Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Rabu, 30 Juni 2010
Rahasia
Bank Kasus Bank Century
Data nasabah penyimpan dalam kasus
Century kenapa bisa di-ekspose oleh media masa? Kemudian di Bank Mutiara (dulu
Century) Cabang Denpasar, kenapa DPR bisa memaksa untuk meminta data nasabah
penyimpan tanpa melalu prosedur, padahal sesuai UU Perbankan data nasabah
penyimpan merupakan rahasia bank?
Pasal
1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (“UU Perbankan”) menyatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang
dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Selanjutnya
dalam pasal 40 ayat (1) UU Perbankan disebutkan bahwa Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi,
Bank wajib merahasiakan data simpanan dan nasabah penyimpannya.
Pengecualian terhadap kewajiban
rahasia bank ini adalah:
1) Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas
permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada
bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta
surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat
pajak (Pasal 41 ayat 1 UU Perbankan)
2) Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan
izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah debitur (Pasal
41A UU Perbankan)
3) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat
memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan
dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42 UU
Perbankan)
4) Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan
dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang
bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara
tersebut. (Pasal 43 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)
5) Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan
keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain (Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan
6) Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah
penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah
penyimpan tersebut. (Pasal 44A ayat 1 UU Perbankan)
7) Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah
penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan
nasabah penyimpan tersebut (pasal 44A ayat 2 UU Perbankan)
Selain itu
ada pengecualian dalam pasal 14 UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, yang menyebutkan:
“Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan
yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank”
Jadi, data
nasabah penyimpan di Bank Century merupakan rahasia bank, yang wajib
dirahasiakan.
Mengenai
mengapa data nasabah penyimpan Bank Century, yang merupakan rahasia bank, dapat
diekspos oleh media massa, maka kita harus melihat pada pasal 4 ayat (3) UU
No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai
hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi”
Media
massa sebagai pers dapat mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari
pejabat, ataupun sumber-sumber lainnya.
Mengenai
DPR yang meminta data nasabah penyimpan ke Bank Mutiara, seharusnya memang
tidak boleh dilakukan. Seperti telah dibahas di atas, data nasabah penyimpan
termasuk dalam rahasia bank, yang wajib dirahasiakan.
Memang
dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket
Dewan Perwakilan Rakyat (“UU Hak Angket”), dalam hal Panitia Angket DPR,
semua warga negara Republik Indonesia dan semua penduduk serta orang-orang lain
yang berada dalam wilayah Republik Indonesia diwajibkan memenuhi
panggilan-panggilan Panitia Angket, dan wajib pula menjawab semua
pertanyaan-pertanyaannya dan memberikan keterangan-keterangan selengkapnya.
Akan
tetapi, dalam pasal 22 ayat (1) UU Hak Angket, diatur bahwa ada
orang-orang yang diperbolehkan untuk menolak memberikan keterangan.
“Mereka yang karena kedudukannya, karena pekerjaannya
ataupun karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat membebaskan diri
dari memberikan penyaksian, akan tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal yang
dipercayakan kepadanya sebagai rahasia dalam kedudukan, pekerjaan atau jabatan
tersebut”
Oleh
karena itu, merujuk pada pasal 22 ayat (1) UU Hak Angket di atas
pejabat-pejabat Bank Mutiara dapat menolak untuk memberikan data nasabah
penyimpan yang termasuk rahasia bank tersebut.
Demikian hemat kami. Semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-UndangNo. 6 Tahun 1954
tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3. Undang-UndangNo. 40 Tahun 1999
tentang Pers
4. Undang-UndangNo. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 28 September 2010
REITs
Saya memiliki beberapa pertanyaan berkaitan
dengan penerbitan REITs atau Dana Investasi Real Estate di Indonesia. 1. Apakah
peraturan mengenai DIRE KIK yang dikeluarkan Bapepam-LK beberapa waktu yang
lalu sudah cukup memadai untuk dijadikan dasar hukum penerbitan REITs di
Indonesia? 2. Apakah bentuk KIK yang diterapkan pada DIRE sudah tepat mengingat
pada dasarnya REITs itu memiliki konsep yang berbeda dengan reksadana? 3.
Apakah DIRE KIK menggunakan mekanisme transaksi yang sama dengan Reksadana?
Lalu apakah mekanisme tersebut telah memberikan perlindungan yang cukup kepada
investor? Terima kasih atas perhatian dan bantuannya.
1. Mengenai Real Estate Investment Trust (REITs) atau di
Indonesia disebut Dana Investasi Real Estate (“DIRE”), Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan (“Bapepam-LK”) telah mengeluarkan beberapa
peraturan:
1) Peraturan No IX.C.15 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam
Rangka Penawaran Umum oleh Dana Investasi Real Estate Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
2) Peraturan No IX.C.16 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi
Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estate
3) Peraturan No IX.M.1 tentang Pedoman Bagi Manager
Investasi dan Bank Kustodian yang Melakukan Pengelolaan Dana
Investasi Real Estate
4) Peraturan No IX.M.2 tentang Pedoman Kontrak Investasi
Kolektif Dana Investasi Real Estate
Jadi, sebenarnya sudah cukup banyak
peraturan Bapepam-LK yang mengatur mengenai DIRE ini. Akan tetapi, sampai
sekarang (September 2010) belum ada perusahaan yang menerbitkan produk
investasi berbentuk DIRE di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan belum
adanya insentif perpajakan untuk investor dan DIRE tersebut. Padahal, dalam
sejarahnya di negara-negara lain seperti misalnya Amerika Serikat, Australia,
Hong Kong, Jepang, dan Singapura, DIRE mendapatkan perlakuan khusus perpajakan.
Beberapa negara malah membebaskan pajak penghasilan untuk instrumen DIRE.
2. Kontrak Investasi Kolektiof (“KIK”) tidak hanya dipakai
untuk reksadana. Instrumen Efek Beragun Aset (“EBA”) juga menggunakan KIK,
yaitu yang disebut sebagai KIK-EBA (Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset). Jadi, tidak hanya reksadana saja yang bisa menggunakan bentuk KIK.
3. Pada dasarnya, mekanisme transaksi pada reksadana dan DIRE
hampir sama. Ada manajer investasi yang mengelola dana, dan keuntungan yang
dibagikan pada investornya. Yang membedakan adalah underlying asset-nya.
Pada DIRE, underlying asset-nya adalah properti. Dana investor yang
telah dikumpulkan oleh perusahaan investasi akan diinvestasikan ke bentuk aset
properti baik secara langsung seperti membeli gedung maupun tidak langsung
dengan membeli saham/obligasi perusahaan properti
Selanjutnya tentang DIRE dapat Anda
baca dalam artikel-artikel berikut:
Demikian penjelasan kami, semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 03 Juli 2012
Reksadana
Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas
Terkait dengan Reksa dana Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, apakah reksa dana ini berbeda dengan
reksadana konvensional? Lalu mengapa periode penghitungan reksadana ini
dilakukan 3 bulan sekali? Kemudian bagaimana perlindungan terhadap Investor
jika sektor riil yang mendapat pembiayaan melalui reksadana ini gagal bayar?
1. Pengertian Reksa Dana
berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU No. 8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) adalah wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam
Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Lebih jauh simak artikel Bolehkah Pembelian Reksa Dana Secara ‘Back
Date’?
Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU
Pasar Modal, Reksa Dana dapat berbentuk Perseroan atau
Kontrak Investasi Kolektif. Terkait dengan yang Saudara tanyakan
yaitu mengenai Reksadana Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, dalam
penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa kontrak investasi kolektif adalah
kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit
Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio
investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan
Penitipan Kolektif. Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif menghimpun
dana dengan menerbitkan Unit Penyertaan kepada masyarakat pemodal dan
selanjutnya dana tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang
diperdagangkan di Pasar Modal dan di pasar uang.
Lebih spesifik lagi mengenai Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas ini juga diatur
dalam Peraturan No. IV.C.5 - Keputusan Ketua Bapepam-LK
No. KEP-43/BL/2008 Tahun 2008 (“Peraturan No. IV.C.5”) yang menjelaskan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas adalah wadah yang
digunakan untuk menghimpun dana dari Pemodal Profesional yang selanjutnya
diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada portofolio Efek.
Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dan Reksa Dana Konvensional memang
memiliki beberapa perbedaan, antara lain:
1. Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan
Terbatas, unit penyertaan hanya boleh ditawarkan kepada Pemodal Profesional
serta pemegang unit penyertaan tidak boleh dimiliki oleh 50 orang atau lebih (Peraturan
No. IV.C.5 Angka 2). Sedangkan dalam Reksa Dana Konvensional, unit
penyertaan ditawarkan kepada masyarakat pemodal secara umum (Pasal 1 angka
27 UU Pasar Modal) dan tidak ada ketentuan yang membatasi jumlah pemegang
unit penyertaannya.
2. Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas, seorang Manajer Investasi wajib memiliki
sekurang-kurangnya 1 unit penyertaan dari Reksa Dana yang ia kelola tersebut (Peraturan
No. IV.C.5 Angka 5 huruf c). Sedangkan dalam Reksa Dana Konvensional,
Manajer Investasi hanya mengelola portofolio efek untuk kepentingan nasabahnya
(Pasal 1 angka 11 UU Pasar Modal).
3. Unit penyertaan dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas wajib disimpan pada Lembaga Penyimpanan dan
Penyelesaian (Peraturan No. IV.C.5 Angka 7). Sedangkan dalam Reksa Dana
Konvensional, penyimpanan unit penyertaan diselenggarakan oleh Kustodian yaitu
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, atau Bank Umum yang
telah mendapat persetujuan Bapepam (Pasal 43 ayat (1) UU Pasar Modal). Biasanya
yang digunakan adalah Bank Umum (Bank Kustodian).
4. Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas ini, ketentuan yang mengatur diversifikasi komposisi
portofolio di pasar uang dan pasar modal untuk Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif tidak berlaku (Peraturan No. IV.C.5 Angka 10).
Jadi, Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas memang memiliki perbedaan dengan Reksa
Dana Konvensional.
2. Menurut Luthfi Zain Fuady
dari Biro Hukum Bapepam-LK,Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas ini memang dirancang untuk digunakan dalam pembiayaan
proyek sektor riil, contohnya membangun jalan tol. Apabila harus dilakukan
perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) setiap hari, maka akan kesulitan karena
selain pihak penerima dana proyek tidak terdaftar pada bursa efek (yang nilai
perdagangannya tercatat setiap hari), perhitungan NAB juga akan bergantung dari
pelaksanaan (performance) dan laporan keuangan pihak penerima dana
investasi. Untuk memudahkan perhitungan itu maka akhirnya ditentukan agar
dilakukan setiap 3 bulan.
Memang di bursa efek pun ada
perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor riil, tetapi transaksi di bursa
efek dananya hanya berpindah antar investor dan bukan diterima langsung oleh
perusahaan sektor riil.
3. Jika terjadi gagal bayar
pada sektor riil yang dibiayai, berarti pemegang unit penyertaan ingin menarik
dana investasinya. Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas tidak berlaku ketentuan pembelian kembali atas saham atau
unit penyertaan sebagaimana dalam Reksa Dana Konvensional bila investor ingin
keluar dari Reksa Dana.
Untuk Reksa Dana Perseroan terbuka,
pembelian kembali saham dilakukan oleh Bank Kustodian atau agen penjual yang
ditunjuk oleh Manajer Investasi (Peraturan IV.A.3 - Keputusan Ketua Bapepam
No.Kep-13/PM/2002 Angka 17). Sedangkan untuk Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, pembelian kembali unit penyertaan dilakukan oleh Manajer
Investasi melalui Agen Penjual Efek Reksa Dana yang ditunjuknya (Peraturan
No. IV.B.1 - Keputusan Bapepam-LK No. KEP-552/BL/2010 Tahun 2010 Angka 2).
Pada Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, berdasarkan Peraturan No. IV.C.5 Angka
9, penarikan kembali dana investasi dengan cara membeli kembali (pelunasan)
Unit Penyertaan Reksa Dana tidak berlaku bagi Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam peraturan
ini. Satu-satunya cara untuk menarik dana investasi adalah dengan pembubaran
Reksa Dana. Pembubaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas hanya dapat dilakukan dengan alasan:
a. diperintahkan oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal; atau
b. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk
membubarkan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas
dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemegang Unit Penyertaan.
Pembubaran Reksa Dana karena sektor
riil yang dibiayai gagal bayar, akan menggunakan alasan pembubaran yang disebut
pada huruf b. Maka Manajer Investasi wajib (Peraturan No. IV.C.5 Angka 25):
a. menyampaikan kepada Bapepam dan LK
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya
kesepakatan pembubaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan
melampirkan:
1) kesepakatan pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Berbentuk
KontrakInvestasi Kolektif Penyertaan Terbatas antara Manajer Investasi dan Bank
Kustodian;
2) persetujuan pemegang Unit
Penyertaan;
3) alasan pembubaran; dan
4) kondisi keuangan terakhir;
dan pada hari yang sama menyampaikan
rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas kepada para pemegang
Unit Penyertaan serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian
untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas;
b. menginstruksikan kepada Bank
Kustodian untuk membayarkan aset likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit
Penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional
dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan aset
likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan; dan
c. menyampaikan laporan hasil pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) bulan
sejak dibubarkan dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum dan Akuntan
yang terdaftar di Bapepam dan LK, serta Akta Pembubaran dan Likuidasi Reksa
Dana dari Notaris yang terdaftar di Bapepam dan LK.
Jadi,
perlindungan terhadap investor pada Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas apabila terjadi gagal bayar, dapat dilakukan
pembubaran Reksa Dana dengan persetujuan seluruh pemegang unit penyertaan serta
Manajer Investasi dan Kustodian. Investor akan menerima hasil likuidasi Reksa
Dana sesuai Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi dilakukan.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan IV.A.3 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
3. Peraturan No. IV.C.5 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-43/BL/2008 Tahun 2008 tentang Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas;
4. Peraturan Nomor IV.B.1 - Keputusan Badan Pengawas Pasar
Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-552/BL/2010 Tahun 2010 tentang Pedoman Kontrak
Reksa Dana Berbentuk Kontrak investasi kolektif.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 12 Desember 2011
Sanksi
Hukum Penggunaan Kawasan Hutan Tanpa Izin
Pengasuh yang terhormat, nama saya
Aji, saya mau menanyakan apa akibatnya bagi perusahaan tambang yang melakukan
kegiatannya menggunakan area hutan tetapi tidak memiliki izin menggunakan area
tersebut? Apakah bisa menggunakan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara?
Jawaban:
1. Penggunaan Kawasan Hutan untuk
Kegiatan Pertambangan
Sesuai
dengan Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), kegiatan
usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk
melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih
tegas, Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”) mengatur
bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui
pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri
Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka
waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
2. Sanksi terhadap kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH
a. Sanksi Pidana
Pelanggaran
terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH
akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU
Kehutanan.
b. Sanksi Administratif
Tunduk terhadap ketentuan kewajiban
pemenuhan IPPKH dalam kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, maka sesuai
dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) atau
Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat dicabut oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena
alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam
IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.
Demikian
kami sampaikan jawaban dari kami sebagai informasi umum sehubungan dengan kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan. Jawaban ini tidak ditujukan sebagai sebuah
pendapat hukum.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 30 Mei 2005
Sengketa
tanah
1. Bagaimana dalam penyelesaian
sengketa tanah korban menang dan si pelaku minta ganti rugi karena diatas tanah
sudah ditanami karet sebanyak 200 batang sedangkan korban adalah orang tidak
mampu / miskin ? 2. Bagaimana tanggung jawab BPN yang membuat sertifikat ganda
/ tumpang tindih ? 3. Mengapa sengketa tanah dalam penyelesaiaannya selalu
memakan waktu bertahun - tahun dan memakan biaya yang banyak ?
1.
Jika
dalam suatu sengketa tanah, penggugat (korban) dimenangkan dan tergugat lalu
meminta ganti rugi atas suatu barang atau aset lain yang terlanjur dibangun
atau ditanam oleh Tergugat di area tanah sengketa maka hal-hal yang harus
diperhatikan ialah : 1) jika putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka tanah
tersebut telah resmi milik Penggugat. 2) jika amar putusan tidak menyinggung
masalah barang atau aset yang terletak diatas tanah sengketa, maka aset
tersebut tetap milik Tergugat dan kedua belah pihak bisa memusyawarahkannya.
Misalkan dengan membuat solusi yakni membagi keuntungan atas hasil perkebunan
tersebut dengan mempertimbangkan bahwa secara hukum tanah tersebut milik
Penggugat dan Tanaman tersebut ditanam oleh Tergugat. Hal ini sesuai asas
pemisahan horizontal dalam sistem hukum pertanahan Indonesia.
2.
BPN
harus bertanggung jawab atas tumpang tindihnya sertifikat. Secara prosedural
BPN berkewajiban untuk melakukan penelitian ketika diketahui terdapat masalah/
tumpang tindih dalam penerbitan sertifikat. Beberapa hal yang diteliti oleh BPN
diantaranya ialah data fisik dan data yuridis yang dalam pelaksanaannya
biasanya dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk BPN. Setelah semua
penelitian dilakukan, maka BPN berkewajiban untuk membatalkan salah satunya dan
mengumumkannya kepada publik.
3.
Semestinya
sengketa tanah bisa diputuskan dengan cepat, hal ini karena : 1) BPN sendiri
memiliki badan dan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tanah. Akan tetapi
dalam prakteknya seringkali masalah prosedur penyelesaiannya yang dipersulit.
2) terdapatnya mekanisme musyawah dalam penyelesaian kasus sebelum berlanjut ke
pengadilan. Akan tetapi dalam prakteknya para pihak seringkali mengabaikan
proses tersebut.
Akan tetapi, proses perdata di
Pengadilan dari Pengadilan negeri sampai dengan Mahkamah Agung memang memakan
waktu yang cukup lama, bukan karena jenis kasusnya yang berupa sengketa tanah,
melainkan karena banyaknya kasus yang menumpuk di Pengadilan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 27 Agustus 2010
Seputar Profesi
Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer)
Di dalam suatu Firma Hukum, sering
kita temui istilah Senior Lawyer, Associate Lawyer, Junior Lawyer. Mohon dapat
dijelaskan mengenai istilah tersebut, berikut tanggung jawabnya? Lalu, apa
perbedaan Partner dan Associates di dalam suatu Firma Hukum? Contoh; Firma
Hukum ........ & Partners/Firma Hukum ........ & Associates. Terima
Kasih atas kesediaannya menjawab.
Istilah-istilah
seperti associate lawyer, senior lawyer, dan junior lawyer dan
lain sebagainya merupakan istilah-istilah yang berkaitan dengan struktur atau
jenjang karir pengacara, yang sekarang disebut advokat, dalam kantor advokat,
dalam hal ini yang berbentuk firma (firma hukum). Meski demikian boleh jadi
tiap-tiap kantor advokat memiliki istilah atau nama yang berbeda untuk
organisasi mereka masing-masing.
Mengenai
tugas dan tanggung jawab, secara umum, sebagai advokat mereka – baik associate,
senior, ataupun junior lawyer -- dapat memberikan jasa hukum
kepada klien. Akan tetapi, manajemen kantor advokat dapat membuat deskripsi
yang lebih rinci lagi mengenai tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.
Mengutip
buku “Law Office Management” yang ditulis Jonathan S. Lynton,
menurut Ira Andara Eddymurthy, jenjang karir dalam suatu Kantor Hukum
adalah sebagai berikut:
- Equity Partner, salah satu darinya akan menjadi Managing Partner;
- Non-equity Partner/Contract Partner;
- Of Counsel/Advisor;
- Senior Partner;
- Associate Attorney;
- Senior Attorney;
- Non-lawyer Partner;
- Contract Attorney/Intern (Magang);
- Freelance Attorney;
- Law Clerks (Paralegal).
Demikian
tulis Ira Andara Eddymurthy yang juga advokat dan partner pada Law
Firm Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono (SSEK) dalam buku “Manajemen
Kantor Advokat di Indonesia (Lawfirm Management in Indonesia)” yang
diterbitkan Centre for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL).
Seperti
kami telah jelaskan di atas, istilah associate, senior dan junior
lawyer/attorney merupakan jenjang karir bagi seorang advokat (lawyer,
attorney) dalam suatu kantor advokat. Masing-masing kantor advokat boleh
jadi memiliki istilah atau nama yang berbeda-beda untuk setiap jenjang. Kantor
advokat SSEK misalnya, tidak menggunakan istilah junior lawyer dan senior
lawyer. “Kami menggunakan istilah Level 1, Level 2, Associates,
Contract/Salary Partner dan Equity Partner,” jelas Ira saat kami
minta pendapatnya.
Jenjang
karir dan pola pengangkatan di kantor advokat dapat ditentukan berdasarkan masa
kerja, prestasi kerja, ataupun ukuran-ukuran lain. Di SSEK yang memiliki 58 lawyer,
menurut Ira, promosi dari Level 1 ke Level 2 ditentukan
berdasarkan pencapaian seorang advokat dalam pekerjaannya, selain dilihat dari
masa kerja. “Untuk setiap level-nya dua sampai tiga tahun. Di kantor
kami, setelah 10, atau paling lama 15 tahun, baru dapat diangkat ke level
Partner,” jelasnya.
Untuk
kantor advokat yang tidak memiliki banyak advokat (15 orang atau kurang) boleh
jadi struktur organisasinya jauh lebih sederhana dibandingkan kantor advokat
menengah dan besar yang memiliki 50 advokat atau lebih.
Jenjang
karir di kantor advokat juga bisa berbeda-beda antara kantor advokat yang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan litigasi (jasa hukum di dalam pengadialan)
dengan kantor advokat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan korporasi atau
non-litigasi (jasa hukum di luar pengadilan).
Demikian penjelasan kami. Semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 02 November 2010
Sewa
Menyewa Aset oleh Bank
Apa sebuah bank boleh menyewakan
aset (gedung, ruangan kantor, mess, rumah dinas, ruang pertemuan, tanah, mobil)
miliknya kepada pihak luar? Kalau dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
usaha sewa menyewa bukan termasuk dalam jenis usaha Bank Umum, namun dalam
prakteknya beberapa bank masih menyewakan aset tersebut kepada pihak ketiga.
Mohon penjelasannya, Salam Anto.
Menurut pasal
5 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU No. 7/1992”), Bank
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Untuk Bank
Umum, kegiatan usahanya dibatasi dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No.
7/1992 dan perubahannya dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU
No. 7 Tahun 1992 (“UU No. 10/1998”). Usaha sewa menyewa, memang tidak
termasuk dalam salah satu bentuk usaha yang diperbolehkan dalam Undang-Undang
tersebut. Pasal 10 huruf c UU No. 7/1992 selanjutnya melarang Bank Umum
untuk melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang sudah ditentukan dalam
pasal-pasal di atas.
Sedangkan
untuk BPR, kegiatan usahanya dibatasi dalam pasal 13 UU No. 7/1992dan pasal
9 UU No. 10/1998. Usaha sewa menyewa, juga tidak termasuk dalam kegiatan
usaha yang diperbolehkan untuk Bank. Pasal 14 huruf e UU No. 7/1992
selanjutnya melarang BPR melakukan kegiatan usaha di luar yang sudah ditentukan
dalam pasal-pasal tersebut.
Jadi, bank
tidak boleh melakukan usaha persewaan, termasuk menyewakan asetnya sendiri
Memang ada
sejumlah gedung perkantoran yang memakai nama bank-bank. Tetapi, itu bukan
berarti gedung tersebut milik bank yang namanya digunakan, dan bukan bank
tersebut yang menyewakan pada tenant-nya. Contohnya, pada gedung Graha Mandiri
yang terletak di Jl. Imam Bonjol No.61, Jakarta Pusat, yang memakai nama Bank
Mandiri. Akan tetapi, gedung ini bukan milik Bank Mandiri, melainkan milik PT
Bumi Daya Plaza. Hal ini dapat Anda lihat di sini.
Contoh
lainnya adalah Gedung BRI Tower. Berdasarkan salah satu artikel hukumonline.com
(Atas Dasar Wanprestasi, BRI Minta Gedung BRI II
Dikembalikan),
PT Mulia Persada Pasific dan Dana Pensiun BRI melakukan perjanjian Build,
Operate and Transfer (BOT) untuk pengelolaan Gedung BRI Tower. Jadi, yang
mengelola dan menyewakan gedung tersebut adalah PT Mulia Persada Pacific, bukan
BRI sebagai banknya.
Demikian
yang kami ketahui, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar