melihat persoalan di atas atas dasar kepentingan
bisnisnya. Adanya kondisi lingkungan yang kurang sehat dipandang itu kurangnya
perhatian terhadap bisnisnya sendiri. Dia bisa menjadikan tempat yang sudah ada
itu diperbaiki untuk difungsikan menjadi tempat sampah yang bagus atau dia
dapat merelokasikannya ke tempat lain yang lebih pantas untuk dijadikan tempat
sampah yang bagus.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 16 Maret 2012
Klausul-klausul Penting dalam
Perjanjian Franchise (Waralaba)
Saya berencana menjalin kontrak
(perjanjian) pembelian usaha franchise sebuah rental VCD/DVD selama 5 tahun. Di
dalam salah satu klausul kontrak franchise disebutkan “apabila terjadi
penghentian/pemutusan kontrak franchise, maka saya sebagai franchisee dilarang
membuka usaha sejenis (rental VCD/DVD) sendiri selama 5 tahun terhitung sejak
kontrak franchise tersebut berakhir.” Apakah klausul larangan ini masuk akal,
terlebih penting tidak melanggar prinsip-prinsip hukum perjanjian yang ada?
Terima kasih.
Asas
perjanjian yang tersirat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
yaitu asas kebebasan berkontrak. Pasal tersebut menyatakan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Sampai dengan batas tertentu, ketentuan dalam perjanjian yang
disepakati oleh para pihak harus dihormati. Di Indonesia meskipun tidak
dirumuskan secara eksplisit mengenai pembatasan tersebut, namun dalam ketentuan
Pasal 1337 KUHPerdata, terdapat pembatasan bahwa setiap perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan peraturan, kesusilaan dan ketertiban umum. Secara
khusus dalam peraturan tertentu yang melarang setiap perbuatan hukum atau
peristiwa hukum yang menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum.
Sehubungan
dengan syarat sahnya perjanjian waralaba antara pemberi waralaba (franchisor)
dengan penerima waralaba (franchisee), harus memenuhi ketentuan dalam Pasal
1320 KUHPerdata sebagai berikut:
-
Adanya kesepakatan (isi atau klausul
perjanjian);
-
Umur para pihak sudah mencapai 18
tahun atau sudah pernah melakukan perkawinan (cakap atau dewasa menurut hukum);
-
Mengenai hal tertentu, dalam hal ini
mengenai waralaba;
-
Suatu causa yang halal, tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Pengertian
Waralaba yaitu hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan
barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba (Pasal 1
butir 1 Permendag 31/2008).
Berdasarkan
pengertian tersebut, hal yang perlu dipahami terkait dengan pemberian lisensi
dalam waralaba adalah kerahasiaan atas seluruh data, keterangan dan
informasi yang diperoleh oleh penerima waralaba dari pemberi waralaba. Umumnya,
lisensi merupakan rangkaian independen dan sulit dipisahkan. Untuk melindungi
rangkaian inilah maka kemudian dilakukan pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual
(HKI) dan selanjutnya pemberi waralaba mewajibkan penerima waralaba untuk
merahasiakannya.
(i)
nama dan alamat para pihak;
(ii)
jenis Hak Kekayaan Intelektual;
(iii) kegiatan usaha;
(iv) hak dan kewajiban para pihak;
(v)
bantuan, fasilitas, bimbingan
operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada
Penerima Waralaba;
(vi) wilayah usaha;
(vii) jangka
waktu perjanjian;
(viii) tata
cara pembayaran imbalan;
(ix) kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
(x)
penyelesaian sengketa; dan
(xi) tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan
perjanjian.
Ingat,
pemberi waralaba merasa memiliki andil besar dalam sistem waralaba yang telah
dikembangkannya karena dianggap berhasil dan oleh karenanya telah didaftarkan
dan memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (“STPW”).
Lalu
bagaimana pemegang STPW ini melindungi haknya, dan kenapa harus dirahasiakan?
Kerahasiaan tersebut semata-mata ditujukan untuk melindungi bisnis yang
dimiliki pemberi waralaba dari “pencurian” oleh penerima waralaba. Walaupun
dalam praktiknya jamak kali dilakukan pengembangan-pengembangan atas “rahasia”
bisnis tersebut melalui cara ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) yang kemudian sudah
menjadi sistem waralaba baru yang independen.
Merujuk
lagi pada kerahasiaan dan upaya untuk melindunginya, maka sering diatur
ketentuan non-kompetisi (non-competition clause). Jika dalam ketentuan
kerahasiaan penerima waralaba hanya diwajibkan untuk merahasiakan data dan
informasi sistem waralaba, dalam ketentuan non-kompetisi ini penerima waralaba
tidak diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan yang sama, serupa, mirip,
ataupun yang langsung atau secara tidak langsung akan berkompetisi dalam kaitan
pemberian lisensi waralaba tersebut dalam jangka waktu tertentu. Baik dengan
menggunakan atau tidak mempergunakan satu atau bahkan lebih informasi yang
dimiliki oleh penerima waralaba.
Pembatasan
non-kompetisi ini dalam banyak hal ditindaklanjuti dengan larangan melakukan
kegiatan yang serupa dengan waralaba setelah pengakhiran perjanjian waralaba.
Yang
menjadi pertanyaan, apakah larangan atau pembatasan ini bertentangan dengan
peraturan dan ketertiban umum yang dimaksud dalam Pasal 1337 KUHPerdata?
Jawabnya, tidak.
Sejauh
ini ketentuan mengenai pencantuman non-kompetisi tidak dilarang, baik dalam
norma yang hidup di masyarakat (tidak tertulis) maupun peraturan
perundang-undangan (bersifat tertulis). Oleh karena itu, sepanjang ketentuan
non-kompetisi tersebut disepakati oleh para pihak dalam perjanjian waralaba,
maka ketentuan tersebut sah dan berlaku mengikat para pihak.
Demikian
penjelasan kami semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/8/2008
tentang Penyelenggaraan Waralaba.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 16 Pebruari 2010
Pertanyaan:
Komposisi modal untuk SIUP menengah
Jika saya ingin membuka usaha
perdagangan yang bisa untuk ekspor maupun impor, sebaiknya menggunakan SIUP
kelas menengah. Untuk itu, bagaimana komposisi permodalannya (modal dasar dan
modal ditempatkan serta modal disetor)? Terima kasih.
Pasal
3 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor:
46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan RI
Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan
menentukan bahwa SIUP Menengah wajib dimiliki oleh perusahaan perdagangan yang
kekayaan bersihnya lebih dari Rp500 juta sampai dengan paling banyak Rp10
milyar, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Kekayaan
bersih adalah hasil pengurangan total nilai kekayaan usaha (aset) dengan total
nilai kewajiban, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha (pasal 2A
Permendagri Nomor 46/M-DAG/PER/9/2009). Untuk PT yang baru akan berdiri,
kekayaan bersih tercermin dari Modal Disetor dan Modal Ditempatkan.
Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 menentukan besarnya Modal Disetor adalah sama dengan besarnya
Modal Ditempatkan. Sehingga, untuk Modal Disetor dan Modal Ditempatkan pada PT
baru yang hendak memiliki SIUP Menengah, adalah sebesar Rp500 juta sampai
dengan Rp10 milyar. Untuk itu, Modal Dasar besarnya proporsional dengan
besarnya Modal Disetor dan Modal Ditempatkan. Pasal 33 ayat (1) UU No. 40 Tahun
2007 menentukan bahwa minimal 25% dari Modal Dasar harus ditempatkan dan
disetor penuh. Sehingga, besar Modal Dasar dihitung secara proporsional dari
besarnya Modal Disetor dan Modal Ditempatkan, yaitu antara Rp2 milyar sampai
dengan Rp40 milyar rupiah.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
- Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 46/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan
- Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kotamadya setempat, khusus DKI Jakarta Peraturan Daerah Provinsi
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 18 Mei 2010
Komposisi Penyertaan Saham Asing
Bagaimana komposisi penyertaan saham
asing (WNA/Badan Hukum Asing) pada perusahaan yang sudah berdiri sebelumnya di
mana pemegang saham sebelumnya adalah WNI dan Badan Hukum non Asing/Indonesia
(Perusahaan PMDN). Perlu diketahui juga bahwa perusahaan bergerak pada bidang
perkebunan sawit. Begitu juga bagaimana status anak perusahaan PMA dan
komposisi saham anak perusahaan PMA? Dalam hal ini, saya mohon atas dasar
hukumnya.
Untuk
batasan penyertaan saham asing di Indonesia, harus dilihat berdasarkan bidang
usahanya, sebagaimana diatur dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang
dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang
Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres No.
111 Tahun 2007).
Dalam
Lampiran II Perpres No. 111 Tahun 2007 disebutkan,perkebunan kelapa
sawit di atas 25Ha dan/atau di atas kapasitas tertentu sesuai Permentan No.
26 Tahun 2007 dan/atau perubahannya, dibuka untuk penanaman modal asing
sampai sebesar 95%. Jadi, untuk PT yang hendak berusaha di bidang perkebunan
kelapa sawit, penyertaan modal asing diizinkan, dengan batasan maksimal 95%.
Apabila
PT PMA tersebut akan mendirikan PT baru sebagai anak perusahaannya, maka PT
baru tersebut menjadi PT PMA juga. Hal ini karena dalam pasal 1 ayat (8) UU No.
25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur bahwa,
“Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh negara
asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing,
dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki
oleh pihak asing.”
Merujuk
pada definisi modal asing di atas, maka penyertaan modal di suatu PT oleh PT
PMA dianggap sebagai penanaman modal asing juga. Oleh karena itu, besaran
penyertaan modal yang diperbolehkan juga tunduk pada Perpres No. 111 Tahun 2007.
Sayang sekali Anda tidak menyebutkan bidang usaha anak perusahaan tersebut,
sehingga kami tidak dapat menentukan berapa batasan penyertaan modal asing yang
diperbolehkan. Silakan Anda cek di Perpres No. 111 Tahun 2007 tersebut, apakah
bidang usaha anak perusahaan tersebut terbuka untuk penanaman modal asing, dan
berapa batasan penyertaan modal asing yang diperbolehkan.
Demikian sejauh yang kami tahu.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
- Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
- Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 03 September 2009
Kontrak Trading Future
Hukum kontrak sudah berkembang.
Terkait itu, apakah ketentuan-ketentuan dalam jual beli dalam KUHPerdata (BW)
masih relevan untuk kontrak trading future?
Sebelum menjawab pertanyaan Bapak
Endromartono, kami akan jelaskan terlebih dahulu pengertian tentang kontrak trading
future atau Perdagangan Berjangka Komoditi menurut UU No. 32 Tahun 1997
tentang Perdagangan Berjangka Komoditi:
- Definisi dari Perdagangan Berjangka Komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli Komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak berjangka dan opsi atas Kontrak Berjangka (pasal 1 angka 1).
- Definisi dari Kontrak Berjangka adalah suatu bentuk kontrak standar untuk membeli atau menjual komoditi dalam jumlah, mutu, jenis, tempat, dan waktu penyerahan di kemudian hari yang telah ditetapkan dan termasuk dalam pengertian Kontrak Berjangka ini adalah Opsi atau Kontrak Berjangka (pasal 1 angka 4).
- Definisi dari Opsi atau Kontrak Berjangka adalah suatu kontrak yang memberikan hak kepada pembeli untuk membeli atau menjual Kontrak Berjangka atas Komoditi tertentu pada tingkat harga, jumlah, dan jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan terlebih dahulu dengan membayar sejumlah premi (pasal 1 angka 5).
Di samping Kontrak Berjangka
Komoditi, ada yang dinamakan dengan Kontrak Berjangka Indeks yang diatur dalam
SK Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) No.
55/BAPPEBTI/KP/I/2005 tentang Sistem Perdagangan Alternatif jo. SK Kepala
Bappebti No. 58/BAPPEBTI/Per/I/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala
Bappebti No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005 tentang Sistem Perdagangan Alternatif.
Dalam SK tersebut yang
diperdagangkan adalah Indeks dan Forex atau valuta asing. Jika
dihubungkan dengan hukum kontrak kita berdasarkan pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang berbunyi, "semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya", maka
perjanjian yang dibuat para pihak masih berlaku dan masih relevan sepanjang ada
barang/benda yang diperdagangkan.
Pasal 1457 KUHPerdata menyatakan
bahwa "jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan".
Di dalam perdagangan berjangka komoditi masih ada pembayaran dan penyerahan barang. Dengan demikian bagi Kontrak Perdagangan Berjangka Komoditi, hukum kontrak jual beli masih relevan dan masih berlaku karena syarat pembayaran dan penyerahan barang masih dilakukan.
Di dalam perdagangan berjangka komoditi masih ada pembayaran dan penyerahan barang. Dengan demikian bagi Kontrak Perdagangan Berjangka Komoditi, hukum kontrak jual beli masih relevan dan masih berlaku karena syarat pembayaran dan penyerahan barang masih dilakukan.
Lalu, bagaimana dengan perdagangan
berjangka indeks? Apakah perdagangan berjangka indeks relevan dengan pasal 1457
KUHPerdata? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu menyimak definisi dari
Sistem Perdagangan Alternatif dan Penyelenggara Sistem Perdagangan Alternatif:
- Sistem Perdagangan Alternatif adalah sistem perdagangan yang berkaitan dengan jual beli kontrak derivatif yang dilakukan secara bilateral dengan penarikan margin (Pasal 1 huruf a SK Kepala Bappebti No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005).
- Penyelenggara Sistem Perdagangan Alternatif adalah pedagang berjangka yang melakukan kegiatan jual beli kontrak derivatif untuk dan atas nama sendiri dalam Sistem Perdagangan Alternatif (pasal 1 huruf b SK Kepala Bappebti No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005).
Merujuk pada ketentuan pasal 1 huruf
a dan huruf b SK Kepala Bappebti No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005 di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam perdagangan berjangka indeks tidak ada benda yang
diserahkan dari penjual kepada pembeli. Dengan demikian, pasal 1457
KUHPerdata, pasal 1458 KUHPerdata, dan pasal 1459 KUHPerdata tidak lagi relevan
untuk diterapkan dalam Sistem Perdagangan Alternatif.
Peraturan perundang-undangan terkait:
- KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
- UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
- SK Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005 tentang Sistem Perdagangan Alternatif.
- SK Kepala Bappebti No. 58/BAPPEBTI/Per/I/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Bappebti No. 55/BAPPEBTI/KP/I/2005.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 07 Juni 2005
Konvensi Wina 1969 Induk Pengaturan
Perjanjian Internasional?
mohon penjelasan sejelas-jelasnya
mengenai pernyataan bahwa konvensi wina 1969 sebagai induk pengaturan
perjanjian internasional dan mohon referensi yang bagus mengenai hal tersebut..
Vienna
Convention on the Law of Treaties 1969 (Vienna Convention 1969) mengatur
mengenai Perjanjian Internasional Publik antar Negara sebagai subjek utama
hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification
pada tahun 1969 dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum
adanya Vienna Convention 1969 perjanjian antar negara, baik bilateral maupun
multilateral, diselenggarakan semata-mata berdasarkan asas-asas seperti, good
faith, pacta sunt servanda dan perjanjian tersebut terbentuk atas consent
dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna Convention
1969 Perjanjian Internasional antar Negara diatur berdasarkan kebiasaan
internasional yang berbasis pada praktek Negara dan keputusan-keputusan
Mahkamah Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah
tidak ada lagi) maupun pendapat-pendapat para ahli hukum internasional (sebagai
perwujudan dari opinion juris).
Vienna
Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian internasional karena konvensi
inilah yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (code of conduct yang
mengikat) mengenai perjanjian internasional. Melalui konvensi ini semua
ketentuan mengenai perjanjian internasional diatur, mulai dari ratifikasi,
reservasi hingga pengunduran diri Negara dari suatu perjanjian internasional
(seperti yang dilakukan AS, mengundurkan diri dari Vienna Convention 1969 pada
tahun 2002 lalu). Dengan adanya konvensi ini, perjanjian internasional antar
Negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu
perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara
anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsen dari seluruh Negara
anggota Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang
dapat berubah apabila ada tren internasional baru.
Maka
Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian internasional
karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan
perjanjian internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan
dalam konvensi ini merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional
selama ini yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini
Vienna Convention 1969 telah dianggap sebagai kebiasaan internasional yang
mengikat bahkan Negara yang tidak menjadi pesertanya. Untuk referensi mengenai
Vienna Convention 1969 ini lebih jelasnya dapat dilihat dari general comment
dan traveaux preparatoir dari konvensi ini maupun dari buku-buku
karangan T.O. Elias dan I.M. Sinclair mengenai Law of Teaties.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar