Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Jumat, 20 Agustus 2010
Penyelesaian
Kartu Kredit yang Pemiliknya Sudah Meninggal Dunia
Teman mempunyai tante yang sudah
almarhum. Dia tidak berkeluarga dan tidak meninggalkan ahli waris. Semasa dia
hidup ternyata dia mempunyai 12 kartu kredit tanpa diketahui oleh keluarga yang
lainnya (ibu dan adik kakaknya). Setelah dia meninggal dunia barulah semua
bank-bank tersebut mengirimkan tagihan-tagihannya. Bagaimana cara
penyelesaiannya? Menurut ayah saya, apabila ada nasabah yang meninggal dunia
maka seluruh tagihan kartu kreditnya dihapuskan karena perusahaan kartu kredit
sudah menanggungkan resikonya kepada perusahaan asuransi. Apakah itu benar?
Apabila benar, adakah peraturan yang mengaturnya?
Dalam
industri asuransi memang dikenal lembaga asuransi kredit yang berfungsi untuk
menanggung resiko gagal bayar oleh pemegang kartu kredit. Akan tetapi, asuransi
tersebut tidak bersifat wajib, melainkan bergantung pada kebijakan bank dan
persetujuan dari pemegang kartu. Jadi, pemegang kartu juga harus menyatakan
persetujuannya untuk mengikuti asuransi ini, karena ada premi yang harus
dibayar untuk asuransi ini.
Asuransi
kredit antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No.
124/PMK.010/2008 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship (“PMK 124/2008”). Pasal 1 angka 2 PMK 124/2008
tersebut menyatakan:
“Asuransi Kredit adalah lini usaha asuransi umum yang
memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila
penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian
kredit”
Dengan
asuransi kredit tersebut, perusahaan asuransi membayar ganti rugi pada bank
atas ketidakmampuan atau kegagalan atau tidak terpenuhinya kewajiban debitur.
Jadi,
tidak semua kartu kredit ada asuransi yang menjamin pelunasan tagihan. Coba cek
dokumen-dokumen mendiang tante teman Anda, apakah yang bersangkutan mengikuti
asuransi kredit tersebut? Bila ya, maka ada polis asuransi yang
sekurang-kurangnya memuat:
a) saat berlakunya pertanggungan;
b) uraian manfaat yang diperjanjikan;
c) cara pembayaran premi;
d) tenggang waktu (grace period)
pembayaran premi;
e) kurs yang digunakan untuk Polis
Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan
dengan mata uang rupiah;
f) waktu yang diakui sebagai saat
diterimanya pembayaran premi;
g) kebijakan perusahaan yang ditetapkan
apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;
h) periode di mana pihak perusahaan
tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incontestable period);
i) penghentian pertanggungan, baik dari
pihak penanggung maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan
penyebabnya;
j) syarat dan tata cara pengajuan
klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim;
k) pemilihan tempat penyelesaian
perselisihan;
Sebaliknya, apabila ternyata tante
teman Anda tidak mengikuti asuransi kredit, itu artinya tagihan kartu kredit
tersebut tetap harus dibayar. Yang berkewajiban membayar adalah para ahli waris
tante teman Anda. Pasal 833 ayat (1) KUHPer menyatakan bahwa ahli waris
dengan sendirinya memperoleh hak milik atas segala barang, piutang dan hak dari
si pewaris. Akan tetapi, dalam pewarisan, yang beralih pada ahli waris bukan
hanya harta dan hak saja, melainkan juga utang dan kewajiban.
Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2. Peraturan Menteri Keuangan RI No.
124/PMK.010/2008 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit
dan Suretyship
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 09 Januari 2012
Prosedur
Penanaman Modal Asing di Bidang Restoran
Apakah bentuk kerja sama usaha yang
aman untuk usaha restoran antara seorang WNI dengan WNA yang akan didirikan di
Indonesia (dilihat dari sisi hukum di Indonesia), dan bentuk sistem hukum apa
yang harus disediakan/dilakukan oleh WNI tersebut? Apakah WNA tersebut harus
memiliki jabatan (bekerja) di dalam kerja sama tersebut?
1. Bentuk kerja sama usaha yang akan didirikan oleh warga
negara Indonesia (“WNI”) dan warga negara asing (“WNA”) di Indonesia
bergantung pada seberapa besar kegiatan usaha yang akan dilakukan.
Apabila dalam pendirian usaha membutuhkan modal yang besar,
maka WNA dan WNI dalam hal ini akan melakukan Penanaman Modal Asing (‘PMA”)
sesuai dengan Pasal 1 angka 3 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”), yaitu :
“Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk
melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh
penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang
berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.”
Dalam mendirikan badan usaha yang bermitra dengan WNA,
prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. WNA dan WNI menandatangani
perjanjian joint venture (usaha patungan);
2. Setelah menandatangani perjanjian joint
venture, WNA dan WNI membentuk suatu badan usaha yang berbentuk Perseroan
Terbatas (“PT”) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah
Negara Republik Indonesia. (Pasal 5 ayat [2] UU 25/2007);
3. Mengajukan permohonan pendaftaran
PMA kepada BKPM.
Penanaman modal dalam negeri dan asing yang melakukan
penanaman modal dalam pendirian PT dilakukan dengan “Mengambil bagian saham
pada saat pendirian PT” (Pasal 5 ayat [3] UU 25/2007). Adapun
pendirian PT PMA wajib untuk memperhatikan daftar negative investasi
berdasarkan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha
yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang
Penanaman Modal (“Perpres 36/2010”).
Berdasarkan Perpres 36/2010, bidang usaha dalam hal ini
restoran, terbuka untuk penanam modal asing (WNA) dengan komposisi maksimal
pemilikan saham oleh WNA adalah sebesar 51% (lima puluh satu persen).
Setiap Perusahaan PMA yang akan melakukan penanaman modal di
Indonesia wajib untuk mendaftarkan PT PMA yang didirikannya ke Badan Koordinasi
Penanaman Modal (“BKPM”) sebelum PT PMA berstatus Badan Hukum atau sesudah
berstatus badan hukum (Pasal 16 ayat [1] Peraturan Kepala BKPM No. 12
Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal - “Perka
BKPM 12/2009”).
Apabila PT PMA yang didirikan ingin mendapatkan fasilitas
penanaman modal, selain permohonan pendaftaran PT PMA juga harus mengajukan
permohonan pendaftaran Izin Prinsip ke BKPM (Pasal 17 ayat [2] Perka BKPM
12/2009).
2. Dengan asumsi bahwa yang dimaksud dalam sistem hukum adalah
pilihan hukum, maka WNI dapat menggunakan sistem hukum yang diatur di Republik
Indonesia sehubungan dengan domisili perjanjian joint venture dilakukan
dan/atau tempat badan hukum PT didirikan.
3. WNA dapat memperoleh jabatan sebagai tenaga ahli di dalam PT
PMA. Hal ini didasari atas kewajiban Perusahaan yang melakukan penanaman modal
di Indonesia untuk mengutamakan tenaga kerja Indonesia (Pasal 10 ayat (1) jo
ayat (2) UU 25/2007). Sehingga keharusan untuk memberikan pekerjaan/jabatan
kepada WNA bergantung pada posisi yang akan diberikan kepada WNA tersebut. Namun,
berdasarkan Pasal 46 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) jo Pasal 5
Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga
Negara Asing Pendatang (“Kepres 75/1995”), terdapat laragan bagi WNA
untuk memperoleh jabatan di bidang personalia dan jabatan-jabatan tertentu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PT PMA wajib
untuk mengutamakan memperkerjakan tenaga kerja Indonesia, namun apabila posisi
tersebut belum dapat dilakukan oleh tenaga kerja Indonesia (dengan syarat
jabatan tersebut tidak dilarang bagi WNA), maka PT PMA dapat
memperkerjakan WNA tersebut.
Jika PT PMA akan memperkerjakan WNA, maka harus
memperhatikan peraturan tata cara memperkerjakan tenaga kerja asing yaitu
Perusahaan Jasa Patungan harus memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(RPTKA) dan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). WNA yang berkerja di
Perusahaan Jasa Patungan wajib untuk memperoleh Visa Tinggal Terbatas untuk
bekerja di Indonesia, sebagaimana telah dijelaskan pada tulisan kami sebelumnya
Prosedur Memperoleh Visa Tinggal Terbatas (Vitas) bagi WNA.
Demikian
jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat memberi sedikit pencerahan.
Dasar
hukum:
4. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No. Per.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
6. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun
1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang;
7. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia No. 228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan
Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing;
8. Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009
tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 22 Mei 2012
Prosedur
Mendirikan Toko Ritel Tradisional dan Ritel Modern
Saya mau tanya prosedur apa saja
yang harus ditempuh untuk perizinan pendirian sebuah toko (usaha retail)?
Perlukah badan hukum untuk itu dan apa badan hukum yang cocok untuk usaha
retail?
ismail
Jawaban:
Perusahaan
retail atau ritel adalah perusahaan yang menjual barang dagangan eceran
kepada konsumen akhir. Adapun perusahaan ritel terbagi ke dalam perusahaan
ritel tradisional dan ritel modern.
Berdasarkan
Pasal 1 butir 5 Perpres 112/2007 jo Pasal 1 butir 5 Permendag 53/2008
yang dimaksud dengan ritel modern atau toko modern yaitu toko dengan sistem
pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket,
Supermarket, Department Store, Hypermarket, ataupun grosir berbentuk Perkulakan.
Sedangkan,
ritel tradisional dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang menjual barang
eceran selain berbentuk ritel modern. Bentuk dari perusahaan ritel tradisional
adalah perusahaan kelontong yang menjual barang-barang kebutuhan sehari-hari yang
berada di wilayah perumahan, pedagang kaki lima, pedagang yang berjualan di
pasar tradisional.
Izin yang
diperlukan untuk mendirikan ritel modern/toko modern atau ritel tradisional
adalah sebagai berikut:
A.
RITEL MODERN/ TOKO MODERN
a.
Mendirikan badan hukum untuk yang
akan menjalankan toko modern
Setiap toko modern dapat berbentuk suatu badan usaha
badan hukum atau badan usaha bukan badan hukum.
Adapun, karakteristik badan usaha berbadan hukum atau badan
usaha tidak berbadan hukum dapat Anda lihat pada jawaban kami sebelumnya yaitu Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya.
b.
Izin Usaha Toko Modern ("IUTM")
Persyaratan IUTM berdasarkan Pasal 12 dan 13 Perpres
112/2007 jo Pasal 12 Permendag 53/2011, yaitu:
(i)
Copy Surat Izin Prinsip dari
Bupati/Walikota atau Gubernur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta;
(ii) Hasil Analisa Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat serta rekomendasi dari instansi yang berwenang;
(iii) Copy Surat Izin Lokasi dari Badan
Pertanahan Nasional;
(iv) Copy Surat Izin Undang-Undang
Gangguan (HO);
(v) Copy Surat Izin Mendirikan Bangunan
(IMB);
(vi) Copy Akta pendirian perusahaan dan
pengesahannya;
(vii) Rencana Kemitraan dengan Usaha Mikro
dan Usaha kecil;
(viii) Surat Pernyataan kesanggupan
melaksanakan dan mematuhi ketentuan yang berlaku; dan
(ix) Studi Kelayakan termasuk analisis
mengenai dampak lingkungan, terutama sosial budaya dan dampaknya bagi pelaku
perdagangan eceran setempat.
Surat Permohonan IUTM tersebut ditandatangani oleh pemilik
atau pengelola perusahaan dan akan diajukan kepada penerbit izin. Selanjutnya
apabila dokumen permohonan telah lengkap, Bupati/Walikota atau Gubernur
Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akan mengeluarkan IUTM. Kewenangan untuk
menerbitkan IUTM tersebut dapat dilimpahkan kepada kepala Dinas/Unit yang bertanggung
jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam
pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu.
Pembinaan dan Pengawasan terkait pendirian dan pengelolaan
toko modern merupakan kewenangan dari Pemeritah dan Pemerintah Daerah setempat,
sehingga untuk implementasi perizinan toko modern akan mengacu pada peraturan
pelaksana yang diterapkan oleh pemerintah daerah setempat.
c.
Surat Izin Usaha Perdagangan
(“SIUP”)
setiap perusahaan perdagangan wajib memiliki SIUP, SIUP itu
sendiri dibagi menjadi SIUP Kecil, SIUP Menengah, SIUP Besar.
d.
Tanda Daftar Perusahaan (“TDP”)
Berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Permendag 36/2007, setiap perusahaan wajib untuk
mendaftarkan daftar perusahaannya yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
dari kantor pendaftaran perusahaan. Perusahaan dapat berbentuk, antara lain :
(i) PT;
(ii) Persekutuan Komanditer (CV);
(iii) Firma;
(iv) Perorangan;
(v) Bentuk lainnya; dan
(vi) Perusahaan asing dengan status Kantor Pusat, Kantor Tunggal,
Kantor Cabang, Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan yang
berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Republik Indonesia.
Sehingga, setiap penyelenggara toko modern, wajib untuk
memperoleh TDP.
e.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas
toko Modern
Setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib mengikuti
persyaratan administratif yaitu salah satunya memiliki Izin Mendirikan Bangunan
gedung sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU 28/2002 dan peraturan pelaksanaannya pada Pasal 14 PP 36/2005. Izin Mendirikan Bangunan gedung diberikan oleh pemerintah
daerah. Setiap daerah memiliki peraturannya masing-masing. Sebagai
contoh untuk Provinsi Jakarta diatur oleh Peraturan Daerah Provinsi
Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2010.
f.
Surat Keterangan Domisili Perusahaan
Diajukan
permohonan Surat Keterangan Domisili Perusahaan kepada kelurahan setempat
lokasi toko modern.
g.
Surat Tanda Pendaftaran
Waralaba (bila pendirian dilakukan melalui perjanjian waralaba)
Apabila dalam membangun ritel modern/toko modern yang
merupakan hasil dari perjanjian waralaba maka berdasarkan PP 42/2007 harus memiliki Surat Tanda Pendaftaran Waralaba.
h.
Izin Gangguan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3
Permendagri 27/2009, yang dimaksud dengan Izin Gangguan adalah pemberian
izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi/badan di lokasi tertentu yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk
tempat/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
B.
TOKO RITEL TRADISIONAL
a.
Mendirikan badan usaha yang akan
menjalankan toko ritel tradisional
Pada
dasarnya, tidak ada kewajiban bentuk badan usaha untuk menjalani toko ritel
tradisional. Bentuk badan usaha yang akan didirikan yaitu sesuai dengan visi
misi toko ritel yang akan didirikan, bahkan perusahaan perorangan pun dapat
melakukan usaha ritel tradisional.
b.
Surat Izin Usaha Perdagangan ("SIUP")
Setiap Perusahaan yang melakukan
usaha perdangangan wajib untuk memilki SIUP. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1)
huruf c Permendag 46/2009, terdapat pengecualian kewajiban memiliki SIUP
terhadap Perusahaan Perdagangan Mikro dengan kriteria:
(i)
Usaha Perseorangan atau persekutuan;
(ii) Kegiatan usaha diurus, dijalankan,
atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga terdekat; dan
(iii) Memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp. 50.000.000,- tidak termasuk tanah dan bangunan.
Namun, Perusahaan Perdagangan Mikro
tetap dapat memperoleh SIUP apabila dikehendaki oleh Perusahaan tersebut.
Permohonan SIUP ini diajukan kepada
Pejabat Penerbit SIUP dengan melampirkan surat permohonan yang ditandatangani
oleh Pemilik/Pengurus Perusahaan di atas materai yang cukup serta
dokumen-dokumen yang disyaratkan dalam Lampiran II Permendag 36/2007.
c.
TDP
Apabila bentuk perusahaan yang akan
dibentuk adalah perusahaan perorangan, maka berdasarkan Pasal 6 UU 3/1982 jo Pasal 4 Permendag 36/2007 terdapat pengecualian
kewajiban untuk mendaftarkan daftar perusahaan bagi perusahaan perorangan yang
merupakan perusahaan kecil, namun apabila perusahaan kecil tetap dapat
memperoleh TDP untuk kepentingan tertentu, apabila perusahaan kecil tersebut
menghendaki.
Lebih
lanjut yang dimaksud dengan perusahaan kecil adalah:
(i)
Perusahaan yang dijalankan
perusahaan yang diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pribadi, pemiliknya
sendiri, atau yang mempekerjakan hanya anggota keluarganya sendiri;
(ii) Perusahaan yang tidak diwajibkan
memiliki izin usaha atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu yang
diterbitkan oleh instansi yang berwenang; atau
(iii) Perusahaan yang benar-benar hanya
sekedar untuk memenuhi keperluan nafkah sehari-hari pemiliknya.
d.
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atas
toko ritel tradisional
Setiap orang yang akan mendirikan
bangunan wajib mengikuti persyaratan administratif yaitu salah satunya memiliki
Izin Mendirikan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud Pasal 7 UU 28/2002
dan peraturan pelaksanaannya pada Pasal 14 PP 36/2005. Izin Mendirikan
Bangunan gedung diberikan oleh pemerintah daerah. Setiap daerah memiliki
peraturannya masing-masing. Sebagai contoh untuk provinsi Jakarta diatur
oleh Peraturan Daerah Provinsi Khusus Ibukota Jakarta No. 7 Tahun 2010.
e.
Surat Keterangan Domisili Perusahaan
Diajukan permohonan Surat Keterangan
Domisili Perusahaan kepada kelurahan setempat lokasi toko ritel tradisional.
f.
Izin Gangguan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3
Permendagri 27/2009, yang dimaksud dengan Izin Gangguan adalah pemberian
izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi/badan di lokasi tertentu yang
dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk
tempat/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah.
Demikian
jawaban yang kami sampaikan, semoga dapat memberikan pencerahan.
Dasar Hukum:
3. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Waralaba (“PP 36/2005”);
5. Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern ("Perpres 112/2007");
6. Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern
("Permendag 53/2008");
7. Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-Dag/Per/9/2007 tentang
Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan ("Permendag 36/2007");
8. Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-Dag/Per/9/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 36/M-Dag/Per/9/2007
tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan("Permendag 46/2009");
dan
9. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin
Gangguan Daerah ("Permendagri 27/2009").
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Sabtu, 24 September 2011
Prosedur
Memperoleh Visa Tinggal Terbatas (VITAS) Bagi WNA
Selamat siang. Saya memiliki atasan
orang WNA yang ingin membuat PT PMA yang 100% modal asing dan sekaligus ingin
menjadi direktur pada perusahaan tersebut. Masalahnya, atasan saya belum
memiliki koneksi dengan pihak WNI sehingga tidak bisa memiliki visa tinggal
terbatas untuk keperluan penanaman modal asing yang mana setahu saya untuk
memiliki visa tinggal terbatas memerlukan penjamin dari WNI. Apa langkah-langkah
yang sebaiknya atasan saya lakukan untuk memenuhi keinginan tersebut?
Jawaban:
1. Adanya hubungan kerja antara pemberi
pertanyaan dengan WNA (dalam hal ini, atasan Anda), diasumsikan adanya suatu
badan baik badan usaha maupun badan hukum yang melahirkan adanya hubungan kerja
tersebut.
2. Visa tinggal terbatas ("VITAS")
dapat diberikan untuk tujuan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 ayat (2)
butir e PP
No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian (“PP 32/1994”) yang telah diubah
dua kali terakhir kali dengan PP
No. 38 Tahun 2005, yaitu:
a. Menanamkan modal;
b.
bekerja;
c.
melaksanakan tugas rohaniwan;
d.
mengikuti pendidikan dan latihan
atau melakukan penelitian ilmiah;
e.
menggabungkan diri dengan suami
dan/atau orangtua bagi istri dan/atau anak sah dari seorang WNI;
f.
menggabungkan diri dengan suami
dan/atau orangtua bagi istri dan anak-anak sah di bawah umur dari orang asing
sebagaimana dalam huruf a-d;
g.
repatriasi.
Dengan
demikian, WNA dapat memperoleh VITAS dengan tujuan untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
3. Untuk mendapatkan visa pada umumnya,
syarat-syarat dokumen yang harus dilengkapi oleh WNA berdasarkan PP Visa dan Keputusan
Menteri Kehakiman No. M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa
Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian beserta
seluruh perubahannya (“Kepmenkeh”), adalah:
a.
Paspor atau surat perjalanan lain
yang masih berlaku;
b.
tiket untuk keberangkatan dan tiket
untuk kembali atau tiket untuk melanjutkan perjalanan ke negara tujuan sesuai
dengan jenis visa yang diminta;
c.
pas foto; dan
d. keterangan jaminan tersedianya biaya
hidup selama berada di willayah negara Republik Indonesia.
Dengan
demikian, WNA membutuhkan jaminan berupa sponsorship yang dapat menjamin
biaya hidup WNA selama berada di Indonesia sampai dengan kembalinya ke negara
asal atau negara tujuan.
4. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4)
Kepmenkeh, yang dimaksud dengan sponsor adalah orang perorangan, atau
perusahaan, badan usaha, yayasan, organisasi, atau instansi yang mendatangkan,
menjamin, dan bertanggungjawab terhadap hal ihwal keberadaan orang asing selama
di wilayah Indonesia sampai dengan pemulangannya ke negara asal atau ke luar
negara Indonesia.
Dengan
demikian, sponsor tidak terbatas kepada WNI saja, namun dapat juga merupakan
perusahaan, badan usaha, yayasan, organisasi atau bahkan instansi yang terkait
sehingga walaupun WNA tidak memiliki koneksi dengan WNI, WNA tetap dapat
memperoleh sponsor dari, misalnya, badan usaha yang melahirkan hubungan kerja
antara WNA dengan pemberi pertanyaan di atas.
Oleh
karena itu, untuk keperluan penanaman modalnya di Indonesia, WNA dapat
memperoleh VITAS dengan melengkapi persyaratan dokumen yang disebutkan di atas,
dengan kemungkinan bahwa WNA mendapatkan sponsor dari badan usaha tersebut.
5. Terkait dengan pemberian VITAS, maka
VITAS hanya dapat diberikan kepada WNA setelah mendapat persetujuan Direktorat
Jenderal Imigrasi atau pejabat imigrasi yang ditunjuknya berdasarkan Pasal
17 Kepmenkeh. Berdasarkan Pasal 13 PP No. 18 Tahun 2005 tentang Perubahan atas PP No. 32 Tahun 1994
tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, masa berlaku VITAS adalah 2 (dua)
tahun terhitung sejak tanggal diberikannya Izin Masuk di wilayah negara
Republik Indonesia. Namun, pengaturan lebih teknis diatur dalam Pasal 18
Permenkumham No. M.01-IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan kedua atas
Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah,
Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian,
masa berlaku VITAS tergantung pada masa berlaku paspor WNA terkait, yaitu:
(1) VITAS untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
dapat diberikan kepada WNA dengan masa berlaku paspor sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun;
(2) VITAS untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun
dapat diberikan kepada WNA dengan masa berlaku paspor sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan;
(3) VITAS untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
dapat diberikan kepada WNA dengan masa berlaku paspor sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan;
Demikian
jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat memberi sedikit pencerahan.
Dasar
hukum:
2. Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian (“PP 32/1994”) yang telah diubah
dua kali terakhir kali dengan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2005;
3. Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal
Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian, sebagaimana telah diubah empat kali
melalui:
a.
Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.01-IZ.01.10 Tahun 2003 tentang perubahan atas Keputusan Menteri
Kehakiman No. M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan,
Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian;
b.
Permenkumham No. M.01-IZ.01.10 Tahun
2007 tentang perubahan kedua atas Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal
Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian;
c.
Permenkumham No. M.HH.01.GR.01.06
Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal
Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian;
d.
Permenkumham No. M.HH.08.GR.01.06
Tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Keputusan Menteri Kehakiman No.
M.02-IZ.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal
Terbatas, Izin Masuk dan Izin Keimigrasian;
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar