Perusahaan_Hukumonline

Jumat, 02 April 2004

Bagaimana hukum acara persaingan usaha?

Apakah yang seharusnya dilakukan dalam menangani proses keberatan pelaku usaha terhadap putusan KPPU?. Apakah tetap berpegangan pada hukum acara perdata yang berlaku ataukah dengan PERMA?. Lalu bagaimana agar keputusan KPPU bisa berkekuatan hukum?

Jawaban:

Setelah berlakunya PERMA No. 1 Tahun 2003 tanggal 12 Agustus 2003 ( Pasal 9 PERMA ) otomatis tata cara pemeriksaan keberatan di pengadilan negeri harus berdasarkan PERMA namun jika dicermati secara mendala, PERMA inipun masih menimbulkan banyak interpretasi oleh para hakim pengadilan negeri dalam penerapannya mengingat kurangnya sosialisasi serta pertimbangan majelis hakim trehadap prinsip keseimbangan bagi para pihak dalam beracara di pengadilan. Setelah berlakunya PERMA tersebut tercatat paling sedikit 3 (tiga) perkara keberatan pelaku yang disidangan bagi para pihak dalam beracara di pengadilan Negeri di Jakarta yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Timur dan Utara dan berdasarkan pengamatan dan pengalaman di persidangan ketiga pengadilan tersebut juga menginterpretasikan PERMA secara berbeda sehingga pengadilan negeri tersebut juga menginterpretasikan PERMA secara berbeda sehingga PERMA tersebut masih dibubuhi improvisasi dari hukum biasa (HIR).

Dari beberapa contoh penerapan PERMA di Pengadilan Negeri maka pelaksanaan hukum acara di Pengadilan Negeri Jakarta Timur antara PPD vs KPPN yang sejalan dengan maksud PERMA tersebut apalagi mengingat jangka waktu pemeriksaan keberatan di Pengadilan Negeri hanya 30 hari (UU No. 5/1999 ), penerapannya adalah sebagai berikut :

Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PPD vs KPPU)

Sidang Pertama Perdamaian dan Majelis Hakim selanjutnya memerintahkan KPPU menyerahkan berkas perkara pada siding berikutnya Majelis Hakim selanjutnya akan menentukan sikap apakah perlu pemeriksaan tambahan oleh KPPU jika perlu berkas dikembalikan ke KPPU namun apabila tidak perlu maka siding berikutnya adalah putusan akhir.

Putusan KPPU bisa berkekuatan Hukum apabila ;

-         Tidak diajukan keberatan oleh Pelaku Usaha dalam tenggang waktu 14 hari sejak pemberitahuan putusan diterima oleh pelaku usaha.
-         Putusan KPPU dikuatkan oleh Pengadilan Negeri melalui putusan dalam perkara keberatan dimana pelaku usaha tidak melakukan upaya kasasi terhadap putusan itu.
-         Putusan KPPU dikuatkan oleh Pengadilan Negeri dan juga oleh Mahkamah Agung.
-         Permohonan keberatan yang dilakukan pelaku usaha di cabut oleh pelaku usaha tersebut pada saat belum diputuskan oleh Pengadilan Negeri.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 15 Juli 2011


Bagaimana Cara Mendaftarkan Nama Usaha?
Assalamualaikum. Bagaimana cara mendaftarkan nama usaha di Ditjen HKI? Mohon jawabannya. Terima kasih, Ryank Pratama di Makassar.


Jawaban: Diana Kusumasari

Kami kurang begitu memahami apa yang Anda maksud dengan pendaftaran nama usaha. Pendaftaran nama usaha/perusahaan, menurut hemat kami, bisa berarti setidaknya tiga hal berikut;
1.      Pendaftaran nama badan usaha/perusahaan dalam proses pendirian perusahaan,
2.      Pendaftaran perusahaan sebagai kewajiban yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (“UU WDP”); atau
3.      Pendaftaran nama perusahaan sebagai merek.

Berikut penjelasannya:
1.      Pendaftaran nama badan usaha yang dimaksud pada butir 1 bergantung pada bentuk badan usaha/perusahaan yang dipilih. Jika bentuk badan usaha yang Anda pilih bukan badan hukum (misal, CV, Firma atau Persekutuan Perdata) maka tidak perlu dilakukan pengecekan dan pemesanan nama pada instansi manapun. Namun, jika bentuk badan usaha yang Anda pilih adalah badan hukum (misalnya, Perseroan Terbatas/PT, yayasan, atau koperasi) maka dalam proses pendiriannya perlu dilakukan pengecekan dan pemesanan nama. Untuk PT misalnya, pemesanan nama tersebut dilakukan melalui notaris yang akan membuat Akta Pendirian PT pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., “Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha”, hal. 59).
2.      Pendaftaran perusahaan yang dimaksud butir 2 di atas merupakan lingkup kewenangan dari Kementerian Perdagangan. Pendaftaran perusahaan ini menjadi kewajiban bagi setiap perusahaan yang dijalankan di Indonesia, termasuk namun tidak terbatas bagi usaha-usaha baik berbentuk PT, Koperasi, CV, Firma maupun usaha perorangan. Demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 7 jo Pasal 8 UU No. 32 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (“UU WDP”) dan Permendag No. 37/M-DAG/PER/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan (“Permendag 37/2007”).
Adapun hal-hal yang wajib didaftarkan dalam Daftar Perusahaan berbeda-beda bergantung pada bentuk perusahaan yang akan didaftarkan. Untuk PT misalnya, hal-hal yang wajib didaftarkan di antaranya:
a.      1. nama perseroan;
2. merek perusahaan.
b.      1. tanggal pendirian perseroan,
2. jangka waktu berdirinya perseroan.
c.      1. kegiatan pokok dan lain-lain kegiatan usaha perseroan;
2. izin-izin usaha yang dimiliki.
d.      1. alamat perusahaan pada waktu perseroan didirikan dan setiap perubahannya;
2. alamat setiap kantor cabang, kantor pembantu dan agen serta perwakilan perseroan.
(Lihat Pasal 1 ayat [1] UU WDP)
Mengenai cara dan tempat serta waktu pendaftaran perusahaan ini diatur dalam Bab IV UU WDP, dalam Pasal 9 dan Pasal 10 yaitu dengan ketentuan sebagai berikut:
1)     Pendaftaran dilakukan dengan cara mengisi formulir pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri pada kantor tempat pendaftaran perusahaan.
2)     Penyerahan formulir pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan yaitu:
a.         di tempat kedudukan kantor perusahaan;
b.         di tempat kedudukan setiap kantor cabang, kantor pembantu perusahaan atau kantor anak perusahaan;
c.         di tempat kedudukan setiap kantor agen dan perwakilan perusahaan yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perjanjian.
3)     Dalam hal suatu perusahaan tidak dapat didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, pendaftaran dilakukan pada kantor pendaftaran perusahaan di Ibukota Propinsi tempat kedudukannya.
 Menurut Pasal 3 ayat (1) Permendag 37/2007, pendaftaran perusahaan dilakukan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan (KPP) Kabupaten/Kota/Kotamadya tempat kedudukan perusahaan yang bersangkutan. Pendaftaran perusahaan dapat dilakukan oleh Kantor Dinas/Suku Dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perdagangan atau Pejabat yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (lihat Pasal 3 ayat [2] Permendag 37/2007).
Dan pendaftaran ini wajib dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai menjalankan usahanya.

3.      Jika Anda ingin menjadikan nama perusahaan sebagai merek, maka Anda harus mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Karena, nama perusahaan dan merek adalah dua hal yang harus dibedakan. Apabila suatu perusahaan ingin mendapatkan merek sesuai dengan namanya, maka perusahaan tersebut tetap harus melakukan pendaftaran sebagaimana diatur dalam UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Lebih jauh, simak artikel Ahli: Nama Perusahaan Tak Otomatis Menjadi Merek.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
3.      Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/2007 tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 17 Januari 2006
Badan hukum asing
Mengapa badan hukum asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus menjadi Perseroan Terbatas dulu?

Jawaban: Bung Pokrol

Mungkin yang dimaksud anda adalah bila hal itu terutama berkaitan dengan atau dalam konteks penanaman modal asing (PMA). Alasan untuk hal itu dapat bermacam-macam.

Dua alasan dasar yang dapat menggambarkan alasan pembuat undang-undang (dan juga investor) kenapa PT lebih menguntungkan dari bentuk perusahaan lain terutama dalam hal kerjasama antara para investor adalah:
a.         Tanggung jawab Terbatas
Pemegang saham dalam Perseroan Terbatas (PT), pada dasarnya, bertanggung jawab sebatas jumlah modal yang ditempatkan olehnya ke dalam PT yang bersangkutan. Kecuali ia melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan PT sebagai subyek hukum. Dalam hal demikian, seolah-olah PT itu adalah dirinya sendiri (lihat ps.3 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas).
b.         Penumpukan Modal Yang Mudah Dan Cepat
Dengan menggunakan instrumen saham, yang sifatnya dapat mudah dialihkan atau diperdagangkan, untuk menunjukkan besaran kepentingan pemegang saham dalam PT, maka usaha penumpukan modal (sekaligus pelepasan atau pengurangan modal) dapat dilakukan relatif lebih mudah. Tidak ada ikatan pribadi atau keahlian yang melekat pada pribadi-pribadi manusia seperti halnya bentuk perusahaan persekutan perdata atau Firma atau CV. Semua lebih berpusat pada kekuatan modal yang dimiliki.

Namun demikian, perlu anda ingat bahwa tidak setiap badan hukum asing yang beroperasi di Indonesia harus menggunakan perseroan terbatas. Hal itu dapat juga dilakukan oleh badan hukum asing melalui bentuk usaha tetap untuk menjalankan usahanya  di Indonesia, yang dapat berupa (lihat ps.2 (5) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami berbagai perubahan, perubahan terakhir dengan Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan):
  1. tempat kedudukan manajemen
  2. cabang perusahaan
  3. kantor perwakilan
  4. gedung kantor
  5. pabrik
  6. bengkel
  7. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan
  8. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan dan kehutanan
  9. proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan
  10. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
  11. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas
  12. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia

Jadi, arti beroperasi disini tidak sekedar dilihat dari pemenuhan keberadaan fisik perusahaan saja tetapi juga dilihat dari usaha sebagai sumber penghasilan. Beberapa contoh yang kentara untuk dilihat adalah:
a. Mempunyai kantor perwakilan asing (lihat Keputusan Presiden No.53 tahun 1987 tentang Kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing)
b. Menjadi mitra asing dalam eksplorasi pertambangan (lihat Undang-undang  No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan)
c. Menjadi kontraktor proyek (lihat Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi)

Sebagai ilustrasi singkat, badan usaha asing dapat menawarkan, menjadi peserta dalam tender proyek dan ditunjuk sebagai kontraktor untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan tanpa harus melalui pendirian perseroan terbatas. Hal itu dapat dilakukan berdasarkan kontrak dengan mitra mereka di Indonesia berdasarkan perjanjian kontruksi atau kerjasama operasi atau subkontrak.

Demikianlah jawaban kami. Semoga berguna.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.








Jumat, 22 Juni 2012
Aturan Perubahan Anggaran Dasar PT

1. Jika anggaran dasar suatu perusahaan dilakukan perubahan, apakah aktanya juga ikut diubah atau anggaran dasar tersebut dibuatkan akta baru? 2. Apabila ada tambahan komisaris, apakah juga mengubah akta? Kemudian harus RUPS atau tidak? Terima kasih.  

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.    Ketika perubahan anggaran dasar (“AD”) dilakukan, perubahan tersebut harus dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia (Pasal 21 ayat [4] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas – “UUPT”). Jika perubahan AD tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat notaris, perubahan AD tersebut harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) (Pasal 21 ayat [5] UUPT).
Hal yang sama ditegaskan dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas.
Jadi, untuk setiap perubahan AD harus dibuat akta perubahan AD oleh notaris. Akta ini merupakan akta baru yang memuat perubahan dari AD terdahulu.
2.    Apabila ada penambahan dewan komisaris, berarti perlu adanya perubahan AD karena sesuai Pasal 15 ayat (1) UUPT, AD memuat sekurang-kurangnya:
a)    nama dan tempat kedudukan Perseroan;
b)    maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c)    jangka waktu berdirinya Perseroan;
d)    besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;
e)    jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham;
f)    nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
g)    penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS;
h)    tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris;
i)     tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.

Disebutkan dalam Pasal 111 ayat (1) UUPT bahwa anggota Dewan Komisaris diangkat oleh RUPS. Dengan demikian, untuk pengangkatan atau penambahan anggota dewan komisaris harus melalui RUPS Perubahan Anggaran Dasar. Simak juga artikel Jangka Waktu Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris.

Jadi, penambahan anggota dewan komisaris memerlukan perubahan AD, dan perubahan AD tersebut juga harus dinyatakan dalam akta notaris. Akta notaris ini merupakan akta berita acara RUPS yang dibuat notaris.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.01 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas. 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 28 Agustus 2012

Bolehkah Mengangkat Pengurus dari Pihak yang Terafiliasi dengan Yayasan?
Dapatkah seseorang menjadi pengurus dan atau pengawas yayasan karena memiliki jabatan tertentu (ex-officio = karena jabatan) pada organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, untuk pencapaian tujuan dari yayasan dihubungkan.dengan UU Yayasan Pasal 38, dll. yang terkait?

Jawaban: Ilman Hadi

Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) huruf f UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya disebut dengan UU Yayasan), tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas harus diatur dalam Anggaran Dasar.

Pengangkatan pengurus atau pengawas dalam Yayasan tersebut dilakukan oleh Pembina Yayasan (Pasal 28 ayat [2] huruf b UU Yayasan). Adapun Pembina Yayasan merupakan orang perseorangan sebagai pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan (Pasal 28 ayat [3] UU Yayasan).
 Mengenai siapa yang dapat diangkat menjadi Pengurus yayasan, kita bisa merujuk pada ketentuan Pasal 31 UU Yayasan, yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan.
(2) Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum.
(3) Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
 Kemudian, mengenai siapa yang dapat diangkat sebagai Pengawas yayasan, hal tersebut diatur dalam Pasal 40 UU Yayasan, yang berbunyi sebagai berikut:
(1)    Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
(2)    Yayasan memiliki Pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang Pengawas yang wewenang, tugas, dan tanggung jawabnya diatur dalam Anggaran Dasar.
(3)    Yang dapat diangkat menjadi Pengawas adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum.
(4)    Pengawas tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengurus.
 Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak ada aturan yang secara tegas melarang mengangkat seseorang yang memiliki jabatan tertentu pada organisasi yang terafiliasi dengan yayasan, untuk menjadi pengurus atau pengawas yayasan. Yang secara tegas dilarang adalah pengurus tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengawas, dan pengawas tidak boleh merangkap sebagai pembina atau pengurus. 
 Adapun ketentuan mengenai organisasi yang terafiliasi dengan yayasan diatur dalam Pasal 38 UU Yayasan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Yayasan dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.

Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UU Yayasan memang Yayasan sebagai badan hukum dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan. Akan tetapi, berdasarkan Pasal 38 ayat (2) UU Yayasan, larangan untuk mengadakan perjanjian dengan organisasi afiliasi diperbolehkan SEPANJANG bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan. Sekalipun demikian, menurut hemat kami, pasal ini tidak dimaksudkan untuk membatasi yayasan untuk mengangkat seseorang yang memiliki jabatan tertentu pada organisasi yang terafiliasi dengan yayasan untuk diangkat sebagai pengurus atau pengawas yayasan. Lain halnya jika terdapat larangan dalam organisasi atau lembaga tempat orang tersebut bernaung.
 
Jadi, apabila diperjanjikan bahwa pemegang jabatan tertentu pada organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan dapat diangkat menjadi pengurus atau pengawas Yayasan, sepanjang hal tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan, hal tersebut tidak dilarang. Selain itu, ketentuan soal pengangkatan pengurus dan pengawas juga diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 05 Juni 2012

Bolehkah Karyawan Memiliki Saham Perseroan?
Halo Hukumonline. Saya memiliki 2 pertanyaan terkait ESOP (Employee Stock Ownership Plan). 1. Apakah peraturan-peraturan yang mendukung kepemilikan saham oleh karyawan di Indonesia? 2. Dalam hal karyawan (yang juga sebagai pemegang saham ini) tidak mendapatkan haknya, apakah upaya hukum yang dapat dilakukan? Terima kasih atas jawabannya.

Jawaban: Ilman Hadi

1.    Peraturan yang mendukung kepemilikan karyawan atas saham Perseroan dapat kita temui dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Pasal tersebut pada intinya memungkinkan Perseroan untuk melakukan penawaran saham kepada karyawannya sendiri. Lebih jauh dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf a disebutkan:

Yang dimaksud dengan “saham yang ditujukan kepada karyawan Perseroan”, antara lain saham yang dikeluarkan dalam rangka ESOP (employee stocks option program) Perseroan dengan segenap hak dan kewajiban yang melekat padanya.”

Dari ketentuan tersebut jelas bahwa dalam hal karyawan telah memiliki saham maka akan dipersamakan statusnya sebagai Pemegang Saham sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Mengutip sebagian ketentuan UUPT, hak pemegang saham antara lain adalah:
  1. Berhak menerima bukti pemilikan saham untuk saham yang dimilikinya (Pasal 51 UUPT);
  2. Berhak menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS walaupun sahamnya digadaikan atau difidusiakan, kecuali pemegang saham tanpa hak suara (Pasal 52 ayat [1] huruf a jis. Pasal 60 ayat [4], Pasal 85 UUPT);
  3. Berhak menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi (Pasal 52 ayat [1] huruf b UUPT);
  4. Berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris (Pasal 61 ayat [1] UUPT).
  5. Berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan (Pasal 62 ayat [1] UUPT);
  6. Berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan (Pasal 75 ayat [2] UUPT);
  7. Berhak meminta pada Direksi untuk diselenggarakan RUPS bila pemegang saham secara sendiri atau bersama-sama mewakili 10% jumlah seluruh saham dengan hak suara (Pasal 79 ayat [2] UUPT).

2.    Dalam hal karyawan yang juga adalah Pemegang Saham tidak mendapatkan haknya, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri sesuai domisili Perseroan berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) UUPT:

a)    Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
b)    Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.

Namun, perlu diketahui bahwa tidak semua karyawan bisa menuntut untuk turut memiliki saham perusahaan tempat dia bekerja kecuali memang dimungkinkan/ditawarkan oleh perusahaan tersebut.

Indra Safitri, Wakil Ketua Umum Bidang Penelitian Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal mengamini bahwa tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk menawarkan sahamnya kepada karyawan. Namun, pada praktiknya banyak perusahaan yang menawarkan sahamnya kepada karyawan antara lain adalah sebagai bentuk apresiasi terhada karyawan yang bersangkutan. Hal ini umumnya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengedepankan komitmen karyawan untuk jangka panjang, agar karyawan turut merasa memiliki perusahaan.

Mengutip penjelasan dalam Studi tentang Penerapan ESOP (Employee Stock Ownership Plan) Emiten atau Perusahaan Publik di Pasar Modal Indonesia, lebih jauh dijelaskan bahwa ESOP diselenggarakan untuk mencapai beberapa tujuan antara lain sebagai berikut:

a)    Memberikan penghargaan (reward) kepada seluruh pegawai, direksi, dan pihak-pihak tertentu atas kontribusinya terhadap meningkatnya kinerja perusahaan;
b)    Menciptakan keselarasan kepentingan serta misi dari pegawai dan pejabat eksekutif dengan kepentingan dan misi pemegang saham, sehingga tidak ada benturan kepentingan antara pemegang saham dan pihak-pihak yang menjalankan kegiatan usaha perusahaan;
c)    Meningkatkan motivasi dan komitmen karyawan terhadap perusahaan karena mereka juga merupakan pemilik perusahaan, sehingga diharapkan akan meningkatkan produktivitas dan kinerja perusahaan;
d)    Menarik, mempertahankan, dan memotivasi (attract, retain, and motivate) pegawai kunci perusahaan dalam rangka peningkatan shareholders’ value.
e)    Sebagai sarana program sumber daya manusia untuk mendukung keberhasilan strategi bisnis perusahaan jangka panjang, karena ESOP pada dasarnya merupakan bentuk kompensasi yang didasarkan atas prinsip insentif, yaitu ditujukan untuk memberikan pegawai suatu penghargaan yang besarnya dikaitkan dengan ukuran kinerja perusahaan atau shareholders’ value.

Kesimpulannya, karyawan dibolehkan untuk memiliki saham Perseroan dimana ia bekerja jika memang ditawarkan oleh pihak perusahaan (untuk PT Tertutup) atau membeli saham PT Terbuka di bursa saham. Dan karyawandapat mengajukan gugatan ketika haknya sebagai pemegang saham tidak dipenuhi.

Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Indra Safitri melalui sambungan telepon pada 5 Juni 2012.

Dasar hukum

 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 26 Maret 2012
Bolehkah Asisten Direksi Menandatangani Perjanjian atas Nama PT?
Apakah asisten direksi berwenang untuk menandatangani perjanjian kerja dengan partner/customer? Apabila boleh, apakah harus ada surat kuasa dari direksi?

Jawaban: Diana Kusumasari
Pada dasarnya, sesuai ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), yang berwenang untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan adalah Direksi.

Namun, ketentuan Pasal 103 UUPT kemudian menyebutkan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Yang dimaksud “kuasa” di sini adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa (lihat Penjelasan Pasal 103 UUPT).

Dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa ini dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”).Dan harus diperhatikan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPerdata).

Anda tidak menyebutkan perjanjian kerja seperti apa yang Anda maksudkan, tapi jika perjanjian tersebut terkait dengan tender pengadaan barang/jasa Pemerintah, diatur pula dalam Pasal 86 ayat (5) dan ayat (6) Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (“Perpres 54/2010”) (sebagaimana telah diubah dengan Perpres No. 35 Tahun 2011):

(5).       Pihak yang berwenang menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas nama Penyedia Barang/Jasa adalah Direksi yang disebutkan namanya dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar Penyedia Barang/Jasa, yang telah didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6).       Pihak lain yang bukan Direksi atau yang namanya tidak disebutkan dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, sepanjang mendapat kuasa/ pendelegasian wewenang yang sah dari Direksi atau pihak yang sah berdasarkan Akta Pendirian/Anggaran Dasaruntuk menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.

Jadi, seorang asisten Direksi dimungkinkan untuk menandatangani perjanjian antara perseroan dengan partner (mitra) atau customer (pelanggan)jika memperoleh kuasa dari Direksi yang berwenang. Untuk pemberian kuasa ini harus ada surat kuasa dari Direksi kepada asisten direksi yang bersangkutan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
3.   Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Rabu, 15 Juni 2011

Bisakah Kuasa Direksi Teken Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah?
Apakah Kuasa Direksi baik itu Kuasa Direksi Perseroan Terbatas ataupun Kuasa Direksi CV diperbolehkan mengikuti tender pengadaan barang dan jasa sesuai dengan Perpres No. 54 Tahun 2010?

Jawaban:  Diana Kusumasari
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi lainnya yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa (lihat Pasal 1 angka 1 Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah“Perpres 54/2010”).
 Berdasarkan Pasal 1 angka 12 Perpres 54/2010, penyedia Barang/Jasa adalah:
·         badan usaha; atau
·         orang perseorangan,
yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa konsultansi/Jasa Lainnya. Dalamhal melakukan suatu perbuatan hukum (dalam hal ini mengikuti tender pengadaan barang/jasa Pemerintah), suatu badan usaha diwakili oleh orang yang berwenang mewakili badan usaha tersebut. Pada perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”) (baik terbuka maupun tertutup) dan pada Commanditaire Vennootschap (“CV”), perusahaan diwakili oleh Direksi atau kuasa Direksi. 
 Terkait dengan tender pengadaan barang/jasa Pemerintah, disebutkan dalam Pasal 86 ayat (5) dan ayat (6) Perpres 54/2010:
 (5) Pihak yang berwenang menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa atas nama Penyedia Barang/Jasa adalah Direksi yang disebutkan namanya dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar Penyedia Barang/Jasa, yang telah didaftarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Pihak lain yang bukan Direksi atau yang namanya tidak disebutkan dalam Akta Pendirian/Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa, sepanjang mendapat kuasa/ pendelegasian wewenang yang sah dari Direksi atau pihak yang sah berdasarkan Akta Pendirian/Anggaran Dasar untuk menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.

Jadi, dalam hal suatu perusahaan mengikuti tender pengadaan barang/jasa Pemerintah dan memenangkannya, baik Kuasa Direksi PT ataupun Kuasa Direksi CV dapat mewakili perusahaannya menandatangani Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer