Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline


Jumat, 12 Oktober 2012
Masalah Fidusia Ulang

Selamat malam Bung Pokrol. Apakah yang dimaksud dengan "fidusia ulang" sebagaimana tercantum di dalam pasal 17 UUJF? Kemudian, bagaimana kaitan fidusia ulang tersebut dengan pasal 28 UUJF? Terima kasih sebelumnya, hukumonline jaya.

Jawaban:  Ilman Hadi

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu pengertian dari Fidusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UUJF”) Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Sebagai contoh, A meminjam uang kepada B. Sebagai jaminan, A menyerahkan BPKB motornya kepada B tetapi motor tersebut tetap dikuasai oleh A. Praktik ini termasuk fidusia karena hak kepemilikan motor A yang dibuktikan dengan BPKB telah diserahkan kepada B sedangkan penguasaan atas barang jaminan (motor) tetap pada A.

Kemudian Saudara menanyakan tentang “fidusia ulang” sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 17 UUJF:

“Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar.”

Benda yang dijaminkan dengan cara fidusia baru akan mengikat setelah benda tersebut didaftarkan (lihat Pasal 11 ayat [1] jo. Pasal 14 ayat [3] UUJF). Cara pendaftaran jaminan fidusia adalah sebagai berikut yang kami sarikan dari ketentuan Pasal 11 sampai Pasal 18 UUJF:
a.    Pendaftaran jaminan fidusia dilakukan di Kantor Pendaftaran Fidusia dengan wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia dan berada di lingkup tugas Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia;
b.    Permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran  jaminan fidusia;
c.    Pernyataan pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud di atas, memuat:
1.    Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
2.    Tanggal, nomor akta jaminan fidusia, nama, dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;
3.    Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
4.    Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
5.    Nilai jaminan;
6.    Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.
d.    Kantor pendaftaran fidusia mencatat jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
e.    Kantor pendaftaran fidusia menerbitkan dan menyerahkan kepada penerima fidusia sertifkat jaminan fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran;
f.     Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia;

Ketentuan mengenai pendaftaran fidusia dan biayanya juga diatur dalam PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya pembuatan Akta Jaminan Fidusia.

Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusia-nya secara resmi hak kepemilikannya telah beralih ke penerima fidusia (kreditur). Sehingga, pemberi fidusia (debitur) tidak dapat melakukan fidusia lagi terhadap benda tersebut karena selama dijaminkan, benda tersebut adalah milik penerima fidusia.

Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 17 UUJF yang menyatakan bahwa, Fidusia ulang oleh Pemberi Fidusia, baik debitor maupun penjaminan pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia karena hak kepemilikan atas Benda tersebut telah beralih kepada Penerima Fidusia.

Terkait dengan Pasal 28 UUJF, memang dalam praktiknya bisa saja satu benda dibebankan oleh lebih dari satu perjanjian fidusia karena terdapat lebih dari satu kreditur. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian fidusia tersebut, yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya hanyalah perjanjian fidusia yang telah didaftarkan:

Pasal 28 UUJF

Apabila atas Benda yang sama menjadi obyek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia,maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia

Sekedar tambahan informasi, mengenai kewajiban mendaftarkan jaminan fidusia ini, saat ini telah berlaku peraturan terbaru yang mewajibkan pendaftaran fidusia untuk pembiayaan konsumen dalam hal pembelian kendaraan bermotor yaitu Permenkeu No. 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia (“Permenkeu 130/2012”). Perusahaan pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia paling lambat 30 hari kalender sejak tanggal perjanjian pembiayaan dan tidak boleh menarik kendaraan bermotor sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia telah menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan menyerahkannya ke Perusahaan Pembiayaan (Pasal 2 jo. Pasal 3 Permenkeu 130/2012). Perusahaan Pembiayaan Konsumen yang melanggar ketentuan ini akan dikenakan sanki administratif secara bertahap berupa (Pasal 5 ayat [1] Permenkeu 130/2012):
a.    peringatan;
b.    pembekuan kegiatan usaha; atau
c.    pencabutan izin usaha.

Jadi, satu benda yang sama dapat saja menjadi objek lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia. Akan tetapi, di antara perjanjian-perjanjian tersebut, hanya perjanjian yang telah didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia saja yang memiliki hak untuk didahului pelunasannya bagi kreditur. Benda yang telah didaftarkan jaminan fidusianya, tidak boleh dijaminkan fidusia lagi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010./2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 19 Oktober 2012

Masalah Pungutan untuk Pedagang Kecil oleh Pihak Sekolah

Pada beberapa sekolah negeri dilakukan pungutan untuk pedagang kaki lima yang berjualan di depan halaman sekolah dengan membawa gerobak sendiri. Padahal, pihak sekolah tidak menyediakan stand untuk berjualan namun pedagang tetap dibebani kewajiban membayar iuran. Apakah yang dilakukan pihak sekolah itu sesuai dengan aturan yang berlaku?


Secara harfiah, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Jaringan (“KBBI Daring”), Pungutan memiliki arti pendapatan, memungut (uang). Merujuk pada interpretasi tersebut, pungutan dapat diartikan sebagai sejumlah biaya yang dikenakan terhadap masyarakat.

Namun, untuk mengkategorikan suatu pungutan sah menurut hukum adalah biaya atas jumlah dan jenis mana yang telah ditetapkan oleh Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah atau Penjabat yang berwenang dalam suatu aturan/keputusan yang menurut peraturan-perundangan diperbolehkan untuk mengeluarkan aturan/keputusan tersebut.

Namun, dalam hal suatu pungutan tidak disertakan dengan penetapan dari penjabat yang berwenang tersebut maka setiap biaya dan/atau pungutan yang dikenakan tersebut merupakan pungutan tidak resmi dan dikategorikan sebagai pungutan liar (Pungli).

Sebagaimana ketentuan yang mewajibkan adanya suatu dasar hukum dalam suatu pungutan, hal ini tersebut dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.

Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa suatu pungutan yang diperbolehkan menurut hukum di Indonesia adalah suatu pungutan yang menurut peraturan perundangan-undangan diperbolehkan untuk dikenakan/dipungut, sebagai contoh antara lain: Pajak (termasuk Pajak Daerah), retribusi (termasuk Retibrusi Daerah), Sumbangan, yaitu: SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) dan SWPJ (Sumbangan Wajib Perbaikan Jalan), Cukai, Bea Materai, Bea Ekspor dan Bea Impor, dan sebagainya.

Selanjutnya, mengenai pungutan yang dikenakan kepada pedagang oleh pihak sekolah dapat kami paparkan sebagai berikut:

Merujuk pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar (“Permen Dikbud 44/2012”), sekolah termasuk kedalam Satuan Pendidikan Dasar.

Akan tetapi, berkenaan dengan memungut biaya dari pihak lain, Pasal 1 ayat (2) Permen Dikbud 44/2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud Pungutan adalah:

penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orangtua/wali secara langsung yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.

Selanjutnya, dalam Pasal 11 Permen Dikbud 44/2012 menjelaskan bahwa syarat-syarat suatu pungutan pada satuan pendidikan dasar adalah:

Pungutan tidak boleh:
a.  dilakukan kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang tidak mampu secara ekonomis;
b.  dikaitkan dengan persyaratan akademik untuk penerimaan peserta didik, penilaian hasil belajar peserta didik, dan/atau kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan/atau
c.  digunakan untuk kesejahteraan anggota komite sekolah atau lembaga representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan ketentuan yang tersebut di atas, menjadi jelas bahwa pada dasarnya pihak sekolah dapat memungut biaya berupa pungutan dari pihak lain, dalam hal ini peserta didik atau orangtua/wali. Namun, sepanjang hal pungutan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, berkenaan dengan pungutan terhadap pedagang sebagaimana yang Saudara maksudkan, dapat kami sampaikan dan menurut pemahaman kami, suatu pungutan terhadap pedagang kaki lima merupakan ranah atau kewenangan dari Pemerintah Daerah yang dapat mengenakannya. Hal mana dalam setiap pengaturan pungutan tersebut (atau biasa yang disebut dengan Retribusi) akan diatur dengan suatu peraturan atau biasa disebut dengan Peraturan Daerah (“Perda”).

Ketentuan tersebut berlaku sepanjang tempat usaha yang digunakan oleh pedagang tersebut disediakan oleh Pemerintah Daerah dan juga telah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah dimaksud.

Hal ini sebagaimana diatur dalam berbagai Perda di Indonesia, yang antara lain adalah sebagai berikut:
1.    Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima;
2.    Pemerintah Kota Pontianak Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar;
3.    Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
4.    Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima Musiman.

Oleh karenanya, dapat kami simpulkan bahwa mengenai pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk pengenaan suatu biaya atau pungutan yang dikenakan oleh pihak sekolah terhadap pedagang yang berada di luar lingkungan sekolah menjadi tidak tepat dan bukan merupakan kewenangan pihak sekolah;
2.      Setiap pedagang (dalam hal ini pedagang kaki lima) akan dikenakan retribusi sepanjang tempat usahanya telah memiliki izin dan disediakan oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal pedagang melakukan kegiatan usahanya bukan pada tempat/lokasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah, maka pedagang tersebut telah melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh pejabat/instansi yang berwenang.

Demikian kami sampaikan. Semoga bermanfaat.

Disclaimer:
Jawaban ini bukanlah suatu opini hukum yang berlaku mengikat. Setiap isi dan/atau hal-hal yang tertuang di atas sifatnya hanya sebagai informasi dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti atau dasar bagi setiap pihak untuk mengajukan suatu klaim, tuntutan, gugatan dan/atau upaya hukum lain terhadap pihak lain.


Dasar hukum:

3.      Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar;
4.      Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan;
5.      Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima;
6.      Pemerintah Kota Pontianak Peraturan Daerah Kota Pontianak Nomor 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Pelayanan Pasar;
7.      Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perpasaran Swasta Di Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
8.      Peraturan Daerah Kota Tarakan Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima dan Pedagang Kaki Lima Musiman.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 15 November 2010

Membuka Kantor Perusahaan Asing
Apa saja persyaratan membuka kantor perusahaan asing di Indonesia?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Kami asumsikan yang Anda maksudkan adalah kantor perwakilan perusahaan asing. Kantor Perwakilan Perusahaan Asing adalah kantor perwakilan yang didirikan oleh perusahaan asing atau beberapa perusahaan asing di luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasi di Indonesia dan/atau di negara lain dan/atau mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dan/atau di negara lain (lihat pasal 1 Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 22/SK/2001 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing). Jadi, kegiatan Kantor Perwakilan asing ini hanya semata-mata melakukan pengurusan atas kepentingan perusahaannya di luar negeri tanpa diperbolehkan melakukan kegiatan yang bersifat ekonomis
Permohonan mendapatkan izin untuk kantor perwakilan perusahaan asing (“KPPA”) dan perorangan warga negara asing yang bekerja untuk kantor tersebut, diajukan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). Pendiriannya tunduk pada Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“Perka BKPM No. 12/2009”). Pendaftaran diajukan pada BKPM dengan mengisi formulir Model KPPA sebagaimana diatur dalam Perka BKPM No. 12/2009 tersebut. Dokumen yang perlu dilampirkan adalah:
1.      Anggaran Dasar dari perusahaan asing yang akan diwakili
2.      Surat penunjukan dari perusahaan asing yang akan diwakili
3.      Fotokopi paspor (untuk WNA) atau KTP (untuk WNI) yang akan menjadi Representative Executive
4.      Surat pernyataan mengenai kesediaan untuk tinggal dan bekerja sebagai Representative Executive saja, tidak melakukan bisnis lainnya.
5.      Surat kuasa, jika permohonan bukan diajukan oleh manajemen perusahaan asing tersebut
Selain ke BKPM, ada juga perwakilan perusahaan perdagangan asing yang izinnya diajukan ke Departemen Perdagangan. Perwakilan perusahaan perdagangan asing yang izinnya diajukan ke Departemen Perdagangan adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di Indonesia dapat berbentuk Agen Penjualan (Selling Agent) dan/atau Agen Pabrik (Manufactures Agent) dan/atau Agen Pembelian (Buying Agent) (lihat pasal 2 Peraturan Menteri Perdagangan No.: 10/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing/”Permendag 10/2006”).
Perwakilan perusahaan perdagangan perusahaan asing dapat melakukan aktivitas-aktivitas berikut di Indonesia:

a)     melakukan kegiatan memperkenalkan, mempromosikan dan memajukan pemasaran barang-barang yang dihasilkan oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya, serta memberikan keterangan-keterangan atau petunjuk-petunjuk bagi penggunaan dan pengimporan barang kepada perusahaan/pemakai di dalam negeri;
b)     melakukan penelitian pasar dan pengawasan penjualan di dalam negeri dalam rangka pemasaran barang dari Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya;
c)     melakukan penelitian pasar atas barang-barang yang dibutuhkan oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya dan menghubungkan serta memberikan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk tentang syarat-syarat pengeksporan barang kepada perusahaan di dalam negeri;
d)     menutup kontrak untuk dan atas nama perusahaan yang menunjuknya dengan perusahaan di dalam negeri dalam rangka ekspor.

Izin untuk perwakilan perusahaan perdagangan asing disebut dengan Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (“SIUP3A”). SIUP3A diberikan kepada Penanggungjawab/Kepala Kantor Pusat/Kepala Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atas nama perusahaan (lihat pasal 8 Permendag 10/2006).

Menurut Permendag 10/2006, permohonan untuk memperoleh SIUP3A diajukan secara tertulis oleh Kepala Kantor Pusat atau Kantor Cabang Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing atau kuasa yang ditunjuk kepada Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran Perusahaan. Permohonan tersebut dibuat dan ditandatangani oleh pemohon di atas kertas bermeterai cukup. Dokumen yang perlu dlampirkan adalah:

a)     Surat Permohonan dari Kantor Pusat atau Kantor Cabang;
b)     Mengisi Daftar Isian Permohonan dengan benar diberi materai secukupnya;
c)     Asli Surat Persetujuan Sementara Penunjukan Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing;
d)     Surat Penunjukan (Letter of Appointment);
e)     Copy Izin Mempekerjakan Tenaga kerja Asing (IMTA) untuk Tenaga Kerja Asing (TKA);
f)       Surat Keterangan domisili dari Kelurahan setempat atau surat keterangan ruang kantor dari pengelola Gedung;
g)     Pas Photo ukuran 4 X 6 cm sebanyak 2 lembar (berwarna);
h)     Copy Bukti Pembayaran Uang Jaminan
1)   Untuk Kepala Perwakilan WNA Rp. 5.000.000,-;
2)   Untuk Kepala Perwakilan WNI Rp. 1.000.000,-.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.        Peraturan Menteri Perdagangan No.: 10/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing
2.        Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 22/SK/2001 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing
3.        Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 14 Desember 2005

pasar modal syariah

Apa landasan hukum positif bagi beroperasinya pasar modal syariah di Indonesia? Dan bagaimana fungsi dan kewenangan Dewan Syariah Nasional dalam pasar modal syariah di Indonesia?

Jawaban: Bung Pokrol

Dilihat dari keberadaan peraturan perundang-undangan, saat ini memang belum ada undang-undang khusus pasar modal syariah. RUU Perbankan Syariah juga masih digodok di DPR. Meskipun demikian, praktek investasi secara syariah sudah berjalan sejak pertengahan 1997 melalui instrumen pasar modal berbasis syariah yaitu reksa dana syariah dan obligasi syariah seperti yang dikeluarkan Indosat pada 2002.

Secara formal, peluncuran pasar modal dengan prinsip-prinsip syariah Islam dilakukan pada Maret 2003. Pada kesempatan itu ditandatangani Nota Kesepahaman antara Bapepam dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang dilanjutkan dengan Nota Kesepahaman antara DSN-MUI dengan SROs (Self Regulatory Organizations).

Sebelumnya, pada 3 Juli 2000, BEJ mengeluarkan daftar perusahaan yang tercantum dalam bursa yang sesuai dengan syariah Islam atau saham-saham yang tercatat di Jakarta Islamic Index (JII), dimana saham-saham yang tercantum di dalam indeks ini sudah ditentukan oleh Dewan Syariah. Untuk bisa masuk dalam JII antara lain perusahaan tidak boleh bergerak di bidang tembakau, alkohol, perjudian, pelacuran, pornografi, makanan dan minuman yang diharamkan, lembaga keuangan ribawi dan lain-lain.

Meskipun sampai saat ini peraturan yang bisa mengakomodasi penerapan prinsip syariah di pasar modal Indonesia belum ada, namun pada prinsipnya struktur pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional. Beberapa hal yang sama antara lain konsep penerbitan obligasi, reksadana, dan lainnya, selama mengikuti prinsip-prinsip syariah.

Perbedaannya adalah khusus masalah syariah misalnya tentang kegiatan usaha perusahaan karena syariah menghendaki kegiatan ekonomi yang halal, baik produk yang menjadi objek, cara perolehannya, maupun cara penggunaannya.

Sebenarnya, banyak prinsip-prinsip syariah terkandung dalam peraturan perundangan yang sudah ada. Misalnya, prinsip ridho sama ridho yang ada dalam syariah juga terkandung dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian.

Untuk pelaksanaan investasi secara syariah, secara khusus DSN-MUI telah menetapkan dalam fatwanya tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah dan jenis emiten yang sahamnya tidak diperkenankan sebagai portofolio pada reksa dana syariah. Sampai dengan saat ini, Bapepam telah memberikan pernyataan efektif kepada 13 reksa dana syariah. Namun demikian, dari 13 reksa dana ini 2 diantaranya telah bubar.

Dewan Syariah Nasional (DSN) atau Al-Hai`ah as-Syar`iyah al-Wathaniyah alias National Sharia Board adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Lembaga betugas untuk menggali, mengkaji dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (syari`ah) untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga-lembaga keuangan syari`ah serta mengawasi pelaksanaan dan implementasinya.

Anggota lembaga ini adalah para ahli hukum Islam serta praktisi ekonomi terutama sektor keuangan , baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dalam pelaksanaannya, lembaga ini dibantu dengan Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN) yang melakukan penelitian, penggalian dan pengkajian.

Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. Rancangan fatwa ini selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk dibahas. Kemudian diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi fatwa ini terutama dari aspek redaksional, ditangani oleh tim penyusun dari BPH-DSN.

Demikianlah semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 28 Agustus 2009

Pembuktian transaksi elektronik

Saya pengguna kartu kredit di Bank X. Saya melakukan pembayaran kartu kredit melalui ATM dan transaksi saya sukses dengan bukti receipt paper. Nah, di hari selanjutnya ada konfirmasi dari bank bahwa saya belum melakukan pembayaran kartu kredit tersebut berdasarkan data transaksi nasabah. Dalam hal ini saya dirugikan. Yang ingin saya tanyakan bagaimanakah untuk membuktikan hal tersebut? Apakah dengan receipt paper tersebut saya dapat mengguankannya sebagtai alat bukti? Apakah perlindungan hukum yang diberikan UU Perbankan dalam hal penggunaan jasa layanan perbankan?

Jawaban:  Aisyah Rj Siregar

Pembayaran tagihan kartu kredit atau transaksi lainnya melalui mesin Anjungan Tunai Mandiri atau automated teller machine (ATM) sudah menjadi kelaziman dewasa ini. Sebelum memutuskan untuk melakukan transaksi pembayaran atau transfer uang melalui ATM, sedikitnya ada tiga hal yang perlu kita perhatikan yaitu;
  1. Pastikan ATM dapat atau akan mencetak bukti transaksi yang akan dilakukan,
  2. Pastikan informasi mengenai jumlah uang, nomor dan pemilik rekening tujuan sudah benar, dan
  3. Pastikan informasi yang dicetak oleh mesin ATM di akhir transaksi sesuai dengan transaksi yang sebelumnya dilakukan.
Selanjutnya, kami akan memulai penjelasan dari sisi perlindungan hukum terhadap nasabah sebagai konsumen bank. Perlu diketahui bahwa hak-hak Saudara selaku nasabah bank dilindungi oleh UU Perlindungan Konsumen maupun peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. Setiap konsumen dilindungi hak-haknya dan perlindungan tersebut harus berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, keselamatan konsumen, serta kepastian hukum (pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen).

Untuk permasalahan yang Saudara hadapi, maka bank wajib untuk menyelesaikan pengaduan Saudara sebagai nasabah. Demikian sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 jo. pasal 6 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah:

Pasal 2 ayat (1) PBI No. 7/7/PBI/2005:
Bank wajib menyelesaikan setiap Pengaduan yang diajukan Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah.

Pasal 6 ayat (1) PBI No. 7/7/PBI/2005:
Bank wajib menerima setiap Pengaduan yang diajukan oleh Nasabah dan atau Perwakilan Nasabah yang terkait dengan Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh Nasabah.

Adapun, kertas atau struk bukti transaksi yang dicetak oleh mesin ATM merupakan alat bukti hukum yang sah berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE). Pasal 5 ayat (1) UU ITE selengkapnya berbunyi, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Di dalam struk bukti transaksi yang dicetak mesin ATM terdapat informasi elektronik tentang jumlah uang, rekening tujuan transaksi serta waktu transaksi.

Saudara dapat menyampaikan struk atau hasil cetak transaksi ATM tersebut kepada pihak bank sebagai bukti bahwa Saudara telah melakukan pembayaran sejumlah uang pada hari dan jam tertentu kepada pihak bank.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga penjelasan kami bermanfaat.

Peraturan perundang-undangan terkait:

  1. UU No.  8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
  2. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  3. PBI No. 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 02 Pebruari 2010

Pasar Bebas dan Mobilitas Jasa Hukum

Undang-Undang Advokat yang ada merupakan tameng untuk membatasi gerak firma-firma hukum asing dalam pengadaan jasa hukum di Indonesia. Mengapa keran untuk firma asing tidak dibuka saja, sehingga dapat dilihat firma domestik mana saja yang dapat bertahan dalam efisiensi kerja mereka? Menurut saya hal ini dapat memacu advokat-advokat untuk berpikiran ke depan (bagaimana menyesuaikan peranan jasa hukum dalam era pasar bebas), daripada masih bingung sendiri di kotak nol (penataan lembaga advokat Indonesia).

Jawaban:  Amrie Hakim

Pasal 23 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyebutkan bahwa advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia. Sementara pasal 23 ayat (2) menyebutkan, kantor advokat dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum asing atas izin pemerintah dengan rekomendasi organisasi advokat.

Meski UU Advokat secara tegas melarang advokat asing berpraktek di Indonesia, kecuali sebagai ahli dalam bidang hukum asing (pasal 23 ayat [2] UU Advokat). Tapi, ketentuan ini tidak bertentangan dengan aturan-aturan dan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO maupun Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947 atau GATTS. Selain itu ketentuan UU Advokat juga telah sesuai dengan pedoman International Bar Association (IBA).
Menurut salah satu anggota Tim Ahli dalam penyusunan UU Advokat Frans Hendra Winarta, bunyi Pasal 23 UU Advokat itu dibuat dengan mengacu pada ketentuan yang ada dalam International Bar Association (IBA) mengenai konsultan hukum asing. Karena itu, menurut Frans, pembatasan mengenai advokat asing yang diatur dalam UU Advokat jelas tidak bertentangan dengan WTO dan GATTS.  Walaupun, WTO dan GATTS melarang proteksi terhadap barang dan jasa.
Untuk menghadapi WTO dan GATTS, pada 4 April 1996 IBA mengeluarkan proposal "Pedoman IBA untuk konsultan hukum asing/foreign legal consultant". Dalam pedoman itu dijabarkan mengenai prinsip dasar, definisi, izin, lingkup praktek, hak dan kewajiban, aturan tentang disiplin, masa berlakunya izin, dan lain-lain.
Dalam pedoman itu disebutkan bahwa konsultan hukum asing dapat memperoleh izin sebagai individu, anggota, seorang anggota atau asosiasi di suatu firma hukum di negara setempat atau sebagai karyawan di biro hukum suatu perusahan berdasarkan aturan tentang jasa hukum di negara tersebut.
Disebutkan pula, konsultan hukum asing tidak boleh berpraktek sebagai pembela di pengadilan atau sidang hukum lainnya dalam yurisdiksi negara yang dikunjungi. Mereka juga tidak boleh memberikan jasa mengenai hukum lokal negara tersebut. Mereka hanya dapat memberikan jasa hukum sepanjang mengenai hukum internasional atau hukum negara asing.
Karena itu, menurut Frans, negara-negara anggota WTO pun  pun memberikan proteksi terhadap jasa hukum di negaranya sesuai dengan pedoman IBA. Walaupun, ada pula negara-negara yang tidak memberikan proteksi terhadap pengacara asing, misalnya Singapura.
Singapura memperbolehkan advokat asing memberikan konsultasi hukum yang berkaitan dengan hukum Singapura. Bahkan, kantor hukum asing diperkenankan untuk mendirikan law firm di sana dengan bekerja sama dengan kantor hukum lokal yang berbentuk joint law venture. Advokat asing di Singapura juga dapat berpraktek di pengadilan, setelah mendapat izin dari attonerney general. Demikian pandangan dari Frans Hendra Winarta.

Uraian selengkapnya dapat Anda simak di artikel “UU Advokat Tidak Bertentangan dengan WTO” serta artikel-artikel hukumonline.com lainnya mengenai advokat asing dan pemberlakuan AFTA di Indonesia.
Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Sabtu, 23 Juni 2012

Pencantuman Mata Uang Asing dalam Brosur Penjualan

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2001 tentang Mata Uang, bolehkah jika brosur penjualan menggunakan mata uang SGD? Terima kasih.  

Jawaban: Ilman Hadi
Perlu kami luruskan sebelumnya bahwa UU No.7 Tahun 2001 yang Saudara maksud bukan mengatur tentang mata uang, tetapi mengatur tentang Pembentukan Kota Lubuk Linggau. Mungkin yang Saudara maksud adalah UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU 7/2011”). Penggunaan Rupiah diatur dalam Pasal 21 ayat (1)UU 7/2011: 
Rupiah wajib digunakan dalam:
a.    setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b.    penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau
c.    transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Sosialisasi UU Mata Uang dijelaskan bahwa penggunaan Rupiah dalam Pasal 21 tersebut di atas hanya terbatas pada transaksi uang secara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Untuk pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya, dan transaksi keuangan di dalam pasal ini terbatas pada penggunaan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam saja, tidak meliputi pembayaran dengan uang giral (antara lain seperti cek, Letter of Credit, dan uang modern lainnya).

Selain itu dalam UU 7/2011 diatur juga mengenai larangan terutama Pasal 23 ayat (1) UU 7/2011 menyangkut penggunaan Rupiah:

Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

Merujuk pada Pasal 21 dan Pasal 23 UU 7/2011, sebenarnya tidak ada larangan untuk mencantumkan harga dalam mata uang asing seperti SGD (Singapore Dollar) atau keharusan/kewajiban mencantumkan harga dalam Rupiah dalam brosur penjualan. Yang dilarang adalah penolakan pembayaran dalam mata uang Rupiah ketika terjadi transaksi di wilayah RI.

Karena brosur penjualan umumnya hanya ditujukan untuk pemberian informasi mengenai keterangan produk yang dijual oleh pelaku usaha tertentu. Sehingga, belum dapat dikatakan terjadi transaksi ketika brosur penjualan disebarkan.

Yang patut diperhatikan adalah ketika transaksi (jual beli) benar-benar terjadi, maka sesuai ketentuan-ketentuan tersebut di atas pembayarannya harus menggunakan Rupiah. Kecuali pembayaran dilakukan dengan menggunakan uang giral.

Jadi, pencantuman harga dalam mata uang SGD dalam brosur penjualan tidaklah dilarang oleh UU 7/2011.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer