Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Selasa, 20 November 2012
Pertanyaan:
Kerahasiaan Dokumen Cukai

Adakah perlindungan bagi pengusaha untuk bisa melindungi (menolak menunjukkan) dokumen perusahaan yang sifatnya confidential, khususnya yang berhubungan dengan cukai selain yang berhubungan dengan rahasia dagang (bussines management, teknologi, dan yang bersifat ekonomis)?

Sejauh ini, belum ada peraturan yang mengatur mengenai perlindungan bagi pengusaha yang secara khusus mengatur perlindungan dokumen perusahaannya selain pada bidang hak kekayaan intelektual yaitu Rahasia Dagang. Namun, pada praktiknya para pengusaha sering melindungi kerahasian suatu kondisi keuangan, bisnis proses, kegiatan usaha, dokumen-dokumen perusahaan, dan lain-lain untuk tetap dijaga kerahasiaannya oleh karyawannya kepada pihak lain pada suatu pengaturan yaitu Peraturan Perusahaan atau Kontrak Karyawannya.
Perlindungan dengan cara mengatur suatu rahasia perusahaan melalui sebuah Peraturan Perusahaan atau Kontrak Karyawan dapat disusun oleh pengusaha, sehingga segala bentuk kerahasiaan, tata cara, dan sanksi ditentukan oleh Pengusaha itu sendiri. Oleh Karena itu, untuk sampai saat ini peraturan yang mengatur mengenai perlindungan rahasia perusahaan hanya terbatas pada Rahasia Dagang. Untuk memperjelas mengenai perlindungan yang diberikan oleh UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UU 30/2000”). Berikut penjelasan mengenai Rahasia Dagang.
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU 30/2000, Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. Sedangkan, lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum.

Untuk lebih jelasnya, Pasal 3 UU 30/2000 menyatakan bahwa Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya. Sejauh mana suatu informasi itu memiliki sifat Rahasia yaitu apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat.
Suatu informasi akan dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersil atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. Sedangkan informasi dapat dianggap dijaga kerahasiaannya pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut.
Dengan terpenuhinya ketiga unsur tersebut di atas, suatu dokumen sudah dianggap memiliki perlindungan sebagai Rahasia Dagang tanpa perlu adanya pendaftaran di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual guna menjadikan suatu dokumen menjadi sebuah Rahasia Dagang. Perlindungan yang timbul terhadap Rahasia Dagang dapat tersirat pada Pasal 13 dan 14 UU 30/2000 yang menyatakan:
Pasal 13 UU 30/200
Pelanggaran Rahasia Dagang juga terjadi apabila seseorang dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang, mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan.
Pasal 14 UU 30/2000
Seseorang dianggap melanggar Rahasia Dagang pihak lain apabila ia memperoleh atau menguasai Rahasia Dagang tersebut dengan cara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas, Perlindungan Rahasia Dagang itu timbul sejak adanya pelanggaran bagi pihak-pihak yang memperoleh, menggunakan, menguasai Rahasia Dagang dengan cara yang bertentangan dengan perjanjian yang disepakati atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apabila perbuatan dalam Pasal 13 dan 14 di atas dilakukan, maka pihak yang melakukan tersebut diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300.000.000 sebagaimana diatur Pasal 17 UU 30/2000.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dokumen perusahaan berupa dokumen cukai yang memiliki nilai ekonomi yang tidak diketahui masyarakat umum, dan telah dijaga kerahasiaannya, dapat dianggap sebagai Rahasia Dagang suatu perusahaan. Oleh karena itu, pemilik dokumen Rahasia Dagang memiliki hak atas dokumen tersebut untuk menggunakan sendiri dan tidak melakukan pengungkapan yang bersifat komersil atas Rahasia Dagang tersebut kepada masyarakat umum. Namun, hal ini perlu dikerucutkan kembali mengenai kepada siapakah dokumen tersebut dapat dirahasiakan.
Beberapa contohnya terkait mengenai tidak dapatnya dilakukan penolakan atas penunjukan dokumen cukai kepada:
1. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai, apabila pengusaha terindikasi melakukan pelanggaran atas Dokumen Cukai tersebut, PPNS diberikan kewenangan untuk memeriksa seluruh dokumen cukai yang dimiliki Pengusaha, sebagaimana hal ini tercantum dalam Pasal 63 UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai; dan
2. Perintah Hakim berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 KUHD terkait pemeriksaan di Pengadilan, para pihak pemilik buku-buku, catatan-catatan, surat-surat yang dimiliki, wajib dibuka di depan hakim.
Maka, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa Dokumen yang berkaitan dengan Cukai dapat diklasifikasikan dalam Rahasia Dagang, sehingga dokumen tersebut mendapatkan perlindungan dari Rahasia Dagang itu sendiri. Namun, penolakan penunjukan dokumen kepada pejabat-pejabat tertentu sebagaimana contoh di atas, yang memiliki kepentingan untuk memeriksa dokumen cukai tersebut guna kepentingan ketertiban umum, ketahanan dan keamanan, keselamatan masyarakat umum, maka tidak berlaku perlindungan terhadap Rahasia Dagang tersebut.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43);
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Rabu, 24 Oktober 2012
Ketentuan Modal Disetor Dalam Pembuatan SIUP dan TDP
Yth. Pengasuh Hukum Online, Saya sedang mengurus pembuatan PT baru melalui notaris. Sesuai informasi notaris dan UU PT yang saya tahu, modal disetor cukup sebesar 25% dari modal dasar. Tapi, pada saat notaris membantu mengurus SIUP dan TDP diinformasikan bahwa ada peraturan departemen perdagangan yang mengharuskan modal disetor sebesar 50% dari modal dasar. Apa hal ini benar? Dan kalau benar kenapa peraturan departemen perdagangan bisa melanggar UU?
Jawaban: Ilman Hadi
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) mensyaratkan untuk Perseroan Terbatas (“PT”) harus memiliki modal paling sedikit Rp50 juta. Dari modal dasar tersebut paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) harus ditempatkan dan disetor penuh (lihat Pasal 32 dan Pasal 33 UUPT).
Selain itu, peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pertanyaan Anda yaitu Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 36/2007”)sebagaimana telah diubah terakhir dengan Permendag No. 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan,dan Permendag No. 37/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 37/2007”).Berdasarkan penelusuran kami atas peraturan perundang-undangan tersebut, kami tidak menemukan ketentuan yang menyatakan bahwa untuk pengurusan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan) untuk PT, mensyaratkan adanya modal disetor sebesar 50% dari modal dasar.
Pendaftaran SIUP dilakukan dengan mengisi formulir Surat Permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SP-SIUP) yang ditandatangani oleh pemilik, pengurus, atau penanggung jawab perusahaan di atas meterai cukup. (Pasal 11 Permendag 36/2007) Pengisian formulir SP-SIUP juga dilengkapi dengan dokumen antara lain (Lampiran Permendag 36/2007):
1)    Fotokopi Akta Notaris Pendirian Perusahaan;
2)    Fotokopi Akte Perubahan Perusahaan (apabila ada);
3)    Fotokopi Surat Keputusan Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia;
4)    Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) Penanggungjawab/Direktur Utama Perusahaan;
5)    Surat Pernyataan dari Pemohon SIUP tentang lokasi usaha perusahaan, dan;
6)    Foto Penanggungjawab atau Direktur Utama Perusahaan ukuran 3x4 cm (2 lembar).

Sedangkan, untuk pendaftaran TDP cukup dilakukan pengisian formulir pendaftaran perusahaan oleh pemilik, pengurus, penanggung jawab, atau kuasa perusahaan yang sah pada KPP Kabupaten/Kota/Kotamadya di tempat kedudukan perusahaan. Formulir tersebut kemudian ditandatangani oleh pengurus atau penanggung jawab perusahaan (Pasal 9 Permendag 37/2007).

Selain itu, berdasarkan penelusuran kami pada laman resmi Kementerian Perdagangan (www.kemendag.go.id), kami juga tidak menemukan adanya peraturan terbaru yang mengharuskan modal disetor sebesar 50% dari modal dasar seperti yang Saudara sebutkan.

Kami menyarankan agar Saudara menanyakan hal ini langsung kepada Dinas Perdagangan Provinsi untuk DKI Jakarta, dan Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota untuk selain DKI Jakarta atau Pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, sebagai pelaksana pendaftaran SIUP (lihat Pasal 8 Permendag 36/2007), serta pendaftaran TDP (lihat Pasal 3 jo. Pasal 5 Permendag 37/2007).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan
3.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 37/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Kamis, 19 Juli 2012
Ketentuan Perpajakan Usaha Online
Saya ingin bertanya tentang undang-undang dalam usaha online di Facebook, karena banyak berita beredar ada yang ditangkap dan didenda 30 juta atau pidana 5 tahun dengan alasan tidak bayar pajak. Mohon pencerahannya.
Jawaban:  Ilman Hadi

Pengenaan sanksi terhadap pemilik usaha online seperti yang Saudara tanyakan adalah karena adanya pajak yang tidak dibayarkan, dalam hal ini pajak penghasilan. Pajak penghasilan ini adalah kewajiban bagi subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU PPh”).

Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa yang menjadi subjek pajak adalah:
a.    1. orang pribadi;
2. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
b.    badan; dan
c.    bentuk usaha tetap.

Kewajiban untuk membayarkan pajak penghasilan ini timbul sejak saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan sehingga memperoleh penghasilan (disarikan dari buku Hukum Pajak, karya Djamaluddin Gade dan Muhammad Gade, hal. 79).

Untuk pajak jual beli secara online oleh subjek pajak dalam negeri (perorangan atau badan), berdasarkan penelusuran kami tidak ada peraturan khusus yang menyebutkan tentang transaksi online serta pengaturan pajaknya. Pengenaan pajak jual beli untuk toko online pada dasarnya dipersamakan dengan toko konvensional (sebagaimana dikutip dari artikel berjudul "Edukasi Pajak: Perpajakan Untuk Toko Online" dari bisnis.com yang diasuh oleh Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Humas, Direktorat Jenderal Pajak, 14 Juni 2012).

Dengan demikian, ketentuan pajak yang berlaku bagi usaha online tidaklah berbeda dengan toko konvensional pada umumnya, hanya saja media yang digunakan dalam hal ini adalah internet. Yang dikenakan pajak dari toko konvensional adalah keuntungan dari penjualan sebagai salah satu objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh.

Ditegaskan pula dengan adanya Peraturan Dirjen Pajak No PER-32/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (“Perdirjen pajak 32/2010”), pengusaha perorangan melalui media internet (online) wajib membayar pajak penghasilan sesuai aturan. Meskipun tidak memiliki tempat usaha secara fisik, kewajiban membayar PPh ini tetap mengikat bagi mereka. Lebih jauh simak artikel Penjual Barang Online Bayar PPh.

Masih dari artikel yang sama, juga dari artikel "Jual Barang Lewat Internet Kena PPh 21" yang ditulis oleh Mahadana News (sumber: smartaxaniong.com), dinyatakan bahwa terhadap pengusaha yang melaksanakan transaksi online diberlakukan PPh 25. Mengenai cara perhitungan PPh, Saudara bisa menyimak artikel Cara Menghitung Pajak Penghasilan.

Perhitungan pajak bagi pengusaha online sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOPPT) dikenakan angsuran atas pajak penghasilan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha, yang dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak (Pasal 3 ayat (1) dan (2) Perdirjen pajak 32/2010).

Jika toko online menjual barang atau jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), ia juga harus menerbitkan faktur pajak. Pengaturan mengenai PPN saat ini diatur dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Bagi pengusaha online yang demikian dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Sebenarnya Pengusaha kecil dibebaskan dari kewajiban mengenakan/memungut PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) sehingga tidak perlu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Undang-undang PPN & PPnBM berlaku sepenuhnya bagi pengusaha kecil tersebut (sumber: www.pajak.go.id)

Kewajiban untuk menjadi PKP ini baru muncul ketika pengusaha online memiliki penerimaan bruto melebihi Rp 600 juta/tahun. Bila sudah timbul kewajiban tetapi sengaja tidak mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak, diancam pidana paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Dapat disimpulkan bahwa pajak untuk transaksi online dipersamakan dengan pajak transaksi pada toko konvensional pada umumnya.Untuk wajib pajak (dalam hal ini pengusaha online) yang  tidak melaksanakan kewajiban membayar pajaknya, Direktorat Jenderal Pajak akan melakukan penagihan pajak.
Tindakan ini dilakukan apabila Wajib Pajak tidak membayar pajak terutang sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam Surat Tagihan Pajak (STP), atau Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, maka Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan tindakan penagihan. Proses penagihan dimulai dengan Surat Teguran dan dilanjutkan dengan Surat Paksa. Dalam hal Wajib Pajak tetap tidak membayar tagihan pajaknya maka dapat dilakukan penyitaan dan pelelangan atas harta WP yang disita tersebut untuk melunasi pajak yang tidak/belum dibayar. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat melakukan pencegahan dan penyanderaan terhadap Wajib Pajak/penanggung pajak yang tidak kooperatif dalam membayar hutang pajaknya. Lebih jauh bisa Saudara baca di laman resmi Direktorat Jenderal Pajak.
Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, sebenarnya belum ada peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur mengenai perpajakan untuk usaha online, karena ketentuan perpajakan usaha online disamakan dengan ketentuan perpajakan toko konvensional.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
4.    Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 02 Juli 2012
Pertanyaan:
Ketentuan tentang Jarak Minimarket dari Pasar Tradisional
Orangtua saya memiliki sebuah warung kecil (pribadi), akhir-akhir ini muncul usaha-usaha modern seperti indomaret ataupun alfamart yang jaraknya pun saling berdekatan, yang berakibat warung menjadi sepi. Tindakan apa yang harus kami lakukan? Bila protes, harus bagaimana? Apa ada pengaturan hukumnya, terkait jarak yang dekat. perlu diketahui? Usaha modern tersebut sangatlah banyak tersebar dengan nama yang sama, terima kasih.  
Jawaban:  Ilman Hadi
Minimarket, dalam peraturan perundang-undangan termasuk dalam pengertian “Toko Modern”. Peraturan mengenai toko modern diatur dalam Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007”). Pengertian toko modern menurut Pasal 1 angka 5 Perpres 112/2007 adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Setiap toko modern wajib memperhitungkan kondisi sosial ekonomi mayarakat sekitar serta jarak antara toko modern dengan pasar tradisional yang telah ada (Pasal 4 ayat (1) Perpres 112/2007).
Mengenai jarak antar-minimarket dengan pasar tradisional yang saling berdekatan, hal tersebut berkaitan dengan masalah perizinan pendirian toko modern (minimarket).
Suatu toko modern (minimarket) harus memiliki izin pendirian yang disebut dengan Izin Usaha Toko Modern (“IUTM”) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan khusus untuk wilayah DKI Jakarta diterbitkan oleh Gubernur (Pasal 12 Perpres 112/2007). Kemudian kewenangan untuk menerbitkan IUTM ini dapat didelegasikan kepada Kepala Dinas/Unit yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat (Pasal 11 Permendag No. 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern - “Permendag 53/2008”) .
Mengenai persyaratan untuk mendapatkan IUTM, Anda dapat simak dalam artikel Prosedur Mendirikan Toko Ritel Tradisional dan Ritel Modern

Dalam Pasal 3 Perpres 112/2007, disebutkan bahwa luas bangunan untuk minimarket adalah kurang dari 400m2 . Lokasi pendirian dari Toko Modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota.
Ketentuan yang menyebut untuk memperhatikan jarak diatur untuk toko modern kategori Hypermarket saja, sedangkan pengaturan lokasi untuk minimarket tidak disebutkan.  
Pengaturan lokasi minimarket dalam Pasal 5 ayat (4) Perpres 112/2007 disebutkan bahwa minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan. Artinya, minimarket bisa membukai gerai hingga ke wilayah pemukiman warga.

Kemudian, Pasal 3 ayat (9) Permendag 53/2008 menyebutkan kewajiban bagi minimarket yaitu Pendirian Minimarket baik yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan atau bangunan lain wajib memperhatikan:
a.    Kepadatan penduduk;
b.    Perkembangan pemukiman baru;
c.    Aksesibilitas wilayah (arus lalu lintas);
d.    Dukungan/ketersediaan infrastruktur; dan
e.    Keberadaan Pasar Tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar yang lebih kecil daripada Minimarket tersebut.

Namun, Permendag 53/2008 tidak mengatur konsekuensi ataupun sanksi apabila kewajiban di atas dilanggar. Pelaksanaan pengawasan toko modern diserahkan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta.
Tentang jarak minimarket diatur pula di dalam peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Untuk wilayah DKI Jakarta misalnya, diatur dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 44 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (“Kepgub 44/2004”) yang merupakan peraturan pelaksana dari Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta (“Perda DKI 2/2002”). Berdasarkan Pasal 8 Kepgub 44/2004 jo. Pasal 10 huruf a Perda DKI 2/2002, mini swalayan (minimarket) yang luas lantainya 100 m2 s.d. 200m2 harus berjarak radius 0,5 km dari pasar lingkungan dan terletak di sisi jalan lingkungan/kolektor/arteri.

Berdasarkan Pasal 9 Perda DKI 2/2002, penyelenggara usaha perpasaran swasta (dalam hal ini mini market) harus memenuhi ketentuan, harga jual barang-barang sejenis yang dijual tidak boleh jauh lebih rendah dengan yang ada di warung dan toko sekitarnya. Pelanggaran terhadap ketentuan jarak dan mengenai harga barang-barang yang dijual diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp5 juta (Pasal 22 ayat [1] Perda DKI 2/2002).

Perda DKI 2/2002

Pasal 22
(1)Setiap orang dan atau badan usaha yang melakukan kegiatan perpasaran swasta tanpa memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 20 diancam pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

(2)Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan biayapaksaan penegakan hukum.

(3)Gubernur menetapkan pelaksanaan dan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Berdasarkan Pasal 24 Perda DKI 2/2002, selain dikenakan ancaman pidana terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administrasi berupa:
a.    teguran tertulis sebanyak-banyaknya tiga kali;
b.    pemanggilan;
c.    penutupan sementara sarana tempat usaha perpasaran swasta;
d.    pencabutan izin yang dikeluarkan oleh Gubernur.

Penegakan sanksi dalam Perda menjadi kewenangan dari Satuan Polisi Pamong Praja, (“Satpol PP”) sebagai perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Satpol PP dipimpin oleh Kepala Satpol PP yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui sekretaris daerah (Pasal 1 angka jo. Pasal 2 ayat Permendagri No. 41 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta)

Pengaturan jarak minimarket di kabupaten/kota lainnya mungkin berbeda-beda, tetapi di wilayah DKI Jakarta, seperti telah dijelaskan sebelumnya, ditentukan harus berjarak minimal 0,5 km dari pasar terdekat. Jadi, sebelum Anda mengajukan protes terhadap keberadaan minimarket yang menurut Anda “saling berdekatan”, Anda perlu memastikan dulu bagaimana aturan mengenai pendirian minimarket menurut perda di wilayah Anda. Jika Anda menemukan ada indikasi pelanggaran perda yang dilakukan pengelola minimarket di sekitar lingkungan daerah Anda, maka Anda dapat menyampaikan laporan kepada aparat pemda setempat.
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.    Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
2.    Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 53/M-DAG/PER/12/2008 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern
3.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2011 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
4.    Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 01 Juni 2010
Kewajiban NPWP bagi Perusahaan/Perorangan untuk Pengajuan Kredit Bank
Saat pengajuan kredit saya disuruh melampirkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Yang mau saya tanyakan, wajibkah pengajuan kredit melampirkan NPWP? Yang kedua, apa dasar hukumnya?
Jawaban:  Shanti Rachmadsyah
Kewajiban melampirkan NPWP dalam pengajuan kredit diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak: SE-06/PJ.23/1995 tentang Kewajiban Penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan Dalam Permohonan Kredit. Kewajiban ini berlaku untuk kredit dengan plafon di atas Rp30 juta. Berikut bunyi ketentuan selengkapnya;
“Atas setiap pengajuan permohonan satu atau beberapa jenis kredit dengan plafon Rp. 30 juta ke atas, atau permohonan penambahan kredit sehingga plafon kreditnya mencapai Rp. 30 juta ke atas, bank wajib meminta kepada pemohon kredit untuk menyampaikan foto copy Kartu NPWP-nya.”
Dalam peraturan tersebut di atas juga diatur bahwa kewajiban penyampaian NPWP tersebut dikecualikan bagi:

(1) Permohonan kredit yang diajukan oleh pemohon kredit yang merupakan satu kelompok sepanjang plafon kredit masing-masing anggotanya di bawah Rp30 juta;
(2) Pemohon kredit orang pribadi yang berpenghasilan netto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak;
(3) Pemohon kredit orang pribadi yang tidak mempunyai penghasilan lain selain penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan dari satu pemberi kerja. Tetapi pemohon kredit disyaratkan untuk menyampaikan foto copy lampiran SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1 atau Formulir 1721-A2).

Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Jumat, 29 Juni 2012
Kewenangan Pengawasan Bank Indonesia
Pada tahun 2001 sebuah Bank melelang jaminan kredit macet. Pemegang saham bank tersebut mengikuti lelang Terbuka dan menjadi pemenang lelang dengan cara dibayarkan lunas oleh pihak Bank, sehingga pemegang saham Bank tersebut harus mengangsur kepada Bank (oper kredit). Bank tidak pernah mengeluarkan surat tagih, sehingga pemegang saham kesulitan dalam membayarkan angsuran. Pada tahun 2010 Bank Indonesia kemudian meminta kepada Bank untuk menyelesaikan permasalahan agunan tersebut dengan cara mengizinkan pemegang saham untuk membayar cicilan dalam surat yang ditandatangani oleh Deputi Bank Indonesia. Tujuh bulan kemudian, pada tahun 2011, Bank Indonesia kemudian mengeluarkan keputusan untuk MENGHENTIKAN cicilan tersebut dan menyuruh bank untuk mengembalikan seluruh cicilan yang sebelumnya sudah diterima melalui surat yang ditandatangani oleh Deputi Bank Indonesia yang sama. Apakah staf Bank Indonesia dapat mengeluarkan 2 keputusan yang bertentangan untuk kemudian HARUS ditaati oleh pemegang saham serta Bank tersebut? Pemiizzegang saham telah berupaya menyampaikan keluhannya kepada pihak Bank Indonesia namun tidak ada tanggapan apapun yang diberikan. Mohon bantuan Hukumonline untuk memberikan 1. kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap Bank? 2. Apakah Bank Indonesia dapat mengintervensi RUPS suatu bank?
Jawaban:  Ilman Hadi
Pada kasus yang Saudara sampaikan, terdapat dua keputusan yang bertentangan padahal pelaksanaan dari keputusan yang pertama belum selesai dilaksanakan sehingga memang dimungkinkan menimbulkan kebingungan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, kami menyarankan agar Saudara tetap melakukan upaya yang lebih aktif (misalnya, dengan cara menghadap langsung ke pihak Bank Indonesia) untuk meminta kejelasan.  
Menjawab kedua pertanyaan Saudara, berikut penjelasan kami:

1.    Kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank diatur dalam Pasal 24 sampai Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. (“UUBI”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2009. Kewenangan yang dimiliki oleh Bank Indonesia dalam rangka pengawasan bank diatur dalam Pasal 23 UUBI, antara lain:

a.    Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. (Pasal 24 ayat (1) UUBI);
b.  Bank Indonesia berwenang memberikan dan mencabut izin usaha Bank; memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor Bank; memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan Bank; dan memberikan izin kepada Bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. (Pasal 26 UUBI);
c.    Bank Indonesia mewajibkan Bank untuk menyampaikan laporan, keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Apabila diperlukan Bank Indonesia hal ini juga dapat diberlakukan untuk perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank. (Pasal 28 UUBI);
d.    Bank Indonesia dapat memeriksa keterangan dan data mengenai pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya. Hal ini apabila diperlukan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur Bank. (Pasal 29 UUBI);
e.    Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 (Pasal 30 ayat (1) UUBI);
f.     Bank Indonesia dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan(Pasal 31 ayat (1) UUBI);
g.    Dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku (Pasal 33 UUBI).

Secara singkat, kami kutip dari laman resmi Bank Indonesia, kewenangan Bank Indonesia untuk mengawasi (right to control), adalah kewenangan melakukan pengawasan bank melalui pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision). Pengawasan langsung dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus,yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank. Pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank,laporan hasil pemeriksaan dan informasi lainnya. Dalam pelaksanaannya, apabila diperlukan BI dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank termasuk pihak lain yang meliputi perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. BI dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama BI melaksanakan tugas pemeriksaan.

Dalam Pasal 34 jo. Pasal 35 UUBI diatur bahwa pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia selama lembaga pengawasan sektor jasa keuangan belum terbentuk.

Sejak tahun 2011 telah disahkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”). Seperti diberitakan Hukumonline, dengan disahkannya UU OJK, sebagian besar kewenangan Bank Indonesia (BI) akan dialihkan ke lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lebih jauh simak artikel OJK Reduksi Kewenangan Bank Indonesia.

Masih dalam artikel yang sama disebutkan bahwa tanggung jawab pengaturan dan pengawasan dari BI sudah harus beralih ke OJK, setidaknya pada 31 Desember 2013 atau awal tahun 2014.

2.   Mengenai intervensi dari Bank Indonesia, merujuk pada Pasal 3 dan Pasal 6 PP No. 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank:

Pasal 3

(1)    Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
a.      pemegang saham menambah modal;
b.      pemegang saham mengganti dewan komisaris dan atau direksi bank;
c.    bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d.      bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e.      bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f.       bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
g.      bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.
(2)     Apabila:
a.      tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank; dan atau
b.      menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.
(3)     Dalam hal direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                               
Pasal 6
Apabila Rapat Umum Pemegang Saham tidak dapat diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), atau dapat diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi, Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada Pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi:
a.    pembubaran badan hukum Bank;
b.    penunjukan Tim Likuidasi;
c. perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini;
d.  perintah agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi kepada Bank Indonesia.


Dari ketentuan di atas, diketahui bahwa pihak Bank Indonesia dapat memerintahkan kepada Direksi bank untuk dilakukan RUPS untuk tujuan pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi. Akan tetapi, untuk proses acara RUPS itu sendiri Bank Indonesia tidak diatur lebih spesifik mengenai campur tangan langsung dari BI pada bank yang mengalami kesulitan.

Jadi, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengawasi kegiatan usaha bank berdasarkan Pasal 24 sampai Pasal 35 UU BI. Akan tetapi, kewenangan ini nantinya akan berkurang karena telah dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Bank Indonesia dapat memerintahkan untuk diselenggarakannya RUPS bank dalam hal proses likuidasi untuk membubarkan badan hukum bank dan membentuk Tim Likuidasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
4.   Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer