Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Rabu,
29 September 2010
Izin Pertambangan Pihak Asing
Perusahaan
tempat saya bekerja tidak lama lagi akan mengadakan kerja sama dengan
perusahaan asing dalam hal melakukan operasional penambangan batubara.
Rencananya perusahaan asing tersebut menginginkan 90% kepemilikan saham dan
mengusahakan izin PKP2B (bukan kontrak karya) dalam operasionalnya nanti,
sementara perusahaan kami hanya mendapat jatah minoritas. Pertanyaannya: Apakah
dibenarkan PMA dengan kepemilikan mayoritas melakukan penambangan dengan izin
seperti tersebut di atas? Apakah yang harus perusahaan asing tersebut
persiapkan sebelum bergabung dengan perusahaan kami? Terima kasih
Yang pertama harus diperhatikan tentu apakah ada pembatasan
bagi investor asing untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan
batubara. Pembatasan ini dapat dicek dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun
2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka
dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (“Perpres DNI”). Dalam Perpres
DNI ini tidak ada pembatasan bagi investasi asing untuk penambangan batubara,
oleh karena itu boleh saja kepemilikan investor asingnya sebesar 90%. Yang
harus perusahaan tersebut lakukan adalah mendapatkan izin dari BKPM. Mengenai
prosedur izin dari BKPM ini pernah dibahas dalam jawaban ini.
Yang harus diingat adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Menurut pasal 5 ayat (2) UUPM,
penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (“PT”). Jadi,
nantinya bentuk usaha Anda dan investor asing tersebut harus berupa PT.
Kemudian, harus diingat juga bahwa ada ketentuan divestasi
bagi investor asing di bidang pertambangan. Pasal 112 Undang-Undang No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”)
mengatur bahwa setelah 5 tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha
pertambangan yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham.
Divestasi ini dilakukan pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Pasal 97
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) selanjutnya mengatur
besaran saham yang harus didivestasi, yaitu sehingga sahamnya paling sedikit
20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. Jadi, walaupun saat ini investor
asing Anda diperbolehkan untuk memegang saham sebesar 90%, namun 5 tahun
sesudah berproduksi nanti investor tersebut wajib melakukan divestasi saham
sehingga saham investor asing tersebut menjadi maksimal 80%.
Semenjak diberlakukannya UU Minerba, usaha pertambangan tidak
lagi dilakukan berdasarkan Kontrak Karya ataupun PKP2B, melainkan berdasar Izin
Usaha Pertambangan (“IUP”). Menurut pasal 1 angka 7 UU Minerba, IUP
adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri atas dua tahap
yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi
adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan
umum, eksplorasi, dan studi kelayakan (lihat pasal 1 angka 8 UU Minerba).
Sedangkan, IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah
selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi
produksi. Kedua IUP tersebut diberikan setelah perusahaan tersebut memperoleh
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), yaitu wilayah yang diberikan kepada pemegang
IUP (lihat pasal 6 ayat [4] PP No. 23/2010). Kemudian, di dalam pasal
8 ayat (3) PP 23/2010 dinyatakan bahwa WIUP diperoleh melalui cara lelang.
Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
3. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
4. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010
tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 09 Agustus 2010
Izin Perusahaan Ekspedisi (Tidak Punya Izin Gangguan)
Apakah saat mendirikan usaha
ekspedisi harus mengurus UUG (Undang-Undang Gangguan) terlebih dahulu?
Bagaimana jika perusahaan ekspedisi sudah dijalankan lebih dari 10 tahun tanpa
memiliki izin UUG tersebut? Apakah ada sanksinya?
Jawaban: Shanti Rachmadsyah
Izin HO (hinder ordonantie) atau
izin UU Gangguan berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226)
sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir
dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450.
Izin Gangguan atau adalah pemberian izin tempat
usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat
menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat
usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah. Demikian menurut ketentuan pasal 1 ayat [3] Permendagri No. 27 Tahun
2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Daerah (“Permendagri 27/2009”)
Pasal 14 Permendagri 27/2009
mengatur bahwa setiap usaha wajib mempunyai izin gangguan, kecuali:
1. Kegiatan yang
berlokasi di dalam Kawasan Industri, Kawasan Berikat, dan Kawasan Ekonomi
Khusus;
2. Kegiatan yang
berada di dalam bangunan atau lingkungan yang telah memiliki izin gangguan;
dan;
3. Usaha mikro dan
kecil yang kegiatan usahanya di dalam bangunan atau persil yang dampak kegiatan
usahanya tidak keluar dari bangunan atau persil.
Dengan demikian, perlu dilihat dahulu apakah
usaha ekspedisi yang Anda dirikan tersebut termasuk pada pengecualian usaha
dalam Permendagri ini. Apabila terpenuhi, maka Anda tidak perlu mempunyai izin
gangguan.
Dalam Permendagri 27/2009 di atas, tidak ada
aturan tentang sanksi bagi pemilik tempat usaha yang tidak memiliki izin
gangguan. Akan tetapi, pasal 7 ayat (1) Permendagri 27/2009
menyatakan bahwa pemberian izin gangguan, merupakan kewenangan
Bupati/Walikota. Dengan demikian, Bupati/Walikota berwenang untuk mengatur
teknis dan persyaratan pemberian izin gangguan, dan juga berwenang untuk
mengatur sanksi bagi pelaku usaha yang tidak memiliki izin gangguan.
Dengan demikian, hemat kami, yang perlu Anda
lakukan adalah mencek ke pemerintah daerah setempat, apakah usaha ekspedisi
termasuk yang wajib memiliki izin gangguan, apa saja persyaratan untuk
memperoleh izin tersebut jika memang diwajibkan, serta apakah ada sanksi bagi
pelaku usaha yang tidak memiliki izin gangguan.
Demikian pendapat kami. Semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Hinder
Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226) sebagaimana telah beberapa
kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450
2. Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin
Gangguan di Daerah
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 22 Pebruari 2011
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Saya mempunyai Perusahaan yang
bergerak di bidang mining (pertambangan). Sebelum melakukan kegiatan
pertambangan, dan eksplorasi, saya harus mempunyai izin pinjam pakai terlebih
dahulu. Lalu saya ajukan permohonan izin pinjam pakai ke Menteri Kehutanan, lalu
saya pun beroperasi. Namun sebelum izin pinjam pakai saya terbit, di tengah
kegiatan perusahaan, saya diperiksa polisi dan polisi menyatakan bahwa saya
melanggar hukum karena melakukan kegiatan mining tanpa adanya izin pinjam pakai
yang saya sudah ajukan sebelumnya. Yang ingin saya tanyakan adalah: 1. Apakah
ada prinsip, atau doktrin yang menyatakan bahwa apabila saya sudah mengajukan
permohonan izin pinjam pakai, maka polisi sudah tidak berhak memeriksa saya
Karena yang saya langgar hanya hukum administrasinya saja? 2. Jika polisi
menyidik saya dan perusahaan saya, apakah izin pinjam pakai yang saya ajukan
sebelumnya tetap akan keluar?
Jawaban: Diana Kusumasari
1.
Berdasarkan Pasal 50
ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan
(“UU 41/1999”) ditentukan
bahwa setiap orang dilarang melakukan eksplorasi terhadap hutan sebelum
mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri Kehutanan. Jadi,
sebelum izin tersebut diterbitkan, seharusnya kegiatan pertambangan belum boleh
dilakukan.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal
2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-Ii/ 2008 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan (“Permenhut 43/2008”) yang mengatur bahwa pinjam
pakai kawasan hutan dilaksanakan atas dasar izin Menteri.
Dan memang dalam pengawasannya UU
memberikan kewenangan kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat
pekerjaannya untuk bertindak sebagai polisi khusus (lihat Pasal 51 UU
41/1999). Polisi khusus ini antara lain tugasnya adalah:
- mengadakan patroli/perondaan di dalam
kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
- memeriksa surat-surat atau dokumen
yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau
wilayah hukumnya;
- menerima laporan tentang telah
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
- mencari keterangan dan barang bukti
terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
- dalam hal tertangkap tangan, wajib
menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
- membuat laporan dan menandatangani
laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan,
dan hasil hutan.
Bagi perusahaan yang melanggar
ketentuan tersebut maka terhadap perusahaan tersebut berlaku sanksi pidana yang
diatur dalam Pasal 78 UU 41/1999 yaitu pidana penjara (bagi direkturnya
atau yang berwenang mewakili perusahaan) dan denda serta dapat berakibat semua
hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
mengeksplorasi hutan tanpa izin dirampas untuk Negara.
Selain sanksi pidana, pelaku usaha
yang melanggar juga dapat dikenakan ganti rugi dan sanksi administratif. Jadi,
polisi memang berhak untuk memeriksa kelengkapan administrasi yang Anda miliki
dalam rangka penggunaan kawasan hutan.
2.
Dalam hal perusahaan
Anda disidik Polisi dan didapati tindak pidana sebagaimana tersebut di atas,
menurut konfirmasi yang kami terima dari Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Ir. Darori M.M.
(21/02), izin pinjam pakai tersebut tidak akan diproses,
melainkan yang diproses adalah tindak pidananya karena pelanggaran yang
dilakukan termasuk tindak pidana bukan sekedar pelanggaran administratif.
Demikian
jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.43/ Menhut-Ii/
2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 14 Juni 2010
Jakarta Islamic Index
Bagaimana sistem kerja dan mekanisme pembagian deviden dalam
saham syariah pada Jakarta Islamic Index ?
Jawaban: Shanti Rachmadsyah
Dalam makalah Studi Tentang Investasi Syariah di
Pasar Modal yang ditulis oleh Tim Studi Tentang
Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia (Badan Pengawas Pasar Modal/Bapepam,
2004), disebutkan bahwa Jakarta Islamic Index (JII) diluncurkan oleh PT Bursa
Efek Jakarta pada 3 Juli 2000. JII sendiri adalah “benchmark” bagi
saham-saham yang berisikan saham-saham likuid dan memenuhi prinsip syariah
Islam, yang kriterianya ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional. JII ini terdiri
dari 30 emiten, yang akan ditinjau setiap 6 bulan sekali oleh Bursa Efek
Indonesia.
Indeks harga saham sendiri merupakan indikator
harga dari seluruh saham yang yang tercatat di Bursa Efek. Indeks ini biasanya
merefleksikan kondisi Pasar Modal dan kondisi perekonomian sebuah negara secara
umum. Jadi, JII adalah indeks saham yang menghitung indeks harga rata-rata
saham untuk jenis saham-saham yang memenuhi kriteria syariah.
Mekanisme pembagian deviden pada JII sama dengan
pembagian saham pada umumnya di pasar modal biasa. Mekanismenya adalah dengan
Rapat Uumum Pemegang Saham perusahaan, yang kemudian akan menentukan apakah
dividen akan dibagikan atau tidak, dan berapa besaran dividen yang dibagikan.
Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 24 Januari 2011
Jasa Advokat
Dengan hormat, Keluarga kami
memberi kuasa pada advokat untuk mengurus kasasi perkara gugatan rumah (kami
tergugat). 1) Berapa kisaran biaya advokat untuk urusan tersebut? 2) Atas dasar
apa biaya tersebut dihitung (waktu atau kalah menang perkara?) 3) Kira-kira
seberapa lama putusan kasasi tersebut dapat diputuskan? 4) Dapatkah kami lihat
atau tanyakan langsung hal tersebut pada Mahkamah Agung? Kami sangat menanti
jawabannya. Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.
Jawaban:Diana Kusumasari
1.
Besarnya honorarium advokat, menurut Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat (“UU Advokat”), ditetapkan secara wajar
berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (advokat dan klien). Yang
dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien (lihat penjelasan Pasal 21 ayat [2] UU
Advokat).
Mengenai
honorarium, di dalam Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan
bahwa advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak
perlu.
Jadi, tidak
ada standar honorarium advokat yang diatur dalam UU Advokat maupun kode etik.
Honorarium advokat ditentukan oleh kesepakatan antara advokat dengan pengguna
jasa advokat (“klien”).
2.
Dalam prakteknya, menurut Binoto Nadapdap dalam buku “Menjajaki
Seluk Beluk Honorarium Advokat”, untuk menentukan besaran honorarium
advokat dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode:
1.
penentuan secara kontijensi, dan
2.
berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.
Sekarang,
masih menurut Binoto, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan
waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).
Dalam buku tersebut
Binoto juga menulis antara lain bahwa salah satu yang jadi masalah di lapangan
adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium.
Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan
kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin. Sayangnya, banyak
klien yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi semacam itu. Lebih
jauh simak artikel hukumonline.com berjudul “Menakar
Besar Kecilnya Fee Advokat”.
Sedikit
gambaran mengenai komponen-komponen biaya jasa hukum dapat disimak dalam buku “Advokat
Indonesia Mencari Legitimasi” yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia (PSHK). Pada halaman 315 buku tersebut ditulis antara
lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum
untuk kasus perceraian sebagai berikut:
1.
honorarium advokat;
2.
biaya transport;
3.
biaya akomodasi;
4.
biaya perkara;
5.
biaya sidang; dan
6.
biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20
persen.
Jadi, terkait
dengan perhitungan honorarium advokat ini memang sepenuhnya bergantung pada
kesepakatan antara klien dan advokatnya, termasuk terkait dengan waktu
pembayarannya, apakah akan dibayarkan sebelum atau sesudah perkara diputus.
Yang penting adalah klien berhak meminta informasi secara terbuka dari advokat
mengenai perhitungan honorarium, komponen-komponennya dan cara pembayarannya.
3.
Mengenai berapa lama putusan kasasi diputus oleh Majelis Hakim tidak
terdapat ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Hal ini sepenuhnya
menjadi kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) dalam memberikan putusan.
4.
Putusan kasasi diucapkan oleh MA dalam sidang yang terbuka untuk umum
sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) dan akan dikirimkan oleh MA
kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang sebelumnya memutus perkara tersebut.
Selanjutnya, atas perintah Ketua PN, jurusita PN yang bersangkutan
memberitahukan putusan tersebut kepada para pihak yang berperkara selambat-lambatnya
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan diterima oleh PN tersebut.
Demikian diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UUMA. yang telah
diubah sebagian dalam (Perubahan Pertama) dan (Perubahan Kedua) tentang
Mahkamah Agung.
Dengan
demikian putusan tersebut akan disampaikan kepada para pihak tanpa para pihak
harus memintanya. Putusan-putusan MA ini juga dapat diakses dari situs MA yaitu
di http://putusan.mahkamahagung.go.id/.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.
Undang-Undang No. 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun
2004 dan Undang-Undang
No. 3 Tahun 2009.
Selasa, 25 Mei 2010
Kantor Pengacara atas Nama Perorangan
Kepada Yth. Klinik Hukum, Saya
hendak menanyakan bagaimana prosedur pendirian kantor pengacara yang didirikan
oleh satu orang (atas nama perorangan)? Apakah memerlukan Akta Pendirian,
mengingat pendiri adalah perorangan, tergolong bentuk badan hukum atau bukan
badan hukum? Terima kasih.
Jawaban: Amrie Hakim
Setahu kami, kantor pengacara atau kantor hukum
atau kantor advokat dapat didirikan oleh satu atau lebih advokat. Kami
dapat menarik kesimpulan demikian karena UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat maupun peraturan pelaksananya belum mengatur secara khusus mengenai
prosedur mendirikan kantor advokat.
Menurut UU Advokat, sepanjang seseorang telah
memiliki izin sebagai advokat, maka yang bersangkutan dapat menjalankan profesi
sebagai advokat (lihat pasal 1 angka 1 UU Advokat). Untuk prosedur
menjadi advokat, Saudara dapat melihat artikel kami di sini.
Kantor advokat, baik yang didirikan oleh satu
maupun lebih dari satu advokat, tidak berbentuk badan hukum. Meski
demikian, advokat dapat saja membuat akta pendirian kantor advokat di hadapan
notaris. Apabila kantor advokat didirikan oleh satu orang advokat maka, menurut
hemat kami, prosedur yang ditempuh kurang lebih sama dengan mendirikan usaha
perseorangan.
Usaha perseorangan (sole propietor)
adalah badan usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh satu orang. Usaha ini
tidak berbentuk badan hukum, maka pemilik usaha bertanggung jawab penuh dan
pribadi atas utangnya. Oleh karena itu aset pribadi pelaku usaha perorangan
dapat dijual secara paksa untuk melunasi utang usahanya (sumber hukumpedia.com).
Prosedur pendirian usaha perseorangan, menurut “Buku
Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen” karangan Henry S. Siswosoediro,
adalah sebagai berikut:
a. Persyaratan
administrasi
- Fotokopi
KTP pendiri (advokat)
- Fotokopi
kartu keluarga dariorang yang bertindak sebagai penanggung jawab
- Fotokopi
surat kontrak rumah/kantor (jika menyewa) atau bukti pembayaran Pajak Bumi dan
Bangunan
- Pasfoto
berwarna ukuran 3x4 cm sebanyak 2 lembar
- Surat
keterangan domisili atau Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari kelurahan atau
kepala desa
Catatan Klinik: Dalam
hal kantor advokat, maka perlu dilampirkan pula fotokopi (kartu) izin advokat
dan fotokopi NPWP advokat.
b. Prosedur
Pemohon mengajukan permohonan tertulis
kepada notaris dengan menyebutkan hal-hal berikut:
- Jenis/bentuk
usaha
- Tempat
usaha
- Mengajukan
permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) kepada Kantor Wilayah Departemen
Perdagangan setempat.
- Mengajukan
permohonan untuk meminta izin tempat usaha kepada RT/RW setempat
Catatan Klinik: Dalam
hal pengurusan SIUP untuk kantor advokat, Saudara dapat melihat artikel kami di sini).
Selain prosedur di atas, dalam hal advokat
membuka kantor baru, advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri,
Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat (penjelasan pasal 5 ayat
[2] UU Advokat).
Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang AdvokatSetiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 29 September 2003
kartu kredit dari segi hukum RI
Sebenarnya bagaimana hukum RI
mengenai kartu kredit. Jika customer (pemegang kartu kredit) tidak sangup
membayar hutang & bunganya, lalu apa tindakan dari pihak Bank yg dibenarkan
oleh hukum ? Mengingat pada waktu aplikasi kartu kredit tidak ada perjanjian
sita menyita ataupun dijelaskan sanksi-sanksi pidananya.
Jawaban: Bung Pokrol
Perlu diketahui bahwa penjelasan mengenai
terdapatnya sita menyita atau sanksi hukum pidana memang secara eksplisit tidak
dicantumkan dalam aplikasi kartu kredit. Namun demikian, dalam aplikasi kartu
kredit tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pernyataan atau persetujuan
dari pemegang (pemohon) kartu kredit yang pada pokoknya menyatakan mengenai
pernyataan atau persetujuan pemegang (pemohon) kartu kredit untuk menerima dan
mengikatkan diri untuk tunduk dan mematuhi setiap dan semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan baik yang berlaku saat ini dan/atau di kemudian hari
berlaku beserta setiap perubahan-perubahannya menurut kebijaksanaan dari Bank
termasuk juga bertanggung jawab atas sepenuhnya atas semua tagihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas dan dengan
menandatangani aplikasi kartu kredit sebagaimana dimaksud di atas, maka
pemegang (pemohon) kartu kredit tersebut juga terikat dengan seluruh hal-hal
sebagaimana dimaksud di dalam pernyataan atau persetujuan di atas, termasuk
tetapi tidak terbatas pada apabila didalam syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan tersebut tercantum mengenai adanya ketentuan sita dan/atau
sanksi pidana.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 19 Oktober 2009
Kedudukan Hukum Perseroan dalam Penyiaran
Yth. Hukum OnLine Mohon
pencerahannya bagaimanakah kedudukan hukum menurut UU PT suatu perseroan atas
rencana pengembangan usaha /pendiran perseroan baru disuatu daerah jika
dikaitkan dengan UU / PP Penyiaran, apakah boleh disuatu daerah mendirikan PT
Baru dengan susunan BOD yang sama dengan kedudukan PT yang lama (pertama)serta
konsekuensi hukum lainnya?
Jawaban: Tb. A. Adhi R. Faiz,
S.H., M.H.
Dalam pendirian
suatu Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (UUPT), sama sekali tidak terdapat larangan mengenai susunan
anggota Direksi (Board of Directors) yang sama dengan PT lain yang telah
didirikan sebelumnya, baik yang belum ataupun telah memperoleh status Badan
Hukumnya. Dengan kata lain, UUPT memperkenankannya. Begitu juga UU No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), sama sekali tidak melarangnya.
Perlu pula
diketahui bahwa berdasarkan pasal 18 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU
Penyiaran) pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (baik
di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran) sama sekali tidak
dilarang dan hanya "dibatasi".
Kemudian,
berdasarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 50 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP 50/2005), khusus dalam
bidang jasa penyiaran radio misalnya, tegas dinyatakan atas Lembaga Penyiaran
Swasta jasa penyiaran radio seseorang atau suatu Badan Hukum boleh memiliki
100% saham pada tujuh Badan Hukum (vide pasal 31 ayat [1] huruf b PP 50/2005).
Hal itu berarti dimungkinkan ada tujuh PT yang memiliki susunan anggota Direksi
(dan juga susunan anggota Dewan Komisaris) yang sama sebagai konsekuensi
logisnya.
Oleh karena itu,
khusus dalam bidang penyiaran, pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999) tidak
dapat diterapkan. Di dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 terdapat larangan bagi
direksi atau komisaris untuk merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris
di perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat. Berdasarkan azas "lex specialis derogat lex generalis"
(hukum khusus mengesampingkan hukum umum), aturan mengenai posisi dominan telah
diatur secara tersendiri oleh UU Penyiaran juncto PP 50/2005.
Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam pengangkatan anggota Direksi adalah kecakapan. Cakap
berarti yang bersangkutan telah dewasa dan tidak terhalang secara hukum
berdasarkan UU untuk dapat bertindak di luar atau di dalam Pengadilan,
sebagaimana ditegaskan oleh pasal 1329 dan pasal 1330 KUHPerdata.
Pihak-pihak yang
tidak dapat diangkat sebagai anggota Direksi yaitu mereka yang dalam waktu lima
tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a.
dinyatakan pailit;
b.
menjadi Anggota Direksi/Dewan Komisaris
pada Perseroan Terbatas lain yang dinyatakan bersalah menyebabkan Perseroan
Terbatas tersebut dinyatakan pailit; atau
c.
dihukum karena melakukan tindak pidana
yang merugikan keuangan Negara dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan
(pasal 93 ayat [1] UUPT).
Persyaratan lain
yang harus dipenuhi oleh seorang Anggota Direksi pada suatu Lembaga Penyiaran
Swasta adalah persyaratan tambahan yang ditetapkan dalam bidang penyiaran
terkait anggota Direksi berstatus WNA. Warga negara asing (WNA) hanya dapat
berkedudukan sebagai anggota Direksi yang membidangi keuangan atau teknik
(pasal 93 ayat [2] UUPT juncto pasal 16 ayat [2] UU Penyiaran).
Jika
persyaratan-persyaratan itu tidak terpenuhi oleh seorang anggota Direksi
padahal dia telah diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka sejak
saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris mengetahuinya,
pengangkatannya batal karena hukum (pasal 95 ayat [1] UUPT). Namun demikian,
perbuatan hukum yang dia telah lakukan untuk dan atas nama PT sebelum
pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab PT (pasal 95
ayat [3] UUPT).
Dasar hukum:
1.
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor
Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
3.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
4.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran
5.
Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005
tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 02 Mei 2011
Kekuatan Polis Asuransi Sebagai Alat Bukti
Apakah fungsi polis
dalam asuransi, dan bagaimana kekuatan polis sebagai alat bukti?
Jawaban: Diana Kusumasari
1. Berdasarkan Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”),
perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut
dengan “Polis”. Selain itu, berdasarkan Pasal 19 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama
apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh
mengandung kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang
berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan
kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.
Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad,
S.H., dalam bukunya “Hukum Asuransi Indonesia” (hal. 58),
berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa polis
berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi
antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi
yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau
kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga mempersulit
tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam
pelaksanaan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai
syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak
dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.
2. Alat bukti dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana
diatur dalam Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) jo. Pasal 1866
KUHPerdata adalah:
a. bukti tertulis;
b. bukti saksi;
c. persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
M. Yahya Harahap SH menyatakan dalam bukunya, Hukum
Acara Perdata (hal. 559) bahwa dalam acara perdata bukti tulisan merupakan
alat bukti yang penting dan paling utama dibanding dengan yang lain. Bukti
tertulis/tulisan ini (dalam hal ini polis asuransi) merupakan suatu bentuk akta
di bawah tangan, bukan akta otentik karena tidak dibuat oleh atau di hadapan
pejabat umum yang berwenang (lihat Pasal 1868 KUHPerdata).
Mengenai daya kekuatan pembuktiannya,
Yahya Harahap menyebutkan bahwa untuk Akta di Bawah Tangan memiliki 2 (dua)
jenis daya kekuatan yang melekat padanya yaitu:
i. Daya Kekuatan Pembuktian Formil;
a. Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan
hal yang tercantum dalam akta;
b. Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
ii. Daya Pembuktian Materiil.
a. Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar;
b. Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang
yang mendapat hak dari padanya;
Apabila para pihak telah memenuhi
ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah mengakui kebenaran
akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
dan mengikat berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44);
4. Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun
2008.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar