Perusahaan_Hukumonline



Senin, 28 Pebruari 2011

Langkah demi Langkah Proses Merger Perseroan
Bagaimana proses hukum yang harus dilalui oleh perseroan yang hendak melakukan merger? Atas jawaban yang diberikan, saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban:  Diana Kusumasari

Proses hukum (prosedur) yang harus dilalui oleh perseroan yang hendak melakukan merger (penggabungan) adalah sebagai berikut:

A.        Memenuhi syarat-syarat penggabungan
Syarat umum penggabungan ini diatur dalam Pasal 126 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) jo. Pasal 4 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas (“PP 27/1998”) bahwa perbuatan hukum Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan wajib memperhatikan kepentingan:
a) Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan Perseroan;
b) kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan; dan
c) masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

Dalam buku Hukum Perseroan Terbatas, M. Yahya harahap, S.H (hal. 486) menyatakan bahwa syarat-syarat tersebut bersifat “kumulatif”, sehingga satu saja di antaranya dilanggar, mengakibatkan perbuatan hukum penggabungan tidak dapat dilaksanakan.

Lebih lanjut, Yahya harahapmenambahkan bahwa selain syarat tersebut, Pasal 123 ayat (4) UUPT menambah satu lagi syarat bagi Perseroan tertentu yang akan melakukan penggabungan syaratnya, perlu mendapat “persetujuan” dari “instansi terkait”. Menurut penjelasan pasal ini, yang dimaksud Perseroan tertentu yang memerlukan persyaratan persetujuan dari instansi terkait adalah Perseroan yang mempunyai “bidang usaha khusus”. Antara lain lembaga keuangan bank dan yang non-bank. Sedang yang dimaksud dengan instansi terkait, antara lain Bank Indonesia (“BI”) untuk penggabungan perseroan perbankan.

B.        Menyusun rancangan penggabungan
Setelah memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, Perseroan harus menyusun rancangan penggabungan. Rancangan penggabungan ini diatur dalam Pasal 123 UUPT jo Pasal 7 PP 27/1998:
1.         Direksi perseroan yang akan menggabungkan diri dan yang menerima penggabungan menyusun rancangan penggabungan;
2.         Rancangan penggabungan harus memuat sekurang-kurangnya:
a)     nama dan tempat kedudukan dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
b)     alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan melakukan Penggabungan dan persyaratan Penggabungan;
c)     tata cara penilaian dan konversi saham Perseroan yang menggabungkan diri terhadap saham Perseroan yang menerima Penggabungan;
d)     rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan yang menerima Penggabungan apabila ada;
e)     laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
f)       rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
g)     neraca proforma Perseroan yang menerima Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
h)     cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
i)        cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga;
j)       cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Penggabungan Perseroan;
k)      nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima Penggabungan;
l)        perkiraan jangka waktu pelaksanaan Penggabungan;
m)    laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap Perseroan yang akan melakukan Penggabungan;
n)     kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan Penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan
o)     rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan.
3.         Kemudian terhadap rancangan penggabungan tersebut dimintakan persetujuan kepada Dewan Komisaris dari setiap perseroan yang menggabungkan diri.

C.        Penggabungan disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”)
Setelah rancangan penggabungan disetujui oleh Dewan Komisaris dari masing-masing perseroan yang menggabungkan diri, kemudian rancangan tersebut harus diajukan kepada RUPS masing-masing perseroan untuk mendapat persetujuan.

Pasal 87 ayat (1) UUPT mensyaratkan bahwa keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. Mengutip yang disampaikan Yahya Harahap (hal. 491), penjelasan pasal ini mengatakan, yang dimaksud dengan “musyawarah untuk mufakat” adalah hasil kesepakatan yang disetujui oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS.

Ketentuan mengenai RUPS ini dapat juga kita temui dalam Pasal 89 ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa RUPS untuk menyetujui Penggabungan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Sehubungan dengan itu, cara mengambil keputusan RUPS dalam rangka penggabungan perseroan yang harus diterapkan dan ditegakkan (Hukum Perseroan Terbatas, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 491):
1.   Prioritas pertama, didahulukan dan diupayakan keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat, sehingga dapat menghasilkan keputusan RUPS yang disetujui bersama oleh pemegang saham yang hadir atau diwakili dalam RUPS;
2.   Namun, apabila gagal mengambil keputusan dengan cara musyawarah untuk mufakat yang digariskan Pasal 87 ayat [1] UUPT dimaksud, baru diterapkan dan ditegakkan ketentuan yang ditetapkan Pasal 89 ayat [1] UUPT, yakni keputusan RUPS sah apabila disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagi dari jumlah suara yang dikeluarkan.

Jika RUPS pertama tidak mencapai atau gagal mencapai kuorum, dapat diadakan RUPS kedua dengan kuorum kehadiran paling sedikit:
·      2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, hadir atau diwakili dalam RUPS;
·      Sedang keputusan sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
Sekiranya RUPS kedua ini gagal karena tidak mencapai kuorum, dapat lagi diadakan RUPS ketiga dengan jalan perseroan mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar ditetapkan kuorum RUPS ketiga (lihat Pasal 86 ayat [5] UUPT).

D.        Pembuatan akta penggabungan
Setelah masing-masing RUPS menyetujui rancangan penggabungan yang diajukan, maka rancangan penggabungan dituangkan dalam sebuah Akta Penggabungan (lihat Pasal 128 ayat [1] UUPT) yang dibuat:
·      di hadapan notaris; dan
·      dalam Bahasa Indonesia.

Kemudian salinan akta penggabungan tersebut dilampirkan untuk menyampaikan pemberitahuan penggabungan kepada Menteri Hukum dan HAM (“Menteri”) (lihat Pasal 21 ayat [3] UUPT) untuk dicatat dalam daftar perseroan.

Apabila terdapat perubahan terhadap Anggaran Dasar (“AD”) sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UUPT maka perlu adanya persetujuan dari Menteri. Untuk itu perlu mengajukan permohonan untuk mendapat persetujuan Menteri atas penggabungan dengan perubahan AD. Lebih jauh simak Haruskah Merger dan Akuisisi Disetujui Menteri?

E.        Pengumuman hasil penggabungan
Pasal 133 ayat (1) UUPT mensyaratkan bagi Direksi perseroan yang menerima penggabungan wajib mengumumkan hasil penggabungan dengan cara:
·      diumumkan dalam 1 (satu) surat kabar atau lebih;
·      dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggabungan.

Pengumuman dimaksudkan agar pihak ketiga yang berkepentingan mengetahui bahwa telah dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan. Dalam hal ini pengumuman wajib dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal:
a) persetujuan Menteri atas perubahan anggaran dasar dalam hal terjadi Penggabungan;
b) pemberitahuan diterima Menteri baik dalam hal terjadi perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) maupun yang tidak disertai perubahan anggaran dasar.
(lihat Penjelasan Pasal 133 UUPT).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Rabu, 11 Juli 2012


Konsultan Arsitektur, Bolehkah Berbentuk Usaha Perorangan?
Saya ingin mendirikan perusahaan konsultan perencana arsitektur, bisakah hanya dengan bentuk perusahaan perorangan?

Jawaban: Ilman Hadi
Konsultasi perencanaan arsitektur, menurut Pasal 1 angka 1 dan angka 2 jo. Pasal 6 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (“UU Jasa Konstruksi”), termasuk dalam lingkup pengertian Jasa Konstruksi. Menurut Pasal 5 UU Jasa Konstruksi, perusahaan perseorangan boleh melakukan usaha jasa kontruksi, tetapi hanya untuk pekerjaan konstruksi dengan risiko kecil, berteknologi sederhana dan berbiaya kecil. Bunyi Pasal 5 UU Jasa Konstruksi selengkapnya adalah sebagai berikut:

(1) Usaha jasa konstruksi dapat berbentuk orang perseorangan atau badan usaha.
(2) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku pelaksana. konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, yang berteknologi sederhana, dan yang berbiaya kecil.
(3) Bentuk usaha yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selaku perencana konstruksi atau pengawas konstruksi hanya dapat melaksanakan pekerjaan yang sesuai dengan bidang keahliannya.
(4) Pekerjaan konstruksi yang berisiko besar dan/atau yang berteknologi tinggi dan/atau yang berbiaya besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas atau badan usaha asing yang dipersamakan.

Jadi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Jasa Konstruksi, perusahaan jasa konstruksi dapat berupa perusahaan perseorangan, tetapi hanya dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi yang berisiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya kecil.Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU Jasa Konstruksi disebutkan bahwa:

Pembatasan pekerjaan yang boleh dilakukan oleh orang perseorangan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap para pihak maupun masyarakat atas risiko pekerjaan konstruksi.

Mengenai yang dimaksud dengan “risiko kecil, berteknologi sederhana, dan berbiaya kecil” diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (“PP 28/2000”), yaitu:
-      kriteria risiko kecil mencakup pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak membahayakan keselamatan umum dan harta benda
-      kriteria teknologi sederhana mencakup pekerjaan konstruksi yang menggunakan alat kerja sederhana dan tidak memerlukan tenaga ahli
-      kriteria biaya kecil dan atau biaya sedang dan atau biaya besar yang ditentukan berdasarkan besaran biaya dan volume pekerjaan.

Selain itu, penyedia jasa usaha konstruksi baik berbentuk perorangan maupun badan usaha wajib mendapat sertifikat klasifikasi dan sertifikat kualifikasi, dan mengikuti registrasi yang dilakukan oleh Forum Jasa Konstruksi (Pasal 12 PP 28/2000 jo UU Jasa Konstruksi).

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 22 Agustus 2011

Konsekuensi Hukum atas Perubahan Alamat Perusahaan
Selamat malam Bung Pokrol, saya mengenal anda dari buku maupun media elektronik lainnya. ada hal yang saya tanyakan: 1) Apabila suatu perusahaan pindah alamat domisilinya apakah hal-hal yang berkaitan izin legalitas tersebut juga harus diperbahurui seperti halnya SIUP, NPWP, TDP, Surat Keterangan Domisili dan izin lainnya yang berkaitran dengan kegiatan perusahaan? 2) Adakah konsekuensi hukumnya apabila izin tersebut ditunda untuk pembaharuannya berhubung perusahaan tersebut dalam proses penggabungan dengan perusahaan lainnya yang sejenis? 3) Bisa tolong jelaskan bagaimana prosedur perubahan untuk izin-izin tersebut dan apa dasar hukumnya?


Perubahan alamat Perusahaan

Untuk memperjelas pertanyaan kiranya perlu dibedakan antara alamat dengan domisili Dalam Pasal 17 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT") tentang tempat kedudukan (domisili) dinyatakan bahwa Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. Kemudian, pada Pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa tempat kedudukan (domisili) tersebut merupakan kantor pusat Perseroan. Selanjutnya, Pasal 5 UUPT memberikan pembedaan antara tempat kedudukan (domisili) dan alamat Perseroan.

Berdasarkan ketentuan kedua pasal di atas terlihat bahwa kedudukan perseroan (domisili) adalah hal yang berbeda dengan alamat perusahaan. Kedudukan perseroan (domisili) sebagaimana disebutkan di dalam anggaran dasar, Perseroan berada di dalam suatu kota atau kabupaten. Sedangkan, suatu alamat tidak wajib ditentukan di dalam anggaran dasar tetapi hal tersebut dapat ditentukan oleh perseroan berada di dalam wilayah suatu kedudukan perseroan (domisili) yang ditentukan di dalam anggaran dasar.

Sebagai konsekuensi dari hal ini adalah perubahan alamat yang dilakukan oleh perseroan yang masih berada dalam satu wilayah kota atau kabupaten tidak memerlukan perubahan domisili dalam anggaran dasarnya. Sebaliknya, apabila perubahan alamat tersebut menjadi berada di luar wilayah kota/kabupaten yang dicantumkan dalam anggaran dasar, maka hal ini akan mewajibkan perseroan untuk melakukan perubahan domisili, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 23 UUPT.

Berdasarkan ketentuan Pasal 21 UUPT, perubahan anggaran dasar terbagi menjadi dua kelompok yaitu perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri dan perubahan anggaran dasar yang cukup diberitahukan kepada Menteri. Perubahan anggaran dasar yang merubah tempat kedudukan sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) huruf a harus mendapat persetujuan Menteri dan perubahan tersebut harus dinyatakan dalam akta notaris berbahasa Indonesia. Dalam Pasal 23 ayat (1) UUPT dinyatakan bahwa Perubahan anggaran dasar terkait dengan tempat kedudukan tersebut mulai berlaku, sejak diterbitkannya keputusan menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar.

Kewajiban yang Timbul dari Perubahan Alamat Perusahaan dan Dasar Hukumnya

Dengan perubahan alamat suatu perusahaan maka terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh suatu perusahaan di antaranya adalah:

1.     Perubahan Surat Izin Usaha Perdagangan ("SIUP")

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 46/M-Dag/Per/9/2009 jo. No. 36/M-Dag/Per/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan ("Permendag 46/2009"):

Perubahan Perusahaan adalah perubahan data perusahaan yang meliputi perubahan nama perusahaan, bentuk perusahaan, alamat kantor perusahaan, nama pemilik/penanggung jawab, modal dan kekayaan bersih, kelembagaan, kegiatan usaha, dan barang/jasa dagangan utama (Pasal 1 ayat [5])

Setiap terjadi perubahan data perusahaan mewajibkan Pemilik, Pengurus atau Penanggung jawab Perusahaan Perdagangan mengajukan Surat Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan ("SP-SIUP") perubahan dengan menggunakan formulir:

-          Lampiran I Permendag 46/2009 (SP SIUP); dan melampirkan
-          Lampiran II (Dokumen Permendag 46/2009 persyaratan permohonan SIUP Baru, pendaftaran ulang, pembukaan Kantor Cabang/Perwakilan, perubahan, pengganti yang hilang atau rusak, dan contoh surat pernyataan)

Kemudian Paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterima SP-SIUP, Pejabat Penerbit SIUP menerbitkan SIUP perubahan dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran III (Formulir SIUP Kecil/Menengah /Besar) (Pasal 14).
Dalam Lampiran II Permendag 46/2009 syarat-syarat yang diperlukan dalam melaporkan perubahan data perseroan:
1.      Surat Permohonan SIUP (Lampiran I Permendag 46/2009);
2.      SIUP Asli;
3.      Neraca Perusahaan (tahun terakhir khusus untuk Perseroan Terbatas);
4.      Data pendukung perubahan;
5.      Foto Pemilik atau Penanggungjawab Perusahaan ukuran 3×4 cm (2 lembar).

2.     Kewajiban dibidang Perpajakan Nomor Pokok Wajib Pajak ("NPWP")

Bahwa berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak No. Per-62/PJ/2010 jo. Per-41/PJ/2009 jo. Per-44/Pj/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (WP) dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak ("PerDirjen Pajak 62/2010").

Perubahan alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat usaha keluar wilayah kerja KPP tempat Wajib Pajak Terdaftar tidak termasuk dari definisi Perubahan Data WP atau PKP (Pasal 1 Butir 15 PerDirjen Pajak), selanjutnya untuk permohonan perubahan data untuk WP pindah dan/atau PKP pindah disampaikan ke KPP/KP4/KP2KP tempat WP terdaftar untuk memberitahukan dan memohon perubahan data (Pasal 1 Butir 19 PerDirjen Pajak). Pemindahan WP atau PKP diartikan sebagai memindahkan administrasi perpajakan Wajib Pajak dan/atau PKP dari tata usaha KPP lama ke tata usaha KPP baru, karena alasan pindah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha (Pasal 1 Butir 16 PerDirjen Pajak 62/2010).

Bahwa mengenai perubahan alamat wajib pajak (perseroan) tidak terikat kepada domisili perusahaan sebagaimana ditentukan di dalam Anggaran Dasar, dalam hal wajib pajak (perseroan) melakukan perpindahan alamat yang menjadi perhatian adalah mengenai wilayah Kantor Pelayanan Pajak ("KPP"). Apabila perubahan alamat mengakibatkan perubahan KPP maka wajib pajak yang bersangkutan harus mengajukan permohonan perpindahan KPP kepada KPP lama dan KPP baru dan mengenai tata cara pelaporan dan pemindahan tersebut diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 PerDirjen Pajak 62/2010.

3.     Perubahan Surat Keterangan Domisili Perusahaan ("SKDP")

Bahwa mengenai SKDP, sampai dengan saat ini tidak ada peraturan khusus yang mengatur mengenai hal ini, untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta peraturan yang bisa dijadikan dasar mengenai hal ini terdapat dalam Peraturan Daerah DKI No. 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah ("Perda DKI 1/2006"), walaupun tidak secara tegas menyatakan SKD, namun SKD dapat digolongkan pada perizinan yang berhubungan dengan Retribusi daerah, peraturan lainnya adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 506 Tahun 1989 tentang Pedoman Penyelengaraan Pelayanan Masyarakat Dikantor Lurah DKI Jakarta ("KepGub 505/1989").

Berbeda yang telah jelaskan di atas bahwa pada dasarnya kedudukan perusahaan adalah suatu domisili perusahaan. Berbeda dengan hal tersebut bahwa walaupun SKDP (Surat Keterangan Domisili Perusahaan) disebutkan sebagai surat keterangan Domisili, pada kenyataannya adalah suatu surat keterangan yang dikeluarkan oleh kelurahan mengenai alamat suatu perusahaan.

Dokumen yang diperlukan untuk melakukan pengurusan SKDP ini sebagaimana terdapat di dalam KepGub 505/1989 yaitu:
1.      surat pengantar RT dan RW;
2.      KTP pemilik;
3.      Akta Notaris pendirian perusahaan;

Sedangkan Surat Keterangan Domisili ("SKD"), yang berhubungan dengan kewajiban perpajakan digunakan dalam kaitannya dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ("P3B"). SKD digunakan untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tertentu adalah subjek pajak dalam negeri (residence) dari suatu Negara tertentu yang menandatangani P3B. Dengan demikian, SKD tersebut harus diterbitkan oleh Negara di mana seseorang atau badan terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Sementara itu, negara lain yang merupakan negara sumber penghasilan akan mengenakan tarif sesuai P3B jika orang atau badan tersebut dapat menunjukkan SKD dari negara mitra P3B-nya. SKD bagi Wajib Pajak Dalam Negeri diatur dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.

4.     Surat Tanda Daftar Perusahaan ("TDP")

Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-undang ini dan atau peraturan-peraturan pelaksanaannya, dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan (Pasal 1 huruf a UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan).
Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-Dag/Per/9/2007 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan ("Permendag 37/2007")

Setiap perusahaan yang melakukan perubahan terhadap data yang didaftarkan wajib melaporkan perubahan data kepada KPP Kabupaten/Kota/Kotamadya setempat dengan mengisi formulir pendaftaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran II.A sampai dengan II.F Peraturan Menteri ini dan melampirkan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri ini.

1).   Kewajiban melaporkan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a.      PT paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal persetujuan perubahan atau bukti penerimaan pemberitahuan perubahan dari Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan; atau
b.      Koperasi, CV, Firma, perorangan, dan BUL paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal perubahan (Pasal 10 Permen 37/2007 ayat [1] dan ayat [2])

Selanjutnya dalam Pasal 11 Permendag 37/2007 disebutkan bahwa perubahan alamat perusahaan dapat mengakibatkan penggantian TDP, masa berlaku TDP pengganti adalah sampai dengan masa berlaku TDP diubah/diganti. TDP pengganti akan diterbitkan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Perusahaan (KPP) paling lambat 3 hari terhitung sejak permohonan perubahan diterima secara benar dan lengkap.

Lampiran VI Permendag 37/2007:

Dokumen persyaratan perubahan daftar perusahaan untuk masing-masing bentuk usaha adalah sebagai berikut :
1.      Asli dan fotokopi persetujuan perubahan atau bukti penerimaan pemberitahuan
2.      perubahan dari Menteri Hukum dan HAM;dan
3.      TDP asli.
dalam hal perubahan alamat dan tidak mengubah domisili tidak diwajibkan untuk melakukan perubahan anggaran dasar sehingga persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak diperlukan

Konsekuensi dari Penundaan Izin karena Penggabungan

-          SIUP

Pasal 20 Permendag 46/2009:

1.      Pemilik atau Pengurus atau Penanggungjawab Perusahaan Perdagangan yang telah memiliki SIUP, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa Peringatan Tertulis oleh Pejabat Penerbit SIUP.
2.      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan dikeluarkan oleh Pejabat Penerbit SIUP.
3.      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan ini.

Pasal 21 Permendag 46/2009:

1.      Pemilik, Pengurus, atau Penanggungjawab Perusahaan Perdagangan yang telah memiliki SIUP, yang tidak menghiraukan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) atau Pasal 5 huruf a, dikenakan sanksi admi         nistratif berupa pemberhentian sementara SIUP.
2.      Pemberhentian sementara SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan, dilakukan oleh Pejabat Penerbit SIUP dengan mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara SIUP.
3.      Keputusan Pemberhentian Sementara SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan Formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri ini.

-          TDP
1.      Perubahan alamat suatu perusahaan mewajibkan perusahaan untuk melakukan pelaporan perubahan alamat tersebut (Pasal 11 ayat (1) Permendag 37/2007);
2.      Perusahaan yang tidak melaporkan perubahan alamat, daftar perusahaannya dihapus, TDP dinyatakan tidak berlaku, dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU-WDP (Pasal 11 ayat (6) Permendag 37/2007).
3.      Dalam hal perusahaan melakukan kelalaian untuk melaporkan kewajiban ini maka perusahaan tersebut akan dikenakan sangsi berupa:
a.      Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan dikeluarkan oleh Pejabat Penerbit SIUP;
b.      Dalam hal peringatan tertulis tersebut tidak dihiraukan dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara SIUP paling lama 3 (tiga) bulan.
Melihat konsekuensi di atas sebaiknya tetap dilakukan pelaporan, sambil meminta rekomendasi dari instansi terkait atas perubahan izin-izin tersebut sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Apabila masih dalam tahap dilakukan penggabungan (merger) maka terhadap perusahaan yang selamat (surviving company) harus melakukan kewajiban pelaporan perubahan setelah merger, untuk perusahaan yang akan menggabungkan diri resiko tidak memperpanjang izin-izin adalah kemungkinan pihak ketiga tidak mau melakukan perbuatan hukum dengan perusahaan, sampai izin-izin perusahaan disesuaikan.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

1.      Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ;
2.      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
3.      Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1 tahun 2006 tentang Retribusi Daerah;
4.      Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 506 Tahun 1989 Tentang Pedoman Penyelengaraan Pelayanan Masyarakat Dikantor Lurah DKI Jakarta;
5.      Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-35/PJ/2010 tentang Surat Keterangan Domisili Bagi Subjek Pajak Dalam Negeri Indonesia Dalam Rangka Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
6.      Peraturan Terkait Surat Izin Usaha Perdagangan :
a.      Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-Dag/Per/9/2007 Tahun 2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan;
b.      Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46/M-Dag/Per/9/2009 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-Dag/Per/9/2007 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan;
c.      Surat Edaran Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 01/Pdn/Se/01/2010 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
7.      Peraturan Terkait Dengan Tanda Daftar Perusahaan :
a.      Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/M-Dag/Per/9/2007 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan;
b.      Surat Edaran Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 01/Pdn/Se/01/2010 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
8.      Peraturan Mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak :
a.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-62/PJ/2010 tentang perubahan kedua Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per 44/Pj/2008;
b.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-41/PJ/2009 tentang perubahan pertama Peraturan Dirjen Pajak Nomor Per 44/Pj/2008;
c.      Per-44/Pj/2008 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Dan/Atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data Dan Pemindahan Wajib Pajak Dan/Atau Pengusaha Kena Pajak,

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer