Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Selasa, 05 Juni 2012

Bolehkah Memutus Kerja Sama Usaha Secara Sepihak?

Mohon saran/nasihat Bapak/Ibu atas masalah yang saya hadapi. Saya seorang pemula di bidang usaha kecil. Saya termasuk kategori berekonomi lemah. Saya memulai usaha saya di bidang garmen retail dengan seorang teman, dengan modal 50% - 50% dan pembagian hasil serupa. Sewa tempat usaha masih kira-kira sisa selama 2 tahun lagi. Awalnya anggaran pembukuan dan pengelolaan keuangan dipegang oleh saya. Namun, akibat saya salah penghitungan, maka partner saya langsung mengambil alih segalanya untuk dikelola sendiri dan memutuskan kerja sama secara sepihak. Apakah ini dibenarkan secara hukum? Dan apakah yang harus saya lakukan untuk mengatasi hal ini? Apakah modal tersebut secara otomatis hilang? Mohon saran dan terima kasih sebelumnya.  
  •  
Jawaban:  Bimo Prasetio, S.H.
Saya mengasumsikan bahwa kerja sama usaha yang dibuat ini dilandasi dengan dasar saling percaya yang dibangun oleh kedua belah pihak, namun tidak dituangkan dalam suatu perjanjian secara tertulis. Meski demikian, kesepakatan untuk mengadakan kerja sama usaha yang telah dibuat, merupakan suatu bentuk perjanjian. Oleh karenanya kesepakatan tersebut sah dan mengikat kedua belah pihak.

Sayang sekali saya kurang mendapatkan informasi mengenai bentuk badan usaha untuk bisnis garmen Saudara. Bentuk badan usaha sangat berimplikasi terhadap bentuk pertanggungjawaban serta pengakhiran hubungan kerja sama. Dengan demikian, saya asumsikan kerja sama usaha ini dijalankan tanpa badan usaha.
Ada dua aspek yang berbeda dalam pertanyaan Saudara. Yang pertama mengenai pengakhiran hubungan kerja sama usaha. Pembatalan perjanjian adalah salah satu sebab dari berakhirnya perjanjian. Dan kedua, adalah mengenai pengambilalihan tugas dan tanggung jawab Saudara dalam pengelolaan usaha. Kedua hal ini tentunya memiliki implikasi terhadap modal yang telah Saudara tanamkan.
Pengakhiran Perjanjian
Pada prinsipnya pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1381 KUHPerdata, yaitu:

1.     Pembayaran
2.     Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
3.     Pembaharuan hutang
4.     Perjumpaan Hutang atau kompensasi
5.     Percampuran Hutang
6.     Pembebasan Hutang
7.     Musnahnya barang yang terhutang
8.     Kebatalan atau pembatalan
9.     Berlakunya suatu syarat batal
10.   Lewatnya waktu

Dalam konteks permasalahan Saudara, saya melihat partner bisnis Saudara memutus secara sepihak atau dengan kata lain mengajukan pembatalan perjanjian secara sepihak.
Sedikit saya ulas, tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Kecakapan hukum ini mengenai kategori dewasa menurut hukum (21 tahun). Apabila salah satu pihak belum cakap hukum, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan.
Namun, berbeda apabila pengakhiran perjanjian kerja sama usaha ini didasarkan pada suatu kerugian yang dialami oleh partner bisnis Saudara. Apabila hal ini tidak diatur sebelumnya, maka partner bisnis Saudara tidak dapat melakukan pembatalan secara sepihak. Perjanjian dibuat atas dasar kata sepakat, maka pengakhiran pun harus didasari pada suatu kesepakatan. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur di dalam perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak.
Secara umum, pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada pengadilan, kecuali para pihak menyepakati untuk mengakhiri perjanjian tanpa adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Jika tidak diatur mengenai pengesampingan pengakhiran (pembatalan) perjanjian tanpa adanya putusan pengadilan, maka menjadi mutlak bahwa pembatalan tersebut harus dilakukan dengan mengajukan gugatan di pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata).

Pengambilalihan tugas

Ketika Saudara melakukan kesalahan dalam pengelolaan usaha, maka hal tersebut kembali kepada perjanjian dan kesepakatan antara Saudara dengan partner bisnis Saudara. Apakah pengambilalihan tugas tersebut dimungkinkan? Jika tidak, maka Saudara berhak untuk mengambil alih kembali tugas tersebut.

Sedangkan mengenai kesalahan yang Saudara lakukan, apabila menimbulkan kerugian, hal tersebut silakan untuk didiskusikan kembali dengan partner bisnis Saudara mengenai kompensasi atau perhitungannya secara komersial, apabila belum diatur dalam kesepakatan. Apabila sudah diatur dalam kesepakatan bahwa pembagian keuntungan dan juga tanggung jawab terhadap kerugian yang timbul adalah sebesar persentase setoran modal, maka sebesar itulah nilai kewajiban Saudara.
Dengan demikian, pengakhiran perjanjian dan pengalihan tugas tidak dapat serta merta diputuskan secara sepihak oleh partner bisnis Saudara. Namun, mengenai pertanggungjawaban terhadap kerugian yang Saudara timbulkan tentunya kembali kepada kesepakatan bersama mengenai hal tersebut.
Bagaimana dengan modal usaha?
Mungkin partner bisnis Saudara berasumsi bahwa nilai modal Saudara sama atau mungkin lebih kecil dari nilai kerugian yang Saudara timbulkan. Sehingga modal tersebut sudah terhapus dengan kerugian yang timbul.
Saudara tidak dapat menuntut modal apabila usaha tersebut merugi. Namun, apabila usaha tersebut masih berjalan, sekalipun dalam kondisi merugi, maka Saudara berhak atas separuh keuntungannya, dan juga kerugiannya.
Tentunya akan berbeda apabila usaha dijalankan dengan badan hukum Perseroan Terbatas (“PT”). Dalam PT terdapat pemisahan harta kekayaan antara pemilik dengan PT itu sendiri sebagai badan yang mandiri. Modal dari pemegang saham (pemilik) ketika disetorkan maka berubah menjadi kekayaan PT. Sehingga, apabila terjadi kerugian terhadap PT maka kerugian dari pemegang saham sebesar modal yang disetorkannya.
Hal-hal di atas akan sulit dibuktikan atau digunakan sebagai pendukung argumen Saudara apabila kesepakatan yang ada tidak dibuat secara tertulis. Di sinilah nilai pentingnya membuat kesepakatan yang dituangkan ke dalam perjanjian secara tertulis.
Kami menyarankan agar Saudara mendiskusikan kembali dengan partner bisnis Saudara mengenai kelanjutan usaha yang sudah dibangun. Apabila hendak diakhiri karena dinilai tidak menguntungkan, maka proses pengakhiran hendaknya dilakukan juga berdasarkan kesepakatan bersama, tentunya dengan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak. Begitu juga mengenai perhitungan pertanggungjawaban antara kerugian dan modal.

Semoga penjelasan kami dapat bermanfaat.

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetboekStaatsblad 1847 No. 23).
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 21 Mei 2012

Bolehkah Menjual BBM di Luar SPBU?

Bagaimana menangani pengecer minyak di luar SPBU, atau biasa disebut kios bensin, apakah bisa dikenakan pasal pidana?

Jawaban:  Try Indriadi

Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan wajib memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri.”
Dijelaskan dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”) bahwa niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa.
Sedangkan izin usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 angka 20 UU Migas).
Tindakan yang dilakukan oleh pengecer Bahan Bakar Minyak (“BBM”) di kios-kios bensin di luar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tanpa izin termasuk kejahatan yang dilarang oleh UU Migas. Ketentuan pidananya dapat kita temui dalam Pasal 53 huruf d UU Migas yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).”
Dan Pasal 23 UU Migas menyebutkan bahwa:
(1)   Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
(2)   Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas:
(a).     Izin Usaha Pengolahan;
(b).     Izin Usaha Pengangkutan;
(c).     Izin Usaha Penyimpanan;
(d).    Izin Usaha Niaga.
(3)   Setiap Badan Usaha dapat diberi lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, tindakan para pengecer BBM yang menjual BBM di luar SPBU atau melakukan niaga tanpa izin usaha niaga, merupakan tindak pidana kejahatan yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Demikian penjelasan singkat dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Kamis, 03 November 2011

Bolehkah Pembelian Reksa Dana Secara 'Back Date'?

Saya ingin bertanya, apakah diperbolehkan untuk istilah "back date" di dalam pembelian reksa dana? Apakah ada peraturan tegas dari Bapepam? Terima kasih sebelumnya.  

Jawaban:  Diana Kusumasari

Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi (lihat Pasal 1 angka 27 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal – “UUPM”).

Dalam buku Berwisata ke Dunia Reksa Dana karya Eko P. Pratomo yang dimuat dalam laman Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dijelaskan antara lain bahwa:
-         Reksa dana dibentuk oleh manajer investasi dan bank kustodian melalui akta kontrak investasi kolektif (KIK) yang dibuat notaris.
-         Sebelum dapat menjual reksa dana kepada investor, manajer investasi harus terlebih dahulu membentuk reksa dana dengan membuat akta kontrak investasi kolektif (KIK) bersama bank kustodian. Kemudian, menjalani proses pernyataan pendaftaran kepada Bapepam untuk mendapatkan pernyataan efektif, sehingga reksa dana dapat dijual kepada investor.
-         Umumnya, manajer investasi bekerja sama dengan agen penjual (bank, perusahaan asuransi, atau pihak lainnya) untuk menawarkan dan menjual reksa dana kepada investor.

Jadi, untuk akta KIK yang dibuat secara notariil oleh manajer investasi dan bank kustodian jelas tidak dapat dibuat secara back-dated atau bertanggal mundur. Demikian seperti dikatakan notaris Irma Devita Purnamasari. Hal ini, menurut Irma, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
 Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
 Sedangkan, soal apakah kontrak pembelian reksa dana dari manajer investasi (atau agen penjualnya) oleh investor boleh-tidaknya dilakukan secara back-dated, hal itu tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan yang diterbitkan Bapepam-LK. Namun, Peraturan Bapepam-LK No. IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Angka 12, mengatur bahwa manajer investasi dapat menentukan tata cara penjualan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan.

Di samping itu, dari penelusuran kami, dalam reksa dana pasar uang memang dikenal istilah back-dating. Seperti kami kutip dari situs forexind.org yang dimaksud dengan istilah back dating yaitu “Penulisan tanggal pada suatu cek atau dokumen lain, dimana tanggal ini lebih awal daripada tanggal penarikan aktual. Juga seorang investor yang memegang sertifikat Reksadana yang awalnya tidak menandatangani letter of intent (LoI), dapat menandatangani LoI ini dalam 90 hari semenjak tanggal pembelian Reksadana tersebut.
 Dengan demikian, menurut kami, belum/tidak ada peraturan Bapepam-LK yang secara khusus atau secara tegas melarang kontrak pembelian reksa dana oleh investor dibuat secara back-dated. Tapi pada prinsipnya, Bapepam-LK membolehkan manajer investasi menentukan tata cara penjualan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan kepada investor.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Purnamasari melalui telepon pada 3 November 2011.
 Dasar hukum:
3.  Peraturan Bapepam-LK No. IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 08 November 2002
Cessie

Jikalau hak penagihan telah dialihkan oleh debitur kepada bank berdasarkan cessie dalam rangka pelunasan hutang debitur dan ternyata bank tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan hak tagih berdasarkan cessie tersebut sehingga kredit dari debitur tersebut menjadi macet, apakah bank tersebut dapat dikategorikan melakukan perbuatan melanggar hukum? Dan apa alasannya?

Jawaban:

Cessie berarti pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur. Dasar alasan adanya pengalihan hak yang demikian adalah kepentingan komersial tertentu. Dalam kasus anda, debitur bank perlu mengalihkan tagihan/piutang ke bank agar debitur bank tersebut dapat melaksanakan kewajiban pembayaran utangnya. Dari sisi kepentingan bank, transaksi cessie tagihan debitur bank itu diperlukan untuk menjamin pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban pembayaran hutang debitur bank tersebut secara tepat waktu dan sebagaimana mestinya. Jadi, transaksi cessie dalam kaitannya dengan transaksi pemberian kredit adalah transaksi atau perjanjian accessoir (yang mengikut keberadaan dari transaksi atau perjanjian pokok). Aspek hukum yang perlu diperhatikan dalam suatu transaksi cessie yang sah adalah syarat untuk dibuatnya suatu akta cessie (berikut dengan syarat sahnya suatu perjanjian) dan adanya pemberitahuan ke debitur-nya debitur bank (pasal 613 jo 584 KUH Perdata).

Bila transaksi pengalihan hak tagihan dengan cessie telah dilaksanakan secara sah untuk menjamin kewajiban pembayaran hutang debitur bank kepada bank, maka adalah haknya untuk menagih dalam hal ternyata suatu cidera janji berlaku efektif bagi debitur bank sebagaimana diatur dalam perjanjian pokok dan atau akta cessie. Jadi bank yang bagaimana tidak mau melaksanakan haknya yang mengakibatkan kreditnya dapat dianggap macet? Sebelum menerima cessie, bank seharusnya yakin bahwa tagihan yang akan dialihkan dengan cessie adalah bagus atau lancar. Bila memang bagus, maka dalam kasus anda, mungkin, dapat diduga bahwa pemberian kredit tersebut tidak hanya sekedar pemberian kredit. Mungkin ada transaksi hubungan istimewa, atau mungkin pula transaksi yang tidak wajar. Bila salah satu hal tersebut tidak ada {mungkin tidak ada apa-apa (Begitu saja terjadi? Mungkin?)}, maka dasar alasan lain mungkin perlu dicari dahulu. Bila debitur bank merasa dirugikan atas tidak dilaksanakannya hak tagihan oleh bank tersebut, maka ia harus mempunyai dasar alasan yang kuat baik dari segi komersial ataupun yuridis. Yang pasti, hukumnya berprinsip bahwa pihak yang mempunyai atau menunjukkan itikad baik dilindungi oleh hukum.

Di atas semua itu, yang jelas tidak dilaksanakannya hak tagihan yang diperoleh bank dengan cessie dari debitur bank berdasarkan akta cessie tidak menghilangkan kewajiban debitur bank itu untuk membayar atau melunasi utangnya kepada bank. Sepanjang debitur bank membayar  utangnya, maka ia akan terbebas dari utangnya.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 22 April 2002
Convertible Bond

Bung Pokrol, dalam sebuah artikel saya membaca istilah Convertible Bond dan Zero Coupun Bond. Saya coba untuk mencari istilah dan penjelasan tentang hal tersebut di buku finance, namun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Untuk itu saya harap anda anda dapat membantu saya memberikan jawaban atas pertanyaan berikut ini. Apa perbedaan antara Mandatory CB, Optional CB, Zero Coupon Bond dan Exchangeable Bond? Didalam salah satu CB yang pernah saya baca (maturity datenya 5 thn), ada pasal yang menyatakan bahwa Holder hanya dapat mengkonversikan Bond menjadi saham setelah 2 tahun dikeluarkannya Bond tersebut. Mengapa bukan pada saat Maturity Date (jatuh tempo) saja? Hal-hal apakah yang harus diperhatikan dalam pembuatan CB? Terimakasih terlebih dahulu atas bantuannya.

Jawaban: Bung Pokrol

Convertible Bond (CB) merupakan fasilitas pinjaman untuk membiayai suatu proyek atau operasi bisnis perusahaan, seperti halnya pemberian fasilitas pinjaman. Namun CB memberikan opsi untuk melakukan konversi hutang menjadi saham. Biasanya yang menjadi kreditur CB adalah induk perusahaan atau anggota daripada grup perusahaan itu sendiri, atau perusahaan modal ventura.

Perlu ditekankan disini kata opsi. Pada hakekatnya, CB memberikan opsi bagi: (i) debitur untuk membeli hutangnya yang dipegang oleh pemegang CB atau call option, di satu sisi, dan (ii) di sisi lain, kreditur untuk menjual piutangnya atas CB yang dipegangnya atau put option. Konversi hutang menjadi saham tidak akan terjadi bila tidak ada syarat tertentu telah terpenuhi. Syarat itu bisa dilihat dari segi teknis (wanprestasi, pembayaran dini, dsb) atau dari segi bisnis/komersil atau finansial. Atas sifatnya yang demikian, maka model pembiayaan melalui CB biasanya dilaksanakan dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang (sekitar 3-5 tahun). Mungkin istilah Optional CB yang anda sebut adalah seperti straight CB tersebut.

Pada Mandatory CB, konversi hutang menjadi saham wajib dilakukan berdasarkan syarat yang diatur menurut perjanjian pengeluaran CB. Syarat tersebut dilakukan pada saat jatuh tempo pembayaran seluruhnya (ketika kreditur berhak meminta hal itu), atau bisa juga atau tanggal dimana debitur wajib melaksanakan pembayaran hutang seluruh dan seketika karena satu dan lain hal.

Pada Exchangeable Bond, kreditur memberikan pinjamannya kepada debitur dengan syarat opsi konversi dilaksanakan bukan untuk mengkonversi piutangnya namun dengan menukarkan CB dengan saham-saham yang dimiliki oleh para pemegang saham dari debitur yang bersangkutan. Jadi kapitalisasi hutang menjadi saham dilaksanakan melalui pemilikan saham dari pemegang saham dalam debitur yang bersangkutan..

Sedangkan, pada Zero Coupon Bond, pengalihan atas instrumen dimaksud tidak diberlakukan pembebanan bunga melainkan dengan tingkat diskonto tertentu.

Pada intinya, tata cara pengeluaran atas CB tidak berbeda jauh dengan tata cara penarikan fasilitas pinjaman, yaitu ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur. Perbedaannya terletak pada perlakuan pengeluaran atau penarikan. Yaitu, pengeluaran atas CB diperlakukan seperti membeli instrumen hutang; jadi pemegang CB diperlakukan sebagai kreditur sekaligus investor. Sedangkan penarikan atas fasilitas pinjaman diperlakukan seperti meminjamkan uang biasa.

Dalam CB atau obligasi biasa, bila dikeluarkan kepada lebih dari 1 pemegang obligasi atau melalui penawaran umum, maka ada mekanisme Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) yang berhak memutuskan segala hal yang berkaitan dengan kinerja CB dan atau debitur.

Sebetulnya anda dapat belajar lebih banyak di buku juga. Coba baca buku finance yang berjudul Corporate Finance atau Pembiayaan Perusahaan. Ada yang khusus untuk profesional/pelajar keuangan. Ada yang untuk non profesional/pelajar keuangan. Baca dahulu prolog dari penulisnya, buku tersebut diperuntukkan untuk siapa.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 18 Oktober 2011

Dapatkah Trading Company Bidang Impor Barang Mentah Berstatus PMA?

Bung Pokrol, apakah sebuah trading company yang bergerak di bidang impor barang mentah dapat berstatus PMA? Kalau dapat bagaimana dengan laporan investasinya (LKPM)? Terima kasih sebelumnya bung Pokrol.  

Jawaban:
Menjawab pertanyaan Saudara, apakah suatu trading company yang bergerak di bidang impor barang mentah dapat berstatus PMA (Penanaman Modal Asing), berikut jawaban yang dapat kami sampaikan.

Sebagaimana diketahui bahwa tidak seluruh bidang usaha di Indonesia terbuka untuk penanam modal asing. Ada sektor-sektor bidang usaha tertentu yang dinilai penting, strategis dan bersangkut paut dengan keamanan suatu negara sehingga diatur tertutup bagi kegiatan penanaman modal. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ("UU No. 25/2007") menyatakan bahwa pada umumnya semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang memang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

Persyaratan yang dimaksud inilah yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal ("Perpres No. 36/2010"). Untuk mengetahui apakah suatu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan (trading company) termasuk sebagai bidang usaha yang tertutup atau terbuka dengan persyaratan, maka perusahaan tersebut harus melakukan pengecekan terlebih dahulu terhadap Perpres No. 36/2010 tersebut.

Informasi yang kami dapatkan dari pertanyaan Saudara adalah bagaimana dengan trading company yang bergerak di bidang impor barang mentah. Perpres No. 36/2010 sendiri mengatur bahwa untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan, terbuka untuk kepemilikan asing dengan maksimal kepemilikan sebesar 95%. Dengan ketentuan bahwa bidang usaha perusahaan tersebut berupa penjualan langsung melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan mitra usaha (direct selling).

Maksud dari direct selling ini adalah terkait dengan metode penjualannya. Metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan dan iuran keanggotaan yang wajar. Dengan metode ini, mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri. Selain itu, direct selling juga dapat dilakukan dengan metode dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya seperti dalam Multi Level Marketing misalnya.

Sedangkan, Perpres No. 36/2010 tidak mengatur secara spesifik bagaimana dengan trading company yang melakukan kegiatan usaha berupa impor barang mentah. Pada dasarnya, setiap trading company yang melakukan perdagangan di bidang apapun dapat melakukan impor ataupun ekspor barang. Dengan demikian, menurut kami, fakta yang digambarkan di atas kurang tepat apabila terdapat trading company yang bergerak di bidang impor barang mentah. Mengingat perdagangan tentunya membutuhkan suatu transaksi jual beli. Apabila suatu perusahaan menyatakan kegiatannya adalah impor barang mentah, maka timbul pertanyaan apakah perusahaan menjual kembali barang mentah tersebut atau mengolah sendiri untuk kemudian diproses menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dengan cara apapun itu, maka kegiatan usaha dari trading company tidaklah cukup jika hanya dikatakan begerak di bidang usaha impor, tetapi juga perusahaan tersebut membutuhkan untuk mengimpor barang mentah, atau disebut dalam UU No. 25/2007 sebagai bahan baku, apakah bahan baku tersebut akan dijual kembali kepada mitra usahanya ataukah bahan baku tersebut akan diolah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi dan kemudian diperdagangkan atau diekspor. Oleh karena itu, trading company bisa dimiliki oleh asing dengan kepemilikan maksimal sebesar 95% apabila perdagangan yang dilakukan adalah dengan konsep direct selling, bukan terhadap apakah trading company bergerak di bidang impor barang mentah atau barang tertentu.

Selain itu, Pasal 24 UU No. 25/2007 mengatur bahwa penanam modal baik asing maupun dalam negeri dapat memperoleh fasilitas perizinan impor hanya apabila barang tersebut merupakan:
a.   Barang yang selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang;
b.   Barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan moral bangsa;
c.      Barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia;
d.      Barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan sendiri.

Berdasarkan pengaturan tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang diatur oleh undang-undang adalah mengenai barang modal atau bahan baku (bukan barang mentah) yang tidak ditujukan untuk diperdagangkan, melainkan untuk kebutuhan perusahaan itu sendiri. Terkait dengan barang modal, maka yang berhak mengimpor barang modal bukan baru hanyalah perusahaan pemakai langsung, perusahaan rekondisi, perusahaan remanufakturing, dan/atau Perusahaan Penyedia Peralatan Rumah Sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No. 58/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru.
Dengan demikian, Saudara perlu mengecek kembali bidang usaha trading company yang dimaksud dalam Perpres No. 36/2010. Apabila kemudian kegiatan usaha tersebut terbuka bagi penanam modal asing, maka yang perlu dipastikan adalah terkait dengan klasifikasi bidang usaha tersebut berdasarkan Klasifikasi Bidang Usaha Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 Tahun 2009 ("KBLI 2009"). Beberapa di antaranya, 46610 Perdagangan Besar Bahan Bakar Padat, Cair Dan Gas Dan Produk Ybdi, 4662 Perdagangan Besar Logam dan Bijih Logam, 46620 Perdagangan Besar Logam dan Bijih Logam, 46691 Perdagangan Besar Bahan dan Barang Kimia Dasar.
Berdasarkan KBLI tersebut, maka dapat dilihat bahwa KBLI hanya mengklasifikasikan kelompok usaha berdasarkan pendekatan kegiatan yang menekankan pada proses dari kegiatan ekonomi dalam menciptakan barang/jasa dan pendekatan fungsi pelaku dalam menciptakan barang/jasa. Sehingga, perlu untuk dibedakan bahwa persoalan impor suatu barang lebih berhubungan dengan perizinan dan bukan kepada persoalan kepemilikan modal apakah terbuka untuk asing atau tidak. Suatu perusahaan baik perusahaan berstatus PMA ataupun perusahaan dalam negeri dapat memperoleh fasilitas bea impor barang modal atau bahan baku dengan cara pengajuan izin di mana pengaturan perizinan tersebut bergantung pada jenis barang atau bahan apa sajakah yang akan diimpor.
Dalam hal trading company tersebut berhak untuk memperoleh status PMA berdasarkan peraturan perundang-undangan yang terkait, maka trading company wajib melakukan pelaporan realisasi investasi secara berkala dengan menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal ("LKPM") sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKPM No 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal ("Perka BKPM No. 13/2009"). Pembahasan mengenai pelaporan pelaksanaan investasi ini pernah kami ulas pada pembahasan yang berbeda. Namun, dapat kami jelaskan bahwa apabila perusahaan PMA masih dalam tahap pembangunan, yaitu dimana perusahaan telah mendapatkan Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal namun belum beroperasi secara komersil, maka perusahaan tersebut memiliki kewajiban untuk menyampaikan LKPM kepada BKPM secara triwulanan dengan ketentuan bahwa:

1.   Laporan Triwulan I disampaikan paling lambat pada tanggal 5 April tahun yang bersangkutan;
2. Laporan Triwulan II disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Juli tahun yang bersangkutan;
3. Laporan Triwulan III disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Oktober tahun yang bersangkutan;
4.   Laporan Triwulan IV disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Januari tahun berikutnya.

Sedangkan, apabila perusahaan telah mendapatkan Izin Usaha dan oleh karenanya telah siap beroperasi secara komersil, maka LKPM yang disampaikan adalah secara per semester dalam setiap tahunnya, sehingga periode pelaporan diatur sebagai berikut:

1.  Laporan Semester I disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun yang bersangkutan;
2.         Laporan Semester II disampaikan paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.

Penyampaian LKPM dapat dilakukan secara online melalui SPIPISE (Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik), apabila tidak dapat dilakukan, perusahaan dapat menyampaikan secara langsung (hard copy atau facsimile) kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kepala PDPPM, dan Kepala PDKPM atau melalui surat elektronik (e-mail) yang ditujukan kepada: lkpm@bkpm.go.id
Demikian jawaban ini kami sampaikan. Semoga dapat memberikan manfaat.
Dasar hukum:
2.      Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
3.      Peraturan Kepala BKPM No 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal
4.      Peraturan Menteri Perdagangan No. 58/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 03 Pebruari 2010

Dasar hukum pemberlakuan ACFTA

Saat ini sedang ramai dibicarakan mengenai penerapan ACFTA per 1 Januari 2010. Apa sebenarnya ACFTA itu dan apa dasar hukum ACFTA?

Jawaban:    Amrie Hakim

ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN dengan Republik Rakyat China mengenai Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China (“Framework Agreement”), yang ditandatangani di Phnom Penh, pada 4 Nopember 2002.

Tujuan Framework Agreement ACFTA adalah:
(a)   memperkuat dan meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak;
(b)   meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif;
(c)   mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;
(d)   memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani kesenjangan yang ada di kedua belah pihak. 

Dalam Framework Agreement, para pihak menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:
  1. Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang;
  2. Liberalisasi secara progressif barang dan jasa;
  3. Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China FTA.

Dalam ACFTA disepakati mengenai penurunan atau penghapusan tarif bea masuk yang terbagi dalam tiga tahap yaitu:
(a)   Tahap I: Early harvest programme (EHP) yakni penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain, yang dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0 persen pada 1 Januari 2006.
(b)   Tahap II: Penurunan tariff normal (Normal Track Programme) yang dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok tarif yang dilakukan melalui 4 tahapan dan sensitive track (Sensitive dan Highly Sensitive) yang terdiri dari 2 jenis.
(c)   Tahap III: Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO) yang mengharuskan eksportir untuk menggunakan Form E SKA agar mendapat konsesi tarif ACFTA.

Sesuai kesepakatan yang dicapai pada ASEAN-China Summit yang diselenggarakan di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada 6 Nopember 2001, ACFTA sudah terbentuk dalam waktu 10 tahun. Atas dasar itulah, ACFTA mulai berlaku per 1 Januari 2010.

Pemerintah Indonesia mengesahkan Framework Agreement melalui Keppres No. 48 Tahun 2002 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China), pada 15 Juni 2004. Inilah dasar hukum dari pemberlakuan ACFTA di Indonesia.
Pengesahan Framework Agreement melalui Keppres telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (lihat pasal 11 jo. pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000). 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Keputusan Presiden No. 48 Tahun 2002 tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People's Republic Of China.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

  1. BAIK BARU BAIK BARU

    Saya adalah Ibu Mirabe Daniels saya adalah pemberi pinjaman pinjaman yang dapat diandalkan dan sah.
    Kami menawarkan kondisi yang nyata dan mudah dengan tingkat bunga 2%. dari
    $ 1.000 - $ 100.000. Euro dan Pound. Saya memberikan pinjaman kepada pengusaha juga untuk:

    Kredit pribadi,
    Pinjaman siswa,
    Kredit transportasi
    Pinjaman usaha
    pinjaman perusahaan

    hubungi saya langsung untuk informasi lebih lanjut.
    Email: mirabeldanielloanfirm@gmail.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer