Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Rabu, 30 Juni 2010

Rahasia Bank Kasus Bank Century

Data nasabah penyimpan dalam kasus Century kenapa bisa di-ekspose oleh media masa? Kemudian di Bank Mutiara (dulu Century) Cabang Denpasar, kenapa DPR bisa memaksa untuk meminta data nasabah penyimpan tanpa melalu prosedur, padahal sesuai UU Perbankan data nasabah penyimpan merupakan rahasia bank?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) menyatakan bahwa Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Selanjutnya dalam pasal 40 ayat (1) UU Perbankan disebutkan bahwa Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Jadi, Bank wajib merahasiakan data simpanan dan nasabah penyimpannya.
Pengecualian terhadap kewajiban rahasia bank ini adalah:
1)     Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (Pasal 41 ayat 1 UU Perbankan)
2)     Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah debitur (Pasal 41A UU Perbankan)
3)     Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada Polisi, Jaksa, atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42 UU Perbankan)
4)     Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut. (Pasal 43 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan)
5)     Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain (Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
6)     Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut. (Pasal 44A ayat 1 UU Perbankan)
7)     Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut (pasal 44A ayat 2 UU Perbankan)

Selain itu ada pengecualian dalam pasal 14 UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menyebutkan:

“Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank

Jadi, data nasabah penyimpan di Bank Century merupakan rahasia bank, yang wajib dirahasiakan.

Mengenai mengapa data nasabah penyimpan Bank Century, yang merupakan rahasia bank, dapat diekspos oleh media massa, maka kita harus melihat pada pasal 4 ayat (3) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers:

Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi

Media massa sebagai pers dapat mencari informasi dari berbagai sumber, baik dari pejabat, ataupun sumber-sumber lainnya.

Mengenai DPR yang meminta data nasabah penyimpan ke Bank Mutiara, seharusnya memang tidak boleh dilakukan. Seperti telah dibahas di atas, data nasabah penyimpan termasuk dalam rahasia bank, yang wajib dirahasiakan.

Memang dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat (“UU Hak Angket”), dalam hal Panitia Angket DPR, semua warga negara Republik Indonesia dan semua penduduk serta orang-orang lain yang berada dalam wilayah Republik Indonesia diwajibkan memenuhi panggilan-panggilan Panitia Angket, dan wajib pula menjawab semua pertanyaan-pertanyaannya dan memberikan keterangan-keterangan selengkapnya.

Akan tetapi, dalam pasal 22 ayat (1) UU Hak Angket, diatur bahwa ada orang-orang yang diperbolehkan untuk menolak memberikan keterangan.

Mereka yang karena kedudukannya, karena pekerjaannya ataupun karena jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat membebaskan diri dari memberikan penyaksian, akan tetapi semata-mata hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya sebagai rahasia dalam kedudukan, pekerjaan atau jabatan tersebut”

Oleh karena itu, merujuk pada pasal 22 ayat (1) UU Hak Angket di atas pejabat-pejabat Bank Mutiara dapat menolak untuk memberikan data nasabah penyimpan yang termasuk rahasia bank tersebut.

Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-UndangNo. 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat
2.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
3.      Undang-UndangNo. 40 Tahun 1999 tentang Pers
4.      Undang-UndangNo. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 28 September 2010
REITs

Saya memiliki beberapa pertanyaan berkaitan dengan penerbitan REITs atau Dana Investasi Real Estate di Indonesia. 1. Apakah peraturan mengenai DIRE KIK yang dikeluarkan Bapepam-LK beberapa waktu yang lalu sudah cukup memadai untuk dijadikan dasar hukum penerbitan REITs di Indonesia? 2. Apakah bentuk KIK yang diterapkan pada DIRE sudah tepat mengingat pada dasarnya REITs itu memiliki konsep yang berbeda dengan reksadana? 3. Apakah DIRE KIK menggunakan mekanisme transaksi yang sama dengan Reksadana? Lalu apakah mekanisme tersebut telah memberikan perlindungan yang cukup kepada investor? Terima kasih atas perhatian dan bantuannya.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

1.     Mengenai Real Estate Investment Trust (REITs) atau di Indonesia disebut Dana Investasi Real Estate (“DIRE”), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (“Bapepam-LK”) telah mengeluarkan beberapa peraturan:
1)    Peraturan No IX.C.15 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum oleh Dana Investasi Real Estate Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
2)    Peraturan No IX.C.16 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus Dalam Rangka Penawaran Umum Dana Investasi Real Estate
3)    Peraturan No IX.M.1 tentang Pedoman Bagi Manager Investasi dan Bank Kustodian yang Melakukan Pengelolaan Dana Investasi Real Estate
4)    Peraturan No IX.M.2 tentang Pedoman Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi Real Estate

Jadi, sebenarnya sudah cukup banyak peraturan Bapepam-LK yang mengatur mengenai DIRE ini. Akan tetapi, sampai sekarang (September 2010) belum ada perusahaan yang menerbitkan produk investasi berbentuk DIRE di Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan belum adanya insentif perpajakan untuk investor dan DIRE tersebut. Padahal, dalam sejarahnya di negara-negara lain seperti misalnya Amerika Serikat, Australia, Hong Kong, Jepang, dan Singapura, DIRE mendapatkan perlakuan khusus perpajakan. Beberapa negara malah membebaskan pajak penghasilan untuk instrumen DIRE.

2.     Kontrak Investasi Kolektiof (“KIK”) tidak hanya dipakai untuk reksadana. Instrumen Efek Beragun Aset (“EBA”) juga menggunakan KIK, yaitu yang disebut sebagai KIK-EBA (Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset). Jadi, tidak hanya reksadana saja yang bisa menggunakan bentuk KIK.
3.     Pada dasarnya, mekanisme transaksi pada reksadana dan DIRE hampir sama. Ada manajer investasi yang mengelola dana, dan keuntungan yang dibagikan pada investornya. Yang membedakan adalah underlying asset-nya. Pada DIRE, underlying asset-nya adalah properti. Dana investor yang telah dikumpulkan oleh perusahaan investasi akan diinvestasikan ke bentuk aset properti baik secara langsung seperti membeli gedung maupun tidak langsung dengan membeli saham/obligasi perusahaan properti
Selanjutnya tentang DIRE dapat Anda baca dalam artikel-artikel berikut:

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 03 Juli 2012
Reksadana Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas

Terkait dengan Reksa dana Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, apakah reksa dana ini berbeda dengan reksadana konvensional? Lalu mengapa periode penghitungan reksadana ini dilakukan 3 bulan sekali? Kemudian bagaimana perlindungan terhadap Investor jika sektor riil yang mendapat pembiayaan melalui reksadana ini gagal bayar?  

Jawaban:  Ilman Hadi

1. Pengertian Reksa Dana berdasarkan Pasal 1 angka 27 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Lebih jauh simak artikel Bolehkah Pembelian Reksa Dana Secara ‘Back Date’?

Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU Pasar Modal, Reksa Dana dapat berbentuk Perseroan atau Kontrak Investasi Kolektif. Terkait dengan yang Saudara tanyakan yaitu mengenai Reksadana Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa kontrak investasi kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. Reksa Dana berbentuk kontrak investasi kolektif menghimpun dana dengan menerbitkan Unit Penyertaan kepada masyarakat pemodal dan selanjutnya dana tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di Pasar Modal dan di pasar uang.

Lebih spesifik lagi mengenai Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas ini juga diatur dalam Peraturan No. IV.C.5 - Keputusan Ketua Bapepam-LK No. KEP-43/BL/2008 Tahun 2008 (“Peraturan No. IV.C.5”) yang menjelaskan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari Pemodal Profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada portofolio Efek.

Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dan Reksa Dana Konvensional memang memiliki beberapa perbedaan, antara lain:
1.    Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, unit penyertaan hanya boleh ditawarkan kepada Pemodal Profesional serta pemegang unit penyertaan tidak boleh dimiliki oleh 50 orang atau lebih (Peraturan No. IV.C.5 Angka 2). Sedangkan dalam Reksa Dana Konvensional, unit penyertaan ditawarkan kepada masyarakat pemodal secara umum (Pasal 1 angka 27 UU Pasar Modal) dan tidak ada ketentuan yang membatasi jumlah pemegang unit penyertaannya.
2.    Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, seorang Manajer Investasi wajib memiliki sekurang-kurangnya 1 unit penyertaan dari Reksa Dana yang ia kelola tersebut (Peraturan No. IV.C.5 Angka 5 huruf c). Sedangkan dalam Reksa Dana Konvensional, Manajer Investasi hanya mengelola portofolio efek untuk kepentingan nasabahnya (Pasal 1 angka 11 UU Pasar Modal).
3.    Unit penyertaan dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas wajib disimpan pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Peraturan No. IV.C.5 Angka 7). Sedangkan dalam Reksa Dana Konvensional, penyimpanan unit penyertaan diselenggarakan oleh Kustodian yaitu Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, atau Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Bapepam (Pasal 43 ayat (1) UU Pasar Modal). Biasanya yang digunakan adalah Bank Umum (Bank Kustodian).
4.    Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas ini, ketentuan yang mengatur diversifikasi komposisi portofolio di pasar uang dan pasar modal untuk Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak berlaku (Peraturan No. IV.C.5 Angka 10).

Jadi, Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas memang memiliki perbedaan dengan Reksa Dana Konvensional.

2. Menurut Luthfi Zain Fuady dari Biro Hukum Bapepam-LK,Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas ini memang dirancang untuk digunakan dalam pembiayaan proyek sektor riil, contohnya membangun jalan tol. Apabila harus dilakukan perhitungan Nilai Aktiva Bersih (NAB) setiap hari, maka akan kesulitan karena selain pihak penerima dana proyek tidak terdaftar pada bursa efek (yang nilai perdagangannya tercatat setiap hari), perhitungan NAB juga akan bergantung dari pelaksanaan (performance) dan laporan keuangan pihak penerima dana investasi. Untuk memudahkan perhitungan itu maka akhirnya ditentukan agar dilakukan setiap 3 bulan.

Memang di bursa efek pun ada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor riil, tetapi transaksi di bursa efek dananya hanya berpindah antar investor dan bukan diterima langsung oleh perusahaan sektor riil.

3. Jika terjadi gagal bayar pada sektor riil yang dibiayai, berarti pemegang unit penyertaan ingin menarik dana investasinya. Dalam Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tidak berlaku ketentuan pembelian kembali atas saham atau unit penyertaan sebagaimana dalam Reksa Dana Konvensional bila investor ingin keluar dari Reksa Dana.

Untuk Reksa Dana Perseroan terbuka, pembelian kembali saham dilakukan oleh Bank Kustodian atau agen penjual yang ditunjuk oleh Manajer Investasi (Peraturan IV.A.3 - Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-13/PM/2002 Angka 17). Sedangkan untuk Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, pembelian kembali unit penyertaan dilakukan oleh Manajer Investasi melalui Agen Penjual Efek Reksa Dana yang ditunjuknya (Peraturan No. IV.B.1 - Keputusan Bapepam-LK No. KEP-552/BL/2010 Tahun 2010 Angka 2).

Pada Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, berdasarkan Peraturan No. IV.C.5 Angka 9, penarikan kembali dana investasi dengan cara membeli kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana tidak berlaku bagi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini. Satu-satunya cara untuk menarik dana investasi adalah dengan pembubaran Reksa Dana. Pembubaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas hanya dapat dilakukan dengan alasan:
a.    diperintahkan oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; atau
b.    Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari pemegang Unit Penyertaan.

Pembubaran Reksa Dana karena sektor riil yang dibiayai gagal bayar, akan menggunakan alasan pembubaran yang disebut pada huruf b. Maka Manajer Investasi wajib (Peraturan No. IV.C.5 Angka 25):
a.      menyampaikan kepada Bapepam dan LK dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya kesepakatan pembubaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan melampirkan:
1)    kesepakatan pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Berbentuk KontrakInvestasi Kolektif Penyertaan Terbatas antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian;
2)      persetujuan pemegang Unit Penyertaan;
3)      alasan pembubaran; dan
4)      kondisi keuangan terakhir;
dan pada hari yang sama menyampaikan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas kepada para pemegang Unit Penyertaan serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas;

b.      menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan aset likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan aset likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan; dan

c.      menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas kepada Bapepam dan LK paling lambat 2 (dua) bulan sejak dibubarkan dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum dan Akuntan yang terdaftar di Bapepam dan LK, serta Akta Pembubaran dan Likuidasi Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Bapepam dan LK.

Jadi, perlindungan terhadap investor pada Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas apabila terjadi gagal bayar, dapat dilakukan pembubaran Reksa Dana dengan persetujuan seluruh pemegang unit penyertaan serta Manajer Investasi dan Kustodian. Investor akan menerima hasil likuidasi Reksa Dana sesuai Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi dilakukan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Peraturan IV.A.3 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-13/PM/2002 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
3.    Peraturan No. IV.C.5 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-43/BL/2008 Tahun 2008 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas;
4.    Peraturan Nomor IV.B.1 - Keputusan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-552/BL/2010 Tahun 2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak investasi kolektif.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 12 Desember 2011
Sanksi Hukum Penggunaan Kawasan Hutan Tanpa Izin

Pengasuh yang terhormat, nama saya Aji, saya mau menanyakan apa akibatnya bagi perusahaan tambang yang melakukan kegiatannya menggunakan area hutan tetapi tidak memiliki izin menggunakan area tersebut? Apakah bisa menggunakan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara?  

Jawaban:

1.     Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kegiatan Pertambangan

Sesuai dengan Pasal 134 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sebelum memperoleh izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih tegas, Pasal 50 ayat (3) huruf g jo. Pasal 38 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU Kehutanan”) mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa melalui pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang diterbitkan oleh Menteri Kehutanan (“IPPKH”) dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

2.     Sanksi terhadap kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH
a.     Sanksi Pidana
Pelanggaran terhadap suatu kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan tanpa dilengkapi IPPKH akan berdampak pada ancaman sanksi pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan.

b.     Sanksi Administratif
Tunduk terhadap ketentuan kewajiban pemenuhan IPPKH dalam kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, maka sesuai dengan Pasal 119 UU Minerba, Izin Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”) dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya karena alasan pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan.

Demikian kami sampaikan jawaban dari kami sebagai informasi umum sehubungan dengan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan. Jawaban ini tidak ditujukan sebagai sebuah pendapat hukum.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 30 Mei 2005

Sengketa tanah

1. Bagaimana dalam penyelesaian sengketa tanah korban menang dan si pelaku minta ganti rugi karena diatas tanah sudah ditanami karet sebanyak 200 batang sedangkan korban adalah orang tidak mampu / miskin ? 2. Bagaimana tanggung jawab BPN yang membuat sertifikat ganda / tumpang tindih ? 3. Mengapa sengketa tanah dalam penyelesaiaannya selalu memakan waktu bertahun - tahun dan memakan biaya yang banyak ?
  •  
Jawaban:   Bung Pokrol

1.      Jika dalam suatu sengketa tanah, penggugat (korban) dimenangkan dan tergugat lalu meminta ganti rugi atas suatu barang atau aset lain yang terlanjur dibangun atau ditanam oleh Tergugat di area tanah sengketa maka hal-hal yang harus diperhatikan ialah : 1) jika putusan sudah berkekuatan hukum tetap maka tanah tersebut telah resmi milik Penggugat. 2) jika amar putusan tidak menyinggung masalah barang atau aset yang terletak diatas tanah sengketa, maka aset tersebut tetap milik Tergugat dan kedua belah pihak bisa memusyawarahkannya. Misalkan dengan membuat solusi yakni membagi keuntungan atas hasil perkebunan tersebut dengan mempertimbangkan bahwa secara hukum tanah tersebut milik Penggugat dan Tanaman tersebut ditanam oleh Tergugat. Hal ini sesuai asas pemisahan horizontal dalam sistem hukum pertanahan Indonesia.
2.      BPN harus bertanggung jawab atas tumpang tindihnya sertifikat. Secara prosedural BPN berkewajiban untuk melakukan penelitian ketika diketahui terdapat masalah/ tumpang tindih dalam penerbitan sertifikat. Beberapa hal yang diteliti oleh BPN diantaranya ialah data fisik dan data yuridis yang dalam pelaksanaannya biasanya dilakukan oleh suatu panitia yang dibentuk BPN. Setelah semua penelitian dilakukan, maka BPN berkewajiban untuk membatalkan salah satunya dan mengumumkannya kepada publik.
3.      Semestinya sengketa tanah bisa diputuskan dengan cepat, hal ini karena : 1) BPN sendiri memiliki badan dan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tanah. Akan tetapi dalam prakteknya seringkali masalah prosedur penyelesaiannya yang dipersulit. 2) terdapatnya mekanisme musyawah dalam penyelesaian kasus sebelum berlanjut ke pengadilan. Akan tetapi dalam prakteknya para pihak seringkali mengabaikan proses tersebut.
Akan tetapi,  proses perdata di Pengadilan dari Pengadilan negeri sampai dengan Mahkamah Agung memang memakan waktu yang cukup lama, bukan karena jenis kasusnya yang berupa sengketa tanah, melainkan karena banyaknya kasus yang menumpuk di Pengadilan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Jumat, 27 Agustus 2010

Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer)

Di dalam suatu Firma Hukum, sering kita temui istilah Senior Lawyer, Associate Lawyer, Junior Lawyer. Mohon dapat dijelaskan mengenai istilah tersebut, berikut tanggung jawabnya? Lalu, apa perbedaan Partner dan Associates di dalam suatu Firma Hukum? Contoh; Firma Hukum ........ & Partners/Firma Hukum ........ & Associates. Terima Kasih atas kesediaannya menjawab.

Jawaban:  Amrie Hakim

Istilah-istilah seperti associate lawyer, senior lawyer, dan junior lawyer dan lain sebagainya merupakan istilah-istilah yang berkaitan dengan struktur atau jenjang karir pengacara, yang sekarang disebut advokat, dalam kantor advokat, dalam hal ini yang berbentuk firma (firma hukum). Meski demikian boleh jadi tiap-tiap kantor advokat memiliki istilah atau nama yang berbeda untuk organisasi mereka masing-masing.

Mengenai tugas dan tanggung jawab, secara umum, sebagai advokat mereka – baik associate, senior, ataupun junior lawyer -- dapat memberikan jasa hukum kepada klien. Akan tetapi, manajemen kantor advokat dapat membuat deskripsi yang lebih rinci lagi mengenai tugas dan tanggung jawab mereka masing-masing.

Mengutip buku “Law Office Management” yang ditulis Jonathan S. Lynton, menurut Ira Andara Eddymurthy, jenjang karir dalam suatu Kantor Hukum adalah sebagai berikut:
  1. Equity Partner, salah satu darinya akan menjadi Managing Partner;
  2. Non-equity Partner/Contract Partner;
  3. Of Counsel/Advisor;
  4. Senior Partner;
  5. Associate Attorney;
  6. Senior Attorney;
  7. Non-lawyer Partner;
  8. Contract Attorney/Intern (Magang);
  9. Freelance Attorney;
  10. Law Clerks (Paralegal).

Demikian tulis Ira Andara Eddymurthy yang juga advokat dan partner pada Law Firm Soewito, Suhardiman, Eddymurthy, Kardono (SSEK) dalam buku “Manajemen Kantor Advokat di Indonesia (Lawfirm Management in Indonesia)” yang diterbitkan Centre for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL).

Seperti kami telah jelaskan di atas, istilah associate, senior dan junior lawyer/attorney merupakan jenjang karir bagi seorang advokat (lawyer, attorney) dalam suatu kantor advokat. Masing-masing kantor advokat boleh jadi memiliki istilah atau nama yang berbeda-beda untuk setiap jenjang. Kantor advokat SSEK misalnya, tidak menggunakan istilah junior lawyer dan senior lawyer. “Kami menggunakan istilah Level 1, Level 2, Associates, Contract/Salary Partner dan Equity Partner,” jelas Ira saat kami minta pendapatnya.

Jenjang karir dan pola pengangkatan di kantor advokat dapat ditentukan berdasarkan masa kerja, prestasi kerja, ataupun ukuran-ukuran lain. Di SSEK yang memiliki 58 lawyer, menurut Ira, promosi dari Level 1 ke Level 2 ditentukan berdasarkan pencapaian seorang advokat dalam pekerjaannya, selain dilihat dari masa kerja. “Untuk setiap level-nya dua sampai tiga tahun. Di kantor kami, setelah 10, atau paling lama 15 tahun, baru dapat diangkat ke level Partner,” jelasnya.
Untuk kantor advokat yang tidak memiliki banyak advokat (15 orang atau kurang) boleh jadi struktur organisasinya jauh lebih sederhana dibandingkan kantor advokat menengah dan besar yang memiliki 50 advokat atau lebih.
Jenjang karir di kantor advokat juga bisa berbeda-beda antara kantor advokat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan litigasi (jasa hukum di dalam pengadialan) dengan kantor advokat yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan korporasi atau non-litigasi (jasa hukum di luar pengadilan).
 Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 02 November 2010

Sewa Menyewa Aset oleh Bank

Apa sebuah bank boleh menyewakan aset (gedung, ruangan kantor, mess, rumah dinas, ruang pertemuan, tanah, mobil) miliknya kepada pihak luar? Kalau dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan usaha sewa menyewa bukan termasuk dalam jenis usaha Bank Umum, namun dalam prakteknya beberapa bank masih menyewakan aset tersebut kepada pihak ketiga. Mohon penjelasannya, Salam Anto.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Menurut pasal 5 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU No. 7/1992”), Bank dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Untuk Bank Umum, kegiatan usahanya dibatasi dalam pasal 6 dan pasal 7 UU No. 7/1992 dan perubahannya dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 (“UU No. 10/1998”). Usaha sewa menyewa, memang tidak termasuk dalam salah satu bentuk usaha yang diperbolehkan dalam Undang-Undang tersebut. Pasal 10 huruf c UU No. 7/1992 selanjutnya melarang Bank Umum untuk melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang sudah ditentukan dalam pasal-pasal di atas.

Sedangkan untuk BPR, kegiatan usahanya dibatasi dalam pasal 13 UU No. 7/1992dan pasal 9 UU No. 10/1998. Usaha sewa menyewa, juga tidak termasuk dalam kegiatan usaha yang diperbolehkan untuk Bank. Pasal 14 huruf e UU No. 7/1992 selanjutnya melarang BPR melakukan kegiatan usaha di luar yang sudah ditentukan dalam pasal-pasal tersebut.

Jadi, bank tidak boleh melakukan usaha persewaan, termasuk menyewakan asetnya sendiri

Memang ada sejumlah gedung perkantoran yang memakai nama bank-bank. Tetapi, itu bukan berarti gedung tersebut milik bank yang namanya digunakan, dan bukan bank tersebut yang menyewakan pada tenant-nya. Contohnya, pada gedung Graha Mandiri yang terletak di Jl. Imam Bonjol No.61, Jakarta Pusat, yang memakai nama Bank Mandiri. Akan tetapi, gedung ini bukan milik Bank Mandiri, melainkan milik PT Bumi Daya Plaza. Hal ini dapat Anda lihat di sini.

Contoh lainnya adalah Gedung BRI Tower. Berdasarkan salah satu artikel hukumonline.com (Atas Dasar Wanprestasi, BRI Minta Gedung BRI II Dikembalikan), PT Mulia Persada Pasific dan Dana Pensiun BRI melakukan perjanjian Build, Operate and Transfer (BOT) untuk pengelolaan Gedung BRI Tower. Jadi, yang mengelola dan menyewakan gedung tersebut adalah PT Mulia Persada Pacific, bukan BRI sebagai banknya.
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
2.      Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer