Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Jumat, 12 Oktober 2012
Masalah Fidusia Ulang
Selamat malam Bung Pokrol. Apakah
yang dimaksud dengan "fidusia ulang" sebagaimana tercantum di dalam
pasal 17 UUJF? Kemudian, bagaimana kaitan fidusia ulang tersebut dengan pasal
28 UUJF? Terima kasih sebelumnya, hukumonline jaya.
Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada baiknya kami
jelaskan terlebih dahulu pengertian dari Fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka
1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak
kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Sebagai contoh, A meminjam uang kepada B. Sebagai jaminan, A
menyerahkan BPKB motornya kepada B tetapi motor tersebut tetap dikuasai oleh A.
Praktik ini termasuk fidusia karena hak kepemilikan motor A yang dibuktikan
dengan BPKB telah diserahkan kepada B sedangkan penguasaan atas barang jaminan
(motor) tetap pada A.
Kemudian Saudara menanyakan tentang “fidusia ulang”
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 17 UUJF:
“Pemberi Fidusia dilarang melakukan
fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah
terdaftar.”
Benda yang dijaminkan dengan cara fidusia baru akan mengikat
setelah benda tersebut didaftarkan (lihat Pasal 11 ayat [1] jo. Pasal 14
ayat [3] UUJF). Cara pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut
yang kami sarikan dari ketentuan Pasal 11 sampai Pasal 18 UUJF:
a.
Pendaftaran jaminan fidusia
dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh
wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
b.
Permohonan pendaftaran jaminan
fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan
pernyataan pendaftaran jaminan fidusia;
c.
Pernyataan pendaftaran jaminan
fidusia sebagaimana dimaksud di atas, memuat:
1. Identitas
pihak pemberi dan penerima fidusia;
2.
Tanggal, nomor akta jaminan fidusia,
nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3. Data
perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
4. Uraian
mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
5. Nilai
jaminan;
6. Nilai
benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
d.
Kantor pendaftaran fidusia mencatat
jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan pendaftaran;
e.
Kantor pendaftaran fidusia
menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifkat jaminan fidusia
pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
f.
Jaminan fidusia lahir pada tanggal
yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia;
Ketentuan mengenai pendaftaran fidusia dan biayanya juga
diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fidusia dan Biaya pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusia-nya secara
resmi hak kepemilikannya telah beralih ke penerima fidusia (kreditur).
Sehingga, pemberi fidusia (debitur) tidak dapat melakukan fidusia lagi terhadap
benda tersebut karena selama dijaminkan, benda tersebut adalah milik penerima
fidusia.
Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 17 UUJF
yang menyatakan bahwa, Fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun
penjaminan pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi
obyek Jaminan Fidusia karena hak kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih
kepada Penerima Fidusia.
Terkait dengan Pasal 28 UUJF, memang dalam praktiknya
bisa saja satu benda dibebankan oleh lebih dari satu perjanjian fidusia karena
terdapat lebih dari satu kreditur. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian
fidusia tersebut, yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya hanyalah
perjanjian fidusia yang telah didaftarkan:
Pasal 28 UUJF
Apabila atas Benda yang sama menjadi
obyek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia,maka hak
yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, diberikan kepada pihak
yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia
Sekedar tambahan informasi, mengenai kewajiban mendaftarkan
jaminan fidusia ini, saat ini telah berlaku peraturan terbaru yang mewajibkan
pendaftaran fidusia untuk pembiayaan konsumen dalam hal pembelian kendaraan
bermotor yaitu Permenkeu No. 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk
Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu
130/2012”). Perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia paling
lambat 30 hari kalender sejak tanggal perjanjian pembiayaan dan tidak boleh
menarik kendaraan bermotor sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan
Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya ke Perusahaan Pembiayaan (Pasal 2
jo. Pasal 3 Permenkeu 130/2012). Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang
melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanki administratif secara bertahap
berupa (Pasal 5 ayat [1] Permenkeu 130/2012):
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan
izin usaha.
Jadi, satu benda yang sama dapat saja menjadi objek lebih
dari satu perjanjian jaminan fidusia. Akan tetapi, di antara
perjanjian-perjanjian tersebut, hanya perjanjian yang telah didaftarkan ke
Kantor Pendaftaran Fidusia saja yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya
bagi kreditur. Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusianya, tidak boleh
dijaminkan fidusia lagi.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
3. Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan
Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 19 Oktober 2012
Masalah Pungutan untuk Pedagang
Kecil oleh Pihak Sekolah
Pada beberapa sekolah negeri
dilakukan pungutan untuk pedagang kaki lima yang berjualan di depan halaman
sekolah dengan membawa gerobak sendiri. Padahal, pihak sekolah tidak
menyediakan stand untuk berjualan namun pedagang tetap dibebani kewajiban
membayar iuran. Apakah yang dilakukan pihak sekolah itu sesuai dengan aturan yang
berlaku?
Secara harfiah, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
dalam Jaringan (“KBBI Daring”), Pungutan memiliki arti pendapatan,
memungut (uang). Merujuk pada interpretasi tersebut, pungutan dapat diartikan
sebagai sejumlah biaya yang dikenakan terhadap masyarakat.
Namun, untuk mengkategorikan suatu pungutan sah menurut
hukum adalah biaya atas jumlah dan jenis mana yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah atau Penjabat yang berwenang dalam suatu
aturan/keputusan yang menurut peraturan-perundangan diperbolehkan untuk
mengeluarkan aturan/keputusan tersebut.
Namun, dalam hal suatu pungutan tidak disertakan dengan
penetapan dari penjabat yang berwenang tersebut maka setiap biaya dan/atau
pungutan yang dikenakan tersebut merupakan pungutan tidak resmi dan
dikategorikan sebagai pungutan liar (Pungli).
Sebagaimana ketentuan yang mewajibkan adanya suatu dasar
hukum dalam suatu pungutan, hal ini tersebut dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa suatu pungutan yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia adalah suatu
pungutan yang menurut peraturan perundangan-undangan diperbolehkan untuk
dikenakan/dipungut, sebagai contoh antara lain: Pajak (termasuk Pajak Daerah),
retribusi (termasuk Retibrusi Daerah), Sumbangan, yaitu: SWDKLLJ (Sumbangan
Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) dan SWPJ (Sumbangan Wajib Perbaikan
Jalan), Cukai, Bea Materai, Bea Ekspor dan Bea Impor, dan sebagainya.
Selanjutnya, mengenai pungutan yang dikenakan kepada
pedagang oleh pihak sekolah dapat kami paparkan sebagai berikut:
Merujuk pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan
Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar (“Permen Dikbud 44/2012”), sekolah termasuk kedalam
Satuan Pendidikan Dasar.
Akan tetapi, berkenaan dengan memungut biaya dari pihak
lain, Pasal 1 ayat (2) Permen Dikbud 44/2012 menjelaskan bahwa yang
dimaksud Pungutan adalah:
“penerimaan biaya pendidikan baik
berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari
peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat,
serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan
dasar.”
Selanjutnya, dalam Pasal 11 Permen Dikbud 44/2012
menjelaskan bahwa syarat-syarat suatu pungutan pada satuan pendidikan dasar
adalah:
Pungutan
tidak boleh:
a.
dilakukan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu
secara ekonomis;
b.
dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik,
penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari
satuan pendidikan; dan/atau
c.
digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga
representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak
langsung.
Berdasarkan ketentuan yang tersebut di atas, menjadi jelas
bahwa pada dasarnya pihak sekolah dapat memungut biaya berupa pungutan dari
pihak lain, dalam hal ini peserta didik atau orangtua/wali. Namun, sepanjang
hal pungutan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya, berkenaan dengan pungutan terhadap pedagang
sebagaimana yang Saudara maksudkan, dapat kami sampaikan dan menurut pemahaman
kami, suatu pungutan terhadap pedagang kaki lima merupakan ranah atau
kewenangan dari Pemerintah Daerah yang dapat mengenakannya. Hal mana dalam
setiap pengaturan pungutan tersebut (atau biasa yang disebut dengan Retribusi)
akan diatur dengan suatu peraturan atau biasa disebut dengan Peraturan Daerah
(“Perda”).
Ketentuan tersebut berlaku sepanjang tempat usaha yang
digunakan oleh pedagang tersebut disediakan oleh Pemerintah Daerah dan juga
telah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah dimaksud.
Hal ini sebagaimana diatur dalam berbagai Perda di
Indonesia, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun
2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima;
2.
Pemerintah Kota Pontianak Peraturan
Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar;
3.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
4.
Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima
Musiman.
Oleh karenanya, dapat kami simpulkan bahwa mengenai
pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk pengenaan suatu biaya atau pungutan yang dikenakan oleh
pihak sekolah terhadap pedagang yang berada di luar lingkungan sekolah menjadi
tidak tepat dan bukan merupakan kewenangan pihak sekolah;
2. Setiap pedagang (dalam hal ini pedagang kaki lima) akan
dikenakan retribusi sepanjang tempat usahanya telah memiliki izin dan
disediakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal pedagang melakukan kegiatan
usahanya bukan pada tempat/lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, maka
pedagang tersebut telah melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh pejabat/instansi yang berwenang.
Demikian
kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
Disclaimer:
Jawaban ini bukanlah suatu opini
hukum yang berlaku mengikat. Setiap isi dan/atau hal-hal yang tertuang di atas
sifatnya hanya sebagai informasi dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti atau
dasar bagi setiap pihak untuk mengajukan suatu klaim, tuntutan, gugatan
dan/atau upaya hukum lain terhadap pihak lain.
Dasar hukum:
3. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan
Pada Satuan Pendidikan Dasar;
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;
5.
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun
2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima;
6.
Pemerintah Kota Pontianak Peraturan
Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar;
7.
Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
8.
Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima
Musiman.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 15 November 2010
Membuka Kantor Perusahaan Asing
Apa saja
persyaratan membuka kantor perusahaan asing di Indonesia?
Kami
asumsikan yang Anda maksudkan adalah kantor perwakilan perusahaan asing. Kantor
Perwakilan Perusahaan Asing adalah kantor perwakilan yang didirikan oleh
perusahaan asing atau beberapa perusahaan asing di luar wilayah Indonesia
dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan
afiliasi di Indonesia dan/atau di negara lain dan/atau mempersiapkan pendirian
dan pengembangan usaha perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dan/atau
di negara lain (lihat pasal 1 Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal Nomor 22/SK/2001 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden
Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing). Jadi, kegiatan Kantor Perwakilan asing ini hanya semata-mata
melakukan pengurusan atas kepentingan perusahaannya di luar negeri tanpa
diperbolehkan melakukan kegiatan yang bersifat ekonomis
Permohonan
mendapatkan izin untuk kantor perwakilan perusahaan asing (“KPPA”) dan
perorangan warga negara asing yang bekerja untuk kantor tersebut, diajukan
kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). Pendiriannya tunduk
pada Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009
tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“Perka BKPM No.
12/2009”). Pendaftaran diajukan pada BKPM dengan mengisi formulir Model
KPPA sebagaimana diatur dalam Perka BKPM No. 12/2009 tersebut. Dokumen yang
perlu dilampirkan adalah:
1. Anggaran Dasar dari perusahaan asing yang akan diwakili
2. Surat penunjukan dari perusahaan asing yang akan diwakili
3. Fotokopi paspor (untuk WNA) atau KTP (untuk WNI) yang akan
menjadi Representative Executive
4. Surat pernyataan mengenai kesediaan untuk tinggal dan
bekerja sebagai Representative Executive saja, tidak melakukan
bisnis lainnya.
5. Surat kuasa, jika permohonan bukan diajukan oleh manajemen
perusahaan asing tersebut
Selain
ke BKPM, ada juga perwakilan perusahaan perdagangan asing yang izinnya diajukan
ke Departemen Perdagangan. Perwakilan perusahaan perdagangan asing yang izinnya
diajukan ke Departemen Perdagangan adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau
Warga Negara Asing yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan
Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Perwakilan Perusahaan
Perdagangan Asing di Indonesia dapat berbentuk Agen Penjualan (Selling Agent)
dan/atau Agen Pabrik (Manufactures Agent) dan/atau Agen Pembelian (Buying
Agent) (lihat pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan No.:
10/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha
Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing/”Permendag 10/2006”).
Perwakilan
perusahaan perdagangan perusahaan asing dapat melakukan aktivitas-aktivitas
berikut di Indonesia:
a)
melakukan kegiatan memperkenalkan,
mempromosikan dan memajukan pemasaran barang-barang yang dihasilkan oleh
Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang
menunjuknya, serta memberikan keterangan-keterangan atau petunjuk-petunjuk bagi
penggunaan dan pengimporan barang kepada perusahaan/pemakai di dalam negeri;
b)
melakukan penelitian pasar dan
pengawasan penjualan di dalam negeri dalam rangka pemasaran barang dari
Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang
menunjuknya;
c)
melakukan penelitian pasar atas
barang-barang yang dibutuhkan oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan
Asing di luar negeri yang menunjuknya dan menghubungkan serta memberikan
keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk tentang syarat-syarat pengeksporan
barang kepada perusahaan di dalam negeri;
d)
menutup kontrak untuk dan atas nama
perusahaan yang menunjuknya dengan perusahaan di dalam negeri dalam rangka
ekspor.
Izin
untuk perwakilan perusahaan perdagangan asing disebut dengan Surat Izin
Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”). SIUP3A diberikan
kepada Penanggungjawab/Kepala Kantor Pusat/Kepala Kantor Cabang Perwakilan
Perusahaan Perdagangan Asing atas nama perusahaan (lihat pasal
8 Permendag 10/2006).
Menurut
Permendag 10/2006, permohonan untuk memperoleh SIUP3A diajukan secara tertulis
oleh Kepala Kantor Pusat atau Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan
Asing atau kuasa yang ditunjuk kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran
Perusahaan. Permohonan tersebut dibuat dan
ditandatangani oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup. Dokumen yang perlu dlampirkan adalah:
a)
Surat Permohonan dari Kantor Pusat
atau Kantor Cabang;
b)
Mengisi Daftar Isian Permohonan
dengan benar diberi materai secukupnya;
c)
Asli Surat Persetujuan Sementara
Penunjukan Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing;
d)
Surat Penunjukan (Letter of
Appointment);
e)
Copy Izin Mempekerjakan Tenaga kerja
Asing (IMTA) untuk Tenaga Kerja Asing (TKA);
f)
Surat Keterangan domisili dari Kelurahan
setempat atau surat keterangan ruang kantor dari pengelola Gedung;
g)
Pas Photo ukuran 4 X 6 cm sebanyak 2
lembar (berwarna);
h) Copy
Bukti Pembayaran Uang Jaminan
1)
Untuk Kepala Perwakilan WNA Rp.
5.000.000,-;
2)
Untuk Kepala Perwakilan WNI Rp.
1.000.000,-.
Demikian
jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.
Peraturan Menteri Perdagangan No.:
10/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha
Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
2.
Keputusan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 22/SK/2001 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan
Asing
3.
Peraturan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan
Penanaman Modal
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 14 Desember 2005
pasar modal syariah
Apa landasan hukum positif bagi
beroperasinya pasar modal syariah di Indonesia? Dan bagaimana fungsi dan
kewenangan Dewan Syariah Nasional dalam pasar modal syariah di Indonesia?
Dilihat dari keberadaan peraturan
perundang-undangan, saat ini memang belum ada undang-undang khusus pasar modal
syariah. RUU Perbankan Syariah juga masih digodok di DPR. Meskipun demikian, praktek investasi secara syariah sudah
berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen pasar modal berbasis syariah
yaitu reksa dana syariah dan obligasi syariah seperti yang dikeluarkan Indosat
pada 2002.
Secara formal, peluncuran pasar modal
dengan prinsip-prinsip syariah Islam dilakukan pada Maret 2003. Pada kesempatan
itu ditandatangani Nota Kesepahaman antara Bapepam dan Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang dilanjutkan dengan Nota Kesepahaman
antara DSN-MUI dengan SROs (Self Regulatory Organizations).
Sebelumnya, pada 3 Juli 2000, BEJ mengeluarkan daftar perusahaan
yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham
yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII), dimana saham-saham yang tercantum
di dalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah. Untuk bisa masuk dalam
JII antara lain perusahaan tidak boleh bergerak di bidang tembakau, alkohol,
perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga
keuangan ribawi dan lain-lain.
Meskipun sampai saat ini peraturan yang
bisa mengakomodasi penerapan prinsip syariah di pasar modal Indonesia belum
ada, namun pada prinsipnya struktur pasar modal syariah sama dengan pasar modal
konvensional. Beberapa hal yang sama antara lain konsep penerbitan obligasi,
reksadana, dan lainnya, selama mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Perbedaannya adalah khusus masalah
syariah misalnya tentang kegiatan usaha perusahaan karena syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk
yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.
Sebenarnya, banyak prinsip-prinsip syariah terkandung dalam
peraturan perundangan yang sudah ada. Misalnya, prinsip ridho sama ridho
yang ada dalam syariah juga terkandung dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak dalam membuat
sebuah perjanjian.
Untuk pelaksanaan investasi secara
syariah, secara khusus DSN-MUI telah menetapkan dalam fatwanya tentang Pedoman
Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah dan jenis emiten yang sahamnya
tidak diperkenankan sebagai portofolio pada reksa dana syariah. Sampai dengan
saat ini, Bapepam telah memberikan pernyataan efektif kepada 13 reksa dana
syariah. Namun demikian, dari 13 reksa dana ini 2 diantaranya telah bubar.
Dewan
Syariah Nasional (DSN) atau Al-Hai`ah as-Syar`iyah al-Wathaniyah alias National
Sharia Board adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang
dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga betugas untuk menggali, mengkaji dan
merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari`ah) untuk dijadikan
pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari`ah serta
mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.
Anggota
lembaga ini adalah para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi terutama sektor
keuangan , baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan
tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pelaksanaannya, lembaga ini
dibantu dengan Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN) yang melakukan penelitian,
penggalian dan pengkajian.
Kemudian setelah dianggap cukup
memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN.
Rancangan fatwa ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk
dibahas. Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi fatwa ini terutama
dari aspek redaksional, ditangani oleh tim penyusun dari BPH-DSN.
Demikianlah semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 28 Agustus 2009
Pembuktian transaksi elektronik
Saya pengguna kartu kredit di Bank
X. Saya melakukan pembayaran kartu kredit melalui ATM
dan transaksi saya sukses dengan bukti receipt paper. Nah, di hari selanjutnya
ada konfirmasi dari bank bahwa saya belum melakukan pembayaran kartu kredit
tersebut berdasarkan data transaksi nasabah. Dalam hal ini saya dirugikan. Yang
ingin saya tanyakan bagaimanakah untuk membuktikan hal tersebut? Apakah dengan
receipt paper tersebut saya dapat mengguankannya sebagtai alat bukti? Apakah
perlindungan hukum yang diberikan UU Perbankan dalam hal penggunaan jasa
layanan perbankan?
Pembayaran tagihan kartu kredit atau
transaksi lainnya melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri atau automated teller
machine (ATM) sudah menjadi kelaziman dewasa ini. Sebelum memutuskan untuk
melakukan transaksi pembayaran atau transfer uang melalui ATM, sedikitnya
ada tiga hal yang perlu kita perhatikan yaitu;
- Pastikan ATM dapat atau akan mencetak bukti transaksi yang akan dilakukan,
- Pastikan informasi mengenai jumlah uang, nomor dan pemilik rekening tujuan sudah benar, dan
- Pastikan informasi yang dicetak oleh mesin ATM di akhir transaksi sesuai dengan transaksi yang sebelumnya dilakukan.
Selanjutnya, kami akan memulai
penjelasan dari sisi perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai konsumen bank.
Perlu diketahui bahwa hak-hak Saudara selaku nasabah bank dilindungi oleh UU
Perlindungan Konsumen maupun peraturan perundang-undangan di bidang perbankan.
Setiap konsumen dilindungi hak-haknya dan perlindungan tersebut harus
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen,
serta kepastian hukum (pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen).
Untuk permasalahan yang Saudara
hadapi, maka bank wajib untuk menyelesaikan pengaduan Saudara sebagai nasabah.
Demikian sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 jo. pasal 6 ayat (1) Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan
Nasabah:
Pasal 2 ayat (1) PBI No.
7/7/PBI/2005:
Bank wajib menyelesaikan setiap
Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah.
Pasal 6 ayat (1) PBI No.
7/7/PBI/2005:
Bank wajib menerima setiap Pengaduan
yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan
Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah.
Adapun, kertas atau struk bukti
transaksi yang dicetak oleh mesin ATM merupakan alat bukti hukum yang sah
berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi elektronik (UU ITE). Pasal 5 ayat (1) UU ITE selengkapnya berbunyi, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Di dalam struk bukti transaksi yang dicetak mesin ATM
terdapat informasi elektronik tentang jumlah uang, rekening tujuan transaksi
serta waktu transaksi.
Saudara dapat
menyampaikan struk atau hasil cetak transaksi ATM tersebut kepada pihak bank
sebagai bukti bahwa Saudara telah melakukan pembayaran sejumlah uang pada hari
dan jam tertentu kepada pihak bank.
Demikian sejauh yang
kami ketahui. Semoga penjelasan kami bermanfaat.
Peraturan
perundang-undangan terkait:
- UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
- PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 02 Pebruari 2010
Pasar Bebas dan Mobilitas Jasa Hukum
Undang-Undang Advokat yang ada
merupakan tameng untuk membatasi gerak firma-firma hukum asing dalam pengadaan
jasa hukum di Indonesia. Mengapa keran untuk firma asing tidak dibuka saja,
sehingga dapat dilihat firma domestik mana saja yang dapat bertahan dalam
efisiensi kerja mereka? Menurut saya hal ini dapat memacu advokat-advokat untuk
berpikiran ke depan (bagaimana menyesuaikan peranan jasa hukum dalam era pasar
bebas), daripada masih bingung sendiri di kotak nol (penataan lembaga advokat
Indonesia).
Pasal
23 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyebutkan bahwa
advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan atau
membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. Sementara pasal 23
ayat (2) menyebutkan, kantor advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai
karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin pemerintah dengan
rekomendasi organisasi advokat.
Meski
UU Advokat secara tegas melarang advokat asing berpraktek di Indonesia, kecuali
sebagai ahli dalam bidang hukum asing (pasal 23 ayat [2] UU Advokat). Tapi,
ketentuan ini tidak bertentangan dengan aturan-aturan dan ketentuan Organisasi
Perdagangan Dunia atau WTO maupun Persetujuan Umum mengenai Tarif dan
Perdagangan Tahun 1947 atau GATTS. Selain itu ketentuan UU Advokat juga telah
sesuai dengan pedoman International Bar Association (IBA).
Menurut
salah satu anggota Tim Ahli dalam penyusunan UU Advokat Frans Hendra Winarta,
bunyi Pasal 23 UU Advokat itu dibuat dengan mengacu pada ketentuan yang ada
dalam International Bar Association (IBA) mengenai konsultan hukum
asing. Karena itu, menurut Frans, pembatasan mengenai advokat asing yang diatur
dalam UU Advokat jelas tidak bertentangan dengan WTO dan GATTS. Walaupun,
WTO dan GATTS melarang proteksi terhadap barang dan jasa.
Untuk
menghadapi WTO dan GATTS, pada 4 April 1996 IBA mengeluarkan proposal
"Pedoman IBA untuk konsultan hukum asing/foreign legal consultant".
Dalam pedoman itu dijabarkan mengenai prinsip dasar, definisi, izin, lingkup
praktek, hak dan kewajiban, aturan tentang disiplin, masa berlakunya izin, dan
lain-lain.
Dalam
pedoman itu disebutkan bahwa konsultan hukum asing dapat memperoleh izin
sebagai individu, anggota, seorang anggota atau asosiasi di suatu firma hukum
di negara setempat atau sebagai karyawan di biro hukum suatu perusahan
berdasarkan aturan tentang jasa hukum di negara tersebut.
Disebutkan
pula, konsultan hukum asing tidak boleh berpraktek sebagai pembela di
pengadilan atau sidang hukum lainnya dalam yurisdiksi negara yang dikunjungi.
Mereka juga tidak boleh memberikan jasa mengenai hukum lokal negara tersebut.
Mereka hanya dapat memberikan jasa hukum sepanjang mengenai hukum internasional
atau hukum negara asing.
Karena
itu, menurut Frans, negara-negara anggota WTO pun pun memberikan proteksi
terhadap jasa hukum di negaranya sesuai dengan pedoman IBA. Walaupun, ada pula
negara-negara yang tidak memberikan proteksi terhadap pengacara asing, misalnya
Singapura.
Singapura
memperbolehkan advokat asing memberikan konsultasi hukum yang berkaitan dengan
hukum Singapura. Bahkan, kantor hukum asing diperkenankan untuk mendirikan law
firm di sana dengan bekerja sama dengan kantor hukum lokal yang berbentuk joint
law venture. Advokat asing di Singapura juga dapat berpraktek di
pengadilan, setelah mendapat izin dari attonerney general. Demikian
pandangan dari Frans Hendra Winarta.
Uraian
selengkapnya dapat Anda simak di artikel “UU Advokat Tidak Bertentangan dengan WTO” serta artikel-artikel hukumonline.com lainnya mengenai
advokat asing dan pemberlakuan AFTA di Indonesia.
Demikian penjelasan kami. Semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Sabtu, 23 Juni 2012
Pencantuman Mata Uang Asing dalam
Brosur Penjualan
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2001
tentang Mata Uang, bolehkah jika brosur penjualan menggunakan mata uang SGD?
Terima kasih.
Perlu
kami luruskan sebelumnya bahwa UU No.7 Tahun 2001 yang Saudara maksud
bukan mengatur tentang mata uang, tetapi mengatur tentang Pembentukan Kota
Lubuk Linggau. Mungkin yang Saudara maksud adalah UU No.7 Tahun 2011
tentang Mata Uang (“UU 7/2011”). Penggunaan Rupiah
diatur dalam Pasal 21 ayat (1)UU 7/2011:
Rupiah wajib digunakan dalam:
a.
setiap transaksi yang mempunyai
tujuan pembayaran;
b.
penyelesaian kewajiban lainnya yang
harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c.
transaksi keuangan lainnya, yang
dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam Sosialisasi UU Mata Uang dijelaskan bahwa penggunaan Rupiah
dalam Pasal 21 tersebut di atas hanya terbatas pada transaksi uang secara
fisik (dengan menggunakan uang kartal). Untuk pembayaran, penyelesaian
kewajiban lainnya, dan transaksi keuangan di dalam pasal ini terbatas pada
penggunaan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam saja, tidak meliputi pembayaran
dengan uang giral (antara lain seperti cek, Letter of Credit,
dan uang modern lainnya).
Selain itu dalam UU 7/2011 diatur juga mengenai
larangan terutama Pasal 23 ayat (1) UU 7/2011 menyangkut penggunaan
Rupiah:
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang
penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban
yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan
atas keaslian Rupiah.
Merujuk pada Pasal 21 dan Pasal 23 UU 7/2011,
sebenarnya tidak ada larangan untuk mencantumkan harga dalam mata uang asing
seperti SGD (Singapore Dollar) atau keharusan/kewajiban mencantumkan
harga dalam Rupiah dalam brosur penjualan. Yang dilarang adalah penolakan
pembayaran dalam mata uang Rupiah ketika terjadi transaksi di wilayah RI.
Karena brosur penjualan umumnya hanya ditujukan untuk
pemberian informasi mengenai keterangan produk yang dijual oleh pelaku usaha
tertentu. Sehingga, belum dapat dikatakan terjadi transaksi ketika brosur
penjualan disebarkan.
Yang patut diperhatikan adalah ketika transaksi (jual beli)
benar-benar terjadi, maka sesuai ketentuan-ketentuan tersebut di atas
pembayarannya harus menggunakan Rupiah. Kecuali pembayaran dilakukan dengan
menggunakan uang giral.
Jadi, pencantuman harga dalam mata uang SGD dalam brosur
penjualan tidaklah dilarang oleh UU 7/2011.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar