Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline


Jumat, 11 Agustus 2006

Pencucian uang

Dalam UU No.25/2003 tentang TPPU disebutkan bahwa yg dimaksud dgn pencucian uang adalah perbuatan...dst... yang diketahuinya dan patut diduga merupakan hasil tindak pidana.. dst. Yang kami tanyakan adalah apakah dalam pengenaan UU TTPU ini seseorang sudah harus terlebih dahulu dinyatakan bersalah (berkekuatan hukum tetap) dalam hal melakukan tindak pidana utamanya ataukah sebaliknya.. terima kasih

Jawaban:  Bung Pokrol

Salah satu tujuan disusunnya Undang-undang No.25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) adalah untuk mencegah dan memberantas perbuatan pencucian uang.

Peran penyedia jasa keuangan sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Apabila  terjadi atau diduga adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, pihak penyedia jasa keuangan (seperti perbankan, asuransi atau lembaga keuangan lainnya) berkewajiban untuk  melaporkan kepada PPATK. Pihak penyedia jasa keuangan dalam membantu upaya pencegahan terjadinya tindak pencucian uang ini berpedoman kepada Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang bagi Penyedia Jasa Keuangan yang dikeluarkan oleh PPATK yaitu Keputusan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan No: 2/1/Kep.PPATK/2003.

Setelah dilakukan pemeriksaan oleh PPATK, maka badan ini akan melaporkan hasil analisis yang berindikasikan tindak pidana kepada pihak kepolisian atau kejaksaan bila memang ada dugaan terjadinya tindak pidana. Setelah itu barulah pihak kepolisian atau kejaksaan memulai melakukan penyidikannya atas kasus tersebut.

Bila yang anda maksudkan sebagai pengenaan suatu kasus dengan menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam undang-undang tersebut, maka jawabannya adalah tidak harus orang dinyatakan bersalah dengan berkekuatan hukum yang tetap dalam melakukan tindak pidananya, untuk menerapkan ketentuan yang ada dalam undang-undang ini. Tindak pidana dalam pencucian uang dalam UU TPPU sangat terkait dengan  tindak pidana jenis lainnya, sebagaimana dijabarkan dalam pasal 2 UU TPPU. Untuk memulai suatu penyelidikan atas dugaan adanya tindak pidana pencucian uang bukan saja harus menunggu ada tidaknya tindak pidana yang terkait. Cukup dengan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, pihak penyedia jasa keuangan sudah harus melaporkan transaksi tersebut kepada PPATK.

Selain itu, setiap lembaga pengawas masing-masing pengelola jasa keuangan mengeluarkan suatu ketentuan yang dikenal sebagai Ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles). Ini merupakan suatu instrumen pencegahan pencucian uang yang dilakukan melalui pengelola jasa keuangan. Ketentuan-ketentuan dalam Know Your Customer Principles meliputi kebijakan dan prosedur yang dilakukan terhadap nasabah, baik dalam hal penerimaan, pengidentifikasian, pemantauan terhadap transaksi, maupun dalam manajemen risiko.

Dalam situs kita ini telah cukup banyak berita yang ditulis untuk membahas persoalan pencucian uang ini, mungkin bisa anda lihat sebagai referensi anda. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 21 Juni 2010

Pendirian Perusahaan Jasa Konstruksi

Selamat sore. Apakah dapat dijelaskan mengenai proses pendirian perusahaan jasa konstruksi dan pengajuan ijin usahanya, beserta dengan syarat-syarat dan dasar hukumnya? Terima Kasih.


Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU Jasa Konstruksi), penyedia jasa konstruksi adalah orang perseorangan atau badan, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 jo. angka 4 UU Jasa Konstruksi, dijelaskan bahwa badan adalah:
1.      Badan usaha, yang dapat berbentuk badan hukum, antara lain, Perseroan Terbatas (PT), dan Koperasi; atau bukan badan hukum, antara lain: CV dan Firma.

2.      Bukan badan usaha, baik Indonesia maupun asing, antara lain instansi dan lembaga-lembaga Pemerintah.
Dengan demikian, proses pendirian perusahaan jasa konstruksi pertama-tama harus mendirikan badannya terlebih dahulu. Pendiriannya bergantung pada bentuk badan hukum yang hendak Anda pilih:
1.      Prosedur pendirian CV dapat anda lihat di sini;
2.      Prosedur pendirian Firma dapat dilihat di sini;
3.      Prosedur pendirian PT dapat dilihat di sini:
Selanjutnya, apabila badan usaha tersebut ingin bergerak di bidang jasa konstruksi, maka badan usaha tersebut wajib menjalani proses sertifikasi sesuai klasifikasi dan kualifikasi usahanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 PP No. 4 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP No. 28 Tahun 2008 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi (PP No. 4 Tahun 2010).

Sertifikasi ini dilakukan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK), atau oleh asosiasi yang telah mendapat akreditasi dari LPJK Nasional (Pasal 6 Peraturan LPJK No. 11 Tahun 2006 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi). Dalam proses sertifikasi ini dilakukan klasifikasi dan kualifikasi keahlian badan usaha tersebut, yang kemudian dituangkan dalam Sertifikat Badan Usaha (SBU).

Setelah mendapatkan SBU, perusahaan selanjutnya wajib melakukan proses registrasi kepada LPJK. Hal ini diatur dalam Pasal 12 PP No. 28 Tahun 2000 jo. Pasal 3 Peraturan LPJK No. 11 Tahun 2006.

Selain sertifikasi dan registrasi di atas, perusahaan juga perlu mendapatkan Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK). IUJK ini diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota tempat badan usaha tersebut berdomisili (Bab II Pasal 1 Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional). Syarat-syarat untuk mendapatkan IUJK ini adalah:

1.      Mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dengan mengisi formulir yang telah disediakan.
2.      Surat permohonan tersebut dilampirkan dengan fotokopi SBU yang telah diregistrasi oleh LPJK dan fotokopi tanda bukti pembayaran uang administrasi IUJK. Selain itu ada dokumen-dokumen perusahaan yang perlu dilampirkan juga, yang ditentukan oleh masing-masing daerah.

Untuk informasi lebih lanjut, anda dapat melihat bagan alur proses Registrasi Badan Usaha di bidang jasa konstruksi di sini.
Demikian yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
2.      Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
3.      Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2010 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
4.      Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No. 369/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Jasa Konstruksi Nasional
5.      Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi No. 11 Tahun 2006 tentang Registrasi Usaha Jasa Pelaksana Konstruksi
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Kamis, 24 Juni 2010

Pendirian PT PMA

Apa sajakah yang menjadi persyaratan pendirian PT PMA (untuk mendapatkan izin sementara dari BKPM)? Jika ada 3 calon pemegang saham asing, maka surat kuasa yang diberikan harus dari ketiga calon tersebut atau dapat diwakilkan?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

I.       Pengajuan Izin Sementara untuk pendirian Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT PMA) melalui BPKM dengan terlebih dahulu memperhatikan Perpres No. 36 Tahun 2010 untuk mengetahui apakah bidang usaha PT PMA tersebut terbuka untuk investasi asing, dan – jika terbuka -- berapa besar komposisi penanaman modal asing yang diperbolehkan.

II.     Untuk pendirian PT PMA, maka pertama Anda harus mengajukan aplikasi kepada BKPM untuk pendaftaran penanaman modal, yaitu dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dalam Lampiran I Perka BKPM No. 12 Tahun 2009, dan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:

1)     surat dari instansi pemerintah negara yang bersangkutan atau surat yang dikeluarkan oleh kedutaan besar/kantor perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia untuk pemohon adalah pemerintah negara lain;
2)     rekaman paspor yang masih berlaku untuk pemohon adalah perseorangan asing;
3)     rekaman Anggaran Dasar (Article of Association) dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah untuk pemohon adalah untuk badan usaha asing
4)     rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya beserta pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM untuk pemohon adalah badan usaha Indonesia;
5)     rekaman NPWP baik untuk pemohon adalah perseorangan Indonesia maupun badan usaha Indonesia;
6)     permohonan Pendaftaran ditandatangani di atas meterai cukup oleh seluruh pemohon (bila perusahaan belum berbadan hukum) atau oleh direksi perusahaan (bila perusahaan sudah berbadan hukum)
7)     Surat Kuasa asli bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh pemohon/direksi perusahaan;
8)     ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana dimaksud pada butir h diatur dalam Pasal 63 Peraturan ini.
III. Setelah izin pendaftaran penanaman modal dari BKPM dikeluarkan, selanjutnya Anda perlu mengajukan permohonan izin prinsip penanaman modal dari BKPM, yaitu izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal (Pasal 1 angka 15 Perka BKPM No. 12 Tahun 2009). Izin prinsip diajukan dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan oleh BKPM, dan melampirkan:
a)     bukti diri pemohon, yaitu:
(1) Pendaftaran bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran
(2) Rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya
(3) Rekaman Pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Menteri Hukum dan HAM
(4) Rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
b)     keterangan rencana kegiatan, berupa:
(1) Uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan0bahan dan dilengkapi dengan diagram alir (flowchart);
(2) uraian kegiatan usaha sektor jasa.
c)     rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan
IV.   Setelah izin prinsip keluar dan perusahaan telah siap melakukan kegiatan/berproduksi komersial, maka perusahaan tersebut wajib memperoleh izin usaha dari BKPM (Pasal 20 Perka BKPM No. 12 Tahun 2009). Izin usaha didapat dengan mengajukan permohonan pada BKPM, dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:

a)     Laporan Hasil Pemeriksaan proyek (LHP), untuk permohonan Izin Usaha atau Izin Usaha Perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) yang kegiatan usahanya memerlukan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan;
b)     Rekaman akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM;
c)     Rekaman Pendaftaran/Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan/Surat persetujuan Penanaman Modal/Izin Usaha dan/atau Surat Persetujuan Perluasan Penanaman Modal/Izin Usaha Perluasan yang dimiliki;
d)     Rekaman NPWP;
e)     Bukti penguasaan/penggunaan tanah atas nama:
(1) rekaman sertifikat Hak Atas Tanah atau akta jual beli tanah oleh PPAT, atau
(2) Rekaman perjanjian sewa-menyewa tanah.
f)       bukti penguasaan/penggunaan gedung/bangunan:
(1) rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau
(2) rekaman akta jual beli/perjanjian sewa menyewa gedung/bangunan
g)     rekaman izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri;
h)     Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman modal (LKPM) periode terakhir;
i)        Rekaman persetujuan/pengesahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan/pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);
j)       Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/atau peraturan daerah setempat;
Dalam hal pengurusan pendirian PT PMA tersebut diwakilkan, maka surat kuasa diperlukan. Hal ini sesuai dengan Pasal 63 ayat (1) Perka BKPM No. 12 Tahun 2009:

“Penandatanganan dan pengurusan permohonan penanaman modal ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM dapat dilakukan sendiri oleh pemohon atau pihak lain yang diberi kuasa oleh pemohon dengan surat kuasa asli bermaterai cukup yang dilengkapi identitas diri yang jelas dari penerima kuasa”
Pengertian surat kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata:
Pemberian kuasa adalah perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, untuk atas namanya melakukan suatu urusan

Karena ada tiga calon pendiri PT PMA, maka surat kuasa tersebut harus berasal dari ketiga calon pendiri PT PMA tersebut.
Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau KUHPerdata, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Undang Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
3.      Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
4.      Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal (Perpres No. 27 Tahun 2009);
5.      Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres DNI);
6.      Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (Perka BKPM No. 12 Tahun 2009)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 08 Agustus 2012

Pendirian Rumah Sakit Oleh Yayasan

Sebelumnya berdasarkan Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit ("UU No. 44/2009"), Rumah Sakit dapat didirikan oleh swasta, dan swasta yang mendirikan rumah sakit yang dimaksud harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Hal itu apakah membuat suatu ketentuan bahwa yayasan ini harus membuat "yayasan" baru? Lalu, setahu saya sekarang telah ada kemenkes No. 2264/menkes/sk/XI/2011 tentang pelaksanaan perizinan rumah sakit yang mengatakan “Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesenahatan Propinsi dapat melakukan proses pemberian rekomendasi untuk perpanjangan izin operasional bagi rumah sakit swasta yang berbadan hukum Yayasan dan/atau Perkumpulan sepanjang mencantumkan kegiatan penyelenggaraan perumahsakitan atau pelayanan kesehatan di dalam Anggaran Dasarnya.” Lalu apakah dengan demikian aturan yang ada di dalam pasal 7(4) ini menjadi tidak berlaku?  

Jawaban:  Ilman Hadi
1.    Memang benar dalam Pasal 7 ayat (2) jo. ayat (4) UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UURS”) bahwa pihak swasta dapat mendirikan rumah sakit asalkan berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.
Salah satu bentuk badan hukum yang dimaksud disini adalah yayasan. Sesuai Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 1 angka (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yayasan adalah badan hukum yang dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan (di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan).
Dengan kata lain, jika suatu yayasan sudah mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan di bidang perumahsakitan yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar, untuk mendirikan rumah sakit tidak perlu lagi membuat yayasan baru. Mengenai bidang usaha untuk yayasan, Saudara dapat membaca artikel Bidang Usaha yang Diperbolehkan Bagi Yayasan.
2.  Perizinan rumah sakit diatur dalam Permenkes No 147/MENKES/PER/I/2010 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit (“Permenkes 147/2010”). Setiap rumah sakit harus memiliki izin yang terdiri dari izin mendirikan rumah sakit dan izin operasional rumah sakit. Izin operasional rumah sakit dibagi lagi menjadi izin operasional sementara dan izin operasional tetap (Pasal 2 Permenkes 147/2010).
Selanjutnya permohonan izin mendirikan dan izin operasional rumah sakit diajukan berdasarkan klasifikasi rumah sakit (Pasal 3 Permenkes 147/2010):

Pasal 3
(1) Permohonan izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit diajukan menurut jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
(2) Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Provinsi.
(3) Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas B diberikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(4) Izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan kelas D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(5) Tata cara pemberian izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Mengenai ketentuan dalam Kepmenkes No. 2264/MENKES/SK/XI/2011 tentang Pelaksanaan Perizinan Rumah Sakit (“Kepmenkes 2264/2011”) pada poin kedua dikatakan:

“Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi dapat melakukan proses pemberian rekomendasi untuk perpanjangan izin operasional bagi rumah sakit swasta yang berbadan hukum yayasan dan/atau perkumpulan sepanjang mencantumkan kegiatan penyelenggaraan perumahsakitan atau pelayanan kesehatan di dalam Anggaran Dasarnya”

Dari ketentuan-ketentuan yang telah kami sebutkan di atas, Kepmenkes 2264/2011 hanyalah penegasan dari Pasal 3 Permenkes 147/2010dan tidak membuat ketentuan Pasal 7 ayat (4) UURS menjadi tidak berlaku. Keputusan Menteri Kesehatan dalam poin kedua Kepmenkes 2264/2011 justru menegaskan kembali ketentuan dalam UURS dan Permenkes 147/2010 terkait pelaksanaan perpanjangan izin operasional Rumah Sakit.

Jadi, Rumah Sakit dapat didirikan oleh yayasan yang memiliki maksud dan tujuan serta kegiatan di bidang perumahsakitan dengan memperoleh izin pendirian dan izin operasional. Maksud dan tujuan serta kegiatan rumah sakit yang didirikan oleh yayasan ini harus dicantumkan dalam Anggaran Dasar dan akan diperlukan untuk memperoleh rekomendasi perpanjangan izin operasional rumah sakit tersebut.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum :
3.    Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/MENKES/PER/I/2010 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit;
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 18 Pebruari 2011

Penerapan Metode Risk Based Capital pada Perusahaan Asuransi Jiwa

Saat ini dunia perasuransian di Indonesia sudah mulai menerapkan Metode Risk Based Capital.Yang saya ketahui, Metode ini digunaka untuk mengukur tingkat kesehatan Perusahaan Asuransi nantinya, dan penerapannya dilakukan secara bertahap.Yang ingin saya tanyakan,sebenarnya bagaimana sih penerapan Metode Risk Based Capital tersebut ditinjau dari segi hukum, mengingat substansi dari Metode ini(penghitungannya)yang sangat bersegi ekonomi sekali?Apa yang menjadi latar belakang dan tujuan pemerintah menerapkan Metode ini, serta apa manfaat yang diperoleh oleh Perusahaan Asuransi dan pemegang polis dengan deterpakannya ketentuan ini? Apakah ada perbedaan penerapan metode ini antara Perusahaan Asuransi Jiwa dengan Perusahaan Asuransi lainnya?.Benarkah penerapan Metode ini sedikit banyak mampu memberikan perlindungan hukum bagi pemegang polis, mengingat kesehatan keuangan perusahaan asuransi akan diawasi dengan sangat ketat? Demikian pertanyaan yang saya ajukan, atas jawabanya saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Penerapan metode Risk Based Capital memang tidak terlepas dari segi ekonomi. Secara hukum, metode Risk Based Capital ini dapat kita temui dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi (“Kepmenkeu 424/2003”). Dalam Pasal 2 Kepmenkeu 424/2003 diatur mengenai batasan tingkat solvabilitas:

(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi setiap saat wajib memenuhi tingkat solvabilitas paling sedikit 120 % (seratus dua puluh perseratus) dari risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
(2)     Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang tidak memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), namun memilki tingkat solvabilitas paling sedikit 100% (seratus perseratus), diberikan kesempatan melakukan penyesuaian dalam jangka waktu tertentu untuk memenuhi ketentiuan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Hal senada juga diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan No. 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi yang Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas.
Jadi, ditinjau dari segi hukum Pemerintah telah memberikan payung hukum untuk melindungi kepentingan nasabah perusahaan asuransi dengan menetapkan Risk Based Capital. Sehingga, diharapkan perusahaan asuransi memiliki kekuatan modal yang cukup dan menghindarkan resiko merugikan nasabahnya dalam hal terjadi masalah atau kerugian sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.

2.      Yang menjadi latar belakang dan tujuan pemerintah menerapkan metode ini adalah selain untuk melindungi kepentingan masyarakat sebagai nasabah asuransi juga dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional (lihat konsiderans menimbang dari Kepmenkeu 424/2003).

3.      Manfaat yang diperoleh oleh perusahaan asuransi dan nasabah asuransi sebagai pemegang polis dengan diterapkannya ketentuan ini adalah:
a.   manfaat bagi perusahaan asuransi:
·            kesehatan keuangan (solvabilitas) perusahaan asuransi dapat dibina dan diawasi dengan ketat sehingga tidak sampai mengalami kerugian;
·            kredibilitas perusahaan asuransi lebih terjaga.
b.   manfaat bagi nasabah asuransi:
(lihat jawaban poin 1 di atas)
4.      Tidak ada perbedaan dalam penerapan metode Risk Based Capital antara perusahaan asuransi jiwa dengan perusahaan asuransi lainnya berdasarkan ketentuan-ketentuan perasuransian yang telah kami sebutkan di atas. Yang dibedakan antar masing-masing perusahaan asuransi adalah cadangan teknis, pembatasan kekayaan, premi neto, jumlah deposito jaminan.
5.         Benar bahwa dengan diterapkannya metode ini maka ada perlindungan hukum bagi nasabah asuransi, mengingat tingkat kesehatan keuangan perusahaan asuransi akan diawasi dengan sangat ketat oleh Menteri Keuangan sehingga diharapkan nasabah asuransi tidak dirugikan.
Demikian jawaban dari kami, semoga menjawab hal-hal yang ditanyakan.
Dasar hukum:

1.         Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 158/PMK.010/2008 Tahun 2008
2.         Keputusan Menteri Keuangan No. 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi yang Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Kamis, 18 Agustus 2011

Penerapan UU Mata Uang dalam Transaksi Jasa Pelabuhan

Saya bekerja di pelabuhan Indonesia yang juga memberi pelayanan terhadap kapal-kapal asing. Terhadap pelayanan jasa yang diberikan kami kenakan tarif dengan nilai dolar (USD). Setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, apakah kami masih dapat mengenakan tarif USD terhadap kapal-kapal asing yang menggunakan jasa kami? Apabila kami masih dapat membuat kontrak dengan perusahaan pelayaran asing tersebut dengan nilai transaksi dalam USD?


Sejak berlakunya Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ("UU Mata Uang") pada 28 Juni 2011, berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, maka mata uang Rupiah wajib digunakan di Wilayah Republik Indonesia dalam:
a.      setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;
b.      penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan atau
c.      transaksi keuangan lainnya, yaitu antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari Nasabah kepada Bank.

Namun harus dipahami juga bahwa kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia tersebut dikecualikan oleh Pasal 21 ayat (2) UU Mata Uang, yaitu dalam hal:
a.      transaksi adalah transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
b.      penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c.      transaksi perdagangan internasional;
d.      simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
e.      transaksi pembiayaan internasional.

Mencermati syarat transaksi perdagangan internasional yang mengecualikan penggunaan mata uang Rupiah di Wilayah Republik Indonesia, tentu menjadi pertanyaan apa yang dimaksud dengan "perdagangan internasional"? Dalam hal ini, sangat disayangkan Penjelasan Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang hanya menyatakannya “cukup jelas”.

Mengenai arti dari "perdagangan internasional," Sumantoro di dalam “Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan RUU tentang Perdagangan Internasional” (Badan Pembinaan Hukum Nasional-Departemen Kehakiman RI, 1997/1998, hlm. 29) tegas mendefinisikannya sebagai "the exchange of goods and services between nations," sehingga jelas sudah bahwa perdagangan jasa (i.c. jasa-jasa pelabuhan yang diselenggarakan oleh Perusahaan Saudara) adalah suatu transaksi perdagangan internasional jika para pihaknya berbeda nasionalitasnya. Dan dalam hal ini pula, UU Mata Uang sama sekali tidak menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan "perdagangan internasional" adalah hanya perdagangan barang internasional (international trade on goods).

Merujuk pada tidak terdapatnya pembatasan oleh UU Mata Uang dan pendapat Sumantoro di atas, maka dengan demikian transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Pengusaha kapal berbendera asing (yang merupakan Perusahaan Asing) adalah merupakan perdagangan jasa yang bersifat internasional (dikualifikasikan sebagai suatu "perdagangan internasional"), sehingga pembayaran harga pembelian jasanya dapat diperjanjikan dan dilaksanakan dalam mata uang selain Rupiah, baik dalam mata uang Dolar Amerika Serikat (United States Dollar) ataupun mata uang asing lainnya yang sah, sesuai Pasal 21 ayat (2) Huruf c UU Mata Uang.

Namun, apabila transaksi yang dilakukan adalah transaksi jasa pada Pelabuhan di Indonesia antara Perusahaan Saudara dengan Pengusaha kapal berbendera Indonesia (yang merupakan Perusahaan Indonesia), maka perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya wajib menggunakan mata uang Rupiah sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Huruf a UU Mata Uang. Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan yang bertanggung jawab dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta (vide Pasal 33 ayat [1] UU Mata Uang), maupun, Perusahaan Saudara dan Perusahaan Indonesia bersangkutan dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp200 juta (vide Pasal 39 ayat [1] UU Mata Uang).

Berkaitan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU Mata Uang, apabila perjanjian pembayaran harga pembelian jasa dan pelaksanaannya telah atau kemudian disepakati menggunakan mata uang Rupiah (termasuk dengan Pengusaha kapal berbendera asing), maka Perusahaan Saudara wajib menerima pembayaran dalam mata uang Rupiah yang telah disepakati tersebut. Jika hal tersebut dilanggar, maka anggota-anggota Direksi dari Perusahaan Saudara yang bertanggung jawab juga dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta (vide Pasal 33 ayat [2] UU Mata Uang), maupun, perusahaan Saudara dapat dipidana pula dengan pidana denda maksimum sebesar Rp200 juta (vide Pasal 39 ayat [1] UU Mata Uang). Tapi, di dalam Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang diatur pengecualian terhadap kewajiban tersebut yaitu bahwa perusahaan Saudara berhak untuk menolak pembayaran dalam Rupiah dan tidak dapat dipidana berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang jika Perusahaan Saudara meragukan keaslian dari mata uang Rupiah tersebut.

Last but not least, dalam hal ini pula, tentu adalah baik dan berguna jika Perusahaan Saudara dapat menetapkan (atau menyepakatinya dengan para pengguna jasa) untuk digunakannya suatu perhitungan kurs tertentu (baku) bagi konversi antar-mata uang bagi keperluan pelaksanaan pembayaran dalam mata uang Rupiah (misalnya, Kurs Tengah BI yang ditetapkan Bank Indonesia, atau, Kurs Tengah Pajak yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan RI).

Demikian jawaban ini Saya sampaikan. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer