Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Selasa, 05 Juni 2012
Bolehkah
Memutus Kerja Sama Usaha Secara Sepihak?
Mohon saran/nasihat Bapak/Ibu atas
masalah yang saya hadapi. Saya seorang pemula di bidang usaha kecil. Saya
termasuk kategori berekonomi lemah. Saya memulai usaha saya di bidang garmen
retail dengan seorang teman, dengan modal 50% - 50% dan pembagian hasil serupa.
Sewa tempat usaha masih kira-kira sisa selama 2 tahun lagi. Awalnya anggaran
pembukuan dan pengelolaan keuangan dipegang oleh saya. Namun, akibat saya salah
penghitungan, maka partner saya langsung mengambil alih segalanya untuk
dikelola sendiri dan memutuskan kerja sama secara sepihak. Apakah ini
dibenarkan secara hukum? Dan apakah yang harus saya lakukan untuk mengatasi hal
ini? Apakah modal tersebut secara otomatis hilang? Mohon saran dan terima kasih
sebelumnya.
Saya mengasumsikan bahwa kerja sama usaha yang dibuat ini
dilandasi dengan dasar saling percaya yang dibangun oleh kedua belah pihak,
namun tidak dituangkan dalam suatu perjanjian secara tertulis. Meski demikian,
kesepakatan untuk mengadakan kerja sama usaha yang telah dibuat, merupakan
suatu bentuk perjanjian. Oleh karenanya kesepakatan tersebut sah dan mengikat
kedua belah pihak.
Sayang sekali saya kurang mendapatkan informasi mengenai
bentuk badan usaha untuk bisnis garmen Saudara. Bentuk badan usaha sangat
berimplikasi terhadap bentuk pertanggungjawaban serta pengakhiran hubungan
kerja sama. Dengan demikian, saya asumsikan kerja sama usaha ini dijalankan
tanpa badan usaha.
Ada dua aspek yang berbeda dalam pertanyaan Saudara. Yang pertama
mengenai pengakhiran hubungan kerja sama usaha. Pembatalan perjanjian adalah
salah satu sebab dari berakhirnya perjanjian. Dan kedua, adalah mengenai
pengambilalihan tugas dan tanggung jawab Saudara dalam pengelolaan usaha. Kedua
hal ini tentunya memiliki implikasi terhadap modal yang telah Saudara tanamkan.
Pengakhiran
Perjanjian
Pada prinsipnya pengakhiran perjanjian dapat terjadi karena
terpenuhinya prestasi atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu
dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian yang diatur dalam Pasal
1381 KUHPerdata, yaitu:
1. Pembayaran
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
3. Pembaharuan hutang
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
5. Percampuran Hutang
6. Pembebasan Hutang
7. Musnahnya barang yang terhutang
8. Kebatalan atau pembatalan
9. Berlakunya suatu syarat batal
10.
Lewatnya waktu
Dalam konteks permasalahan Saudara, saya melihat partner
bisnis Saudara memutus secara sepihak atau dengan kata lain mengajukan
pembatalan perjanjian secara sepihak.
Sedikit saya ulas, tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian
dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan
perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Kecakapan hukum ini mengenai
kategori dewasa menurut hukum (21 tahun). Apabila salah satu pihak belum cakap
hukum, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan.
Namun, berbeda apabila pengakhiran perjanjian kerja sama
usaha ini didasarkan pada suatu kerugian yang dialami oleh partner
bisnis Saudara. Apabila hal ini tidak diatur sebelumnya, maka partner
bisnis Saudara tidak dapat melakukan pembatalan secara sepihak. Perjanjian
dibuat atas dasar kata sepakat, maka pengakhiran pun harus didasari pada suatu
kesepakatan. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur di dalam
perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak.
Secara umum, pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada
pengadilan, kecuali para pihak menyepakati untuk mengakhiri perjanjian tanpa
adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Jika tidak diatur mengenai
pengesampingan pengakhiran (pembatalan) perjanjian tanpa adanya putusan
pengadilan, maka menjadi mutlak bahwa pembatalan tersebut harus dilakukan
dengan mengajukan gugatan di pengadilan (Pasal 1266 KUHPerdata).
Pengambilalihan
tugas
Ketika Saudara melakukan kesalahan dalam pengelolaan usaha,
maka hal tersebut kembali kepada perjanjian dan kesepakatan antara Saudara
dengan partner bisnis Saudara. Apakah pengambilalihan tugas tersebut
dimungkinkan? Jika tidak, maka Saudara berhak untuk mengambil alih kembali
tugas tersebut.
Sedangkan mengenai kesalahan yang Saudara lakukan, apabila
menimbulkan kerugian, hal tersebut silakan untuk didiskusikan kembali dengan partner
bisnis Saudara mengenai kompensasi atau perhitungannya secara komersial,
apabila belum diatur dalam kesepakatan. Apabila sudah diatur dalam kesepakatan
bahwa pembagian keuntungan dan juga tanggung jawab terhadap kerugian yang
timbul adalah sebesar persentase setoran modal, maka sebesar itulah nilai
kewajiban Saudara.
Dengan demikian, pengakhiran perjanjian dan pengalihan tugas
tidak dapat serta merta diputuskan secara sepihak oleh partner bisnis
Saudara. Namun, mengenai pertanggungjawaban terhadap kerugian yang Saudara
timbulkan tentunya kembali kepada kesepakatan bersama mengenai hal tersebut.
Bagaimana dengan modal usaha?
Mungkin partner bisnis Saudara berasumsi bahwa nilai
modal Saudara sama atau mungkin lebih kecil dari nilai kerugian yang Saudara
timbulkan. Sehingga modal tersebut sudah terhapus dengan kerugian yang timbul.
Saudara tidak dapat menuntut modal apabila usaha tersebut
merugi. Namun, apabila usaha tersebut masih berjalan, sekalipun dalam kondisi
merugi, maka Saudara berhak atas separuh keuntungannya, dan juga kerugiannya.
Tentunya akan berbeda apabila usaha dijalankan dengan badan
hukum Perseroan Terbatas (“PT”). Dalam PT terdapat pemisahan harta kekayaan
antara pemilik dengan PT itu sendiri sebagai badan yang mandiri. Modal dari
pemegang saham (pemilik) ketika disetorkan maka berubah menjadi kekayaan PT.
Sehingga, apabila terjadi kerugian terhadap PT maka kerugian dari pemegang
saham sebesar modal yang disetorkannya.
Hal-hal di atas akan sulit dibuktikan atau digunakan sebagai
pendukung argumen Saudara apabila kesepakatan yang ada tidak dibuat secara
tertulis. Di sinilah nilai pentingnya membuat kesepakatan yang dituangkan ke
dalam perjanjian secara tertulis.
Kami menyarankan agar Saudara mendiskusikan kembali dengan partner
bisnis Saudara mengenai kelanjutan usaha yang sudah dibangun. Apabila hendak
diakhiri karena dinilai tidak menguntungkan, maka proses pengakhiran hendaknya
dilakukan juga berdasarkan kesepakatan bersama, tentunya dengan hak dan
kewajiban yang melekat pada masing-masing pihak. Begitu juga mengenai
perhitungan pertanggungjawaban antara kerugian dan modal.
Semoga
penjelasan kami dapat bermanfaat.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 21 Mei 2012
Bolehkah
Menjual BBM di Luar SPBU?
Bagaimana menangani pengecer minyak
di luar SPBU, atau biasa disebut kios bensin, apakah bisa dikenakan pasal
pidana?
Ditentukan
dalam Pasal 43 PP No. 36 Tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan PP No. 30 Tahun 2009
tentang Perubahan atas PP No. 36 Tahun
2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumibahwa:
“Badan
Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan
Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan wajib
memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri.”
Dijelaskan
dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”) bahwa niaga adalah kegiatan pembelian,
penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga
Gas Bumi melalui pipa.
Sedangkan
izin usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan
Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh
keuntungan dan/atau laba (Pasal 1 angka 20 UU Migas).
Tindakan
yang dilakukan oleh pengecer Bahan Bakar Minyak (“BBM”) di kios-kios bensin di
luar Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tanpa izin termasuk kejahatan
yang dilarang oleh UU Migas. Ketentuan pidananya dapat kita temui dalam Pasal
53 huruf d UU Migas yang menyebutkan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh
miliar rupiah).”
Dan Pasal
23 UU Migas menyebutkan bahwa:
(1) Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 angka 2, dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha setelah
mendapat Izin Usaha dari Pemerintah.
(2) Izin Usaha yang diperlukan untuk
kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dibedakan atas:
(a). Izin Usaha Pengolahan;
(b). Izin Usaha Pengangkutan;
(c). Izin Usaha Penyimpanan;
(d). Izin Usaha Niaga.
(3) Setiap Badan Usaha dapat diberi
lebih dari 1 (satu) Izin Usaha sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan
demikian, tindakan para pengecer BBM yang menjual BBM di luar SPBU atau
melakukan niaga tanpa izin usaha niaga, merupakan tindak pidana kejahatan yang
dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
Demikian penjelasan singkat dari
kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2. Peraturan Pemerintah No.
36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No.
30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan
Gas Bumi.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 03 November 2011
Bolehkah
Pembelian Reksa Dana Secara 'Back Date'?
Saya ingin bertanya, apakah
diperbolehkan untuk istilah "back date" di dalam pembelian reksa
dana? Apakah ada peraturan tegas dari Bapepam? Terima kasih sebelumnya.
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio
Efek oleh Manajer Investasi (lihat Pasal 1 angka 27 UU
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal – “UUPM”).
Dalam buku Berwisata
ke Dunia Reksa Dana
karya Eko P. Pratomo yang dimuat dalam laman Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dijelaskan antara lain bahwa:
- Reksa dana dibentuk oleh manajer
investasi dan bank kustodian melalui akta kontrak investasi kolektif (KIK)
yang dibuat notaris.
- Sebelum dapat menjual reksa dana
kepada investor, manajer investasi harus terlebih dahulu membentuk reksa dana
dengan membuat akta kontrak investasi kolektif (KIK) bersama bank kustodian.
Kemudian, menjalani proses pernyataan pendaftaran kepada Bapepam untuk
mendapatkan pernyataan efektif, sehingga reksa dana dapat dijual kepada
investor.
- Umumnya, manajer investasi bekerja
sama dengan agen penjual (bank, perusahaan asuransi, atau pihak lainnya) untuk menawarkan
dan menjual reksa dana kepada investor.
Jadi,
untuk akta KIK yang dibuat secara notariil oleh manajer investasi dan bank
kustodian jelas tidak dapat dibuat secara back-dated atau bertanggal
mundur. Demikian seperti dikatakan notaris Irma Devita Purnamasari. Hal
ini, menurut Irma, sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undang-undang.
Sedangkan,
soal apakah kontrak pembelian reksa dana dari manajer investasi (atau agen
penjualnya) oleh investor boleh-tidaknya dilakukan secara back-dated,
hal itu tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan
yang diterbitkan Bapepam-LK. Namun, Peraturan Bapepam-LK No. IV.B.1 tentang
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Angka 12,
mengatur bahwa manajer investasi dapat menentukan tata cara penjualan dan
pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan.
Di samping
itu, dari penelusuran kami, dalam reksa dana pasar uang memang dikenal istilah back-dating.
Seperti kami kutip dari situs forexind.org yang dimaksud dengan istilah back
dating yaitu “Penulisan tanggal pada suatu cek atau dokumen lain, dimana
tanggal ini lebih awal daripada tanggal penarikan aktual. Juga seorang
investor yang memegang sertifikat Reksadana yang awalnya tidak menandatangani
letter of intent (LoI), dapat menandatangani LoI ini dalam 90 hari semenjak
tanggal pembelian Reksadana tersebut.”
Dengan demikian, menurut kami,
belum/tidak ada peraturan Bapepam-LK yang secara khusus atau secara tegas
melarang kontrak pembelian reksa dana oleh investor dibuat secara back-dated.
Tapi pada prinsipnya, Bapepam-LK membolehkan manajer investasi menentukan tata
cara penjualan dan pembelian kembali (pelunasan) Unit Penyertaan kepada
investor.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta
pendapat Irma Devita Purnamasari melalui telepon pada 3 November 2011.
Dasar hukum:
3. Peraturan
Bapepam-LK No. IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 08 November 2002
Cessie
Jikalau hak penagihan telah
dialihkan oleh debitur kepada bank berdasarkan cessie dalam rangka pelunasan
hutang debitur dan ternyata bank tidak melakukan kewajibannya untuk
melaksanakan hak tagih berdasarkan cessie tersebut sehingga kredit dari debitur
tersebut menjadi macet, apakah bank tersebut dapat dikategorikan melakukan
perbuatan melanggar hukum? Dan apa alasannya?
Jawaban:
Cessie berarti pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian
kreditur. Dasar alasan adanya pengalihan hak yang demikian adalah kepentingan
komersial tertentu. Dalam kasus anda, debitur bank perlu mengalihkan
tagihan/piutang ke bank agar debitur bank tersebut dapat melaksanakan kewajiban
pembayaran utangnya. Dari sisi kepentingan bank, transaksi cessie tagihan
debitur bank itu diperlukan untuk menjamin pelaksanaan atau pemenuhan kewajiban
pembayaran hutang debitur bank tersebut secara tepat waktu dan sebagaimana
mestinya. Jadi, transaksi cessie dalam kaitannya dengan transaksi pemberian
kredit adalah transaksi atau perjanjian accessoir (yang mengikut keberadaan
dari transaksi atau perjanjian pokok). Aspek hukum yang perlu diperhatikan
dalam suatu transaksi cessie yang sah adalah syarat untuk dibuatnya suatu akta
cessie (berikut dengan syarat sahnya suatu perjanjian) dan adanya pemberitahuan
ke debitur-nya debitur bank (pasal 613 jo 584 KUH Perdata).
Bila transaksi pengalihan hak tagihan dengan cessie telah dilaksanakan
secara sah untuk menjamin kewajiban pembayaran hutang debitur bank kepada bank,
maka adalah haknya untuk menagih dalam hal ternyata suatu cidera janji berlaku
efektif bagi debitur bank sebagaimana diatur dalam perjanjian pokok dan atau
akta cessie. Jadi bank yang bagaimana tidak mau melaksanakan haknya yang
mengakibatkan kreditnya dapat dianggap macet? Sebelum menerima cessie, bank
seharusnya yakin bahwa tagihan yang akan dialihkan dengan cessie adalah bagus
atau lancar. Bila memang bagus, maka dalam kasus anda, mungkin, dapat diduga
bahwa pemberian kredit tersebut tidak hanya sekedar pemberian kredit. Mungkin
ada transaksi hubungan istimewa, atau mungkin pula transaksi yang tidak wajar.
Bila salah satu hal tersebut tidak ada {mungkin tidak ada apa-apa (Begitu saja
terjadi? Mungkin?)}, maka dasar alasan lain mungkin perlu dicari dahulu. Bila
debitur bank merasa dirugikan atas tidak dilaksanakannya hak tagihan oleh bank
tersebut, maka ia harus mempunyai dasar alasan yang kuat baik dari segi
komersial ataupun yuridis. Yang pasti, hukumnya berprinsip bahwa pihak yang
mempunyai atau menunjukkan itikad baik dilindungi oleh hukum.
Di atas semua itu, yang jelas tidak dilaksanakannya hak tagihan yang
diperoleh bank dengan cessie dari debitur bank berdasarkan akta cessie tidak
menghilangkan kewajiban debitur bank itu untuk membayar atau melunasi utangnya
kepada bank. Sepanjang debitur bank membayar utangnya, maka ia akan
terbebas dari utangnya.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 22 April 2002
Convertible
Bond
Bung Pokrol, dalam sebuah artikel
saya membaca istilah Convertible Bond dan Zero Coupun Bond. Saya coba untuk
mencari istilah dan penjelasan tentang hal tersebut di buku finance, namun
tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Untuk itu saya harap anda anda dapat
membantu saya memberikan jawaban atas pertanyaan berikut ini. Apa perbedaan
antara Mandatory CB, Optional CB, Zero Coupon Bond dan Exchangeable Bond?
Didalam salah satu CB yang pernah saya baca (maturity datenya 5 thn), ada pasal
yang menyatakan bahwa Holder hanya dapat mengkonversikan Bond menjadi saham
setelah 2 tahun dikeluarkannya Bond tersebut. Mengapa bukan pada saat Maturity
Date (jatuh tempo) saja? Hal-hal apakah yang harus diperhatikan dalam pembuatan
CB? Terimakasih terlebih dahulu atas bantuannya.
Convertible Bond (CB) merupakan fasilitas pinjaman
untuk membiayai suatu proyek atau operasi bisnis perusahaan, seperti halnya
pemberian fasilitas pinjaman. Namun CB memberikan opsi untuk melakukan konversi
hutang menjadi saham. Biasanya yang menjadi kreditur CB adalah induk perusahaan
atau anggota daripada grup perusahaan itu sendiri, atau perusahaan modal
ventura.
Perlu ditekankan disini kata opsi.
Pada hakekatnya, CB memberikan opsi bagi: (i) debitur untuk membeli hutangnya
yang dipegang oleh pemegang CB atau call option, di satu sisi, dan (ii)
di sisi lain, kreditur untuk menjual piutangnya atas CB yang dipegangnya atau put
option. Konversi hutang menjadi saham tidak akan terjadi bila tidak ada
syarat tertentu telah terpenuhi. Syarat itu bisa dilihat dari segi teknis
(wanprestasi, pembayaran dini, dsb) atau dari segi bisnis/komersil atau
finansial. Atas sifatnya yang demikian, maka model pembiayaan melalui CB
biasanya dilaksanakan dalam jangka waktu menengah atau jangka panjang (sekitar
3-5 tahun). Mungkin istilah Optional CB yang anda sebut adalah seperti straight
CB tersebut.
Pada Mandatory CB, konversi
hutang menjadi saham wajib dilakukan berdasarkan syarat yang diatur menurut
perjanjian pengeluaran CB. Syarat tersebut dilakukan pada saat jatuh tempo
pembayaran seluruhnya (ketika kreditur berhak meminta hal itu), atau bisa juga
atau tanggal dimana debitur wajib melaksanakan pembayaran hutang seluruh dan
seketika karena satu dan lain hal.
Pada Exchangeable Bond,
kreditur memberikan pinjamannya kepada debitur dengan syarat opsi konversi
dilaksanakan bukan untuk mengkonversi piutangnya namun dengan menukarkan CB
dengan saham-saham yang dimiliki oleh para pemegang saham dari debitur yang
bersangkutan. Jadi kapitalisasi hutang menjadi saham dilaksanakan melalui
pemilikan saham dari pemegang saham dalam debitur yang bersangkutan..
Sedangkan, pada Zero Coupon Bond,
pengalihan atas instrumen dimaksud tidak diberlakukan pembebanan bunga
melainkan dengan tingkat diskonto tertentu.
Pada intinya, tata cara pengeluaran
atas CB tidak berbeda jauh dengan tata cara penarikan fasilitas pinjaman, yaitu
ada beberapa pra-syarat yang harus dipenuhi oleh debitur. Perbedaannya terletak
pada perlakuan pengeluaran atau penarikan. Yaitu, pengeluaran atas CB
diperlakukan seperti membeli instrumen hutang; jadi pemegang CB diperlakukan
sebagai kreditur sekaligus investor. Sedangkan penarikan atas fasilitas
pinjaman diperlakukan seperti meminjamkan uang biasa.
Dalam CB atau obligasi biasa, bila
dikeluarkan kepada lebih dari 1 pemegang obligasi atau melalui penawaran umum,
maka ada mekanisme Rapat Umum Pemegang Obligasi (RUPO) yang berhak memutuskan
segala hal yang berkaitan dengan kinerja CB dan atau debitur.
Sebetulnya anda dapat belajar lebih
banyak di buku juga. Coba baca buku finance yang berjudul Corporate Finance
atau Pembiayaan Perusahaan. Ada yang khusus untuk profesional/pelajar keuangan.
Ada yang untuk non profesional/pelajar keuangan. Baca dahulu prolog dari
penulisnya, buku tersebut diperuntukkan untuk siapa.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 18 Oktober 2011
Dapatkah
Trading Company Bidang Impor Barang Mentah Berstatus PMA?
Bung Pokrol, apakah sebuah trading
company yang bergerak di bidang impor barang mentah dapat berstatus PMA? Kalau
dapat bagaimana dengan laporan investasinya (LKPM)? Terima kasih sebelumnya
bung Pokrol.
Jawaban:
Menjawab
pertanyaan Saudara, apakah suatu trading company yang bergerak di bidang
impor barang mentah dapat berstatus PMA (Penanaman Modal Asing), berikut
jawaban yang dapat kami sampaikan.
Sebagaimana
diketahui bahwa tidak seluruh bidang usaha di Indonesia terbuka untuk penanam
modal asing. Ada sektor-sektor bidang usaha tertentu yang dinilai penting,
strategis dan bersangkut paut dengan keamanan suatu negara sehingga diatur
tertutup bagi kegiatan penanaman modal. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal ("UU
No. 25/2007") menyatakan bahwa pada umumnya semua bidang usaha terbuka
bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
memang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
Persyaratan
yang dimaksud inilah yang diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal ("Perpres No. 36/2010").
Untuk mengetahui apakah suatu perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan (trading
company) termasuk sebagai bidang usaha yang tertutup atau terbuka dengan
persyaratan, maka perusahaan tersebut harus melakukan pengecekan terlebih
dahulu terhadap Perpres No. 36/2010 tersebut.
Informasi
yang kami dapatkan dari pertanyaan Saudara adalah bagaimana dengan trading
company yang bergerak di bidang impor barang mentah. Perpres No. 36/2010
sendiri mengatur bahwa untuk perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan,
terbuka untuk kepemilikan asing dengan maksimal kepemilikan sebesar 95%. Dengan
ketentuan bahwa bidang usaha perusahaan tersebut berupa penjualan langsung
melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan mitra usaha (direct selling).
Maksud
dari direct selling ini adalah terkait dengan metode penjualannya.
Metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara
tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh jaringan pemasaran yang
dikembangkan oleh mitra usaha dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus
penjualan dan iuran keanggotaan yang wajar. Dengan metode ini, mitra usaha
mendapatkan komisi penjualan dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang
dan/atau jasa yang dilakukannya sendiri. Selain itu, direct selling juga
dapat dilakukan dengan metode dimana mitra usaha mendapatkan komisi penjualan
dan bonus penjualan dari hasil penjualan barang dan/atau jasa yang dilakukannya
sendiri dan anggota jaringan di dalam kelompoknya seperti dalam Multi Level
Marketing misalnya.
Sedangkan,
Perpres No. 36/2010 tidak mengatur secara spesifik bagaimana dengan trading
company yang melakukan kegiatan usaha berupa impor barang mentah. Pada
dasarnya, setiap trading company yang melakukan perdagangan di bidang
apapun dapat melakukan impor ataupun ekspor barang. Dengan demikian, menurut
kami, fakta yang digambarkan di atas kurang tepat apabila terdapat trading
company yang bergerak di bidang impor barang mentah. Mengingat perdagangan
tentunya membutuhkan suatu transaksi jual beli. Apabila suatu perusahaan
menyatakan kegiatannya adalah impor barang mentah, maka timbul pertanyaan
apakah perusahaan menjual kembali barang mentah tersebut atau mengolah sendiri
untuk kemudian diproses menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dengan
cara apapun itu, maka kegiatan usaha dari trading company tidaklah cukup
jika hanya dikatakan begerak di bidang usaha impor, tetapi juga perusahaan
tersebut membutuhkan untuk mengimpor barang mentah, atau disebut dalam UU No.
25/2007 sebagai bahan baku, apakah bahan baku tersebut akan dijual kembali
kepada mitra usahanya ataukah bahan baku tersebut akan diolah menjadi barang
setengah jadi maupun barang jadi dan kemudian diperdagangkan atau diekspor.
Oleh karena itu, trading company bisa dimiliki oleh asing dengan
kepemilikan maksimal sebesar 95% apabila perdagangan yang dilakukan adalah
dengan konsep direct selling, bukan terhadap apakah trading company
bergerak di bidang impor barang mentah atau barang tertentu.
Selain
itu, Pasal 24 UU No. 25/2007 mengatur bahwa penanam modal baik asing
maupun dalam negeri dapat memperoleh fasilitas perizinan impor hanya apabila
barang tersebut merupakan:
a. Barang yang selama tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang;
b. Barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap
keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup dan moral bangsa;
c. Barang dalam rangka relokasi pabrik dari
luar negeri ke Indonesia;
d. Barang modal atau bahan baku
untuk kebutuhan sendiri.
Berdasarkan
pengaturan tersebut, maka dapat diketahui bahwa yang diatur oleh undang-undang
adalah mengenai barang modal atau bahan baku (bukan barang mentah) yang tidak
ditujukan untuk diperdagangkan, melainkan untuk kebutuhan perusahaan itu
sendiri. Terkait dengan barang modal, maka yang berhak mengimpor barang modal
bukan baru hanyalah perusahaan pemakai langsung, perusahaan rekondisi,
perusahaan remanufakturing, dan/atau Perusahaan Penyedia Peralatan Rumah Sakit
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No.
58/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru.
Dengan
demikian, Saudara perlu mengecek kembali bidang usaha trading company
yang dimaksud dalam Perpres No. 36/2010. Apabila kemudian kegiatan usaha tersebut
terbuka bagi penanam modal asing, maka yang perlu dipastikan adalah terkait
dengan klasifikasi bidang usaha tersebut berdasarkan Klasifikasi Bidang Usaha
Indonesia yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 Tahun 2009
("KBLI 2009"). Beberapa di antaranya, 46610 Perdagangan Besar
Bahan Bakar Padat, Cair Dan Gas Dan Produk Ybdi, 4662 Perdagangan Besar Logam
dan Bijih Logam, 46620 Perdagangan Besar Logam dan Bijih Logam, 46691
Perdagangan Besar Bahan dan Barang Kimia Dasar.
Berdasarkan
KBLI tersebut, maka dapat dilihat bahwa KBLI hanya mengklasifikasikan kelompok
usaha berdasarkan pendekatan kegiatan yang menekankan pada proses dari kegiatan
ekonomi dalam menciptakan barang/jasa dan pendekatan fungsi pelaku dalam
menciptakan barang/jasa. Sehingga, perlu untuk dibedakan bahwa persoalan impor
suatu barang lebih berhubungan dengan perizinan dan bukan kepada persoalan
kepemilikan modal apakah terbuka untuk asing atau tidak. Suatu perusahaan baik
perusahaan berstatus PMA ataupun perusahaan dalam negeri dapat memperoleh
fasilitas bea impor barang modal atau bahan baku dengan cara pengajuan izin di
mana pengaturan perizinan tersebut bergantung pada jenis barang atau bahan apa
sajakah yang akan diimpor.
Dalam hal trading
company tersebut berhak untuk memperoleh status PMA berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang terkait, maka trading company wajib melakukan
pelaporan realisasi investasi secara berkala dengan menyampaikan Laporan
Kegiatan Penanaman Modal ("LKPM") sebagaimana diatur dalam Peraturan
Kepala BKPM No 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala
BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan
Penanaman Modal ("Perka BKPM No. 13/2009"). Pembahasan
mengenai pelaporan pelaksanaan investasi ini pernah kami ulas pada pembahasan
yang berbeda. Namun, dapat kami jelaskan bahwa apabila perusahaan PMA masih
dalam tahap pembangunan, yaitu dimana perusahaan telah mendapatkan Pendaftaran
Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal namun belum beroperasi
secara komersil, maka perusahaan tersebut memiliki kewajiban untuk menyampaikan
LKPM kepada BKPM secara triwulanan dengan ketentuan bahwa:
1. Laporan Triwulan I
disampaikan paling lambat pada tanggal 5 April tahun yang bersangkutan;
2. Laporan Triwulan II
disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Juli tahun yang bersangkutan;
3. Laporan Triwulan III
disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Oktober tahun yang bersangkutan;
4. Laporan Triwulan IV
disampaikan paling lambat pada tanggal 5 Januari tahun berikutnya.
Sedangkan,
apabila perusahaan telah mendapatkan Izin Usaha dan oleh karenanya telah siap
beroperasi secara komersil, maka LKPM yang disampaikan adalah secara per
semester dalam setiap tahunnya, sehingga periode pelaporan diatur sebagai
berikut:
1. Laporan
Semester I disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun yang
bersangkutan;
2. Laporan Semester II disampaikan
paling lambat pada akhir bulan Januari tahun berikutnya.
Penyampaian
LKPM dapat dilakukan secara online melalui SPIPISE (Sistem Pelayanan Informasi
dan Perizinan Investasi Secara Elektronik), apabila tidak dapat dilakukan,
perusahaan dapat menyampaikan secara langsung (hard copy atau facsimile)
kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman
Modal, Kepala PDPPM, dan Kepala PDKPM atau melalui surat elektronik (e-mail)
yang ditujukan kepada: lkpm@bkpm.go.id
Demikian
jawaban ini kami sampaikan. Semoga dapat memberikan manfaat.
Dasar
hukum:
2. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
3. Peraturan Kepala BKPM No 13 Tahun
2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010
tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal
4. Peraturan Menteri Perdagangan No.
58/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 03 Pebruari 2010
Dasar
hukum pemberlakuan ACFTA
Saat ini sedang ramai dibicarakan
mengenai penerapan ACFTA per 1 Januari 2010. Apa sebenarnya ACFTA itu dan apa
dasar hukum ACFTA?
ASEAN-China
Free Trade Area
(ACFTA) merupakan tindak lanjut dari kesepakatan antara negara-negara ASEAN
dengan Republik Rakyat China mengenai Framework Agreement on Comprehensive
Economic Co-operation between the Association of South East Asian Nations and
the People’s Republic of China (“Framework Agreement”), yang ditandatangani di Phnom
Penh, pada 4 Nopember 2002.
Tujuan Framework Agreement ACFTA
adalah:
(a) memperkuat dan
meningkatkan kerjasama perdagangan kedua pihak;
(b) meliberalisasikan
perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif;
(c) mencari area baru
dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;
(d) memfasilitasi
integrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan
menjembatani kesenjangan yang ada di kedua belah pihak.
Dalam
Framework Agreement, para pihak menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan
kerjasama ekonomi melalui:
- Penghapusan tarif dan hambatan non tarif dalam perdagangan barang;
- Liberalisasi secara progressif barang dan jasa;
- Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam rangka ASEAN-China FTA.
Dalam ACFTA disepakati mengenai
penurunan atau penghapusan tarif bea masuk yang terbagi dalam tiga tahap yaitu:
(a) Tahap I: Early
harvest programme (EHP) yakni penurunan atau penghapusan bea masuk seperti
produk pertanian, kelautan perikanan, makanan minuman dan lain-lain, yang
dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga 0 persen pada 1 Januari
2006.
(b) Tahap II:
Penurunan tariff normal (Normal Track Programme) yang
dikelompokan dalam 5 (lima) kelompok tarif yang dilakukan melalui 4 tahapan dan
sensitive track (Sensitive dan Highly Sensitive) yang
terdiri dari 2 jenis.
(c) Tahap III:
Pengaturan Surat Keterangan Asal Barang (SKA) atau Rules of Origin (ROO)
yang mengharuskan eksportir untuk menggunakan Form E SKA agar mendapat konsesi
tarif ACFTA.
Sesuai
kesepakatan yang dicapai pada ASEAN-China Summit yang diselenggarakan di Bandar
Seri Begawan, Brunei Darussalam, pada 6 Nopember 2001, ACFTA sudah terbentuk dalam
waktu 10 tahun. Atas dasar itulah, ACFTA mulai berlaku per 1 Januari 2010.
Pemerintah
Indonesia mengesahkan Framework Agreement melalui Keppres No. 48 Tahun 2002
tentang Pengesahan Framework Agreement On Comprehensive Economic
Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The
People's Republic Of China (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama
Ekonomi Menyeluruh Antara Negara-Negara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia
Tenggara Dan Republik Rakyat China), pada 15 Juni 2004. Inilah dasar hukum dari
pemberlakuan ACFTA di Indonesia.
Pengesahan Framework Agreement
melalui Keppres telah sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional (lihat pasal 11 jo. pasal 10 UU No. 24 Tahun
2000).
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Keputusan
Presiden No. 48 Tahun 2002 tentang Pengesahan Framework Agreement On
Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian
Nations And The People's Republic Of China.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
BAIK BARU BAIK BARU
BalasHapusSaya adalah Ibu Mirabe Daniels saya adalah pemberi pinjaman pinjaman yang dapat diandalkan dan sah.
Kami menawarkan kondisi yang nyata dan mudah dengan tingkat bunga 2%. dari
$ 1.000 - $ 100.000. Euro dan Pound. Saya memberikan pinjaman kepada pengusaha juga untuk:
Kredit pribadi,
Pinjaman siswa,
Kredit transportasi
Pinjaman usaha
pinjaman perusahaan
hubungi saya langsung untuk informasi lebih lanjut.
Email: mirabeldanielloanfirm@gmail.com