Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Senin, 04 Oktober 2010
Apakah
Pinjaman Daerah Harus Dituangkan dalam Peraturan Daerah?
Saya mau menanyakan apakah
kredit/pinjaman yang diberikan oleh bank BUMN/ BUMD kepada pemerintah harus
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagai payung hukumnya? Saya
menemui kasus ada BPD yang mensyaratkan pembentukan Perda tentang Pinjaman
Daerah jika Pemerintah Daerah ingin mendapat pinjaman dari BPD tersebut
(Pinjaman Daerah). Saya sudah membaca Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun
2005 tanggal 09 Desember 2005 tentang Pinjaman Daerah namun tidak menemukan ketentuan
seperti yang disyaratkan BPD tersebut. Apa bisa BPD menambahkan syarat tambahan
yang tidak diatur dalam PP? Mohon penjelasannya.
Pinjaman
daerah diatur secara khusus dalam PP No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman
Daerah (“PP 54/2005”). Yang dimaksud dengan pinjaman daerah adalah semua
transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima
manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani
kewajiban untuk membayar kembali (pasal 1 angka 9 PP 54/2005).
Menurut pasal
5 PP 54/2005 pinjaman daerah ada tiga jenis yaitu;
1. Pinjaman Jangka Pendek, merupakan Pinjaman Daerah dalam
jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban
pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain
seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
2. Pinjaman Jangka Menengah, merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka
waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun
waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan;
dan
3. Pinjaman Jangka Panjang, merupakan Pinjaman Daerah dalam
jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi
pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian
pinjaman yang bersangkutan.
Pinjaman
daerah jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang dapat bersumber dari
antara lain lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai
tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia (lihat pasal 8 PP
54/2005).
Dalam pasal
11 PP 54/2005 diatur bahwa persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan pinjaman
jangka pendek adalah sebagai berikut:
a.
kegiatan yang akan dibiayai dari
pinjaman jangka pendek telah dianggarkan dalam APBD tahun bersangkutan.
b.
kegiatan sebagaimana dimaksud pada
huruf a merupakan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda.
c.
Persyaratan lainnya yang
dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.
Kemudian, pasal
12 PP 54/2005 mengatur bahwa dalam hal Pemerintah Daerah akan melakukan pinjaman
jangka menengah atau jangka panjang, Pemerintah Daerah wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah
jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen)
dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.
b. rasio proyeksi kemampuan keuangan
Daerah untuk mengembalikan pinjaman paling sedikit 2,5 (dua koma lima).
c. tidak mempunyai tunggakan atas
pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah.
d. mendapatkan persetujuan DPRD. Persetujuan DPRD dimaksud termasuk
dalam hal pinjaman tersebut diteruspinjamkan dan/atau diteruskan sebagai
penyertaan modal kepada BUMD (penjelasan pasal 12 huruf d PP 54/2005).
PP 54/2005 tidak menjelaskan lebih
lanjut apa bentuk dari persetujuan DPRD yang disyaratkan dalam pasal 12
huruf d di atas. Tapi, jika merujuk kepada pasal 19 ayat (1) huruf e PP
54/2005, persetujuan DPRD dimaksud boleh jadi berbentuk “surat
persetujuan DPRD”:
Untuk
pinjaman daerah jangka pendek yang bersumber selain dari pemerintah dilakukan
dengan perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala
Daerah/pejabat yang diberi kuasa dan pemberi pinjaman, dengan memperhatikan
persyaratan yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah penerima pinjaman
(lihat pasal 18 PP 54/2005).
Untuk
pinjaman daerah jangka menengah atau jangka panjang yang bersumber selain dari
Pemerintah dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh
Kepala Daerah dan pemberi pinjaman (lihat pasal 19 ayat [6] PP
54/2005).
Selain
itu, pinjaman daerah juga dapat bersumber dari masyarakat berupa Obligasi
Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar
modal dalam negeri (lihat pasal 8 ayat [2] huruf e jo ayat [3] PP 54/2005).
Penerbitan Obligasi Daerah wajib mendapat persetujuan DPRD dan ditetapkan
dengan Peraturan Daerah (lihat pasal 29 ayat [1] jo ayat [3] PP
54/2005). Yang dimaksud dengan "persetujuan DPRD" adalah
persetujuan prinsip yang diberikan oleh komisi DPRD yang menangani bidang
keuangan. Persetujuan Komisi DPRD dimaksud dipergunakan dalam penyampaian
rencana penerbitan obligasi kepada Menteri Keuangan (lihat penjelasan pasal
29 ayat [1] PP 54/2005).
Kesimpulan:
- Pinjaman daerah baik yang jenisnya
jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang tidak harus
dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Pinjaman daerah yang wajib ditetapkan
dalam bentuk Peraturan Daerah adalah Obligasi Daerah.
- Pinjaman daerah baik yang jenisnya
jangka pendek, jangka menengah atau jangka panjang dituangkan dalam bentuk perjanjian
pinjaman. Perjanjian pinjaman tersebut ditandatangani oleh Kepala Daerah
dan pemberi pinjaman. Untuk perjanjian pinjaman daerah jangka pendek dapat
ditandatangani juga pejabat yang diberi kuasa.
- Berdasarkan pasal 11 huruf c, calon
pemberi pinjaman daerah jangka pendek dimungkinkan menetapkan persyaratan
lainnya kepada pemerintah daerah yang mengajukan pinjaman.
Demikian penjelasan kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun
2005 tentang Pinjaman Daerah
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Sabtu, 02 Juli 2011
Apakah
Rekaman Pembicaraan Telepon Bisa Jadi Bukti Perjanjian Bank dengan Nasabah?
Selain penawaran kartu kredit, belakangan banyak penawaran
asuransi melalui telemarketing. Umumnya, berupa produk asuransi kesehatan yang
pembayaran preminya melalui kartu kredit tertentu. Yang menjadi masalah adalah
mereka tidak menyediakan informasi tertulis tentang produk yang ditawarkan,
dalam bentuk brosur atau keterangan tertulis lainnya. Bahkan tidak tersedia
juga didalam halaman web yang bersangkutan. Dalihnya adalah; (1) penawaran ini
hanya diberikan kepada nasabah tertentu (2) pembicaraan mengenai keterangan
produk yang ditawarkan selalu direkam oleh komputer supaya tidak ada
manipulasi. Rekaman tersebut (katanya) bisa didengar ulang bila 'diperlukan'.
(3) jika ternyata nasabah merasa tidak cocok dengan produknya, polis yang
berisi ketentuan dan batasan layanan produk bisa dikembalikan dan dibatalkan
dalam jangka waktu tertentu. Yang menjadi pertanyaan: (1) Apakah kegiatan
penawaran produk asuransi tanpa ada informasi tertulis (diminta langsung oleh
konsumen atau tidak) masih dibenarkan? Karena terkesan ada permainan yang
menjebak calon nasabah. Nasabah tidak diberi waktu yang cukup untuk mempelajari
layanan, ketentuan dan batasan dari produk asuransi tersebut. Seingat saya ada
peraturan dari BI bahwa penyedia jasa/produk asuransi (dan investasi?) harus
menyediakan informasi tertulis kepada calon nasabah yang berisi penjelasan
mengenai produk yang ditawarkan. (2) Apakah rekaman pembicaraan telepon antara
telemarketer dengan calon nasabah punya kekuatan hukum bila nantinya ada
masalah/sengketa mengenai produk atau penyedia produk dengan konsumen? (3)
Apakah boleh merekam pembicaraan tanpa izin untuk kemudian dijadikan dasar yang
berkekuatan hukum untuk melakukan perjanjian? Karena tidak dalam rangka
kegiatan penyelidikan kasus hukum. Terima kasih sebelumnya.
1. Sebelumnya, perlu kami jelaskan
bahwa dalam dunia perbankan kerja sama pemasaran bank dengan perusahaan
asuransi dikenal dengan istilah bancassurance. Dalam brosur berjudul “Mengenal
Bancassurance”
yang diterbitkan Bank Indonesia (“BI”) dijelaskan antara lain bahwa “Bancasurrance
adalah layanan Bank dalam menyediakan produk asuransi yang memberi perlindungan
dan produk investasi untuk memenuhi kebutuhan finansial jangka panjang nasabah.”
Mengenai cara pemasaran dan
perlindungan nasabah dalam produk bancasurrance secara khusus diatur
dalam Surat Edaran BI No. 12/35/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang Melakukan Aktivitas Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi
(Bancassurance) tanggal 23 Desember 2010 (“SEBI 12/35”).
Dalam SEBI 12/35 bank memang
diperbolehkan melakukan pemasaran produk bancassurance dengan cara
memberikan penjelasan mengenai produk asuransi tersebut dengan menggunakan
sarana komunikasi (telemarketing), selain melalui tatap muka dengan
nasabah. Masih terkait pemasaran produk bancassurance, SEBI 12/35
juga menegaskan bahwa peran Bank tidak hanya sebagai perantara dalam meneruskan
informasi produk asuransi dari perusahaan asuransi mitra Bank kepada nasabah,
tetapi Bank juga memberikan penjelasan secara langsung yang terkait dengan
produk asuransi seperti karakteristik, manfaat, dan Risiko dari produk yang
dipasarkan dan meneruskan minat atau permintaan pembelian produk asuransi
dari nasabah kepada perusahaan asuransi mitra Bank.
Mengenai prinsip perlindungan
terhadap nasabah bancassurance, dalam SEBI 12/35 diatur bahwa;
1) Bank harus memastikan bahwa nasabah telah memahami
penjelasan mengenai manfaat dan Risiko produk baik yang dilakukan secara
lisan maupun tertulis sebagaimana tercantum dalam dokumen pemasaran/
penawaran.
2) Pernyataan nasabah bahwa nasabah telah memahami manfaat dan
Risiko produk sebagaimana dimaksud pada angka 1) harus dituangkan dalam
dokumen tertulis yang terpisah, dibuat dalam bahasa Indonesia, dan ditandatangani
oleh nasabah dengan menggunakan tanda tangan basah.
3) Bank harus memastikan bahwa pihak nasabah yang
menandatangani dokumen tertulis merupakan pihak yang berwenang menandatangani.
Payung hukum yang umum mengenai
perlindungan nasabah bank, termasuk untuk bancasurrance, merujuk pada Peraturan
BI No. 7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Produk dan Pengguna Data Pribadi
Nasabah (“PBI 7/2005”). Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) PBI 7/2005 mewajibkan
bank untuk menyediakan informasi tertulis dalam Bahasa Indonesiasecara lengkap
dan jelas mengenai karakteristik setiap Produk Bank. Dan informasi tersebut
wajib disampaikan kepada Nasabah secara tertulis dan atau lisan.
Jadi, berdasarkan penjelasan di atas
maka dapat disimpulkan antara lain bahwa bank diperbolehkan melakukan pemasaran
produk asuransi melalui telemarketing. Dalam melakukan itu, Bank harus
memberikan penjelasan secara langsung yang terkait dengan produk asuransi
seperti karakteristik, manfaat, dan Risiko dari produk yang dipasarkan.
Kemudian, penawaran produk yang dilakukan baik dengan tatap muka langsung
dengan nasabah maupun dengan telemarketing, Bank tetap wajib mendapat
persetujuan dari nasabah berupa tanda tangan basah dalam dokumen tertulis.
2. Rekaman pembicaraan antara telemarketer
dengan calon nasabah merupakan informasi elektronik (sebagaimana dijelaskan di
atas) dan merupakan alat bukti hukum yang sah berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
Tapi, di sisi lain sebagaimana kami
telah jelaskan dalam jawaban poin 1 di atas, yang menjadi bukti persetujuan
nasabah dalam hal produk bancassurance adalah dokumen tertulis yang
ditandatangani oleh nasabah yang bersangkutan. Adapun rekaman pembicaraan
tersebut boleh jadi dibuat untuk tujuan atau sebagai bukti bahwa pihak bank
(dalam hal ini, si telemarketer) telah memberikan penjelasan kepada
nasabah mengenai karakteristik, manfaat dan risiko dari produk yang ditawarkan.
3. Seperti telah kami jelaskan dalam
jawaban poin 1 dan 2 di atas, yang menjadi dasar hubungan hukum antara bank
dengan nasabah bancassurance adalah persetujuan dalam bentuk dokumen
tertulis yang ditandatangani oleh nasabah yang bersangkutan dan bukan
rekaman pembicaraan antara telemarketer dengan nasabah.
Mengenai pihak telemarketer
bank yang merekam pembicaraannya dengan Anda, hal tersebut tidak dilarang oleh
peraturan perundang-undangan. Sehingga, pihak bank boleh saja merekam
pembicaraannya dengan Anda antara lain dengan maksud sebagai bukti bahwa pihak
bank telah memberikan penjelasan kepada nasabah mengenai karakteristik, manfaat
dan Risiko dari produk yang ditawarkan.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
4. Peraturan Bank Indonesia No.
7/6/PBI/2005 tentang Transparansi Produk dan Pengguna Data Pribadi Nasabah
5. Surat Edaran Bank Indonesia No.
12/35/DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan
Aktivitas Kerjasama Pemasaran dengan Perusahaan Asuransi (Bancassurance)
tanggal 23 Desember 2010
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 24 Maret 2010
Apakah UU
No.5/1999 berlaku bagi notaris ?
Saya melihat saat ini banyak praktek
monopoli terhadap profesi notaris. Misalnya, untuk transaksi KPR di bank,
biasanya bank yang menentukan notaris mana yang dipakai. Selain itu, jika ada
seorang notaris yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat-pejabat terkait,
maka ia dapat menyelesaikan kerjaan yang sulit sekalipun dengan cepat tetapi
tentu dengan biaya yang mahal. Oleh sebab itu, timbul pertanyaan: Apakah UU
No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
berlaku bagi notaris? Terima kasih.
Subjek
dari UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
(UU Antimonopoli) adalah pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha menurut pasal 1
angka 5 UU Antimonopoli, yaitu:
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Pasal 50
UU Antimonopoli mengatur hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan UU tersebut
yaitu;
a. perbuatan dan atau perjanjian yang
bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak
atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta,
desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta
perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis
produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi
persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan
yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa
dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerjasama penelitian
untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang
bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam
usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara
khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Sekarang
kita lihat apakah notaris termasuk pelaku usaha sehingga UU Antimonopoli
berlaku juga terhadapnya ataukah termasuk yang dikecualikan. Berikut ini
beberapa hal menyangkut notaris menurut UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (UUJN);
- Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini(pasal 1 angka 1)
- Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (pasal 2).
- Notaris berkedudukan di daerah kabupaten/kota, dan wilayah jabatannya dibatasi pada provinsi di mana ia berkedudukan (pasal 18 UUJN). Jadi, seorang notaris tidak diperbolehkan untuk berusaha di luar wilayah jabatannya.
- Formasi atau kebutuhan akan pengisian jabatan Notaris ditentukan oleh Menteri (pasal 21)
- Besarnya honorarium notaris diatur oleh UU (pasal 36)
- Pengawasan terhadap notaris dilakukan oleh Majelis Pengawas yang dibentuk Menteri (pasal 67)
Berdasarkan ketentuan-ketentuan UUJN
di atas, kami berkesimpulan;
- Notaris tidak termasuk pelaku usaha, tapi pejabat umum yang diangkat oleh Menteri,
- Perbuatan atau perjanjian yang dilakukan oleh notaris adalah dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, karena itu dikecualikan dari ketentuan UU Antimonopoli sesuai pasal 50 huruf a UU Antimonopoli, dan
- Lembaga yang berwenang menerima laporan masyarakat dan memeriksa adanya dugaan pelanggaran UU atau Kode Etik oleh notaris, seperti misalnya menetapkan honorarium yang tidak sesuai dengan UUJN, adalah Majelis Pengawas (baik di tingkat Daerah, Wilayah maupun Pusat).
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 29 Juli 2011
Apakah WNA
Boleh Menjadi Debitur Bank di Indonesia?
1. Apakah WNA dapat menjadi debitur
di bank dengan menyerahkan jaminan berupa BPKB kendaraan bermotor? 2. Apakah
WNI yang menikah dengan WNA (pernikahan dilakukan di luar negeri dan belum
didaftarkan di Catatan Sipil) dapat menjadi debitur di bank dengan menyerahkan
jaminan berupa BPKB kendaraan bermotor atau sertifikat tanah?
Sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank yang menyediakan
kemungkinan bagi berbagai transaksi untuk kepentingan pembiayaan yang
bermanfaat bagi perekonomian domestik. Namun, kemudian sejak 14 Juli 2005
peraturan tersebut dicabut oleh Bank Indonesia (“BI”) dengan Peraturan BI
No. 7/14/PBI/2005 (“PBI 7/2005”). Hal tersebut dilakukan sebagai langkah
penyempurnaan agar ketentuan yang berlaku tidak menghambat kegiatan produktif
dan dapat sejalan dengan beberapa perkembangan terakhir. Di pihak lain, langkah
itu bertujuan agar dapat tetap menunjang tercapainya stabilitas sistem keuangan
dan moneter di dalam negeri.
Berdasarkan
Pasal 3 PBI 7/2005, bank dilarang memberikan kredit baik dalam rupiah
maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak asing sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan tersebut meliputi:
a. warga negara asing;
b. badan hukum asing atau lembaga asing
lainnya;
c. warga negara Indonesia yang memiliki
status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak
berdomisili di Indonesia;
d. kantor Bank di luar negeri dari bank
yang berkantor pusat di Indonesia;
e. kantor perusahaan di luar negeri
dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
(Lihat Pasal 1 angka 2 PBI 7/2005)
Pengecualian
atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas meliputi:
a. kredit dalam bentuk sindikasi yang
memenuhi persyaratan
·
mengikutsertakan Prime Bank sebagai
lead bank;
·
diberikan untuk pembiayaan proyek di
sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan
·
kontribusi bank asing sebagai
anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri;
b. kartu kredit;
c. kredit konsumsi yang digunakan di
dalam negeri;
d.
cerukan intrahari rupiah dan valuta
asing yang didukung oleh dokumen yang bersifat authenticated yang
menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada
hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia;
e. cerukan dalam rupiah dan valuta
asing karena pembebanan biaya administrasi;
f. pengambilalihan tagihan dari badan
yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset-aset bank dalam rangka
restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin
oleh Prime Bank.
(Lihat Pasal 9 ayat [1] PBI
7/2005)
Jadi,
jelas bahwa Peraturan BI menyatakan WNA tidak dibolehkan mendapatkan kredit. Adapun
WNA yang menikah dengan WNI di luar negeri, hanya diakui sah setelah
didaftarkan di Catatan Sipil di Indonesia. Setelah pernikahan didaftarkan, maka
jika tidak terdapat perjanjian pra-nikah, terjadilah persatuan harta, yang
disebut harta bersama. Oleh karena itu, kredit yang akan diterima oleh pasangan
yang WNI harus dianggap merupakan harta bersama yang sebagian merupakan hak
pasangan WNA. Sebagian Bank di Indonesia membolehkan WNI yang memiliki pasangan
WNA untuk mendapatkan kredit dengan jaminan tertentu dan kondisi tertentu yang
tentunya prosentase jumlah kredit akan dihitung dari besar jaminan yang menjadi
hak dari WNI.
Perlu diperhatikan pula
ketentuan Pasal 3 jo Pasal 1 angka 2 huruf c PBI 7/2005 di atas, bahwa warga
negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident)
negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, (juga) tidak boleh mendapat
kredit dari Bank di Indonesia.
Demikian jawaban saya, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Peraturan
Bank Indonesia No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 30 Desember 2011
Pertanyaan:
Apa Penyebab RUU Jaminan Produk
Halal Tersendat di DPR?
Apakah RUU Jaminan Produk Halal
sudah disahkan? Jika belum disahkan apa yang menyebabkan RUU ini tersendat
sehingga prosesnya begitu lama, kalau tidak salah sejak tahun 2008 hingga kini?
Terima kasih.
Jawaban:
Sampai
saat ini RUU Jaminan Produk Halal masih belum disahkan dan masih terus dibahas
oleh DPR. Alasan kenapa RUU Jaminan Produk Halal masih belum juga disahkan,
menurut artikel RUU JPH Akan diajukan Ke
Pleno Baleg
yang kami akses di situs dpr.go.id, adalah karena ada satu hal krusial
yang belum disepakati oleh anggota DPR. Hal yang dimaksud yaitu mengenai
masalah kelembagaan yang berwenang untuk melakukan sertifikasi, registrasi, dan
labelisasi produk halal agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Masalah
kelembagaan ini juga menjadi perdebatan alot saat pembahasan RUU ini pada DPR
periode lalu. Dalam artikel tersebut juga dijelaskan sebagai berikut:
RUU tentang Jaminan Produk Halal ini merupakan usul
inisiatif DPR RI dimana pengusulnya Komisi VIII DPR RI. RUU ini masuk dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas Tahun 2011.
RUU tentang JPH sudah melalui proses yang panjang, karena
sebelumnya DPR periode yang lalu juga telah membahas RUU ini, namun belum
berhasil sampai pada Pengambilan Keputusan.
Sebagai
informasi tambahan mengenai kelembagaan ini, sebagaimana diberitakan artikel hukumonline
Pemerintah
Tetap Andalkan MUI
pada awalnya ada tiga alternatif kelembagaan yang direkomendasikan DPR:
1. Lembaga Jaminan Produk Halal
(“LPJH”) merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) dan mempunyai
perwakilan di daerah.
2. LPJH bersifat tetap dan independen
serta tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara dan instansi
pemerintah lainnya, namun memiliki perwakilan di provinsi, kabupaten/kota, dan
3. LPJH merupakan unit kerja dari
Kementerian Agama.
Namun, berdasarkan
Laporan Singkat Rapat
Panja Harmonisasi RUU Tentang Jaminan Produk Halal tertanggal 21 September 2011, Rapat
Panitia Kerja (Panja) harmonisasi RUU tentang Jaminan Produk Halal menyepakati
bentuk kelembagaan Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H) sebagai
Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).
Menurut
informasi dari laman parlemen.net, RUU JPH telah masuk ke dalam Daftar Program Legislasi
Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun Anggaran 2012 Berdasarkan
Persetujuan di Rapat Paripurna pada 16 Desember 2011.
Sekian jawaban dari kami, semoga
membantu.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 11 November 2011
Apa
Syarat-syarat Pendirian Kantor Konsultan Hukum?
Saya bersama teman-teman (Sarjana
Hukum) bermaksud untuk mendirikan satu kantor konsultasi hukum nonlitigasi,
mohon informasi wadah apakah yang paling cocok untuk kami? Syarat-syarat apa
yang harus dipenuhi untuk pendirian kantor ini dan adakah hal-hal lain yang
harus kami perhatikan dan penuhi? Terima kasih.
Jawaban:
Sebelumnya
perlu dipahami bahwa konsultan hukum non-litigasi atau yang memberikan jasa
hukum di luar pengadilan juga wajib memiliki izin advokat. Hal ini sesuai dengan definisi
jasa hukum yang diatur dalam UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) yaitu merupakan jasa yang diberikan Advokat berupa
memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili,
mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum
klien (lihat Pasal 1 ayat [2] UU Advokat). Lebih lanjut, simak artikel Apakah
Konsultan Hukum Non-litigasi Juga Harus Punya Izin?
Pada
dasarnya, bentuk kantor advokat tidak dibatasi pada suatu bentuk tertentu.
Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
1. Usaha perseorangan. Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk usaha
perseorangan dapat Anda simak dalam artikel
ini.
2. Firma.
Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk firma dapat Anda simak dalam artikel
ini.
3. Persekutuan perdata atau maatschap
(berdasarkan Pasal 1618 KUHPerdata atau lihat juga Pasal 1 angka 4 Kepmenhukham No. M.11-HT.04.02
Tahun 2004). Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk persekutuan
perdata sama dengan yang berbentuk firma. Karena syarat pendirian persekutuan
perdata sama dengan firma, yaitu harus didirikan oleh paling sedikit dua orang
berdasarkan perjanjian dengan Akta Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.
Jadi, jika ada lebih dari satu orang yang akan mendirikan
kantor advokat, maka Anda dan rekan-rekan advokat lainnya dapat memilih bentuk
firma atau maatschap. Dalam praktiknya, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam buku Mendirikan Badan
Usaha (hal. 20), para pengacara (advokat) di Indonesia sering menggunakan
bentuk firma (Firma hukum). Namun, menurutnya, kantor advokat
lebih tepat menggunakan bentuk maatschap karena dalam maatschap masing-masing
advokat yang menjadi teman serikat bertindak sendiri dan bertanggung jawab
secara pribadi (lihat Pasal 1642 KUHPer).
Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pendirian
atau pembukaan kantor advokat adalah mengenai kewajiban menyampaikan
pemberitahuan kepada Pengadilan Negeri, Organisasi Advokat, dan Pemerintah
Daerah setempat (lihat Penjelasan Pasal 5 ayat [2] UU Advokat).
Untuk
menambah referensi Anda, simak juga artikel-artikel di bawah ini:
- Tentang
Kantor Hukum, Lembaga bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum (membahas antara lain
tentang perbedaan pokok kantor advokat dengan lembaga bantuan hukum);
- Kantor
Advokat, Antara Firma dan Persekutuan Perdata (membahas soal perbandingan
kantor advokat berbentuk firma dan persekutuan perdata);
- Bentuk
Badan Usaha Kantor Hukum (membahas soal latar belakang kantor advokat Indonesia lebih
memilih bentuk firma ketimbang bentuk badan usaha lain);
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Keputusan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 tentang Tatacara Memperkerjakan
Advokat Asing serta Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Dunia
Pendidikan dan Penelitian Hukum
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar