Perusahaan_Hukumonline
Jumat, 30 Juli 2010
Pembubaran
Maatschap
Salam. Saya ingin bertanya mengenai
bagaimanakah prosedur pembubaran maatschap yang didirikan tanpa jangka waktu?
Selanjutnya, yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana jika salah satu dari
sekutu telah lalai untuk melaksanakan prestasinya apakah sekutu lain berhak
mengajukan pembatalan perjanjian maatschap berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata?
Terima kasih.
1. Maatschap, atau persekutuan perdata,
merupakan suatu bentuk perjanjian yang diatur dalam pasal 1618 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Maatschap adalah:
“suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud
untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.”
Dari
rumusan pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa maatschap memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
1)
merupakan suatu perjanjian
2)
ada perikatan antara dua orang atau
lebih
3)
ada pemasukan (inbreng)
berupa sejumlah uang, barang dengan wujud tertentu, atau berupa tenaga, jasa,
atau keahlian (skill)
4)
ada tujuan untuk membagi keuntungan
yang diperoleh
Mengenai
pembubaran maatschap, pasal 1646 KUHPer mengatur bahwa suatu
maatschap hanya dapat berakhir apabila:
1) Lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan;
2)
Musnahnya barang atau
diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan;
3)
Atas kehendak semata-mata dari
beberapa orang sekutu;
4)
Jika salah seorang sekutu meninggal
atau ditaruh di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Untuk
maatschap yang didirikan untuk waktu tidak tertentu, maka pembubarannya
berlaku pasal 1649 KUHPer, yaitu dengan kehendak beberapa atau
seorang sekutu. Pembubaran dilakukan dengan suatu pemberitahuan penghentian
pada seluruh sekutu lainnya. Pemberitahuan penghentian ini harus dilakukan
dengan itikad baik, dan tidak dilakukan dengan secara tidak
memberikan waktu.
Apa
yang dimaksud dengan itikad baik? Dalam pasal 1950 KUHPer disebutkan
bahwa pemberitahuan penghentian dianggap tidak dengan itikad baik, jika seorang
sekutu menghentikan persekutuannya dengan maksud mengambil keuntungan bagi diri
sendiri, sedangkan keuntungan tersebut sebelumnya telah direncanakan untuk
dinikmati secara bersama-sama oleh para sekutu. Jadi, ada niat untuk
menguntungkan diri sendiri, mengambil keuntungan yang seharusnya dinikmati
secara bersama-sama oleh para sekutu.
Apa
yang dimaksud dengan dilakukan dengan secara tidak memberikan waktu? Menurut pasal
1650 paragraf 2 KUHPerdata, artinya adalah apabila barang-barang
persekutuan tidak lagi terdapat dalam keseluruhannya, sedangkan kepentingan
persekutuan menuntut supaya pembubarannya diundurkan.
2. Dalam pasal 1266 KUHPer
dikatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian, perjanjian tidak batal demi
hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga
harus dilakukan, meskipun syarat-batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban
dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal itu tidak dinyatakan dalam
perjanjian, maka hakim atas permintaan penggugat berwenang untuk, menurut
keadaan, memberikan suatu jangka waktu pada tergugat untuk memenuhi kewajiban,
asalkan tidak melewati satu bulan.
Apa
yang disebut perjanjian timbal balik? J. Satrio dalam bukunya “Hukum
Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian” mengatakan bahwa
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban
(dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu
mempunyai hubungan satu dengan lainnya.
Maatschap, adalah suatu
bentuk perjanjian timbal balik. Ia menimbulkan kewajiban-kewajiban antara para
pihaknya. Dengan demikian, seharusnya pasal 1266 KUHPerdata bisa
diterapkan untuk memohonkan pembatalan perjanjian maatschap atas dasar
wanprestasi.
Akan tetapi, sebagaimana telah
diuraikan di atas, pengakhiran maatschap telah diatur dalam pasal 1646
KUHPer. Dengan adanya pengaturan yang khusus ini, maka pasal 1266 KUHPer
dikesampingkan, sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generali.
Selain itu, seandainya
pembatalan perjanjian tersebut boleh untuk digunakan pada maatschap, hal
ini tentu akan menimbulkana kesulitan, karena pembatalan itu berlaku surut
sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Prof Subekti S.H. dalam
bukunya “Hukum Perjanjian” menyatakan bahwa dalam hal perjanjian
dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa pada keadaan sebelum perjanjian
ditiadakan. Artinya, semua hak dan kewajiban yang timbul akibat maatschap
tersebut, menjadi ditiadakan. Apa apa saja yang telah diterima oleh para pihak,
harus dikembalikan. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan, apalagi apabila maatschap
tersebut sudah memiliki hubungan hukum dengan pihak lain. Atas dasar inilah,
menurut hemat kami, pasal 1266 KUHPer sebaiknya tidak digunakan dalam
hal maatschap. Dengan demikian, pembubaran maatschap mengacu pada
ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1646, pasal 1647
dan pasal 1648 KUHPer.
Demikian pendapat kami. Semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (Staatsblad
No.23/1847 tanggal 30 April 1847)
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 27 Desember 2010
Pembatalan
Merger
1. Apakah KPPU dapat membatalkan
persetujuan merger yang telah diberikan Menkumham seperti yang diamanatkan
pasal 47 ayat (2) huruf e UU No. 5/1999 (kaitannya dengan PP 57 Tahun 2010);
dan 2. Bagaimana status hukum perseroan yang telah berakhir karena hukum akibat
melakukan penggabungan atau peleburan yang kemudian merger tersebut dibatalkan
oleh KPPU? Atas bantuan yang diberikan saya ucapkan banyak terima kasih.
1. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) huruf
e UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat (“UU No. 5/1999”) menyatakan bahwa KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa
tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang berupa penetapan
pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 28. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan
tersebut maka KPPU berwenang membatalkan persetujuan penggabungan (merger)
yang sebelumnya telah disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(“Kemenhukham”).
Pada
sisi lain, menurut Direktur Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
Kemenhukham Sjafruddin, penilaian KPPU yang dilakukan setelah perusahaan
melakukan penggabungan/peleburan bukan lagi menjadi kewenangan Menteri Hukum
dan HAM. Dia juga menyatakan bahwa berdasarkan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2)
UU No. 5/1999 KPPU berwenang membatalkan persetujuan merger yang telah
diberikan Menkumham. Demikian dijelaskan Sjafruddin dalam pendapat tertulisnya
dalam surat No. AHU.2-AH.0I.09-9547 yang disampaikan dalam seminar hukumonline
mengenai “Arah Kebijakan KPPU Berkaitan dengan Regulasi Merger, Konsolidasi dan
Akuisisi” pada 16 Desember 2010.
2. Ketentuan pasal 122 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas menyatakan bahwa penggabungan dan peleburan
mengakibatkan perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir
karena hukum.
Berdasarkan
pasal tersebut di atas maka status perseroan sebelum melakukan penggabungan
atau peleburan telah berakhir karena hukum dan berubah menjadi perseroan yang
telah menggabungkan diri atau meleburkan diri. Namun, status hukum setelah
perseroan menggabungkan atau meleburkan diri tapi kemudian dibatalkan karena
alasan apapun tidak diatur dalam UU No. 40/2007. Hal tersebut juga tidak diatur
dalam UU No. 5/1999 jo PP 57/2010.
Sementara
itu, dalam pendapat tertulisnya pihak Ditjen AHU Kemenhukham menyatakan bahwa
pembatalan suatu penggabungan atau peleburan oleh KPPU berpotensi menyebabkan
ketidakpastian hukum dan konsekuensi yang sangat besar bagi dunia usaha.
Demikian
yang dapat kami jelaskan, semoga dapat dipahami.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
3. Peraturan Pemerintah No.
57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan
Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 11 Juli 2011
Pemaksaan
Pembelian Saham Perusahaan
Saya, jabatan Dirut, adalah seorang
pemegang saham PT. X (PT tertutup) dengan komposisi saham 50 persen. Sisanya 50
persen dimiliki oleh seorang teman saya (jabatan Komut). Sayang, hubungan mesra
kami berakhir. Sejak tahun lalu, teman saya tersebut atas keinginannya sendiri
hendak melepas dan menjual sahamnya kepada saya dengan harga jual saham yang
menurut saya tidak logis. Selama ini PT. X selalu terbuka untuk diaudit agar
diketahui nilai saham yang wajar, namun teman saya tidak mau melakukannya.
Karena merasa jengkel dan mengada-ada, tawarannya kemudian saya abaikan.
Pertanyaan saya, apakah teman saya tersebut berhak memaksa saya membeli
sahamnya? Bagaimana bila saya menolak membelinya? Apa saja yang harus saya lakukan
bila ia terus memaksa/mengancam? Terima kasih sekali atas bantuannya. Salam
hangat, Hardi.
Pertama,
Bapak harus melihat terlebih dahulu, apakah anggaran dasar dari perusahaan
Bapak memiliki ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal ini.
Terutama, mengenai keharusan pemegang saham yang ingin menjual sahamnya untuk menawarkan
saham yang dimilikinya kepada pemegang saham yang ada. Apabila tidak, maka
Bapak dapat mengacu pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya
disebut "UUPT").
Untuk
menjawab pertanyaan Bapak, maka kita mengacu pada Pasal 62 ayat (1) UUPT
yang berbunyi sebagai berikut,
"Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui
tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a.
perubahan anggaran
dasar;
b.
pengalihan atau
penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh
persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c. Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, atau Pemisahan."
Dalam
pasal ini ada 3 (tiga) alasan di mana teman Bapak dapat memaksa Perseroan untuk
membeli sahamnya, hal ini biasa disebut buyback. Apabila pemaksaan tersebut
tidak memenuhi kiriteria yang ada dalam Pasal 62 ayat (1) UUPT tersebut, maka
Perseroan dapat saja menolak untuk membeli saham teman Bapak tersebut.
Mekanisme untuk memaksa Bapak membeli saham teman Bapak tidak diatur oleh undang-undang,
kecuali apabila Bapak dan teman Bapak memiliki perjanjian di antara pemegang
saham yang turut mengatur mengenai hal ini.
Selanjutnya,
perlu diperhatikan juga bahwa saat ini pemegang saham pada PT Bapak adalah
Bapak dan teman Bapak. Karena itu, dalam hal salah satu memutuskan untuk
menjual sahamnya maka akan memerlukan mekanisme persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS). Selain itu, apabila teman Bapak memaksa Bapak untuk membeli
sahamnya dan apabila Bapak memutuskan untuk membeli saham tersebut, maka
pemegang saham PT Bapak akan berkurang dan menjadi 1 (satu) orang. Karena
menurut Pasal 7 UUPT, pemegang saham suatu PT minimal 2 (dua) orang,
maka status PT akan menjadi hilang karena pemegang saham perusahaan tersebut
hanya Bapak (apabila bapak memutuskan untuk membelinya), sehingga PT berubah
status menjadi perusahaan perseorangan.
Dalam
hal teman Bapak terus memaksa ataupun mengancam Bapak untuk membeli sahamnya,
maka Bapak dapat menempuh jalur hukum yaitu melalui pengadilan negeri setempat,
sebagaimana diatur oleh Pasal 61 UUPT. Majelis hakim dapat menentukan
keputusan terbaik setelah melihat seluruh bukti dan fakta yang diajukan oleh
Bapak maupun teman Bapak.
Dasar hukum:
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 05 Agustus 2002
Pelaksanaan
RUPS dalam sebuah Perusahaan
Saya, pemegang saham sebesar 2%,
mengetahui bahwa RUPS Tahunan di tahun kemarin tidak terlaksana. Terlintas saya
berpikir, "Apakah hukumnya untuk sebuah perusahaan yang lalai dalam
melaksanakan RUPS tahunan?" Akhirnya, saya menanyakan hal tersebut kepada
A, pemegang saham 44%. A menjawab, " RUPS tidak perlu dilaksanakan karena
tiap hari telah diadakan RUPS, karena A digabung B [pemegang saham 18%] sudah
lebih dari setengahnya." Perlu diketahui bahwa B bisa dikatakan pasti
selalu mengikuti kata A. Di samping itu, A juga yang selalu menggunakan/
mengatasnamakan management dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat
prinsip. Dimana dalam management itu sendiri, 1 orang adalah adik kandungnya A
sendiri dan 2 orang adalah adik iparnya A, yang masing-masing juga merupakan
pemegang saham. Hal-hal yang saya hendak tanyakan adalah: 1. Apakah pernyataan
A dapat dibenarkan menurut hukum yang berlaku untuk sebuah perusahaan baik
lokal maupun internasional? 2. Apabila A salah, maka hukuman apa yang dapat
dilakukan pada A? 3. Apa langkah yang sebaiknya dilaksanakan oleh saya selaku
pemegang saham 2% dalam hal ini? 4. Bagaimanakah peraturan/pasal yang mengatur
tentang hukum perusahaan, khususnya yang menyangkut tentang pemegang saham
mayoritas dan minoritas? 5. Berapa persen sahamkah minimal untuk seorang
pemegang saham dapat menguasai sebuah perusahaan secara mutlak, dalam hal
membuat keputusan yang bersifat prinsip?
Perlu kami tekankan terlebih dahulu
bahwa jawaban kami disini tidak diberikan per pertanyaan yang anda ajukan. Kami
lebih kepada memberikan panduan atas prinsip-prinsip hukum perusahaan yang
berlaku berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas
("UUPT").
Dalam RUPS tahunan, agenda yang
penting diajukan adalah laporan tahunan dari Direksi yang telah disetujui oleh
Komisaris (semua tandatangan dari mereka masing-masing harus ada; ps.57 (1)
UUPT). Jadi, RUPS tersebut menyangkut pertanggung jawaban Direksi dan Komisaris
atas peranannya masing-masing sebagai pengurus dan pengawas di tahun kemarin,
dan harus diselenggarakan paling lambat 6 bulan setelah tahun buku (ps.65 (2)
UUPT). Kelalaian atas tidak adanya laporan tahunan ini merupakan tanggung jawab
semua anggota Direksi dan Komisaris, kecuali anggota yang bersangkutan dapat
membuktikan lain (ps. 57 UUPT). Di atas semua itu, RUPS harus memutuskan untuk
menyetujui atau menolak sebagian atau seluruhnya atas pertanggung jawaban yang
dinyatakan dalam laporan tahun tersebut. Dalam praktek, atas tidak adanya
pertanggung jawaban laporan tahunan yang lalu, RUPS dapat
me-"maaf"-kannya dan sekaligus menyetujui pertanggungjawaban dari
Direksi dan Komisaris yang menjabat pada tahun buku terakhir.
Penyelenggaraan dan pengambilan
keputusan RUPS dilakukan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (sepanjang
tidak bertentangan dengan UUPT atau hukum lain yang berlaku; lihat ps.4 UUPT).
Penyelenggaraan dapat dilakukan oleh Direksi atau atas permintaan pemegang
saham minimal 10%, baik dengan pemanggilan (lihat ps.68 dan 69 (1) hingga (5)
UUPT), atau pemegang saham hadir semua (lihat ps.69 (5) UUPT). Pengambilan
keputusan pada prinsipnya dilaksanakan berdasarkan musyawarah mencapai mufakat
(ps.74 (1) UUPT). Sesuai dengan ps.74 (2) UUPT, bila tidak tercapai, maka
berdasarkan suara biasa terbanyak (cukup lebih banyak dari yang lain; tidak
harus melebihi setengah). Kecuali berkaitan dengan sesuatu yang sangat
mendasar bagi keberadaan, kelangsungan atau sifat suatu perseroan, UUPT atau
anggaran dasar dapat menetapkan lebih, baik atas dasar terbanyak mutlak (harus
lebih dari 1/2) atau suara terbanyak khusus (seperti pasti harus mencapai 2/3,
atau 3/4 dsb; lihat pasal 75 UUPT).
Sebagai pemegang saham minoritas
yang kurang dari 10%, maka:
1. Secara sendirian anda berhak
menggugat tindakan perseroan yang dilakukan oleh RUPS, Direksi atau Komisaris
(mana yang menurut anda paling relevan atau bahkan semuanya) yang mengakibatkan
anda merugi (lihat ps.54 UUPT); atau
2. Bila dalam laporan tahunan tersebut
ada hal-hal menyangkut: (i) perubahan Anggaran Dasar; (ii)
penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan
perseroan; atau (iii) penggabungan, peleburan, atau pengambil alihan perseroan,
yang mana anda tidak setujui, baik karena merugikan
pemegang saham atau perseroan, maka anda dapat meminta kepada perseroan
agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar (ps. 55 UUPT); atau
3. Bila mungkin, ada pemegang saham
lain yang merasakan hal yang sama dengan anda, minimal digabung merupakan
pemegang saham 10%, maka anda menggugat atas kepentingan perseroan terhadap
tindakan Direksi (ps. 85 (3) UUPT), atau Komisaris (ps. 98 (2) UUPT) yang merugikan perseroan. Atau anda bersama pemegang saham lain tersebut
dapat meminta juga diadakan pemeriksaan atas perseroan karena perseroan, atau
anggota Direksi/Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum. Permohonan hal
tersebut diajukan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan (ps. 110 UUPT).
Demikianlah hal-hal yang kami
sampaikan. Semoga berguna.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 07 Desember 2001
Nominee -
penanaman modal tidak langsung
Peraturan investasi yang berlaku
membatasi kepemilikan saham bagi pemegang saham asing untuk bidang-bidang
tertentu atau sama sekali tertutup bagi asing. Akan tetapi untuk tetap dapat
berusaha dalam bidang yang tertutup tersebut atau untuk dapat memegang saham
lebih dari yang ditentukan oleh peraturan, para pemegang saham asing
menggunakan pihak ketiga/nominee yang berupa individu/badan hukum Indonesia
untuk menjadi pemegang saham dalam perusahaan tersebut. Individu/badan hukum
Indonesia tersebut mendapatkan dananya melalui loan ari si pihak asing,
menggadaikan sahamnya kepada pihak asing dan menyerahkan hak-haknya sebagai
pemegang saham melalui surat kuasa. Dengan demikian secara tidak langsung si
pihak asing tersebut telah menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana
pemegang saham dalam perusahaan tersebut. Padahal bidang usaha perusahaan
tersebut tertutup/ terbatas bagi asing. Bagaimana pendapat Anda menganai hal
ini? Walaupun penanaman modal tidak langsung/indirect shareholding tsb tidak
bertentangan dengan hukum, tapi hal tersebut dapat merugikan karena bidang
usaha tertentu tersebut terbatas atau tertutup bagi pihak asing?
Pada prinsipnya klinik hukumonline tidak memberikan tanggapan hukum
(legal advice) atas persoalan-persolan hukum yang ada, kami sekedar memberikan
sedikit pengetahuan tentang permasalahan hukum yang ada. Anda dapat menghubungi
pengacara atau konsultan hukum yang memahami persoalan ini bila anda hendak
mendapatkan tanggapan hukum. Alamat pengacara dan konsultan hukum dapat dilihat
di Direktori Hukumonline.
Memang konon struktur yang anda sebutkan di atas (seringkali disebut
nominee structure) sering digunakan dalam investasi asing. Harus disadari bahwa
penggunaan struktrur oleh calon investor asing (atau pemegang saham) untuk
menghindar dari ketentuan peraturan: (i) yang membatasi pemegang saham asing
untuk memiliki saham dalam PT PMA, atau (ii) yang melarang pemegang saham asing
untuk melakukan kegiatan usaha yang tertutup untuk PMA (bersama-sama, Aturan
Daftar Negatif Investasi). Akhir-akhir ini rejim investiasi di Indonesia telah
semakin liberal dimana batasan-batasan investasi berkurang cukup drastis. Oleh
karena itu, seharusnya struktur nomine tidak diperlukan lagi.
Memang struktur nominee melibatkan unsur hutang, jaminan dan kuasa.
Namun, sebenarnya gadai saham tidak mengakibatkan turut beralihnya hak suara
dari pemberi gadai ke penerima gadai (lihat Psl 53 (4) ) Undang-undang No.1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)). Banyak
pihak menganggap ketentuan tersebut bersifat imperatif, alias suatu keharusan,
sehingga tidak dapat dikesampingkan. Jadi, yang "digadaikan" adalah
saham itu sendiri dan tidak mencakup hak suara-nya. Oleh karena itu, ketentuan
Psl 53 (4) UUPT memang bermaksud mencegah struktur transaksi nominee dalam
sistem hukum Indonesia.
Dengan adanya pengaturan Daftar Negatif Investasi dan ketentuan pasal 53
(3)UUPT di atas, suatu pengaturan atau pendokumentasian berdasarkan penerapan
struktur transaksi nominee sepantasnya dianggap tidak berdasar pada kausa yang
halal, dan karenanya perjanjian yang dibuat juga tidak mempunyai kekuatan hukum
(lihat Psl. 1320, 1337, 1335 KUH Perdata). Sehingga, struktur transaksi nominee
antara lain mempunyai resiko-resiko terjadinya peristiwa-peristiwa di bawah
ini:
1. Nominee dapat sewaktu-waktu mengakui
secara penuh terhadap hak kepemilikan atas "saham" tersebut dan
meninggalkan investor asing tersebut tanpa memberikan kesempatan kepada
investor asing untuk melakukan tindakan hukum kepada pihak nominee itu. Hal ini
dapat terjadi karena investor asing tidak tercatat sebagai pemegang saham di
dalam suatu perusahaan (dalam Daftar Pemegang Saham), maka pemegang saham
tersebut tidak memiliki suatu perlindungan hukum sehubungan dengan
"saham" yang dimiliki melalui nominee.
2. Dalam
suatu perselisihan antara investor asing dengan nominee, maka struktur
transaksi nominee yang tadinya diharapkan untuk tidak diketahui publik (dengan
maksud mengelak atau menghindari pembatasan atau larangan masuknya pihak
asing), menjadi muncul kepermukaan dan menjadi perhatian pemerintah.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar