Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline


Selasa, 05 April 2011

Agar Tidak Salah Memilih Advokat

Bisakah diberikan kepada saya, hal-hal apa yang harus saya perhatikan agar tidak salah dalam mencari advokat untuk memberikan jasa hukum bagi perusahaan saya?

Jawaban:  Diana Kusumasari

Mencari advokat untuk menyelesaikan perkara yang sedang kita hadapi atau memberikan jasa hukum lainnya memang memerlukan suatu proses. Kita sering mendengar klien-klien yang mengeluh (complain) mengenai advokat yang menangani perkara mereka. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari kesalahan klien itu sendiri karena kurang cermat saat memilih advokat.

Di bawah ini kami sajikan beberapa hal yang perlu Anda perhatikan agar tidak salah memilih advokat. Berikut 10 kesalahan yang sering dilakukan orang-orang waktu memilih advokat yang kami sarikan dari situs Allbusiness.com:

1.     Tidak menelusuri bidang kekhususan/keahlian advokat.
Beberapa advokat dapat bekerja dengan baik di luar dari keahlian mereka, akan tetapi banyak yang tidak mengetahui dengan baik nuansa pada bidang hukum yang lain. Oleh karena itu, jika Anda membutuhkan advokat di bidang kontrak/perjanjian, jangan menggunakan jasa advokat perceraian.

2.     Tidak meninjau tarif advokat lebih awal.
Jangan mengeluh apabila Anda dikenakan tarif yang sangat besar jika Anda lalai untuk meninjau tarif/biaya jasa advokat ini sebelum menyetujui untuk menggunakan jasa advokat tersebut.

Lebih jauh mengenai tarif advokat simak artikel kami Tarif Advokat di Jakarta.

3.     Memilih advokat karena dia suportif/mendukung/bersimpati.
Ada perbedaan antara advokat yang bersimpati terhadap situasi Anda dengan advokat yang dapat memenangkan kasus Anda atau menangani perkara bisnis Anda. Jangan lebih melihat pada dukungan/simpati yang diberikan, tapi perhatikanlah keahlian advokat tersebut. Advokat yang benar seharusnya memiliki keduanya.

4.     Tidak membicarakan kesediaan waktu.
Jika Anda menggunakan jasa advokat yang tidak memiliki cukup waktu untuk menangani kasus Anda, kebutuhan hukum Anda dapat terabaikan. Pastikan bahwa Anda telah membicarakan berapa banyak waktu yang Anda butuhkan dan carilah advokat yang dapat memenuhi kebutuhan waktu tersebut.

5.     Memilih advokat pertama yang ditemukan.
Saat ingin membeli rumah, Anda tentunya tidak membeli rumah pertama yang Anda lihat. Sama halnya dengan mencari advokat. Anda harus mendapatkan beberapa nama, lebih baik apabila diperoleh dari referensi, kemudian pilih secara bijak.

6.     Tidak bertemu secara langsung.
Telah menjadi hal yang sangat umum dan biasa saat ini untuk melakukan komunikasi bisnis hanya melalui e-mail dan telepon. Hal ini tidaklah bagus untuk hubungan yang penting seperti antara Anda dan advokat Anda. Anda perlu bertemu dengan advokat tersebut secara langsung.

7.     Tidak melakukan penelusuran sendiri.
Carilah referensi, pergi ke perpustakaan hukum setempat dan carilah informasi mengenai advokat, baik secara online, atau menelepon asosiasi advokat setempat. Jangan memilih advokat tanpa menelusuri latar belakangnya terlebih dahulu. Berbincang dengan orang lain yang pernah bekerja dengan advokat akan memberikan keuntungan/pandangan lebih. Tanyakan latar belakang advokat tersebut, perilaku, kompetensi/kemampuan, dan lain-lain.

8.     Dialihkan pada orang yang tidak berpengalaman.
Pastikan bahwa advokat yang Anda temui akan menangani persoalan-persoalan Anda dan tidak mengalihkannya pada sarjana hukum yang baru lulus.

9.     Berbaik hati terhadap orang lain.
Hanya karena keponakan Anda atau saudara ipar dari saudari tetangga Anda adalah seorang advokat, tidak berarti orang ini adalah orang terbaik untuk menangani kebutuhan hukum Anda. Belajarlah untuk menolak tawaran-tawaran semacam itu dengan sopan.

10. Tanpa kesiapan.
Waktu adalah uang, terutama ketika bekerja dengan advokat yang menagih Anda dengan tarif per-jam. Jika Anda datang tanpa persiapan untuk meeting/rapat, Anda hanya dapat menyalahkan diri sendiri pada akhirnya.
 Kami harap uraian di atas dapat menjadi bekal awal Anda dalam memilih advokat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 21 Pebruari 2012
Akad Murabahah dan Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah

Saya ingin menanyakan bagaimanakah apabila terjadi pengalihan pada objek al murabahah yang telah diserahkan kepada nasabah oleh bank syariah? Apakah secara hukum objek tersebut sudah menjadi hak milik nasabah? Hukum apakah yang dipakai bila terjadi sengketa antara nasabah dan bank syariah? Terima kasih.  
dung_dung

Jawaban:  Adi Condro Bawono
-         Sebelumnya, kami kutip definisi Murabahah berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

·         Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati (lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah).
·         Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan oleh shahib al-mal (pemilik modal) dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib al-mal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur (lihat Pasal 20 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah)
         
Mengenai utang dalam Murabahah, ketentuan Bagian Keempat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah (sumber www.mui.or.id), mengatur sebagai berikut:
1.        Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2.        Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3.        Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Selain itu, dalam buku Akad Syariah, Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn.  menjelaskan antara lain bahwa sebagai salah satu rukun akad, objek dalam murabahah yaitu barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih kepemilikannya ke tangan penjual (hal. 45).

Jadi, berdasarkan uraian tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam murabahah barang yang dijual harus secara prinsip sudah beralih kepemilikannya ke tangan penjual. Karena itu, nasabah dapat secara bebas menjual barang (objek) perjanjian murabahah, walaupun belum dilunasi pembayarannya.

-         Mengenai penyelesaian sengketa antara bank syariah, ketentuan Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) mengatur bahwa:

(1)   Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.
(2)   Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3)   Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Kemudian, Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 menguraikan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:
a.      musyawarah;
b.      mediasi perbankan;
c.      melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau
d.      melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Jadi, berdasarkan Pasal 55 UU 21/2008, penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan di Pengadilan Agama. Pada prinsipnya, penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah (lihat Pasal 55 ayat [3] UU 21/2008).

Namun, di sisi lain, Pasal 55 ayat (2) UU 21/2008 memungkinkan dilakukannya penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah. Karena penyelesaian sengketa melalui peradilan umum dilakukan berdasarkan Hukum Acara Perdata, bukan prinsip-prinsip syariah. Begitu juga penyelesaian sengketa melalui mediasi perbankan yang berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008.
Jadi, hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah akan tergantung pada lembaga yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Hal ini menimbulkan perdebatan, karena di satu sisi disebutkan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah, namun di sisi lainya dimungkinkan dilaksanakan penyelesaian sengketa tanpa berpedoman pada prinsip-prinsip syariah melalui peradilan umum, lembaga arbitrase, dan mediasi perbankan. Simak juga Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah.

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
2.      Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
3.      Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan;
4.      Peraturan Bank Indonesia No. 10/1/PBI/2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 Tahun 2006 tentang Mediasi Perbankan;
5.      Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah;
6.      Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
  
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 20 September 2011

Apa Dasar Hukum Pajak Reklame dan Retribusi Daerah?

Saya pengusaha kecil di Jawa Tengah yang bergerak dalam pemasaran produk RT. Selama ini kami mencoba menawarkan produk dengan memasang iklan baik berupa spanduk maupun baliho. Setiap tahun kami selalu dipusingkan dengan banyaknya tagihan pajak reklame dan retribusi sewa tanah. Yang ingin kami tanyakan; 1) apakah keduanya memiliki dasar hukum yang jelas dan sah? 2) Kemudian, apakah penetapan pajak dan retribusi daerah secara official assesment dapat diajukan proses keberatan maupun banding?
  •  
Jawaban:

 1.      Pada dasarnya kewenangan pemerintah daerah, baik kota maupun propinsi, untuk memungut biaya dari masyarakat diatur di dalam UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”). Kedudukan dari Undang-Undang ini adalah sebagai dasar bagi kewenangan daerah -sekaligus membatasi kewenangan daerah- dalam memungut biaya dari masyarakat. Sedangkan, besaran biaya dan tata cara teknis pemungutan di atur lebih lanjut oleh Peraturan Daerah (“Perda”) di daerah masing-masing.
 Terdapat 2 (dua) jenis pungutan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat di dalam wilayah hukumnya. Pertama, pajak daerah. Pajak daerah ialah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pada Pasal 2 UU 28/2009 secara limitatif, tidak ada pajak lain yang dapat dikutip selain jenis pajak yang disebutkan di dalam undang-undang ini.
 Kedua, yakni retribusi. UU 28/2009 telah menentukan jenis dan klasifikasi retribusi yang diwajibkan. Namun demikian, berbeda dengan pajak yang sifatnya limitatif, berdasarkan Pasal 150 UU 28/2009 Pemda diberikan keleluasaan untuk mengutip dan menambah jenis-jenis retribusi baru di luar dari retribusi yang telah ditentukan di dalam undang-undang ini. Sehingga walaupun di dalam undang-undang ini tidak disebutkan retribusi sewa tanah, namun Pemda dapat membuat jenis retribusi sewa tanah di dalam Perda.
 Sehubungan dengan pertanyaan Anda, Pajak Reklame adalah pajak yang kewenangan memungutnya diberikan kepada kota/kabupaten. Hal ini diatur di dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 51 UU 28/2009. Dalam undang-undang ini, besaran tarif, tata cara pembayaran dan tempat pembayaran diatur di dalam Perda masing-masing daerah. Sehingga dari pemaparan di atas, jelas bahwa kedudukan pajak daerah ini sangat jelas dan sah berdasarkan undang-undang.
 2.      Terkait dengan pertanyaan tentang keberatan, dalam Pasal 103 UU 28/2009 ditentukan bahwa subyek pajak dapat mengajukan keberatan atau banding. Namun demikian, keberatan tersebut hanya terbatas pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
 Berdasarkan ketentuan di atas, sehingga jika Anda berkeberatan terhadap jumlah pungutan pajak reklame yang dikenakan, Anda dapat mengajukan surat keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah (“SKPD”) yang memungut pajak reklame Anda. Surat ini ditujukan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk – biasanya Kepala Dinas Pendapatan Daerah - dan dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan alasan-alasan keberatan.
 Keberatan tersebut hanya bisa dilakukan, jika Anda telah membayar minimal setengah dari kewajiban pajak Anda, yang tertuang di dalam SKPD. Namun demikian, Anda harus menimbang betul mengenai alasan-alasan yang diajukan di dalam mengajukan banding. Alasan pengajuan banding, dapat dilakukan atas dasar kesalahan penghitungan pengenaan besaran tarif pajak yang ditetapkan, apabila tidak sesuai dengan aturan besaran pajak yang ditentukan. Alasannya yaitu jika pengajuan banding Anda ditolak atau dikabulkan sebagian maka Anda akan berpotensi untuk dikenakan sanksi administratif sebesar 50% (jika dikabulkan sebagian) dan 100% (jika ditolak), karena banding tersebut. Sehingga, Anda harus sangat berhati-hati dalam mengajukan keberatan terhadap SKPD.

Dalam hal pengajuan keberatan terhadap retribusi, hal ini ditentukan di dalam Pasal 162 UU 28/2009. Dengan prosedur yang sama seperti halnya dalam pengajuan keberatan pajak. Namun dalam pengajuan keberatan retribusi, jika gagal tidak ada sanksi administrasi yang dikenakan. Akan tetapi, potensi untuk membayar lebih dari yang telah ditentukan tetap ada, mengingat jika pejabat dalam menilai keberatan ada kemungkinan bagi pejabat untuk menetapkan retribusi yang lebih tinggi dari yang ditetapkan. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 163 ayat (3) UU 28/2009. Sehingga, dalam mengajukan keberatan terhadap retribusi Anda tetap harus berhati-hati dalam melaksanakannya.
 Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 02 November 2011

Apa Definisi Ketertiban Umum?

Selamat siang hukumonline, seringkali saya membaca dalam setiap peraturan perundang-undangan yang ada mengandung istilah ketertiban umum (public policy). Apakah definisi dari ketertiban umum tersebut? Terima kasih.  
shinnystar



Jawaban:


Ketertiban umum atau public policy memang sering ditemui dalam sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, atau UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase”).
 Meski demikian, sayangnya kita tidak akan menemukan definisi ataupun batasan dari ketertiban umum di dalam peraturan perundang-undangan. Mengenai definisi “ketertiban umum”, di dalam salah satu artikel hukumonline, Definisi “Ketertiban Umum” Masih Simpang Siur, advokat Luhut M.P. Pangaribuan antara lain mengatakan bahwa:

“… untuk menafsirkan ketertiban umum, maka kita harus merujuk pada Undang-Undang atau hukum yang dibuat oleh seorang hakim.
 Artinya, menurut Luhut, apakah ada putusan hakim atau putusan pengadilan yang mendefinisikan apa yang dimaksud ketertiban umum. ‘Kita kan menganut sistem hukum tertulis di mana eksekutif yang mencoba menginterpretasikan sesuatu, tidak boleh melewati batasan dari Undang-Undang yang dimaksud.’
 Lebih lanjut Luhut menjelaskan bahwa batasan yang universal mengenai ketertiban umum memang tidak ada. ‘Harus dilihat kasus per kasus,’ ungkapnya.”
 Pendapat Luhut di atas adalah dalam konteks ketidakjelasan definisi ketertiban umum dalam UU Arbitrase, khususnya dalam kasus Bankers Trust melawan PT Mayora Indah Tbk. pada 1999. Dalam penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada saat itu menolak memberikan eksekusi terhadap putusan Arbitrase London karena mengganggu ketertiban umum. Yang ditafsirkan ketertiban umum di situ adalah untuk kasus yang sama saat ini telah ada putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang membatalkan klausul arbitrase. Jadi kalau putusan arbitrase London dieksekusi, sedangkan  Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan klausul arbitrase dibatalkan, ada ketertiban umum yang dilanggar (lebih lengkap simak artikel Arbitrase, Pilihan Tanpa Kepastian).
 Seperti diketahui dalam Pasal 66 UU Arbitrase antara lain diatur bahwa putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. UU Arbitrase pada bagian penjelasannya tidak mendefinisikan atau membatasi ketertiban umum.
 Batasan atau definisi ketertiban umum memang sering menjadi perdebatan dalam konteks eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia. Masalah ini pernah dibahas dalam salah satu diskusi yang diadakan hukumonline.com bertajuk Problematika Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia. Salah satu pembicara dalam diskusi tersebut yaitu M. Yahya Harahap mencoba menjelaskan arti dan penafsiran dari ketertiban umum. Di bawah ini kami sarikan pendapat Yahya Harahap sebagaimana disampaikan dalam diskusi tersebut:

“Ketertiban umum memiliki makna luas dan bisa dianggap mengandung arti mendua (ambiguity). Dalam praktik telah timbul berbagai penafsiran tentang arti dan makna ketertiban umum, antara lain:
1.      Penafsiran sempit. Menurut penafsiran sempit arti dan lingkup ketertiban umum:
-         hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja,
-         dengan demikian yang dimaksud dengan pelanggar/bertentangan dengan ketertiban umum, hanya terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan saja,
-         oleh karena itu, putusan arbitrase yang bertentangan/melanggar ketertiban umum, ialah putusan yang melanggar/bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia.
2.      Penafsiran luas. Penafsiran luas tidak membatasi lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja:
-         tetapi meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam kesadaran masyarakat,
-         termasuk ke dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip keadilan umum (general justice principle),
-         oleh karena itu, putusan arbitrase asing yang melanggar/bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang hidup dalam kesadaran dan pergaulan lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
3.      Berpedoman kepada Bab V KUHP (Pasal 154 – Pasal 181):
-         dalam Bab V KUHP yang terdiri dari Pasal 154 – Pasal 181 diatur berbagai bentuk tindakan kejahatan terhadap ketertiban umum,
-         namun, tanpa mengurangi berbagai bentuk kejahatan terhadap ketertiban umum yang diatur dalam Bab V KUHP tersebut, tidak seluruhnya bahkan kurang relevan diterapkan dalam domain hukum perdagangan.
 Dari uraian di atas, oleh karena UU No. 30/1999 sendiri tidak memberi definisi maupun tidak mendeskripsikan apa saja yang termasuk ketertiban umum, mengakibatkan penerapannya dalam konkrit sering menimbulkan permasalahan.”
 Demikian yang dapat kami jelaskan untuk menjawab pertanyaan Anda. Semoga dapat dipahami.
 Dasar hukum:
1.     Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 
  Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Jumat, 06 Juli 2012

Apakah Jual Beli Tokek Menyalahi Hukum?

Permisi mau tanya ya, apakah perkara jual beli tokek itu menyalahi hukum di Indonesia, apakah ada perkara untuk kasus serupa yang telah diputus pengadilan?  
Jawaban:  Ilman Hadi
Tokek (Gecko gecko) merupakan satwa liar dari jenis reptil yang tidak termasuk dalam satwa yang dilindungi berdasarkan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora ("CITES") yang telah diratifikasi dengan Keppres No. 43 Tahun 1978.  

Menurut Pasal 18 ayat (1) PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (“PP 8/1999”), satwa liar yang dapat diperdagangkan adalah satwa liar yang tidak dilindungi. Satwa liar untuk keperluan perdagangan dapat diperoleh dari usaha penangkaran atau penangkapan dari alam (Pasal 18 ayat [2] PP 8/1999). Perdagangan satwa liar dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia setelah mendapatkan rekomendasi Menteri (Pasal 19 ayat (1) PP 8/1999).

Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 4 Kepmenhutbun No. 104/KPTS-II/2000 Tahun 2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar (“Kepmenhutbun 104/2000”),perdagangan dan penangkaran satwa liar adalah termasuk kegiatan pemanfaatan satwa liar. Tata cara penangkapan satwa liar yang tidak dilindungi untuk keperluan perdagangan diatur sebagai berikut:
a.    Permohonan disampaikan kepada Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan setempat. Berdasarkan pertimbangan teknis dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan,
b.    Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam dapat menolak atau menyetujui permohonan tersebut dalam waktu paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak pertimbangan diterima.
c.    Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam memberikan pertimbangan tekniswajib memperhatikan kuota penangkapan dan pengambilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11

Izin untuk penangkapan satwa liar yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi berlaku paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang, permohonan perpanjangan diajukan 2 minggu sebelum berakhir dan dilengkapi dengan laporan realisasi penangkapan sebelumnya dan disertai berita acara penangkapan (Pasal 7 Kepmenhutbun 104/2000).

Kemudian, Pasal 11 Kepmenhutbun 104/2000 mengatur soal kuota pengambilan satwa liar yang tidak dilindungi untuk tujuan perdagangan:

Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam menetapkan kuota setiap jenis dan jumlah tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi untuk keperluan perdagangan dalam setiap kurun waktu 1 (satu) tahun.
(2) Penetapan kuota perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berasal dari kuota pengambilan dan penangkapan dari alam dan hasil penangkaran.
(3) Kuota perdagangan ditetapkan atas dasar kebutuhan perdagangan dalam negeri dan untuk tujuan ekspor.

Lebih jauh lagi, contoh penetapan kuota perdagangan tokek diatur dalam Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.84/IV/SET-3/2008 Tahun 2008 Tentang Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Kedua (Periode Juli-Desember 2008) Tahun 2008. Dalam Lampiran Keputusan tersebut, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menetapkan jenis dan jumlah reptil yang boleh diambil dari penangkaran untuk diperdagangkan di dalam maupun luar negeri kepada unit usaha penangkaran reptil (unit usaha tersebut ada yang berbentuk PT, CV, Firma,dan UD). Masih dalam Lampiran Keputusan tersebut, Tokek (Gecko gecko) bersama dengan Tokek leachianus (Racodactylus leacheanus), Tokek Ekor Besar (Aeluroscalobates felinus), dan Tokek Halmahera(Gehyra vorax) termasuk dalam kategori “Tidak Dilindungi UU dan termasuk Non Appendix CITES”.

Menurut Pasal 24 PP 8/1999, tiap-tiap perdagangan satwa liar untuk tujuan ekspor, re ekspor, atau impor dilakukan atas dasar izin Menteri. Dokumen perdagangan untuk tujuan ekspor, re ekspor, dan impor, sah apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.    memiliki dokumen pengiriman dan pengangkutan;
b.    izin ekspor, re ekspor, atau impor;
c.    rekomendasi otoritas keilmuan (Scientific Authority).

Kegiatan ekspor, re-ekspor, atau impor jenis satwa liar tanpa dokumen, memalsukan dokumen, atau menyimpang dari syarat-syarat dokumen termasuk dalam pengertian penyelundupan (Pasal 26 PP 8/1999).

Jadi, perdagangan tokek di Indonesia tidak menyalahi hukum karena tokek bukan termasuk satwa yang dilindungi, tetapi untuk dapat menangkap dan/atau menangkarkan untuk tujuan memperdagangkan harus dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan dengan hukum Indonesia dan mendapat rekomendasi Menteri. Sedangkan, untuk penangkapan tokek dari alam harus melakukan permohonan dahulu ke Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan setempat.

Mengenai pertanyaan Saudara apakah ada perkara mengenai perdagangan tokek yang telah diputus pengadilan, sepanjang penelusuran kami tidak terdapat putusan mengenai perkara tersebut, karena perdagangan tokek di Indonesia tidak menyalahi hukum.

Demikan jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.    Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978 yang Mengesahkan " Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora", yang Telah Ditandatanganidi Washington Pada Tanggal 3 Maret 1973
3.    Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 104/KPTS-II/2000 Tahun 2000 tentang Tata Cara Mengambil Tumbuhan Liar dan Menangkap Satwa Liar
4.    Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.84/IV/SET-3/2008 Tahun 2008 tentang Penetapan Rencana Produksi Reptil Hidup Hasil Penangkaran Tahap Kedua (Periode Juli-Desember 2008) Tahun 2008
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik


Selasa, 21 Juni 2011

Apakah Pengelolaan SDA oleh Pihak Swasta Tidak Menyalahi Konsitusi?

Saya mau bertanya, menurut Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di situ dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Nah, dari situ sudah jelas bahwa kekayaan alam termasuk minyak, gas, emas, batubara dll harus dikuasai oleh negara. Sedangkan, yang terjadi saat ini sektor-sektor kekayaan alam tersebut telah banyak yang dikelola oleh pihak swasta. Apakah itu tidak menyimpang dari konstitusi dasar negara kita? Mohon pencerahannya terhadap hal tersebut. Atas bantuannya saya ucapkan banyak terima kasih. Wss.

Jawaban:

Konsep Penguasaan SDA oleh Negara

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai olehNegara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, pertama kita perlu ketahui apa arti dari “dikuasai oleh Negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Terkait ini kita perlu merujuk penafsiran dari Mahkamah Konstitusi (“MK”). MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), memberikan konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi (the sole interpreter of the constitution) melalui proses judicial review (lihat Pasal 10 ayat [1] huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi). MK pernah melakukan penafsiran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 melalui Putusan MK No. 01-021-022/PUU-I/2003 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut:

“... pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh Negara...”

Salah satu sumber daya alam (“SDA”) yang saat ini pengusahaannya banyak dilakukan oleh pihak swasta misalnya mineral atau batubara. Dari penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengandung pengertian “penguasaan” mineral atau batubara adalah penyelenggaraan kegiatan pertambangan oleh Negara c.q Pemerintah dalam ranah politik (kekuasaan) terkait dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, dengan kewenangan yang dimiliki sebagai Penguasa Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bab IV UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”).


Pengusahaan SDA Bukan Merupakan Penguasaan Mutlak oleh Pihak Swasta

Konsep kedaulatan rakyat untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan pokok-pokok pikiran Demokrasi Ekonomi yaitu dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Pengusahaan atau pemanfaatan mineral dan batubara oleh masyarakat merupakan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha pertambangan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang optimal (welfare state).

Pengertian dari pengusahaan SDA bukan merupakan suatu penguasaan mutlak oleh pihak swasta, dapat dijelaskan dengan melakukan sebuah penafsiran. Sebuah penafsiran konstitusi bukan hanya dilakukan secara tekstual, melainkan juga dengan cara konstekstual sehingga konstitusi tetap aktual. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna pengusahaan SDA oleh swasta tersebut dapat ditelusuri melalui suatu metode interpretasi tertentu. Sebuah peraturan perundang-undangan yang sistematis dapat mempermudah menjelaskan maksud dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 melalui suatu metode intepretasi sistematis yang dilakukan dengan menghubungkan pasal demi pasal dalam undang-undang.

Sehubungan dengan penguasaan mineral dan batubara oleh Swasta,terdapat ketentuan di dalam UU Minerbayang merefleksikan penegasan konsep penguasaan mineral atau batubara melalui beberapa penafsiran sebagai berikut:

a.      Penguasaan Mineral dan Batubara

Secara gramatikal, Pasal 4 ayat (1) UU Minerba menyebutkan Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang takterbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasaioleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pasal tersebut sangat jelas menyatakan secara harfiah bahwa penguasa dari mineral dan batubara sesungguhnya adalah Negara.

b.      Larangan pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP)kepada Pihak Lain

Ketentuan larangan pengalihan IUP sebagaimana diatur di dalam Pasal 93 ayat (1) UU Minerba merupakan penegasan bahwa IUP yang diterbitkan melalui suatu kebijakan Pemerintah  merupakan hak perorangan (in-personam right). Hak tersebutmelekat pada diri dari orang/badan tertentu, dan tidak dapat dialihkan dengan cara apapun. Hal tersebut menegaskan bahwa IUP bukan merupakan hak kebendaan (property right) yang dapat dimiliki secara penuh oleh pemiliknya, karena melekatnya suatu hak dan kewajiban terhadap si pemegang IUP itu sendiri. Dengan demikian, larangan pengalihan IUP tersebut memberikan kejelasan bahwa Negara memiliki kekuasaan atas hak pengusahaan mineral atau batubara yang dimiliki oleh pemegang IUP.

c.      Kepemilikan Mineral atau Batubara berdasarkan PemenuhanIuran Eksplorasi atau Iuranproduksi (Royalti)

Ketentuan di dalam Pasal 92 UU Minerba secara tegas menyebutkan adanya hak kepemilikan  atas mineral atau batubara setelah adanya pemenuhan royalti yang dihitung sebagai penerimaan negara bukan pajak. Mineral atau batubara merupakan suatu wujud kebendaan dari sumber daya alam yang dikuasai oleh Negara, dan dapat diperoleh dengan cara pemenuhan royalti sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Minerba. Hak kepemilikan tersebut dilakukan tanpa melalui sebuah penyerahan (lihat Pasal 612 KUHPerdata), tapi karena telah adanya suatu hak (baca: IUP) yang melekat kepada si pemegang IUP untuk mengusahakan mineral atau batubara tersebut. Dengan demikian jelas, tidak ada pengaturan mengenai larangan pengelolaan mineral atau batubara oleh pemegang IUP, namun terdapat pembatasan kepemilikan batubara atau mineral oleh pemegang IUP berdasarkan pemenuhan pembayaran royalti.

d.      Penjaminan mineral atau batubara oleh Pemegang IUP

Timbulnya hak kepemilikan atas mineral atau batubara oleh Pemegang IUP berakibat juga kepada kemungkinan mineral atau batubara tersebut dijadikan sebagai benda yang dapat dibebankan sesuai dengan hukum jaminan (zekerheidsrechten) di Indonesia. Prinsip dari jaminan kebendaan adalah adanya hak kepemilikan atas suatu barang yang dapat dijadikan jaminan kepada pihak lain karena suatu sebab tertentu (baca: utang). Dengan demikian, apabila mineral atau batubara dijadikan jaminan, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat bahwa telah terjadi pemenuhan pembayaran royalti kepada Negara oleh pemegang IUP. Sehingga, hal tersebut dapat menjelaskan bahwa pemegang IUP bukan merupakan penguasa dari mineral atau batubara yang dapat begitu saja menjaminkan mineral atau batubaranya sepanjang belum terpenuhinya pembayaran royalti.


Dari penjelasan di atas, melalui beberapa penafsiran dapat diketahui, bahwa suatu kegiatan pertambangan oleh pihak swasta adalah bukan merupakan suatu perbuatan yang inkonstitusional. Karena pihak swasta tidak memiliki penguasaan atas mineral atau batubara secara mutlak. Kepemilikan atau penguasaan atas mineral atau batubara tetap berada pada Negara yang diberikan kewenangan terhadap pengaturan dan pengurusan, pengelolaan dan pengawasan oleh rakyat secara kolektif sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat.

Dasar hukum:
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Rabu, 24 Agustus 2011

Apakah Perusahaan Kami Harus Hentikan Pembukuan dengan USD?

Untuk transaksi di Indonesia, disebutkan harus memakai rupiah. Meski perjanjian dengan mata uang asing, namun eksekusi pembayaran harus memakai rupiah. Perusahaan kami memiliki izin dari Kantor Kementerian Keuangan untuk menggunakan pembukuan memakai mata uang USD. Apakah kami harus menghentikan pembukuan dengan USD tersebut?

Jawaban:  Diana Kusumasari

Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”), memang setiap transaksi pembayaran maupun transaksi keuangan apapun yang dilakukan di Wilayah Republik Indonesia diwajibkan untuk menggunakan Rupiah. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang.

Setahu kami, UU Mata Uang tidak mengatur soal apakah terhadap pembukuan perusahaan juga harus dilakukan juga dalam mata uang Rupiah. Di dalam UU Mata Uang juga tidak ada larangan bagi perusahaan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang asing.

Seperti kita ketahui, dasar hukum penyelenggaraan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang asing adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 196/PMK.03/2007 Tahun 2007 (“KMK 196”). Dalam Pasal 2 KMK 196 disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat. Kemudian, di dalam Pasal 3 huruf g angka 1 butir a KMK 196 disebutkan;

Dalam tahun berjalan untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan.

Dari bunyi ketentuan Pasal 3 huruf g angka 1 butir a KMK 196 kiranya jelas bahwa pembukuan merupakan kegiatan pencatatan transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Pembukuan merupakan hal yang berbeda dengan transaksi pembayaran.
 
Dengan demikian, menurut hemat kami, perusahaan Anda tetap dapat menyelenggarakan pembukuan dengan mata uang asing (USD) sesuai izin yang telah diberikan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan dalam transaksi pembayarannya, sejak diberlakukannnya UU Mata Uang ini (sejak 28 Juni 2011) maka segala transaksi yang dilakukan perusahaan Anda di wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan mata uang Rupiah. Pelanggaran terhadap kewajiban ini bisa menyebabkan para direksi perusahaan Anda dikenakan pidana kurungan dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1). Begitupula, perusahaan yang melanggar kewajiban tersebut dapat didenda sesuai Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang.

Simak pula beberapa artikel terkait berikut sebagai referensi Anda:

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
2.      Keputusan Menteri Keuangan No. 196/PMK.03/2007 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer