Perusahaan_Hukumonline
Rabu, 18 September 2002
Apakah
Firma Badan Hukum
Apakah firma sebuah badan hukum dan
apakah sebuah firma boleh menjadi pemegang saham dalam PT?
Firma bukanlah badan hukum melainkan
merupakan suatu persekutuan perdata dengan nama bersama (lihat Pasal 16 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang � KUHD). Arti �nama bersama' harus dilihat dari sudut pandang
tanggung jawab di antara para �sekutu' (demikian KUHD menyebutkan bagi istilah �pengusaha') yang dalam hal bertindak
atas nama firma terhadap pihak ketiga. Setiap �sekutu' yang diberikan wewenang
mengurus firma (disebut juga �sekutu pengurus') dapat bertindak secara langsung
(baca: tanpa persetujuan/pengetahuan dari sekutu pengurus lain) atas nama
firma. Sedangkan secara internal, tanggung jawab terhadap pihak ketiga
ditanggung secara tanggung renteng oleh semua sekutu termasuk �sekutu non-pengurus', kecuali sekutu
pengurus telah bertindak diluar kepentingan atau wewenang berdasarkan ketentuan
anggaran dasar dan atau hukum yang berlaku. Selain itu, perlu diketahui bahwa
firma dianggap menurut hukum mempunyai �kekayaan sendiri' yang harus
dilepaskan dari �kekayaan sekutu' (lihat Pasal 33 KUHD). Ini merupakan �kemajuan' dari struktur bisnis �firma' dibandingkan dengan struktur
bisnis �persekutuan
perdata' yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (lihat Pasal
1618-1652).
Karena perusahaan �firma' bukan badan hukum maka ia
tidak dapat anggap sebagai subyek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban
tersendiri seperti halnya orang pribadi (manusia) dan badan hukum. Hak dan
kewajiban masih �melekat' pada diri masing-masing sekutu. Oleh karena itu,
firma tidak dapat menjadi pemegang saham dalam PT. Hal tersebut secara tegas
diatur dalam Penjelasan Pasal 7 dari Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, bahwa yang dimaksud dengan �orang' yang merupakan �pemegang saham' adalah orang
perseorangan (manusia) atau badan hukum.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 13 Juni 2011
Apakah
Corporate Guarantee Perlu Persetujuan RUPS?
Apakah sebuah perseroan yang ingin
memberikan corporate guarantee untuk debitur (individu/perusahaan) perlu
mendapat persetujuan RUPS? Apabila ya, apa dasar hukumnya (dalam UU)?
Perjanjian
penanggungan dibagi menjadi dua bagian, yaitu penanggungan yang dilakukan oleh
pribadi (personal guarantee) dan penanggungan yang dilakukan oleh badan
hukum (corporate guarantee). Pada dasarnya, kedua jenis perjanjian
penanggungan tersebut memiliki prinsip yang sama, karena baik hak dan kewajiban
yang dimiliki penanggung pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya
saja subyek pelakunya berbeda.
Inti dari perjanjian penanggungan adalah adanya pihak
ketiga yang setuju untuk kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri tidak
berhasil memenuhi kewajibannya (lihat Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
Dari ketentuan tersebut dapat kita amati bahwa apabila
sebuah Perseroan memberikan corporate guarantee berarti Perseroan
tersebut setuju mengikatkan diri untuk memenuhi/membayar hutang debitur (yang
ditanggung) apabila debitur tersebut tidak mampu membayarnya.
Dalam hal ini tentu harta kekayaan Perseroan dijadikan
sebagai jaminan untuk melunasi hutang debitur yang ditanggung oleh Perseroan
tersebut. Merujuk pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), Direksi wajib
meminta persetujuan RUPS untuk:
a. mengalihkan kekayaan Perseroan; atau
b. menjadikan jaminan utang kekayaan
Perseroan;
yang
merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan
dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun
tidak.
Jadi,
ditegaskan oleh ketentuan dalam UUPT bahwa apabila suatu Perseroan hendak
memberikan corporate guarantee terutama dengan menjaminkan lebih dari
50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih Perseroan dalam 1 (satu)
transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak, maka
Direksi wajib meminta persetujuan RUPS.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 11 September 2009
anggaran
dasar tidak sesuai dengan faktanya..
Teman saya pernah bertanya,
bagaimana konsekwensi hukummya bila suatu PT (sudah disahkan) di anggaran dasar
mencantumkan bahwa Direksi terdiri terdiri dari 5 orang, tetapi pada
kenyataannya Direksi ini hanya terdiri dari 4 orang saja. Bagaimana konsekwensi
hukum bagi bank yang akan memberikan pinjaman kepada PT tersebut?
Jumlah anggota Direksi dalam suatu Perseroan
Terbatas (PT) dimuat dalam anggaran dasar (pasal 15 huruf f UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas atau UUPT). Apabila jumlah anggota direksi
berubah dan tidak sesuai lagi dengan yang tertera dalam anggaran dasar, maka
harus dilakukan perubahan anggaran dasar PT yang ditetapkan oleh RUPS.
Perubahan anggaran dasar dapat
dilakukan dengan dua cara, yakni harus atas persetujuan dari Menteri
Hukum dan HAM atau cukup hanya dengan pemberitahuan kepada Menteri.
Dalam hal harus dimintakan atas persetujuan Menteri, apabila menyangkut hal-hal
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 21 ayat (2) UUPT, yakni :
- Nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan
- Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan
- Jangka waktu berdirinya Perseroan
- Besarnya modal dasar
- Pengurangan modal ditempatkan dan disetor
- Status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya
Selain dari yang telah disebutkan di
atas, maka perubahan anggaran dasar cukup dengan pemberitahuan kepada Menteri
(pasal 21 ayat [3] UUPT).
Berdasarkan pertanyaan yang telah
Anda sampaikan mengenai jumlah Direksi yang tidak sesuai dengan AD, maka harus
dilakukan perubahan AD dengan ketetapan RUPS dan hasil keputusannya cukup diberitahukan
kepada Menteri.
RUPS untuk mengubah anggaran dasar
dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah
seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan
adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang
dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau
ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar (pasal 88 ayat
[1] UUPT).
Susunan Direksi yang tercantum dalam
anggaran dasar harus mencerminkan kondisi atau fakta yang sebenarnya karena:
- Direksi mempunyai tugas dan wewenang dalam menjalankan pengurusan untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan PT [pasal 92 ayat (1) UUPT]. Dalam hal Direksi terdiri atas dua orang atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS atau keputusan Direksi. Oleh karenanya, tiap-tiap Direksi mempunyai wewenang dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh RUPS atau Direksi.
- Pembagian tugas masing-masing Direksi berhubungan dengan perlindungan pihak ketiga. Karena Direksi akan bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian PT apabila Direksi bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya terhadp PT (pasal 97 ayat [3] UUPT). Namun, apabila Direksi terdiri atas dua anggota atau lebih, maka tanggung jawabnya secara tanggung renteng bagi setiap anggota (pasal 97 ayat [4] UUPT).
Anggaran dasar merupakan suatu acuan
dari PT karena dalam anggaran dasar diatur mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan PT. Oleh karena itu apabila dikaitkan dengan hubungan Direksi dengan
pihak ketiga (dalam hal ini Bank) dan ternyata Direksi melakukan suatu tindakan
di luar dari kewenangannya, maka dia akan bertanggung jawab secara pribadi atau
tanggung renteng. Pihak Bank dapat melihat struktur kepengurusan, jumlah,
kewenangan, dan tugas dari Direksi dalam anggaran dasar PT untuk meminta
pertanggungjawaban apabila terjadi hal-hal yang merugikan pihak Bank. Oleh
karena itu, anggaran dasar dalam PT merupakan hal yang sangat penting dan
karena itu kepengurusan PT harus sesuai dengan yang tercantum dan yang telah
diatur dalam anggaran dasarnya.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga Bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan
terkait:
UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 14 September 2009
Anggaran
Dasar Perseroan Terbuka - pertanyaan lanjutan
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih
atas jawaban yang diberikan untuk pertanyaan saya terkait AD Perseroan Terbuka.
Melanjutkan pertanyaan tersebut, dalam jawaban bapak/ibu disebutkan tentang lex
superior derogat legi inferiori. Sementara, ada pula azas lex spesialis derogat
lex generali. Sehubungan dengan itu, bagaimanakah kedudukan kedua azas
tersebut. Jika terjadi benturan antara peraturan yg bersifat umum dengan yang
bersifat khusus, apakah bukan azas lex spesialis derogat lex generali yang
berlaku? Terima kasih sebelumnya.
Jawaban:
Menyambung diskusi kita sebelumnya
(lihat di sini),
terdapat tiga asas hukum yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan dalam
peraturan perundang-undangan, yakni:
- Asas lex superior derogat legi inferiori
- Asas lex specialis derogat legi generali
- Asas lex posteriori derogat legi priori
Penjelasan kami selanjutnya akan
lebih difokuskan pada asas lex superior
derogat legi inferiori dan asas lex
specialis derogat legi generali serta perbedaan antara kedua asas tersebut.
Asas lex superior derogat legi inferiori
Asas ini menyatakan bahwa peraturan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dengan demikian peraturan yang lebih tinggi akan mengenyampingkan peraturan
yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara
hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan.
Hierarki peraturan
perundang-undangan diatur dalam ketentuan pasal UU No. 10 Tahun 2004 mengenai
Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Adapun tata urutannya sebagai berikut
:
- UUD 1945
- Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)
- Peraturan Pemerintah (PP)
- Keputusan Presiden (Keppres)
- Peraturan Daerah (Perda)
Berdasarkan hierarki yang telah
disebutkan di atas, maka materi muatan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD
1945. Begitu juga materi muatan peraturan perundang-undangan yang berada di
bawah UU tidak boleh bertentangan dengan UU dan UUD 1945.
Asas lex specialis derogat legi generali
Asas ini menyatakan bahwa peraturan
yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum. Asas lex
specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan
yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.
Jadi, dalam persoalan yang Anda
tanyakan sebelumnya (lihat di sini),
sekalipun pengaturannya lebih khusus materi muatan Peraturan Bapepam tidak
boleh bertentangan dengan materi muatan UU Perseroan Terbatas karena kedudukan
UU Perseroan Terbatas lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan
daripada Peraturan Bapepam.
Demikian sejauh yang kami pahami.
Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait
:
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 25 November 2008
Anggaran
Dasar Perseroan Terbuka
Mohon penjelasan mengenai kedudukan
Peraturan Ketua Bapepam LK terhadap UU PT. Selanjutnya, dalam hal Perseroan
Terbuka, jika terdapat pengaturan yang berbeda mengenai suatu hal yang sama
antara UU PT dengan Peraturan Ketua Bapepam LK (misalnya penetapan kuorum RUPS
ketiga vide UU PT pasal 86 ayat (5) dan Peraturan bapepam LK No. IX. J. 1 angka
15 c), maka peraturan manakah yang diikuti/berlaku bagi Perseroan Terbuka tsb,
apakah UU PT atau Peraturan Bapepam LK? Terima kasih sebelumnya.
Jawaban:
Saudari Ririn Febry,
UU No. 10/2004 tidak menyebutkan
secara spesifik keberadaan Peraturan Ketua Bapepam. Namun demikian, dalam
penjelasan pasal 7 ayat 4 dapat kita temui bahwa yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan juga termasuk peraturan yang dikeluarkan oleh badan yang
dibentuk dengan undang-undang, seperti Bapepam (dibentuk berdasar UU No. 8/1995
tentang Pasar Modal). Menurut pasal 7 ayat 4 tersebut, peraturan seperti ini
hanya mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan yang lebih tinggi.
Dilihat dari segi kewenangan,
Bapepam memang memiliki kewenangan untuk menentukan persyaratan dan tata cara
Pernyataan Pendaftaran Emiten (lihat pasal 5 huruf d UU No. 8/1995), misalnya
dalam bentuk Peraturan Bapepam LK No. IX. J. 1 yang mengatur Pokok-Pokok
Anggaran Dasar Perseroan Yang Melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas
Dan Perusahaan Publik ini. Karena diperintahkan oleh peraturan yang lebih
tinggi (undang-undang), dapat dikatakan bahwa Peraturan Bapepam tersebut
mengikat.
Masalahnya,
Peraturan Bapepam tersebut mengatur ketentuan yang ternyata bertentangan dengan
Undang-Undang PT. Penetapan kuorum RUPS ketiga yang semestinya wewenang Ketua
Pengadilan Negeri (pasal 86 ayat 5 UU PT 2007/pasal 73 ayat 6 UU PT 1995),
diatur ditetapkan oleh Ketua Bapepam (Peraturan Bapepam LK No. IX. J. 1 angka
14).
Apa yang terjadi bila ada benturan
peraturan seperti ini? Menurut pasal 7 ayat 5 UU No. 10/2004, berlaku hierarki
peraturan perundangan yang mengacu pada asas lex superior derogat legi
inferiori, atau dengan kata lain, peraturan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, meskipun ke dua
peraturan tersebut dapat dikatakan berlaku (mengikat), namun karena kedudukan
aturan dalam UU PT posisinya jelas lebih tinggi, maka peraturan UU PT
tersebutlah yang seharusnya diikuti.
Apabila terdapat perbedaan pendapat
mengenai hal seperti ini, baik menyangkut suatu perkara hukum atau tidak, pihak
yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan uji materiil peraturan tersebut
kepada Mahkamah Agung (pasal 31 UU No. 5/2004 tentang Perubahan atas UU
No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung).
Mahkamah Agung yang akan menentukan apakah Peraturan tersebut masih dapat terus
berlaku.
Semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 23 April 2003
Alternatif
Yayasan
Menurut
ketentuan Undang-undang No.16 tahun 2001, tanggung jawab pengurus yayasan tidak
terbatas, bahkan sampai dengan kepada pribadi pengurusnya. Bagaimana jika kita
menggunakan "Lembaga" sebagai alternatif penggantinya dan bagaimana
pengaturannya menurut hukum positif Indonesia, mohon penjelesan, terima kasih.
Jawaban:
Hukum positif Indonesia tidak
mengenal adanya konsep badan hukum lembaga. Dalam hukum Indonesia, dikenal ada
2 (dua) macam badan hukum yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan hukum publik contohnya adalah
Persero, Perusahaan Daerah, Perusahaan Jawatan, Perusahaan Umum, Negara dan
organisasinya, BUMN (Badan Usaha Milik Negara), serta Organisasi internasional
(PBB, WHO, ILO) serta badan hukum lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang.
Sementara untuk badan hukum privat,
terbagi menjadi 2 lagi yaitu badan hukum privat yang menjalankan perusahaan (Perseroan
Terbatas dan Koperasi) dan badan hukum privat yang tidak menjalankan perusahaan
(yayasan, ormas, partai politik, perkumpulan). Yang dimaksud dengan menjalankan
perusahaan artinya bahwa badan hukum tersebut dalam melakukan kegiatannya
bertujuan untuk mencari laba.
Dikaitkan dengan pertanyaan mengenai
alternatif untuk mengganti bentuk hukum dari suatu organisasi yang berbadan
hukum yayasan maka alternatif yang biasanya dipilih adalah bentuk hukum
perkumpulan mengingat sifat dari badan hukum perkumpulan ini yang hampir serupa
dengan yayasan, yaitu biasanya digunakan untuk organisasi-organisasi yang
tujuan pendiriannya adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya sosial.
Pengaturan mengenai badan hukum
perkumpulan selama ini memang sangat singkat sekali yaitu diatur dalam Staatsblad 1870 No. 64 ("Stb.1870-64") dan KUHPerdata
("KUHPer") Buku III bab
IX. Beberapa hal yang dapat kita lihat sehubungan pengaturan perkumpulan dalam
Hukum Positif Indonesia:
Pendirian
Pada intinya setiap dua orang atau
lebih dapat mendirikan suatu perkumpulan. Suatu perkumpulan yang ingin
bertindak atas namanya sendiri maka perkumpulan tersebut harus menjadi badan
hukum.
Status Badan
Hukum
Ada dua dasar hukum yang dapat
digunakan sehubungan dengan status badan hukum perkumpulan, yaitu:
Pertama, Menurut Stb. 1870-64, perkumpulan
menjadi badan hukum setelah mendapat pengesahan dari penguasa (ketika itu
Gubernur Jendral atau Pejabat yang ditunjuknya, sekarang Menkeh dan HAM).
Pengesahan itu dilakukan dengan menyetujui anggaran dasar perkumpulan yang
berisi tujuan, dasar-dasar, lingkungan kerja dan ketentuan lain mengenai
perkumpulan tersebut.
Status badan hukum suatu perkumpulan
dapat hilang, karena:
a. 1. Dinyatakan bertentangan dengan
ketertiban umum oleh Gubernur Jendral (sekarang Menkeh) -> Stb. 1870-64;
b. Menyimpang dari ketentuan anggaran dasar.
Kedua, Berdasarkan Staatsblad 1939 No.570 mengenai Perkumpulan Indonesia (Inlandsche
Vereniging) ("Stb.1939-570")
yang pada awalnya hanya berlaku untuk daerah Jawa Madura saja. Kemudian
berdasarkan Staatsblad 1942 No.13 jo
14 ("Stb.1942-13 jo14")
ketentuan Staatsblad 1939 No.570
diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia.
Untuk memperoleh status sebagai
badan hukum,
Perkumpulan Indonesia harus mengajukan permohonan terlebih dahulu baik
lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan negeri setempat dimana
perkumpulan itu berada. Kedudukan badan hukum diperoleh setelah diadakan
pendaftaran penandatanganan anggaran dasar (ps.16 Stb.1942-13 jo14) dan setelah
anggaran dasar memenuhi prosedur yang disyaratkan dalam ps.13-14, 16
Stb.1942-13 jo 14.
Perkumpulan Indonesia yang sudah
berbadan hukum harus didaftarkan dalam suatu register khusus pada Kepaniteraan
Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Berita Negara (ps.18-19 Stb.1942-13 jo
14).
Pengakuan sebagai badan hukum
ditolak jika ternyata tujuannya bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan
atau Undang-undang (ps.8 (6) Stb.1942-13 jo 14).
Pembubaran
Perkumpulan dapat bubar dengan sebab
berikut:
1. Dibubarkan oleh UU -> ps.1662
KUHPer (untuk perkumpulan yang didirikan oleh penguasa);
2. Dinyatakan dalam akte pendirian atau
reglemen-reglemennya -> ps.1663 KUHPer;
3. berhentinya tujuan atau hal yang
menjadi pokok perkumpulan -> ps.1663 KUHPer.
Untuk Perkumpulan Indonesia (Inlandsche
Vereniging) sebagaimana diatur dalam ps.7 (2) Stb.1939-570, suatu
perkumpulan berakhir karena dibubarkan dengan keputusan rapat umum anggotanya.
Hak Suara
Diatur dalam ps.1659 KUHPer, jika
dalam akte pendirian, persetujuan-persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak
diatur mengenai hak bersuara, maka masing-masing anggota suatu perkumpulan
mempunyai hak sama untuk mengeluarkan suaranya, segala keputusan diambil dengan
suara terbanyak.
Pertanggungjawaban Anggota
Mengenai pertanggungjawaban anggota,
menurut ps.1661 KUHPer dikatakan bahwa anggota perkumpulan tidak bertanggung
jawab secara pribadi untuk perikatan-perikatan perkumpulan. Pertanggungjawaban
kepada pihak ketiga hanya terbatas pada harta yang dimiliki oleh perkumpulan
tersebut, tidak dapat mencakup harta pribadi anggotanya kecuali apabila hal
tersebut diperjanjikan.
Wewenang dan Tanggung Jawab Pengurus
Besarnya kekuasaan pengurus untuk
bertindak keluar atau melakukan perbuatan-perbuatan hukum untuk perkumpulannya
diketahui melalui anggaran dasar atau reglemennya. Namun ps.1655 KUHPer memberikan
patokan bahwa kecuali diatur lain dalam akte pendiriannya, pengurus berwenang
untuk:
1. bertindak atas nama perkumpulan;
2. mengkikat perkumpulan dengan pihak
ketiga dan sebaliknya;
3. bertindak di muka hakim baik sebagai
penggugat maupun tergugat.
Kemudian mengenai tanggung jawab
pengurus dikatakan dalam ps.1658 KUHPer, pengurus perkumpulan bertanggung jawab
kepada anggota.
Lebih lanjut diatur dalam ps.1656
KUHPer dikatakan bahwa segala perbuatan di mana para pengurusnya tidak
berwenang untuk melakukannya, hanya dapat mengikat perkumpulan apabila
perkumpulan itu telah mendapat manfaat karenanya atau apabila
perbuatan-perbuatan itu telah disetujui secara sah.
Dikatakan juga dalam ps.1657 KUHPer
bahwa jika dalam akte pendirian, persetujuan dan reglemen-reglemennya tidak
diatur mengenai pengurus perkumpulan maka tidak seorang anggota pun berwenang
untuk bertindak atas nama perkumpulan atau mengikatkan perkumpulan dengan suatu
cara lain selain yang telah ditetapkan ps.1656 KUHPer diatas.
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar