Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Selasa, 26 Juni 2012

Aturan Penanaman Modal Asing pada Industri Fashion

Dear hukumonline, Saya ingin bertanya, jika ada suatu perusahaan luar negeri yang bergerak di bidang fashion (merek ternama) ingin melakukan penanaman modal dan membuka toko penjualan di Indonesia (Jakarta), bagaimanakah caranya? Apakah mengenai bidang fashion tersebut diatur dalam DNI, misalnya apakah termasuk dalam jenis perdagangan besar atau direct selling? Terima kasih.  


Sebelum menjawab pertanyaan Saudara mengenai Industri Fashion, dapat kami sampaikan bahwa pada dasarnya tidak terdapat definisi yang jelas mengenai arti dari kata “fashion”. Fashion sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang menurut Oxford Dictionary Online diartikan sebagai:

“a popular or the latest style of clothing, hair, decoration, or behavior.”

Terjemahan bebasnya:
“Populer atau gaya mode terbaru/kiniakan pakaian, rambut, riasan, atau perilaku.”

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fashion merupakan suatu cara berpakaian/berbusana beserta asesorisnya yang dapat menentukan penampilan seseorang. Namun, hal tersebut di atas tidak juga menjelaskan mengenai klasifikasi atas Industri Fashion itu sendiri.

Sehubungan dengan pertanyaan saudara tersebut, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 131/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Fashion (“Permendag 131”), menjelaskan mengenai Industri Fashion. Dalam Permendag 131 terdapat 10 klasifikasi jenis usaha yang termasuk dalam kategori Industri Fashion, yaitu:

(a)     Industri Bordir/Sulaman (KBLI 17293);
(b)     Industri Pakaian Jadi Rajutan (KBLI 17302);
(c)     Industri Pakaian Jadi dari Tekstil dan Perlengkapannya (KBLI 18101);
(d)     Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dan Perlengkapannya dari Kulit (KBLI 18102);
(e)     Industri Bulu Tiruan (KBLI 18201);
(f)     Industri Pakaian Jadi/Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris (KBLI 18202);
(g)     Industri Pencelupan Bulu (18203);
(h)     Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Pribadi (KBLI 19121);
(i)      Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Teknik/ Industri (KBLI 19122);
(j)      Industri Alas Kaki untuk Keperluan Sehari-hari (KBLI 19201).

Merujuk hal di atas, mengenai Industri Fashion sangat luas cakupannya. Atas hal ini, maka kami berasumsi bahwa Industri Fashion yang Saudara maksudkan untuk didirikan adalah Industri Pakaian Jadi dari Tekstil dan Perlengkapannya, sebagaimana Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI 2005”) dengan Nomor Kode Klasifikasi/Kategori bidang usaha 18101.

Namun, Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersebut di atas telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI 2009”) dan berkenaan terdapatnya perubahan tersebut maka bidang usaha tersebut di atas masuk ke dalam Klasifikasi/Kategori bidang usaha dengan Nomor Kode 47511 dan Nomor 4771.


Penanaman Modal Asing (“PMA”) Untuk Industri Fashion

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal("UU 25/2007"), khususnya pada Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa suatu PMA wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas (“PT”) berdasarkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berkenaan hal tersebut, maka suatu PMA harus berbentuk badan hukum, dalam hal ini PT.

Selanjutnya, mengenai cara pendirian PT PMA, sebagaimana diatur dalam UU 25/2007, khususnya pada Pasal 12 ayat (1), bahwa tidak seluruh bidang usaha di Indonesia terbuka untuk penanaman modal asing. Terdapat sektor-sektor bidang usaha tertentu berdasarkan UU 25/2007 termasuk dalam bidang usaha atau jenis usaha tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

Mengenai hal ini diatur dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal ("Perpres 36/2010"), atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi (Negative List) (“DNI”).

Walaupun pada kenyataan Industri Fashion tidak secara rinci dinyatakan dalam DNI akan tetapi dapat kami jelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“PerBKPM 12/2009”) jo Pasal 12 ayat (1) UU 25/2007, yang menyatakan bahwa segala bidang usaha dapat/terbuka untuk PMA sepanjang bidang usaha tersebut tidak termasuk dalam bidang usaha tertutup, yaitu:
Pasal 10 ayat (1):
Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang penetapannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 12 ayat (1):
a.    produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
b.    bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Sesuai dengan Perpres 36/2010 bahwa bidang usaha yang Saudara maksud bergerak dalam bidang perdagangan, yang mana berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa BKPM memperkenankan bagi setiap PMA untuk membuka bidang usaha perdagangan, namun hanya sebatas membuka bidang usaha perdagangan retail. Dan sepanjang persyaratan mengenai toko yang akan dibuka oleh PMA mempunyai luas bersih, lebih besar dari 2000 m2.

Namun berkenaan modal PT PMA, sejak 2012 BKPM telah membuat kebijakan yaitu nilai investasi PT PMA harus lebih besar dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan minimum modal yang disetor setara dengan USD 250,000 (dua ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Industri Fashion tertutup bagi PMA yang tidak termasuk/tergolong dalam bidang usaha perdagangan retail dan juga tidak memiliki toko dengan luas kurang dari 2000 m2.
Setelah dilakukannya pemeriksaan mengenai bidang usaha sebagaimana dimaksud di atas, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pendirian PT PMA, hal pertama kali yang patut Saudara lakukan adalah mengajukan aplikasi kepada Badan Kordinasi Penanaman Modal (“BKPM”), yaitu dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dalam Lampiran I PerBKPM 12/ 2009.
Berikut kami paparkan proses pembuatan PT PMA:

A.    Melengkapi identitas PT yang akan didirikan pada Notaris, yang meliputi:
  1. Nama perusahaan;
  2. Kota sebagai tempat domisili usaha/perusahaan
  3. Jumlah modal;
  4. Nama pemegang saham dan persentase modal;
  5. Susunan Direksi dan Komisaris.

B.    Pengajuan permohonan PT PMA pada BKPM (Lampiran I, PerBKPM 12/2009), dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut:
1.    Photocopy Paspor Warga Negara Asing (KTP WNI apabila ikut pemegang saham)
2.    Surat Kuasa (Power of Attorney) untuk mengajukan PT PMA dan menghadap ke Notaris;
3.    Rekaman Anggaran Dasar (Article of Association) PMA dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah;
4.    Surat Kuasa asli bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan PT PMA di BKPM yang tidak dilakukan secara langsung oleh pemohon/Direksi perusahaan (di-Waarmerking oleh Notaris Indonesia);
5.    Permohonan Pendaftaran ditandatangani di atas meterai cukup oleh seluruh pemohon (bila perusahaan belum berbadan hukum) atau oleh direksi perusahaan (bila perusahaan sudah berbadan hukum).
Catatan: untuk angka 2 (dua) dan 3 (tiga)  dokumen-dokumen tersebut wajib dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (“KBRI”) pada negara asal PMA.

Sebagai tambahan catatan, berdasarkan Pasal 16 ayat (3) PerBKPM 12/09, PMA yang telah memiliki pendaftaran PMA dari BKPM selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkan pendafataran PMA wajib untuk merealisasikan pembentukan badan hukum dan bilamana dalam jangka waktu dimaksud, PMA tersebut belum juga membentuk suatu badan hukum (PT) maka pendaftaran PMA yang dimiliki batal demi hukum.

C.    Pendirian PT
Bahwa, setelah didapatkannya pendaftaran PMA dari BKPM dimaksud maka proses dilanjutkan kepada pembuatanakta pendirian PT, dan sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUPT yang mensyaratkan suatu PT memperoleh status badan hukum pada saat tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan PT dan untuk mendirikan suatu PT wajib berdasarkan UUPT, yang mana syarat dalam mendirikan PT adalah sebagai berikut:

1.    Memiliki minimal 2 (dua) pemegang saham.
2.    Memiliki modal dasar minimal Rp 50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah), yang paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat pendirian;
3.    Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham;
4.    Didirikan dengan akta otentik (Notaris).

Adapun PT memiliki suatu karakteristik, dalam hal ini terdapat pada pemisahan kekayaan para pemegang saham/pengurus PT dengan kekayaan badan usaha, sehingga para pemegang saham/pengurus PT hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya jika memang dalam melaksanakan/menjalankan PT didasarkan pada iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, hal ini didasarkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT.

Mengenai pembahasan lebih rinci mengenai karakteristik suatu badan usaha yang berbadan hukum dapat Anda lihat pada jawaban kami sebelumnya yaitu Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya.

Selanjutnya, masuk ke dalam proses Pendirian PT PMA (setelah keluarnya, izin pendaftaran PMA dari BKPM) adalah sebagai berikut:

1.    Pembuatan Akta Pendirian Perseroan pada Notaris yang ditunjuk berdasarkan daerah asal domisili PT PMA (izin pendaftaran PMA dari BKPM dimaksud, akan memasukkannya dalam Akta Pendirian PT PMA);
2.    Membuat Surat Keterangan Domisili Perusahaan (“SKDP”) pada kelurahan tempat PT PMA berkedudukan;
3.    Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”) atas nama PT PMA dimaksud.
Catatan:NPWP yang dibuat untuk PT. PMA harus NPWP khusus PT. PMA. Dan pada tahap ini dapat sekaligus mengurus Surat PKP (Pengusaha Kena Pajak) pada Kantor Pajak Pratam (“KPP”) khusus PMA tersebut. dan nantinya akan dilakukan survei/ tinjau lokasi perusahaan.
4.    Pembukaan rekening atas nama PT PMA dan menyetorkan modal saham dalam bentuk uang tunai ke kas PT PMA Bukti setornya diserahkan kepada Notaris untuk kelengkapan permohonan pengesahan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
5.    Pengajuan Pengesahan Pendirian PT pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
6.    Pengumuman Anggaran Dasar Perseroan di Berita Negara.


Izin Usaha Untuk Industri Fashion

Setelah mendirikan PT PMA terdapat izin-izin pendukung untuk menjalankan kegiatan usaha Saudara. Adapun izin-izin tersebut, antara lain:

1.    Surat Izin Usaha Perdagangan (“SIUP”);
2.    Tanda Daftar Perseroan (“TDP”);
3.    Ijin Undang-Undang Gangguan (“HO”);
4.    Wajib Lapor Ketenagakerjaan (UU No. 7 Tahun 1981);
5.    Nomor Pengenal Importir Khusus Tekstil dan Produk Tekstil (“NPIK TPT”);
6.    Rencana Impor Produk Tertentu untuk 1 tahun Rencana impor produk tertentu (jumlah, jenis barang, HS 10 digit dan pelabuhan tujuan)
7.    Nomor Identitas Kepabeanan (“NIK”);
8.    Angka Pengenal Importir Umum (“API-U”);
9.    Importir Terdaftar (“IT”) Produk Tertentu - Pakaian Jadi;
10.Persetujuan dan/atau izin lain dari BKPM.

Catatan: Mengenai izin-izin lain terkait PT PMA, lebih lanjut kami sanrankan agar Saudara melihat bahasan mengenai Pendirian PT PMA.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
4.    Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.(lampiran:Daftar Negatif Investasi).
5.    Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal
6.    Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 131/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Fashion.
7.    Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah.
8.    Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor. 57/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
9.    Peraturan Menteri Perdagangan No 27 Tahun 2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Impor.
10.Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia.
11.Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
12.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan.
13.Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.04/2007 tentang Registrasi Importir.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Rabu, 23 Mei 2012

Aturan Pendaftaran dan Perpajakan Usaha Rumahan/Mikro
1. Apakah usaha rumahan seperti EO, wedding organizer, jasa cleaning service dan usaha sejenis harus mendaftarkan usahanya sebagai CV atau PT? 2. Dengan mendaftarkan usaha tersebut apakah keuntungan yang bisa diperoleh dari segi hukum? 3. Jika unit usaha sudah terdaftar, apakah ada pengaturan tentang pembayaran pajak? Misalnya harus mengenakan pajak kepada pelanggan sebesar sekian persen? 4. Bagaimana cara mendaftarkan merek/ logo/ slogan? Sebelum mendaftarkan usaha, apakan merek/ logo/ slogan yang dimiliki juga harus didaftarkan?  

Jawaban:

1.    Sebagai seorang pengusaha, tentunya pertama-tama kita harus menentukan besarnya klasifikasi perusahaan yang akan kita buat. Jika berbentuk usaha rumahan, biasanya membentuk CV merupakan cara yang paling sederhana (karena cukup didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat) dengan biaya pendirian yang lebih murah serta tidak dibutuhkan modal minimum dalam pendiriannya. Alasan lain adalah CV relatif lebih murah dari sisi perpajakannya dibandingkan PT. Namun di sisi lain, karena CV bukan merupakan badan hukum, maka tanggung jawab dari CV tersebut masih tidak terbatas, terutama bagi Pesero Aktif yang bergelar Direktur. Pesero aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan jika Anda mendirikan CV adalah: jika Anda akan mengikuti tender di pemerintahan. Karena banyak perusahaan besar dan BUMN yang sudah tidak mengizinkan CV sebagai peserta tender, karena bentuknya yang bukan badan hukum tersebut.
 2.    Perlu atau tidaknya Pendaftaran usaha
 Seperti yang saya jelaskan sebelumnya pada poin 1, pada dasarnya semua bergantung pada kebutuhan usaha Anda. Tentunya jika memiliki suatu bentuk usaha, walaupun merupakan industri dengan skala rumahan, akan lebih mudah dalam hal suatu saat akan mengadakan kerja sama dengan pihak lain, mengikuti tender pada perusahaan-perusahaan besar, bertindak sebagai pemasok, supplier maupun pemborong pada berbagai sektor industri.
 Walaupun demikian, apabila skala perusahaan Anda memang termasuk dalam skala mikro, tidak diwajibkan untuk membentuk suatu usaha tertentu. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Jadi, sebenarnya untuk perusahaan kecil perorangan yang dijalankan sendiri oleh pemiliknya, atau hanya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri, yang terdekat, serta tidak memerlukan izin dan bukan merupakan suatu badan hukum ataupun persekutuan, tidak wajib mendaftarkan usahanya.

Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 46/2009”), yaitu untuk perusahaan dengan skala mikro, tidak wajib untuk memiliki SIUP. Suatu usaha disebut sebagai perusahaan dengan skala mikro apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1.    usaha perseorangan atau persekutuan;
2.    kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga/kerabat terdekat; dan
3.    memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Namun, dalam Pasal 4 ayat (2) Permendag 46/2009 juga diatur bahwa Perusahaan Perdagangan Mikro dapat diberikan SIUP Mikro, apabila dikehendaki yang bersangkutan.

Sebagai catatan, mengenai pertanyaan pada poin 1 dan poin 2 tersebut di atas, bisa dibaca lebih jelasnya lagi di artikel saya:
3.    Jika usaha sudah terdaftar, apakah itu dalam bentuk CV atau PT atau bentuk lainnya maka perusahaan tersebut akan memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (“NPWP”) atas nama perusahaan tersebut.
 Setelah memiliki NPWP, maka usaha tersebut berkewajiban untuk membuat laporan mengenai penghasilan yang diperolehnya secara berkala (tiap bulannya); walaupun misalnya pada bulan yang bersangkutan penghasilannya NIHIL.
 Untuk pengenaan pajak kepada konsumen, berarti usaha tersebut harus mengajukan  surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (“PKP”). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
 Jika perputaran usaha Anda masih kurang dari Rp. 600 juta/tahun, sebenarnya tidak wajib memiliki PKP. Namun demikian, walaupun usaha Anda masih skala kecil atau perusahaan perorangan, Anda boleh saja mengajukan PKP, dan karenanya berhak untuk memungut PPN dan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) atas setiap penjualan barang/jasa yang Anda lakukan. Sebagai konsekuensinya, jika memiliki PKP maka Anda harus membuat laporan bulanan secara berkala, jumlah PPN yang Anda pungut pada tiap bulannya.

4.    Untuk pendaftaran merek/logo/slogan, saya kembalikan lagi kepada kebutuhan Anda. Kalau usaha Anda berupa suatu produk yang menjual suatu barang yang akan beredar luas di masyarakat, misalnya dalam bentuk makanan, minuman, fashion, aksesoris, handmade serta produk-produk lainnya, maka saya sarankan agar Anda mendaftarkan merek dagangan Anda. Hal ini untuk mencegah terjadinya suatu peniruan produk dengan menggunakan merek/logo yang sama dari pesaing. Atau misalnya ide Anda tiba-tiba di”curi” oleh orang lain, yang kemudian lebih dahulu mendaftarkan merek tersebut.

Untuk prosedur pendaftaran merek/logo/slogan bisa dibaca di Klinik hukumonline ini, atau di artikel saya: Mendaftarkan Merek Dagang.

Semoga penjelasan saya ini cukup jelas, dan selamat atas usaha baru Anda. Semoga senantiasa dalam berkah dan kesuksesan. Aamin!

Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Kamis, 28 Juni 2012
Aturan Penggunaan Hak Opsi dalam Sewa Guna Usaha (Leasing)

Apakah akibat hukum apabila Lessee menggunakan hak opsinya di akhir jangka waktu masa leasing dalam perjanjian sewa guna usaha (Leasing Agreement)?  

Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Terkait pertanyaan di atas, berikut yang dapat kami sampaikan:

            I.        Opsi
Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha. Penggunaan hak opsi pada akhir jangka waktu dalam perjanjian Sewa Guna Usaha (Leasing) disebut juga sebagai Finance Leasing.

          II.        Kriteria Finance Leasing
Sebelumnya, harus dipastikan bahwa Kegiatan Leasing tersebut masuk ke dalam kriteria yang digolongkan sebagai Finance Leasing apabila memenuhi semua kriteria sebagai berikut :
1)    jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
2)    masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
3)    perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

        III.        Pelaksanaan atas hak opsi
1)    Dalam hal Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal, maka pembelian dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usaha. Dasar penyusutan untuk opsi membeli adalah nilai sisa barang modal;
2)    Dalam hal Lessee menggunakan hakuntuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan, akan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa-guna-usaha.

         IV.        Akibat hukum penggunaan hak opsi dalam akhir jangka waktu masa leasing
1)    Beralihnya kepemilikan dari barang modal yang disewa-guna-usaha-kan dari Lessor ke Lessee
2)    Perlakuan perpajakan, yaitu:
a)    selama masa sewa-guna-usaha, Lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;
b)    setelah Lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, Lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
c)    pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut selama memenuhi kriteria sebagai Finance Leasing;
d)    dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam kriteria Finance Leasing, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha;
e)    Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum :
1.    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64/M Tahun 1988; tentang Lembaga Pembiayaan;
2.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989;
3.    Keputusan Menteri Keuangan Republik Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Rabu, 08 Juni 2011
Pertanyaan:
Bagaimana Bank Melakukan AYDA?

Saya mau tanya, bagaimana proses Bank melakukan AYDA atas agunan milik Debitur yang macet? Apakah harus dilakukan balik nama atau cukup kuasa jual dari pemilik agunan?


Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Berikut uraian kami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas;

a.      Apakah yang dimaksud dengan AYDA (Agunan yang Diambil Alih)?

Jika kita merujuk pada ketentuan Bab I Ketentuan Umum, khususnya Pasal 1 angka 24 Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dimaksud dengan AYDA;

“... aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.”

Jadi, AYDA adalah suatu aktiva yang diperoleh dari bank baik melalui pelelangan maupun di luar lelang dari pemilik agunan, karena pemilik agunan/Debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya.

b.      Bagaimanakah proses AYDA?

Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan pada poin a di atas, proses pengalihan terhadap barang-barang agunan dapat dilakukan melalui dua (2) cara yakni;
1.      melalui mekanisme lelang, atau
2.      melalui mekanisme penjualan di bawah tangan dengan persetujuan dari pemilik agunan.

Mekanisme lelang barang agunan milik debitur dapat dilakukan oleh Bank tanpa persetujuan debitur. Pasalnya, dalam hal debitur cedera janji pemilik agunan dapat mengeksekusi haknya (lihat Pasal 6 jo Pasal 20 ayat [1] UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah - UUHT).

Mekanisme lelang sediri dapat ditempuh dengan 3 cara;
1.      Melalui penetapan pengadilan negeri,
2.      Melalui Lembaga Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL),
3.      Melalui Balai Lelang Swasta.

Kemudian, mekanisme pelepasan kedua adalah melalui Pengalihan di bawah tanggan atas persetujuan dari pemilik agunan itu sendiri.Dalam praktiknya, pemilik agunan bisa memberikan persetujuan untuk menjual agunannya dengan memberikan surat kuasa untuk menjual (lihat Pasal 20 ayat [2] UUHT). Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah bahwa surat kuasa untuk menjual yang diberikan oleh pemilik agunan tidak boleh berumur kurang dari 1 (satu) tahun. Hal ini karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak jual beli didasarkan surat kuasa yang melebihi masa satu tahun (lihat Pasal 12A ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan). Dalam pelaksanaannya, pelepasan agunan dengan cara di bawah tangan harus dilakukan setelah lewat jangka waktu 1 bulan. Sebelumnya, rencana pelepasan agunan yang dilakukan di bawah tangan tersebut harus terlebih dahulu diumumkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar (lihat Pasal 20 ayat [3] UUHT).

Hal lain yang juga perlu dicermati adalah surat kuasa menjual tidak boleh dibuat pada awal perjanjian kredit. Hal ini karena surat kuasa menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada awal kredit dapat membatalkan perjanjian.

Kemudian, sebelum dilakukannya pengalihan dengan cara lelang maupun di bawah tangan dengan menggunakan surat kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, Bank selalu melakukan penilaian terhadap aset. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk mendapatkan nilai wajar terhadap aset yang akan dialihkan tersebut
 c.      Apakah harus dilakukan balik nama dalam proses AYDA?
 Untuk mencegah permasalahan hukum di kemudian hari, dalam praktiknya proses AYDA selalu diikuti dengan balik nama sebagai bentuk pengalihan kepemilikan di hadapan Notaris/PPAT. Hal ini guna melindungi kepentingan hukum si penerima AYDA dari tuntutan/gugatan di kemudian hari.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.      Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer