Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Rabu, 29 September 2010
Izin Pertambangan Pihak Asing
Perusahaan tempat saya bekerja tidak lama lagi akan mengadakan kerja sama dengan perusahaan asing dalam hal melakukan operasional penambangan batubara. Rencananya perusahaan asing tersebut menginginkan 90% kepemilikan saham dan mengusahakan izin PKP2B (bukan kontrak karya) dalam operasionalnya nanti, sementara perusahaan kami hanya mendapat jatah minoritas. Pertanyaannya: Apakah dibenarkan PMA dengan kepemilikan mayoritas melakukan penambangan dengan izin seperti tersebut di atas? Apakah yang harus perusahaan asing tersebut persiapkan sebelum bergabung dengan perusahaan kami? Terima kasih
Jawaban:  Shanti Rachmadsyah
Yang pertama harus diperhatikan tentu apakah ada pembatasan bagi investor asing untuk melakukan kegiatan usaha di bidang pertambangan batubara. Pembatasan ini dapat dicek dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (“Perpres DNI”). Dalam Perpres DNI ini tidak ada pembatasan bagi investasi asing untuk penambangan batubara, oleh karena itu boleh saja kepemilikan investor asingnya sebesar 90%. Yang harus perusahaan tersebut lakukan adalah mendapatkan izin dari BKPM. Mengenai prosedur izin dari BKPM ini pernah dibahas dalam jawaban ini.
Yang harus diingat adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”). Menurut pasal 5 ayat (2) UUPM, penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (“PT”). Jadi, nantinya bentuk usaha Anda dan investor asing tersebut harus berupa PT.
Kemudian, harus diingat juga bahwa ada ketentuan divestasi bagi investor asing di bidang pertambangan. Pasal 112 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) mengatur bahwa setelah 5 tahun berproduksi, badan usaha pemegang izin usaha pertambangan yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham. Divestasi ini dilakukan pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. Pasal 97 Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 23/2010”) selanjutnya mengatur besaran saham yang harus didivestasi, yaitu sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia. Jadi, walaupun saat ini investor asing Anda diperbolehkan untuk memegang saham sebesar 90%, namun 5 tahun sesudah berproduksi nanti investor tersebut wajib melakukan divestasi saham sehingga saham investor asing tersebut menjadi maksimal 80%.
Semenjak diberlakukannya UU Minerba, usaha pertambangan tidak lagi dilakukan berdasarkan Kontrak Karya ataupun PKP2B, melainkan berdasar Izin Usaha Pertambangan (“IUP”). Menurut pasal 1 angka 7 UU Minerba, IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. IUP terdiri atas dua tahap yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan (lihat pasal 1 angka 8 UU Minerba). Sedangkan, IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi. Kedua IUP tersebut diberikan setelah perusahaan tersebut memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), yaitu wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP (lihat pasal 6 ayat [4] PP No. 23/2010). Kemudian, di dalam pasal 8 ayat (3) PP 23/2010 dinyatakan bahwa WIUP diperoleh melalui cara lelang.
Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
2.      Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
3.      Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
4.      Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 09 Agustus 2010
Izin Perusahaan Ekspedisi (Tidak Punya Izin Gangguan)
Apakah saat mendirikan usaha ekspedisi harus mengurus UUG (Undang-Undang Gangguan) terlebih dahulu? Bagaimana jika perusahaan ekspedisi sudah dijalankan lebih dari 10 tahun tanpa memiliki izin UUG tersebut? Apakah ada sanksinya?
Jawaban:  Shanti Rachmadsyah
Izin HO (hinder ordonantie) atau izin UU Gangguan berdasarkan Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450.
Izin Gangguan atau adalah pemberian izin tempat usaha/kegiatan kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian, dan gangguan, tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Demikian menurut ketentuan pasal 1 ayat [3] Permendagri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Daerah (“Permendagri 27/2009”)

Pasal 14 Permendagri 27/2009 mengatur bahwa setiap usaha wajib mempunyai izin gangguan, kecuali:
1.      Kegiatan yang berlokasi di dalam Kawasan Industri, Kawasan Berikat, dan Kawasan Ekonomi Khusus;
2.      Kegiatan yang berada di dalam bangunan atau lingkungan yang telah memiliki izin gangguan; dan;
3.      Usaha mikro dan kecil yang kegiatan usahanya di dalam bangunan atau persil yang dampak kegiatan usahanya tidak keluar dari bangunan atau persil.
Dengan demikian, perlu dilihat dahulu apakah usaha ekspedisi yang Anda dirikan tersebut termasuk pada pengecualian usaha dalam Permendagri ini. Apabila terpenuhi, maka Anda tidak perlu mempunyai izin gangguan.
Dalam Permendagri 27/2009 di atas, tidak ada aturan tentang sanksi bagi pemilik tempat usaha yang tidak memiliki izin gangguan. Akan tetapi, pasal 7 ayat (1) Permendagri 27/2009 menyatakan bahwa pemberian izin gangguan, merupakan kewenangan Bupati/Walikota. Dengan demikian, Bupati/Walikota berwenang untuk mengatur teknis dan persyaratan pemberian izin gangguan, dan juga berwenang untuk mengatur sanksi bagi pelaku usaha yang tidak memiliki izin gangguan.
Dengan demikian, hemat kami, yang perlu Anda lakukan adalah mencek ke pemerintah daerah setempat, apakah usaha ekspedisi termasuk  yang wajib memiliki izin gangguan, apa saja persyaratan untuk memperoleh izin tersebut jika memang diwajibkan, serta apakah ada sanksi bagi pelaku usaha yang tidak memiliki izin gangguan.

Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Hinder Ordonnantie (Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450
2.      Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 22 Pebruari 2011
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Saya mempunyai Perusahaan yang bergerak di bidang mining (pertambangan). Sebelum melakukan kegiatan pertambangan, dan eksplorasi, saya harus mempunyai izin pinjam pakai terlebih dahulu. Lalu saya ajukan permohonan izin pinjam pakai ke Menteri Kehutanan, lalu saya pun beroperasi. Namun sebelum izin pinjam pakai saya terbit, di tengah kegiatan perusahaan, saya diperiksa polisi dan polisi menyatakan bahwa saya melanggar hukum karena melakukan kegiatan mining tanpa adanya izin pinjam pakai yang saya sudah ajukan sebelumnya. Yang ingin saya tanyakan adalah: 1. Apakah ada prinsip, atau doktrin yang menyatakan bahwa apabila saya sudah mengajukan permohonan izin pinjam pakai, maka polisi sudah tidak berhak memeriksa saya Karena yang saya langgar hanya hukum administrasinya saja? 2. Jika polisi menyidik saya dan perusahaan saya, apakah izin pinjam pakai yang saya ajukan sebelumnya tetap akan keluar?
Jawaban: Diana Kusumasari

1.         Berdasarkan Pasal 50 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (“UU 41/1999”) ditentukan bahwa setiap orang dilarang melakukan eksplorasi terhadap hutan sebelum mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang yaitu Menteri Kehutanan. Jadi, sebelum izin tersebut diterbitkan, seharusnya kegiatan pertambangan belum boleh dilakukan.
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-Ii/ 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan (“Permenhut 43/2008”) yang mengatur bahwa pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan atas dasar izin Menteri.
Dan memang dalam pengawasannya UU memberikan kewenangan kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya untuk bertindak sebagai polisi khusus (lihat Pasal 51 UU 41/1999). Polisi khusus ini antara lain tugasnya adalah:
-        mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
-        memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
-        menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
-        mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
-        dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
-        membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.

Bagi perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut maka terhadap perusahaan tersebut berlaku sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU 41/1999 yaitu pidana penjara (bagi direkturnya atau yang berwenang mewakili perusahaan) dan denda serta dapat berakibat semua hasil hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk mengeksplorasi hutan tanpa izin dirampas untuk Negara.

Selain sanksi pidana, pelaku usaha yang melanggar juga dapat dikenakan ganti rugi dan sanksi administratif. Jadi, polisi memang berhak untuk memeriksa kelengkapan administrasi yang Anda miliki dalam rangka penggunaan kawasan hutan.
2.         Dalam hal perusahaan Anda disidik Polisi dan didapati tindak pidana sebagaimana tersebut di atas, menurut konfirmasi yang kami terima dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Ir. Darori M.M. (21/02), izin pinjam pakai tersebut tidak akan diproses, melainkan yang diproses adalah tindak pidananya karena pelanggaran yang dilakukan termasuk tindak pidana bukan sekedar pelanggaran administratif.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
2.      Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.43/ Menhut-Ii/ 2008 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 14 Juni 2010
Jakarta Islamic Index
Bagaimana sistem kerja dan mekanisme pembagian deviden dalam saham syariah pada Jakarta Islamic Index ?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Dalam makalah Studi Tentang Investasi Syariah di Pasar Modal yang ditulis oleh Tim Studi Tentang Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia (Badan Pengawas Pasar Modal/Bapepam, 2004), disebutkan bahwa Jakarta Islamic Index (JII) diluncurkan oleh PT Bursa Efek Jakarta pada 3 Juli 2000. JII sendiri adalah “benchmark” bagi saham-saham yang berisikan saham-saham likuid dan memenuhi prinsip syariah Islam, yang kriterianya ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional. JII ini terdiri dari 30 emiten, yang akan ditinjau setiap 6 bulan sekali oleh Bursa Efek Indonesia.

Indeks harga saham sendiri merupakan indikator harga dari seluruh saham yang yang tercatat di Bursa Efek. Indeks ini biasanya merefleksikan kondisi Pasar Modal dan kondisi perekonomian sebuah negara secara umum. Jadi, JII adalah indeks saham yang menghitung indeks harga rata-rata saham untuk jenis saham-saham yang memenuhi kriteria syariah.

Mekanisme pembagian deviden pada JII sama dengan pembagian saham pada umumnya di pasar modal biasa. Mekanismenya adalah dengan Rapat Uumum Pemegang Saham perusahaan, yang kemudian akan menentukan apakah dividen akan dibagikan atau tidak, dan berapa besaran dividen yang dibagikan.

Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Senin, 24 Januari 2011
Jasa Advokat
Dengan hormat, Keluarga kami memberi kuasa pada advokat untuk mengurus kasasi perkara gugatan rumah (kami tergugat). 1) Berapa kisaran biaya advokat untuk urusan tersebut? 2) Atas dasar apa biaya tersebut dihitung (waktu atau kalah menang perkara?) 3) Kira-kira seberapa lama putusan kasasi tersebut dapat diputuskan? 4) Dapatkah kami lihat atau tanyakan langsung hal tersebut pada Mahkamah Agung? Kami sangat menanti jawabannya. Atas bantuannya kami ucapkan terima kasih.


1.            Besarnya honorarium advokat, menurut Pasal 21 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak (advokat dan klien). Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien (lihat penjelasan Pasal 21 ayat [2] UU Advokat).
Mengenai honorarium, di dalam Pasal 4 huruf e Kode Etik Advokat Indonesia dinyatakan bahwa advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.
Jadi, tidak ada standar honorarium advokat yang diatur dalam UU Advokat maupun kode etik. Honorarium advokat ditentukan oleh kesepakatan antara advokat dengan pengguna jasa advokat (“klien”).
2.            Dalam prakteknya, menurut Binoto Nadapdap dalam buku Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat, untuk menentukan besaran honorarium advokat dan komponen-komponennya, biasanya digunakan dua metode:
1.      penentuan secara kontijensi, dan
2.      berdasarkan jam kerja atau waktu yang dibutuhkan.
Sekarang, masih menurut Binoto, cukup banyak advokat yang menetapkan tarif berdasarkan waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan kasus klien (hourly billing).

Dalam buku tersebut Binoto juga menulis antara lain bahwa salah satu yang jadi masalah di lapangan adalah ketidakterbukaan advokat tentang komponen perhitungan honorarium. Harusnya, advokat mau menjelaskan secara terbuka kepada klien agar perlindungan kepada klien sebagai pengguna jasa hukum lebih terjamin. Sayangnya, banyak klien yang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan informasi semacam itu. Lebih jauh simak artikel hukumonline.com berjudul “Menakar Besar Kecilnya Fee Advokat”.
Sedikit gambaran mengenai komponen-komponen biaya jasa hukum dapat disimak dalam buku “Advokat Indonesia Mencari Legitimasi” yang diterbitkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Pada halaman 315 buku tersebut ditulis antara lain bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut:
1.      honorarium advokat;
2.      biaya transport;
3.      biaya akomodasi;
4.      biaya perkara;
5.      biaya sidang; dan
6.      biaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20 persen.
Jadi, terkait dengan perhitungan honorarium advokat ini memang sepenuhnya bergantung pada kesepakatan antara klien dan advokatnya, termasuk terkait dengan waktu pembayarannya, apakah akan dibayarkan sebelum atau sesudah perkara diputus. Yang penting adalah klien berhak meminta informasi secara terbuka dari advokat mengenai perhitungan honorarium, komponen-komponennya dan cara pembayarannya.

3.            Mengenai berapa lama putusan kasasi diputus oleh Majelis Hakim tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur hal tersebut. Hal ini sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) dalam memberikan putusan.
4.            Putusan kasasi diucapkan oleh MA dalam sidang yang terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) dan akan dikirimkan oleh MA kepada Ketua Pengadilan Negeri (“PN”) yang sebelumnya memutus perkara tersebut. Selanjutnya, atas perintah Ketua PN, jurusita PN yang bersangkutan memberitahukan putusan tersebut kepada para pihak yang berperkara selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan diterima oleh PN tersebut. Demikian diatur dalam Pasal 53 ayat (1) dan ayat (2) UUMA. yang telah diubah sebagian dalam (Perubahan Pertama) dan (Perubahan Kedua) tentang Mahkamah Agung.
Dengan demikian putusan tersebut akan disampaikan kepada para pihak tanpa para pihak harus memintanya. Putusan-putusan MA ini juga dapat diakses dari situs MA yaitu di http://putusan.mahkamahagung.go.id/.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Selasa, 25 Mei 2010

Kantor Pengacara atas Nama Perorangan
Kepada Yth. Klinik Hukum, Saya hendak menanyakan bagaimana prosedur pendirian kantor pengacara yang didirikan oleh satu orang (atas nama perorangan)? Apakah memerlukan Akta Pendirian, mengingat pendiri adalah perorangan, tergolong bentuk badan hukum atau bukan badan hukum? Terima kasih.

Jawaban:  Amrie Hakim

Setahu kami, kantor pengacara atau kantor hukum atau kantor advokat dapat didirikan oleh satu atau lebih advokat. Kami dapat menarik kesimpulan demikian karena UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat maupun peraturan pelaksananya belum mengatur secara khusus mengenai prosedur mendirikan kantor advokat.
Menurut UU Advokat, sepanjang seseorang telah memiliki izin sebagai advokat, maka yang bersangkutan dapat menjalankan profesi sebagai advokat (lihat pasal 1 angka 1 UU Advokat). Untuk prosedur menjadi advokat, Saudara dapat melihat artikel kami di sini.
Kantor advokat, baik yang didirikan oleh satu maupun lebih dari satu advokat, tidak berbentuk badan hukum. Meski demikian, advokat dapat saja membuat akta pendirian kantor advokat di hadapan notaris. Apabila kantor advokat didirikan oleh satu orang advokat maka, menurut hemat kami, prosedur yang ditempuh kurang lebih sama dengan mendirikan usaha perseorangan.
Usaha perseorangan (sole propietor) adalah badan usaha yang dimiliki dan dijalankan oleh satu orang. Usaha ini tidak berbentuk badan hukum, maka pemilik usaha bertanggung jawab penuh dan pribadi atas utangnya. Oleh karena itu aset pribadi pelaku usaha perorangan dapat dijual secara paksa untuk melunasi utang usahanya (sumber hukumpedia.com).
Prosedur pendirian usaha perseorangan, menurut “Buku Pintar Pengurusan Perizinan & Dokumen” karangan Henry S. Siswosoediro, adalah sebagai berikut:

a.      Persyaratan administrasi
-         Fotokopi KTP pendiri (advokat)
-         Fotokopi kartu keluarga dariorang yang bertindak sebagai penanggung jawab   
-         Fotokopi surat kontrak rumah/kantor (jika menyewa) atau bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan
-         Pasfoto berwarna ukuran 3x4 cm sebanyak 2 lembar
-         Surat keterangan domisili atau Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dari kelurahan atau kepala desa
Catatan Klinik: Dalam hal kantor advokat, maka perlu dilampirkan pula fotokopi (kartu) izin advokat dan fotokopi NPWP advokat.

b.      Prosedur
Pemohon mengajukan permohonan tertulis kepada notaris dengan menyebutkan hal-hal berikut:
-         Jenis/bentuk usaha
-         Tempat usaha
-         Mengajukan permohonan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) kepada Kantor Wilayah Departemen Perdagangan setempat.
-         Mengajukan permohonan untuk meminta izin tempat usaha kepada RT/RW setempat
Catatan Klinik: Dalam hal pengurusan SIUP untuk kantor advokat, Saudara dapat melihat artikel kami di sini).

Selain prosedur di atas, dalam hal advokat membuka kantor baru, advokat wajib memberitahukan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah Daerah setempat (penjelasan pasal 5 ayat [2] UU Advokat).

Wilayah kerja advokat meliputi seluruh wilayah Indonesia (pasal 5 ayat [2] UU Advokat).
Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 29 September 2003
kartu kredit dari segi hukum RI
Sebenarnya bagaimana hukum RI mengenai kartu kredit. Jika customer (pemegang kartu kredit) tidak sangup membayar hutang & bunganya, lalu apa tindakan dari pihak Bank yg dibenarkan oleh hukum ? Mengingat pada waktu aplikasi kartu kredit tidak ada perjanjian sita menyita ataupun dijelaskan sanksi-sanksi pidananya.
Jawaban: Bung Pokrol
Perlu diketahui bahwa penjelasan mengenai terdapatnya sita menyita atau sanksi hukum pidana memang secara eksplisit tidak dicantumkan dalam aplikasi kartu kredit. Namun demikian, dalam aplikasi kartu kredit tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pernyataan atau persetujuan dari pemegang (pemohon) kartu kredit yang pada pokoknya menyatakan mengenai pernyataan atau persetujuan pemegang (pemohon) kartu kredit untuk menerima dan mengikatkan diri untuk tunduk dan mematuhi setiap dan semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan baik yang berlaku saat ini dan/atau di kemudian hari berlaku beserta setiap perubahan-perubahannya menurut kebijaksanaan dari Bank termasuk juga bertanggung jawab atas sepenuhnya atas semua tagihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya Sehingga berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas dan dengan menandatangani aplikasi kartu kredit sebagaimana dimaksud di atas, maka pemegang (pemohon) kartu kredit tersebut juga terikat dengan seluruh hal-hal sebagaimana dimaksud di dalam pernyataan atau persetujuan di atas, termasuk tetapi tidak terbatas pada apabila didalam syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut tercantum mengenai adanya ketentuan sita dan/atau sanksi pidana.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 19 Oktober 2009
Kedudukan Hukum Perseroan dalam Penyiaran
Yth. Hukum OnLine Mohon pencerahannya bagaimanakah kedudukan hukum menurut UU PT suatu perseroan atas rencana pengembangan usaha /pendiran perseroan baru disuatu daerah jika dikaitkan dengan UU / PP Penyiaran, apakah boleh disuatu daerah mendirikan PT Baru dengan susunan BOD yang sama dengan kedudukan PT yang lama (pertama)serta konsekuensi hukum lainnya?

Dalam pendirian suatu Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), sama sekali tidak terdapat larangan mengenai susunan anggota Direksi (Board of Directors) yang sama dengan PT lain yang telah didirikan sebelumnya, baik yang belum ataupun telah memperoleh status Badan Hukumnya. Dengan kata lain, UUPT memperkenankannya. Begitu juga UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran), sama sekali tidak melarangnya.

Perlu pula diketahui bahwa berdasarkan pasal 18 UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta (baik di satu wilayah siaran atau di beberapa wilayah siaran) sama sekali tidak dilarang dan hanya "dibatasi".
Kemudian, berdasarkan peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (PP 50/2005), khusus dalam bidang jasa penyiaran radio misalnya, tegas dinyatakan atas Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio seseorang atau suatu Badan Hukum boleh memiliki 100% saham pada tujuh Badan Hukum (vide pasal 31 ayat [1] huruf b PP 50/2005). Hal itu berarti dimungkinkan ada tujuh PT yang memiliki susunan anggota Direksi (dan juga susunan anggota Dewan Komisaris) yang sama sebagai konsekuensi logisnya.
Oleh karena itu, khusus dalam bidang penyiaran, pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999) tidak dapat diterapkan. Di dalam pasal 26 UU No. 5 Tahun 1999 terdapat larangan bagi direksi atau komisaris untuk merangkap jabatan sebagai direksi atau komisaris di perusahaan lain yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan azas "lex specialis derogat lex generalis" (hukum khusus mengesampingkan hukum umum), aturan mengenai posisi dominan telah diatur secara tersendiri oleh UU Penyiaran juncto PP 50/2005.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anggota Direksi adalah kecakapan. Cakap berarti yang bersangkutan telah dewasa dan tidak terhalang secara hukum berdasarkan UU untuk dapat bertindak di luar atau di dalam Pengadilan, sebagaimana ditegaskan oleh pasal 1329 dan pasal 1330 KUHPerdata.
Pihak-pihak yang tidak dapat diangkat sebagai anggota Direksi yaitu mereka yang dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatannya pernah:
a.      dinyatakan pailit;
b.      menjadi Anggota Direksi/Dewan Komisaris pada Perseroan Terbatas lain yang dinyatakan bersalah menyebabkan Perseroan Terbatas tersebut dinyatakan pailit; atau
c.      dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan (pasal 93 ayat [1] UUPT).
Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh seorang Anggota Direksi pada suatu Lembaga Penyiaran Swasta adalah persyaratan tambahan yang ditetapkan dalam bidang penyiaran terkait anggota Direksi berstatus WNA. Warga negara asing (WNA) hanya dapat berkedudukan sebagai anggota Direksi yang membidangi keuangan atau teknik (pasal 93 ayat [2] UUPT juncto pasal 16 ayat [2] UU Penyiaran).
Jika persyaratan-persyaratan itu tidak terpenuhi oleh seorang anggota Direksi padahal dia telah diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maka sejak saat anggota Direksi lainnya atau Dewan Komisaris mengetahuinya, pengangkatannya batal karena hukum (pasal 95 ayat [1] UUPT). Namun demikian, perbuatan hukum yang dia telah lakukan untuk dan atas nama PT sebelum pengangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab PT (pasal 95 ayat [3] UUPT).
Dasar hukum:
1.      KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
3.      Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4.      Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
5.      Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 02 Mei 2011
Kekuatan Polis Asuransi Sebagai Alat Bukti
Apakah fungsi polis dalam asuransi, dan bagaimana kekuatan polis sebagai alat bukti?

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Berdasarkan Pasal 255 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”), perjanjian asuransi harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta yang disebut dengan “Polis”. Selain itu, berdasarkan Pasal 19 ayat (1) PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Polis atau bentuk perjanjian asuransi dengan nama apapun, berikut lampiran yang merupakan kesatuan dengannya, tidak boleh mengandung kata-kata, atau kalimat yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda mengenai risiko yang ditutup asuransinya, kewajiban penanggung dan kewajiban tertanggung, atau mempersulit tertanggung mengurus haknya.

Menurut Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., dalam bukunya “Hukum Asuransi Indonesia” (hal. 58), berdasarkan ketentuan dua pasal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa polis berfungsi sebagai alat bukti tertulis bahwa telah terjadi perjanjian asuransi antara tertanggung dan penanggung. Sebagai alat bukti tertulis, isi yang tercantum dalam polis harus jelas, tidak boleh mengandung kata-kata atau kalimat yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga mempersulit tertanggung dan penanggung merealisasikan hak dan kewajiban mereka dalam pelaksanaan asuransi. Di samping itu, polis juga memuat kesepakatan mengenai syarat-syarat khusus dan janji-janji khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban untuk mencapai tujuan asuransi.

2.      Alat bukti dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana diatur dalam Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) jo. Pasal 1866 KUHPerdata adalah:
a.      bukti tertulis;
b.      bukti saksi;
c.      persangkaan;
d.      pengakuan;
e.      sumpah.
M. Yahya Harahap SH menyatakan dalam bukunya, Hukum Acara Perdata (hal. 559) bahwa dalam acara perdata bukti tulisan merupakan alat bukti yang penting dan paling utama dibanding dengan yang lain. Bukti tertulis/tulisan ini (dalam hal ini polis asuransi) merupakan suatu bentuk akta di bawah tangan, bukan akta otentik karena tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang (lihat Pasal 1868 KUHPerdata).

Mengenai daya kekuatan pembuktiannya, Yahya Harahap menyebutkan bahwa untuk Akta di Bawah Tangan memiliki 2 (dua) jenis daya kekuatan yang melekat padanya yaitu:
i.        Daya Kekuatan Pembuktian Formil;
a.      Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum dalam akta;
b.      Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain.
ii.       Daya Pembuktian Materiil.
a.      Isi keterangan yang tercantum harus dianggap benar;
b.      Memiliki daya mengikat kepada ahli waris dan orang yang mendapat hak dari padanya;

Apabila para pihak telah memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut di atas, yaitu para pihak telah mengakui kebenaran akta/polis tersebut, maka polis tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.         Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
3.         Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44);
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer