Perusahaan_Hukumonline



Jumat, 30 Juli 2010
Pembubaran Maatschap

Salam. Saya ingin bertanya mengenai bagaimanakah prosedur pembubaran maatschap yang didirikan tanpa jangka waktu? Selanjutnya, yang ingin saya tanyakan adalah bagaimana jika salah satu dari sekutu telah lalai untuk melaksanakan prestasinya apakah sekutu lain berhak mengajukan pembatalan perjanjian maatschap berdasarkan pasal 1266 KUHPerdata? Terima kasih.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

1.      Maatschap, atau persekutuan perdata, merupakan suatu bentuk perjanjian yang diatur dalam pasal 1618 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Maatschap adalah:
“suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
Dari rumusan pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa maatschap memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1)     merupakan suatu perjanjian
2)     ada perikatan antara dua orang atau lebih
3)     ada pemasukan (inbreng) berupa sejumlah uang, barang dengan wujud tertentu, atau berupa tenaga, jasa, atau keahlian (skill)
4)     ada tujuan untuk membagi keuntungan yang diperoleh
Mengenai pembubaran maatschap, pasal 1646 KUHPer mengatur bahwa suatu maatschap hanya dapat berakhir apabila:
      1)     Lewatnya waktu untuk mana persekutuan telah diadakan;
2)     Musnahnya barang atau diselesaikannya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan;
3)     Atas kehendak semata-mata dari beberapa orang sekutu;
4)     Jika salah seorang sekutu meninggal atau ditaruh di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.
Untuk maatschap yang didirikan untuk waktu tidak tertentu, maka pembubarannya berlaku pasal 1649 KUHPer, yaitu dengan kehendak beberapa atau seorang sekutu. Pembubaran dilakukan dengan suatu pemberitahuan penghentian pada seluruh sekutu lainnya. Pemberitahuan penghentian ini harus dilakukan dengan itikad baik, dan tidak dilakukan dengan secara tidak memberikan waktu.

Apa yang dimaksud dengan itikad baik? Dalam pasal 1950 KUHPer disebutkan bahwa pemberitahuan penghentian dianggap tidak dengan itikad baik, jika seorang sekutu menghentikan persekutuannya dengan maksud mengambil keuntungan bagi diri sendiri, sedangkan keuntungan tersebut sebelumnya telah direncanakan untuk dinikmati secara bersama-sama oleh para sekutu. Jadi, ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, mengambil keuntungan yang seharusnya dinikmati secara bersama-sama oleh para sekutu.
Apa yang dimaksud dengan dilakukan dengan secara tidak memberikan waktu? Menurut pasal 1650 paragraf 2 KUHPerdata, artinya adalah apabila barang-barang persekutuan tidak lagi terdapat dalam keseluruhannya, sedangkan kepentingan persekutuan menuntut supaya pembubarannya diundurkan.
2.      Dalam pasal 1266 KUHPer dikatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal-balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat-batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam perjanjian. Jika syarat batal itu tidak dinyatakan dalam perjanjian, maka hakim atas permintaan penggugat berwenang untuk, menurut keadaan, memberikan suatu jangka waktu pada tergugat untuk memenuhi kewajiban, asalkan tidak melewati satu bulan.
Apa yang disebut perjanjian timbal balik? J. Satrio dalam bukunya “Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian” mengatakan bahwa perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban (dan karenanya hak juga) kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban itu mempunyai hubungan satu dengan lainnya.
 Maatschap, adalah suatu bentuk perjanjian timbal balik. Ia menimbulkan kewajiban-kewajiban antara para pihaknya. Dengan demikian, seharusnya pasal 1266 KUHPerdata bisa diterapkan untuk memohonkan pembatalan perjanjian maatschap atas dasar wanprestasi.
 Akan tetapi, sebagaimana telah diuraikan di atas, pengakhiran maatschap telah diatur dalam pasal 1646 KUHPer. Dengan adanya pengaturan yang khusus ini, maka pasal 1266 KUHPer dikesampingkan, sesuai dengan asas lex specialis derogat lex generali.

 Selain itu, seandainya pembatalan perjanjian tersebut boleh untuk digunakan pada maatschap, hal ini tentu akan menimbulkana kesulitan, karena pembatalan itu berlaku surut sampai pada detik dilahirkannya perjanjian. Prof Subekti S.H. dalam bukunya “Hukum Perjanjian” menyatakan bahwa dalam hal perjanjian dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa pada keadaan sebelum perjanjian ditiadakan. Artinya, semua hak dan kewajiban yang timbul akibat maatschap tersebut, menjadi ditiadakan. Apa apa saja yang telah diterima oleh para pihak, harus dikembalikan. Hal ini tentu menimbulkan kesulitan, apalagi apabila maatschap tersebut sudah memiliki hubungan hukum dengan pihak lain. Atas dasar inilah, menurut hemat kami, pasal 1266 KUHPer sebaiknya tidak digunakan dalam hal maatschap. Dengan demikian, pembubaran maatschap mengacu pada ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 1646, pasal 1647 dan pasal 1648 KUHPer.
 Demikian pendapat kami. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (Staatsblad No.23/1847 tanggal 30 April 1847)
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 27 Desember 2010
Pembatalan Merger
1. Apakah KPPU dapat membatalkan persetujuan merger yang telah diberikan Menkumham seperti yang diamanatkan pasal 47 ayat (2) huruf e UU No. 5/1999 (kaitannya dengan PP 57 Tahun 2010); dan 2. Bagaimana status hukum perseroan yang telah berakhir karena hukum akibat melakukan penggabungan atau peleburan yang kemudian merger tersebut dibatalkan oleh KPPU? Atas bantuan yang diberikan saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban:  Mutiara Putri Artha
1.      Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) huruf e UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU No. 5/1999”) menyatakan bahwa KPPU berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang berupa penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka KPPU berwenang membatalkan persetujuan penggabungan (merger) yang sebelumnya telah disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Kemenhukham”).
Pada sisi lain, menurut Direktur Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenhukham Sjafruddin, penilaian KPPU yang dilakukan setelah perusahaan melakukan penggabungan/peleburan bukan lagi menjadi kewenangan Menteri Hukum dan HAM. Dia juga menyatakan bahwa berdasarkan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 5/1999 KPPU berwenang membatalkan persetujuan merger yang telah diberikan Menkumham. Demikian dijelaskan Sjafruddin dalam pendapat tertulisnya dalam surat No. AHU.2-AH.0I.09-9547 yang disampaikan dalam seminar hukumonline mengenai “Arah Kebijakan KPPU Berkaitan dengan Regulasi Merger, Konsolidasi dan Akuisisi” pada 16 Desember 2010.
2.     Ketentuan pasal 122 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa penggabungan dan peleburan mengakibatkan perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum.
Berdasarkan pasal tersebut di atas maka status perseroan sebelum melakukan penggabungan atau peleburan telah berakhir karena hukum dan berubah menjadi perseroan yang telah menggabungkan diri atau meleburkan diri. Namun, status hukum setelah perseroan menggabungkan atau meleburkan diri tapi kemudian dibatalkan karena alasan apapun tidak diatur dalam UU No. 40/2007. Hal tersebut juga tidak diatur dalam UU No. 5/1999 jo PP 57/2010.
Sementara itu, dalam pendapat tertulisnya pihak Ditjen AHU Kemenhukham menyatakan bahwa pembatalan suatu penggabungan atau peleburan oleh KPPU berpotensi menyebabkan ketidakpastian hukum dan konsekuensi yang sangat besar bagi dunia usaha.
Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga dapat dipahami.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
2.      Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
3.      Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 11 Juli 2011

Pemaksaan Pembelian Saham Perusahaan
Saya, jabatan Dirut, adalah seorang pemegang saham PT. X (PT tertutup) dengan komposisi saham 50 persen. Sisanya 50 persen dimiliki oleh seorang teman saya (jabatan Komut). Sayang, hubungan mesra kami berakhir. Sejak tahun lalu, teman saya tersebut atas keinginannya sendiri hendak melepas dan menjual sahamnya kepada saya dengan harga jual saham yang menurut saya tidak logis. Selama ini PT. X selalu terbuka untuk diaudit agar diketahui nilai saham yang wajar, namun teman saya tidak mau melakukannya. Karena merasa jengkel dan mengada-ada, tawarannya kemudian saya abaikan. Pertanyaan saya, apakah teman saya tersebut berhak memaksa saya membeli sahamnya? Bagaimana bila saya menolak membelinya? Apa saja yang harus saya lakukan bila ia terus memaksa/mengancam? Terima kasih sekali atas bantuannya. Salam hangat, Hardi.

Pertama, Bapak harus melihat terlebih dahulu, apakah anggaran dasar dari perusahaan Bapak memiliki ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal ini. Terutama, mengenai keharusan pemegang saham yang ingin menjual sahamnya untuk menawarkan saham yang dimilikinya kepada pemegang saham yang ada. Apabila tidak, maka Bapak dapat mengacu pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disebut "UUPT").
Untuk menjawab pertanyaan Bapak, maka kita mengacu pada Pasal 62 ayat (1) UUPT yang berbunyi sebagai berikut,
"Setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham atau Perseroan, berupa:
a.      perubahan anggaran dasar;
b.      pengalihan atau penjaminan kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50 % (lima puluh persen) kekayaan bersih Perseroan; atau
c.      Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan."
Dalam pasal ini ada 3 (tiga) alasan di mana teman Bapak dapat memaksa Perseroan untuk membeli sahamnya, hal ini biasa disebut buyback. Apabila pemaksaan tersebut tidak memenuhi kiriteria yang ada dalam Pasal 62 ayat (1) UUPT tersebut, maka Perseroan dapat saja menolak untuk membeli saham teman Bapak tersebut. Mekanisme untuk memaksa Bapak membeli saham teman Bapak tidak diatur oleh undang-undang, kecuali apabila Bapak dan teman Bapak memiliki perjanjian di antara pemegang saham yang turut mengatur mengenai hal ini.
Selanjutnya, perlu diperhatikan juga bahwa saat ini pemegang saham pada PT Bapak adalah Bapak dan teman Bapak. Karena itu, dalam hal salah satu memutuskan untuk menjual sahamnya maka akan memerlukan mekanisme persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selain itu, apabila teman Bapak memaksa Bapak untuk membeli sahamnya dan apabila Bapak memutuskan untuk membeli saham tersebut, maka pemegang saham PT Bapak akan berkurang dan menjadi 1 (satu) orang. Karena menurut Pasal 7 UUPT, pemegang saham suatu PT minimal 2 (dua) orang, maka status PT akan menjadi hilang karena pemegang saham perusahaan tersebut hanya Bapak (apabila bapak memutuskan untuk membelinya), sehingga PT berubah status menjadi perusahaan perseorangan.
Dalam hal teman Bapak terus memaksa ataupun mengancam Bapak untuk membeli sahamnya, maka Bapak dapat menempuh jalur hukum yaitu melalui pengadilan negeri setempat, sebagaimana diatur oleh Pasal 61 UUPT. Majelis hakim dapat menentukan keputusan terbaik setelah melihat seluruh bukti dan fakta yang diajukan oleh Bapak maupun teman Bapak.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 05 Agustus 2002
Pelaksanaan RUPS dalam sebuah Perusahaan
Saya, pemegang saham sebesar 2%, mengetahui bahwa RUPS Tahunan di tahun kemarin tidak terlaksana. Terlintas saya berpikir, "Apakah hukumnya untuk sebuah perusahaan yang lalai dalam melaksanakan RUPS tahunan?" Akhirnya, saya menanyakan hal tersebut kepada A, pemegang saham 44%. A menjawab, " RUPS tidak perlu dilaksanakan karena tiap hari telah diadakan RUPS, karena A digabung B [pemegang saham 18%] sudah lebih dari setengahnya." Perlu diketahui bahwa B bisa dikatakan pasti selalu mengikuti kata A. Di samping itu, A juga yang selalu menggunakan/ mengatasnamakan management dalam membuat keputusan-keputusan yang bersifat prinsip. Dimana dalam management itu sendiri, 1 orang adalah adik kandungnya A sendiri dan 2 orang adalah adik iparnya A, yang masing-masing juga merupakan pemegang saham. Hal-hal yang saya hendak tanyakan adalah: 1. Apakah pernyataan A dapat dibenarkan menurut hukum yang berlaku untuk sebuah perusahaan baik lokal maupun internasional? 2. Apabila A salah, maka hukuman apa yang dapat dilakukan pada A? 3. Apa langkah yang sebaiknya dilaksanakan oleh saya selaku pemegang saham 2% dalam hal ini? 4. Bagaimanakah peraturan/pasal yang mengatur tentang hukum perusahaan, khususnya yang menyangkut tentang pemegang saham mayoritas dan minoritas? 5. Berapa persen sahamkah minimal untuk seorang pemegang saham dapat menguasai sebuah perusahaan secara mutlak, dalam hal membuat keputusan yang bersifat prinsip?

Jawaban: Bung Pokrol

Perlu kami tekankan terlebih dahulu bahwa jawaban kami disini tidak diberikan per pertanyaan yang anda ajukan. Kami lebih kepada memberikan panduan atas prinsip-prinsip hukum perusahaan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT").

Dalam RUPS tahunan, agenda yang penting diajukan adalah laporan tahunan dari Direksi yang telah disetujui oleh Komisaris (semua tandatangan dari mereka masing-masing harus ada; ps.57 (1) UUPT). Jadi, RUPS tersebut menyangkut pertanggung jawaban Direksi dan Komisaris atas peranannya masing-masing sebagai pengurus dan pengawas di tahun kemarin, dan harus diselenggarakan paling lambat 6 bulan setelah tahun buku (ps.65 (2) UUPT). Kelalaian atas tidak adanya laporan tahunan ini merupakan tanggung jawab semua anggota Direksi dan Komisaris, kecuali anggota yang bersangkutan dapat membuktikan lain (ps. 57 UUPT). Di atas semua itu, RUPS harus memutuskan untuk menyetujui atau menolak sebagian atau seluruhnya atas pertanggung jawaban yang dinyatakan dalam laporan tahun tersebut. Dalam praktek, atas tidak adanya pertanggung jawaban laporan tahunan yang lalu, RUPS dapat me-"maaf"-kannya dan sekaligus menyetujui pertanggungjawaban dari Direksi dan Komisaris yang menjabat pada tahun buku terakhir.

Penyelenggaraan dan pengambilan keputusan RUPS dilakukan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (sepanjang tidak bertentangan dengan UUPT atau hukum lain yang berlaku; lihat ps.4 UUPT). Penyelenggaraan dapat dilakukan oleh Direksi atau atas permintaan pemegang saham minimal 10%, baik dengan pemanggilan (lihat ps.68 dan 69 (1) hingga (5) UUPT), atau pemegang saham hadir semua (lihat ps.69 (5) UUPT). Pengambilan keputusan pada prinsipnya dilaksanakan berdasarkan musyawarah mencapai mufakat (ps.74 (1) UUPT). Sesuai dengan ps.74 (2) UUPT, bila tidak tercapai, maka berdasarkan suara biasa terbanyak (cukup lebih banyak dari yang lain; tidak harus melebihi setengah). Kecuali berkaitan dengan sesuatu yang sangat mendasar bagi keberadaan, kelangsungan atau sifat suatu perseroan, UUPT atau anggaran dasar dapat menetapkan lebih, baik atas dasar terbanyak mutlak (harus lebih dari 1/2) atau suara terbanyak khusus (seperti pasti harus mencapai 2/3, atau 3/4 dsb; lihat pasal 75 UUPT).

Sebagai pemegang saham minoritas yang kurang dari 10%, maka:
1.      Secara sendirian anda berhak menggugat tindakan perseroan yang dilakukan oleh RUPS, Direksi atau Komisaris (mana yang menurut anda paling relevan atau bahkan semuanya) yang mengakibatkan anda merugi (lihat ps.54 UUPT); atau
2.      Bila dalam laporan tahunan tersebut ada hal-hal menyangkut: (i) perubahan Anggaran Dasar; (ii) penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan; atau (iii) penggabungan, peleburan, atau pengambil alihan perseroan, yang mana anda tidak setujui, baik karena merugikan pemegang saham atau perseroan, maka anda dapat meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar (ps. 55 UUPT); atau
3.      Bila mungkin, ada pemegang saham lain yang merasakan hal yang sama dengan anda, minimal digabung merupakan pemegang saham 10%, maka anda menggugat atas kepentingan perseroan terhadap tindakan Direksi (ps. 85 (3) UUPT), atau Komisaris (ps. 98 (2) UUPT) yang merugikan perseroan. Atau  anda bersama pemegang saham lain tersebut dapat meminta juga diadakan pemeriksaan atas perseroan karena perseroan, atau anggota Direksi/Komisaris melakukan perbuatan melawan hukum. Permohonan hal tersebut diajukan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan perseroan (ps. 110 UUPT).

Demikianlah hal-hal yang kami sampaikan. Semoga berguna.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 07 Desember 2001

Nominee - penanaman modal tidak langsung
Peraturan investasi yang berlaku membatasi kepemilikan saham bagi pemegang saham asing untuk bidang-bidang tertentu atau sama sekali tertutup bagi asing. Akan tetapi untuk tetap dapat berusaha dalam bidang yang tertutup tersebut atau untuk dapat memegang saham lebih dari yang ditentukan oleh peraturan, para pemegang saham asing menggunakan pihak ketiga/nominee yang berupa individu/badan hukum Indonesia untuk menjadi pemegang saham dalam perusahaan tersebut. Individu/badan hukum Indonesia tersebut mendapatkan dananya melalui loan ari si pihak asing, menggadaikan sahamnya kepada pihak asing dan menyerahkan hak-haknya sebagai pemegang saham melalui surat kuasa. Dengan demikian secara tidak langsung si pihak asing tersebut telah menjalankan hak dan kewajibannya sebagaimana pemegang saham dalam perusahaan tersebut. Padahal bidang usaha perusahaan tersebut tertutup/ terbatas bagi asing. Bagaimana pendapat Anda menganai hal ini? Walaupun penanaman modal tidak langsung/indirect shareholding tsb tidak bertentangan dengan hukum, tapi hal tersebut dapat merugikan karena bidang usaha tertentu tersebut terbatas atau tertutup bagi pihak asing?

Jawaban: Bung Pokrol

Pada prinsipnya klinik hukumonline tidak memberikan tanggapan hukum (legal advice) atas persoalan-persolan hukum yang ada, kami sekedar memberikan sedikit pengetahuan tentang permasalahan hukum yang ada. Anda dapat menghubungi pengacara atau konsultan hukum yang memahami persoalan ini bila anda hendak mendapatkan tanggapan hukum. Alamat pengacara dan konsultan hukum dapat dilihat di Direktori Hukumonline.

Memang konon struktur yang anda sebutkan di atas (seringkali disebut nominee structure) sering digunakan dalam investasi asing. Harus disadari bahwa penggunaan struktrur oleh calon investor asing (atau pemegang saham) untuk menghindar dari ketentuan peraturan: (i) yang membatasi pemegang saham asing untuk memiliki saham dalam PT PMA, atau (ii) yang melarang pemegang saham asing untuk melakukan kegiatan usaha yang tertutup untuk PMA (bersama-sama, Aturan Daftar Negatif Investasi). Akhir-akhir ini rejim investiasi di Indonesia telah semakin liberal dimana batasan-batasan investasi berkurang cukup drastis. Oleh karena itu, seharusnya struktur nomine tidak diperlukan lagi.

Memang struktur nominee melibatkan unsur hutang, jaminan dan kuasa. Namun, sebenarnya gadai saham tidak mengakibatkan turut beralihnya hak suara dari pemberi gadai ke penerima gadai (lihat Psl 53 (4) ) Undang-undang No.1 Tahun 1995  tentang Perseroan Terbatas (UUPT)). Banyak pihak menganggap ketentuan tersebut bersifat imperatif, alias suatu keharusan, sehingga tidak dapat dikesampingkan. Jadi, yang "digadaikan" adalah saham itu sendiri dan tidak mencakup hak suara-nya. Oleh karena itu, ketentuan Psl 53 (4) UUPT memang bermaksud mencegah struktur transaksi nominee dalam sistem hukum Indonesia.

Dengan adanya pengaturan Daftar Negatif Investasi dan ketentuan pasal 53 (3)UUPT di atas, suatu pengaturan atau pendokumentasian berdasarkan penerapan struktur transaksi nominee sepantasnya dianggap tidak berdasar pada kausa yang halal, dan karenanya perjanjian yang dibuat juga tidak mempunyai kekuatan hukum (lihat Psl. 1320, 1337, 1335 KUH Perdata). Sehingga, struktur transaksi nominee antara lain mempunyai resiko-resiko terjadinya peristiwa-peristiwa di bawah ini:

1.      Nominee dapat sewaktu-waktu mengakui secara penuh terhadap hak kepemilikan atas "saham" tersebut dan meninggalkan investor asing tersebut tanpa memberikan kesempatan kepada investor asing untuk melakukan tindakan hukum kepada pihak nominee itu. Hal ini dapat terjadi karena investor asing tidak tercatat sebagai pemegang saham di dalam suatu perusahaan (dalam Daftar Pemegang Saham), maka pemegang saham tersebut tidak memiliki suatu perlindungan hukum sehubungan dengan "saham" yang dimiliki melalui nominee.

2.      Dalam suatu perselisihan antara investor asing dengan nominee, maka struktur transaksi nominee yang tadinya diharapkan untuk tidak diketahui publik (dengan maksud mengelak atau menghindari pembatasan atau larangan masuknya pihak asing), menjadi muncul kepermukaan dan menjadi perhatian pemerintah.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Komentar

Postingan Populer