Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline


Rabu, 16 September 2009
Bank Garansi

PT. A sebagai perusahaan induk mengajukan permohonan kepada Bank untuk mendapatkan fasilitas Bank Garansi. Lalu dalam perjalanannya fasilitas Bank Garansi yang diterima oleh PT. A tersebut digunakan oleh PT. B selaku anak perusahaan untuk menjamin pihak penerima Bank Garansi. Berkaitan dengan hal tersebut, apakah Bank harus juga mengikat PT. B sebagai pihak yang menggunakan Bank Garansi. Atau semua menjadi tanggung jawab PT.A apabila penerima Bank Garansi mengajukan klaim kepada Bank? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Jawaban:  Bung Pokrol

Bank Garansi tidak dapat mengikat PT B sebagai pihak yang menggunakan Bank Garansi. Hal ini karena induk perusahaan dan anak perusahaan masing-masing merupakan badan hukum yang mandiri, dengan tanggung jawab yang terbatas pada tindakan hukum masing-masing. Oleh karena itu, perusahaan yang satu tidak dapat mengajukan pertanggungjawaban terhadap perusahaan lainnya. Begitu juga dalam hal penggunaan fasilitas bank garansi, di mana yang mengajukan permohonan adalah induk perusahaannya yaitu PT A dan status PT A adalah sebagai pihak yang dijamin dalam perjanjian bank garansi.

Perlu kita ingat, perjanjian bank garansi merupakan suatu perjanjian tertulis yang isinya bank menyetujui untuk mengikatkan diri kepada penerima jaminan guna memenuhi kewajiban terjamin dalam suatu jangka waktu tertentu dan dengan syaratsyarat tertentu berupa pembayaran sejumlah uang tertentu apabila terjamin di kemudian hari ternyata tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi kepada penerima jaminan. Demikian ketentuan pasal 1 butir 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No. 11/110/Kep/Dir/UUPB tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank. Dengan demikian, pada saat PT A mengajukan permohonan fasilitas Bank Garansi, maka para pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, yakni :
  1. Pihak Penjamin, yaitu pihak Bank yang memberikan jaminan
  2. Pihak Terjamin, yaitu pihak yang dijamin atau pihak yang mengajukan permohonan (PT A)
  3. Pihak Penerima Jaminan, yaitu pihak yang menerima jaminan (Pihak yang akan melakukan kerja sama dengan PT A).

Ketentuan umum mengenai Bank Garansi diatur dalam KUHPerdata yang biasa disebut dengan bortogh (jaminan orang). Berdasarkan ketentuan pasal 1824 KUHPerdata dinyatakan bahwa penanggungan atau jaminan harus ditentukan secara tegas. Dengan demikian, pada saat melakukan perjanjian Bank Garansi telah ditentukan para pihak yang akan memperoleh fasilitas penjaminan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa antara induk perusahaan dengan anak perusahaan merupakan suatu badan hukum yang mandiri. Meskipun saham dalam anak perusahaan sebagian dimiliki oleh Induk perusahaan. Oleh karena itu, apabila PT B akan menggunakan fasilitas Bank Garansi terlebih dahulu harus mengajukan permohonan kepada pihak Bank.

Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.


Peraturan perundang-undangan terkait:

  1. KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
  2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No. 11/110/Kep/Dir/UUPB tentang Pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 01 Maret 2004
Bank Syariah
Saya ingin mengetahui dengan jelas mengenai bank syariah. Apa yang menjadikannya berbeda dengan bank umum.Dan bagaimana mengenai peraturan khusus mengenai bank syariah ini.Terus terang saya adalah orang awam tentang hukum.Terima kasih.

Jawaban:  Bung Pokrol

Untuk mengetahui secara jelas mengenai bank syariah tentu tidak akan cukup hanya melalui forum ini. Saya akan mencoba menjelaskan secara umum ketentuan mengenai Bank Syariah.

Untuk pertanyaan anda yang pertama mengenai apa yang menjadikan bank syariah berbeda dengan bank umum, adalah dengan diterapkannya prinsip-prinsip syariah Islam dalam pengelolaan bank syariah. Sejak jaman Rasulallah SAW, sebenarnya fungsi perbankan telah dikenal dan dipraktekkan. Seperti fungsi penitipan harta, peminjaman uang untuk konsumsi ataupun produksi, serta pengiriman uang.

Sebagai salah satu contoh adalah pada saat Rasulallah SAW akan hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali ra untuk mengembalikan seluruh harta-harta yang dititipkan oleh penduduk Makkah kepada Rasulallah SAW. Rasulallah SAW, yang pada saat itu dikenal dengan julukan Al-Amin, banyak dipercaya untuk menerima simpanan harta dari penduduk Makkah.

Kaidah dasar dalam hal muamalah, adalah diperbolehkannya segala sesuatu, kecuali yang secara jelas telah dilarang baik dalam Al-Qur'an ataupun Hadist Rasulallah SAW. Begitupun dalam hal perbankan.

Di Indonesia sendiri perkembangan bank syariah dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992. Sedangkan perangkat hukumnya sendiri pada mulanya mengacu kepada UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, dan kemudian diganti dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Secara umum, saya akan jelaskan mengenai produk-produk dari perbankan syariah. Produk Perbankan syariah, dapat dibagi menjadi :

1. Penyaluran dana
   a.      Ba'I (jual beli)
            i.          Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli, dimana bank mendapat sejumlah keuntungan. Dalam hal ini, bank menjadi penjual dan nasabah menjadi pembeli.
            ii.         Salam
Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada, sehingga barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh. Dalam transaksi ini, bank menjadi pembeli dan nasabah menjadi penjual.
            iii.        Istishna
Alur trankasksi Istishna mirip dengan Salam, hanya saja dalam Istishna, Bank dapat membayar harga pembelian dalam beberapa kali termin pembayaran.

    b.     Ijarah (sewa)
Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli, hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antra Bank dan nasabah yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan)
           
     c.    Syirkah
            i.          Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Dalam kerjasama ini para pihak secara bersama-sama memadukan sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal proyek kerjasama, dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.
            ii.         Mudarabah
Mudarabah adalah salah satu bentuk spesifik dari Musyarakah. Dalam Mudarabah, salah satu pihak berfungsi sebagai Shahibul Mal (pemilik modal) dan pihak yang lain berperan sebagai Mudharib (pengelola).
           
      d.   Akad Pelengkap
            i.          Hiwalah
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya atas jasa.
            ii.         Rahn
Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal dengan Gadai. Tujuan akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
            iii.        Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya dalam hal seorang calon haji membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada nasabah calon haji tersebut dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan Hajinya.
            iv.        Wakalah
Wakalah dalam praktek Perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
            v.         Kafalah
Kafalah dalam bahasa umum lebih dikenal dengan istilah Bank Garansi, yang ditujukan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi'ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan

2. Penghimpun dana
    a.     Wadi'ah
Prinsip Wadi'ah yang diterapkan dalam Perbankan syariah adalah Wadiah Yad Dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam konsep Wadi'ah Yad Dhamanah, Bank dapat mempergunakan dana yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari dana yang dititipkan.

     b.    Mudharabah
            i.          Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal.
            ii.         Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet adalah Aqad Mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal untuk investsi-investasi tertentu.
            iii.        Mudarabah of Balance Sheet
Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank bertindak sebagai arranger, yang mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan menjadi mudharib.

      c.   Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan syariah  dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.

3. Jasa Perbankan
    a.     Sharf (jual beli valuta asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip Sharf, sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

b.   Ijarah (Sewa)
Jenis kegiatan Ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

Bentuk-bentuk yang saya jelaskan diatas adalah bentuk-bentuk umum dari produk-produk Perbankan syariah. Untuk diketahui produk setiap bank syariah belum tentu sama, dan untuk lebih jelas, dapat menghubungi Bank-Bank Syariah yang telah banyak beroperasi di Indonesia.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 30 Maret 2012

Bentuk Badan Usaha untuk Industri Pangan Olahan
Saya mau buka pabrik kecil produksi minuman. Karena modalnya sangat terbatas (+ Rp60 juta), apa bentuk usaha yang paling cocok? UD/PD, Firma, PT atau CV? Apa perlu izin dari Depkes RI? Apakah bentuk usaha UD/PD cocok untuk pabrik?  

Jawaban:


1. Bentuk dan modal badan usaha

Untuk pendirian Badan Usaha dalam bentuk UD/PD (Usaha Dagang/Perusahaan Dagang), Firma atau CV tidak diatur mengenai minimum modal yang diharuskan. Namun, untuk pendirian Perseroan Terbatas disyaratkan untuk memiliki minimum modal dasar sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Adapun Klasifikasi dari badan usaha kami uraikan sebagai berikut:

A.     Badan Usaha berbentuk Badan Hukum

Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya.

Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum, dalam hal ini Perseroan Terbatas (“PT”)
-   Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU No. 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam PT;
-   Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya;
-   Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha berbentuk PT.

B.      Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum

Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan Badan usaha dengan kekayaan pemiliknya.

Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari :
(1)     Persekutuan Perdata
§      Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
§      Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata.

(2)     Firma
§      Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama;
§      Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.

(3)     Persekutuan Komanditer (CV)
§      Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer.
§      Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV. 

Apabila PD/UD akan "diubah" dengan badan usaha lainnya, maka PD/UD tersebut harus dibubarkan serta izin yang dimiliki oleh PD/UD tersebut akan dicabut. Hal ini dikarenakan pemberian izin melekat pada subjek penerima izin tersebut baik perorangan maupun badan hukum/tidak berbadan hukum. Selanjutnya, dapat mendirikan badan usaha yang dinilai sesuai dengan karakteristik dan visi dan misi yang diinginkan.

2. Izin Depkes untuk produksi minuman

Karena pertanyaan dalam produksi minuman tidak spesifik jenisnya, maka kami mengasumsikan minuman ke dalam pangan olahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. hk.03.1.5.12.11.09955/2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan (“Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011”). Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 menjelaskan bahwa:

“Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, termasuk Pangan Olahan Tertentu, Bahan Tambahan Pangan, Pangan Produk Rekayasa Genetika, dan Pangan Iradiasi.”

Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 mewajibkan setiap pangan olahan untuk mendaftarkan pangan olahannya:

“Setiap Pangan Olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki Surat Persetujuan Pendaftaran.”

Pengecualian terhadap Industri Rumah Tangga terhadap wajib memiliki Surat Persetujuan Pendaftaran yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 berikut ini:

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)  Pangan Olahan yang:
a.      diproduksi oleh industri rumah tangga;
b.      mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar;
c.      dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan:
1.      sampel dalam rangka permohonan pendaftaran;
2.      penelitian;
3.      konsumsi sendiri; dan/atau
d.      d. digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual secara langsung kepada konsumen akhir.
(2) Jumlah kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah jumlah yang dibutuhkan hanya untuk keperluan terkait sesuai dengan hasil kajian kelayakan atas permohonan keperluan impotir pada saat pengajuan surat rekomendasi impor.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang jenis Pangan Olahan yang dapat diproduksi oleh industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Kepala Badan.

Terhadap pengecualian sebagaimana diatur pada Pasal 3 di atas, Industri Rumah Tangga wajib memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 di bawah ini:

“Industri rumah tangga Pangan yang memproduksi Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib memiliki sertifikat produksi Pangan industri rumah tangga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Para produsen minuman selain diharuskan untuk mendaftarkan produksi minumannya juga harus memenuhi persyaratan untuk memberikan label pada produksinya sebagaimana dicantumkan pada Pasal 6 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011:

(1)      Pangan Olahan yang akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan, mutu, dan gizi.
(2)      Kriteria keamanan, mutu, dan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.      parameter keamanan, yaitu batas maksimum cemaran mikroba, cemaran fisik, dan cemaran kimia;
b.      parameter mutu, yaitu pemenuhan persyaratan mutu sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku serta cara produksi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau cara distribusi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia; dan
c.      parameter gizi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
(3)      Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), juga harus memenuhi persyaratan label.

Untuk persyaratan mengenai label lebih diatur kembali di dalam PP No. 69/1999. Dalam label hasil produksi menurut Pasal 3 ayat (2) PP No. 69/1999 sekurang-kurangnya harus mencantumkan:
a.      Nama produk;
b.      Dafrtar bahan yang digunakan;
c.      Berat bersih atau isi bersih;
d.      Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia; dan
e.      Tanggal, bulan, dam tahun kadaluarsa.

Jadi, produsen minuman dalam hal ini yang kami artikan ke dalam pangan olahan, harus mendaftarkan kepada BPOM untuk memproduksi pangan olahannya, kecuali Industri Rumah Tangga yang hanya memerlukan sertifikat pendaftarannya saja sebagaimana dijelaskan di atas.

3. Bentuk usaha UD/PD untuk pabrik

Menurut UU No. 5 Tahun 1984. Industri adalah kegiatan ekonomi mengolah bahan mentah, barang baku, barang setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri

Kemudian, Pasal 2 PP No. 13 Tahun 1995 menyatakan bahwa:
1.      setiap pendirian Persuahaan industri wajib memperoleh Izin Usaha Industri.
2.      Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk perorangan, perusahaan persekutuan, atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.

Namun, Pasal 3 PP No. 13/1995 mengecualikan terhadap beberapa jenis industri tertentu dari kewajiban untuk memperoleh Izin Usaha Industri (“IUI”). Beberapa Jenis Industri  tertentu cukup diberikan Tanda Daftar Industri (“TDI”) yang diberlakukan sebagai Izin.

Ketentuan di atas ditegaskan kembali dalam Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 yang menyatakan setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki IUI, kecuali bagi Industri Kecil. Pengertian Perusahaan Industri pada Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang dapat berbentuk perorangan, badan usaha, badan hukum yang berkedudukan di Indonesia.

Jenis industri tertentu menurut Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 yang cukup diberikan TDI adalah Industri Kecil dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sebagai berikut:
a.      Sampai dengan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tidak wajib memiliki TDI, kecuali perusahaan yang bersangkutan menghendaki TDI;
b.      Di atas Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki TDI.

Adapun jenis Industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki IUI.

Industri kecil yang wajib memiliki TDI sebagaimana dimaksud di atas, meliputi jenis industri yang tercantum dalam huruf D Lampiran Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005 dan atau perubahannya, adapun beberapa di antara jenis industri dalam huruf D Lampiran Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005 adalah:

Direktorat Industri Pangan menangani:
·         Industri Pengolahan dan Pengawetan daging
·         Industri Pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
·         Industri Pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya
·         Industri Susu
·         Industri Makanan dan Susu
·         Industri Gula
·         Industri Makaroni, Mie, Spagheti Bihun, So’un dan sejenisnya
·         Industri Rokok Kretek
·         Industri Minuman Ringan
·         Dan lain-lain yang tercantum dalam lampiran Huruf D Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005.

Pilihan mengenai badan usaha bergantung pada kebutuhan dan keinginan pengusaha dengan mempertimbangkan karakter jenis badan usaha. Pada prinsipnya, pabrik dapat berbentuk UD/PD sepanjang memiliki izin menjalankan usahanya yaitu berupa IUI ataupun TDI. Untuk mendirikan Perusahaan Industri tidak mewajibkan sebuah usaha industri harus berbentuk badan usaha tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas Perusahaan Industri dapat berbentuk perorangan, badan usaha dan/atau badan hukum.

Dasar hukum:
5.      Peraturan Menteri Perindustrian No. 07/MIND/PER/5/2005 tentang Penetapan Jenis-Jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jenderal di Lingkungan Departemen Perindustrian; dan
6.      Peraturan Menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri (“Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008”).
7.      Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan

 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 16 Juli 2012

Bidang Usaha yang Diperbolehkan Bagi Yayasan

Apakah sebuah yayasan boleh mendirikan kegiatan usaha? Kalau boleh, jenis kegiatan usaha apa saja yang diperbolehkan?  

Jawaban:   Ilman Hadi

Sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”), suatu Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai wadah usaha dan Yayasan tidak dapat melakukan kegiatan usaha secara langsung tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya (penjelasan Pasal 3 ayat [1] UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan).

Dengan kata lain, ketentuan tersebut di atas menegaskan bahwa yayasan boleh mendirikan badan usaha.

Mengenai jenis kegiatan usaha apa saja yang boleh dilakukan badan usaha yang didirikan Yayasan,  sesuai Pasal 7 ayat (1) UU Yayasan, badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian yayasan.

Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 8 UU Yayasan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Lebih jauh disebutkan dalam penjelasan Pasal 8 UU Yayasan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. Dari penjelasan Pasal 8 tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa bidang usaha yang bisa didirikan oleh Yayasan sebenarnya tidak hanya terbatas pada bidang-bidang yang telah disebutkan melainkan bisa lebih luas lagi. Lebih jauh Saudara dapat membaca pula artikel SIUP dan TDP Yayasan.

Jadi, Yayasan boleh mendirikan badan usaha atau melakukan penyertaan pada suatu usaha asalkan sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 14 Juli 2010

Bolehkah Bank Melaksanakan Penandatanganan Perjanjian Kredit dengan Calon Debitur Berstatus Tersangka?

Kalau ada Calon Debitur menjelang penandatanganan Perjanjian Kredit (PK), karena dugaan tindak pidana tertentu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. Dalam hal ini apakah si Calon Debitur tetap punya kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum termasuk menandatangani PK? Dari sisi risiko kredit/operasional perbankan cukup memberatkan bagi Bank dengan asumsi kegiatan perusahaan Debitur akan banyak terganggu dengan status tersebut apalagi bila Calon Debitur benar-benar menjadi terpidana nantinya. Sebaiknya pemberian kredit tersebut diteruskan atau dibatalkan saja? Mohon pencerahannya. Salam, Bagas, Samarinda.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Mengenai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum, menjadi tersangka dalam perkara pidana tidak mencabut hak seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Oleh karena itu, walaupun seseorang menjadi tersangka, pada prinsipnya ia tetap dapat melakukan perbuatan hukum, termasuk mewakili perusahaannya.
 Namun, kita juga perlu melihat apakah orang yang menjadi tersangka tersebut masih berhak untuk mewakili perusahaan tersebut. Rujukannya antara lain bisa dilihat di Anggaran Dasar perusahaan tersebut. Sayangnya anda tidak menyebutkan bentuk perusahaan calon nasabah anda tersebut. Tetapi bila kita merujuk pada pasal 15 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyebutkan bahwa dalam Anggaran Dasar antara lain diatur tata cara pemberhentian Direksi PT. Apabila ternyata dalam Anggaran Dasar perusahaan tersebut dinyatakan bahwa direktur yang menjadi tersangka dalam kasus pidana diberhentikan dari jabatannya sebagai direktur, maka tentu orang yang menjadi tersangka tidak dapat mewakili perusahaan untuk menandatangani perjanjian kredit.
 Mengenai pemberian kredit terhadap calon nasabah yang berisiko tinggi sudah pernah dibahas dalam jawaban kami di sini.

Seperti dibahas dalam artikel tersebut, berdasarkan pasal 8 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam memberikan kredit, Bank wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dengan demikian, apabila ternyata dari analisis risiko kredit yang Anda lakukan, calon nasabah tersebut mempunyai resiko yang tinggi untuk memberatkan Bank, dan Bank anda tidak memperoleh keyakinan bahwa calon nasabah tersebut akan sanggup melunasi kreditnya, maka sebaiknya pemberian kredit tersebut dibatalkan.
 Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
  2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 03 Agustus 2012

Bolehkah Memakai Satu SIUP untuk Dua Kegiatan Usaha yang Berbeda?

Selamat Siang. Nama Saya Ibu Novi. Rencananya saya ingin membuat usaha yang bergerak di bidang penjualan susu, diapers, dan perlengkapan bayi lainnya, tempat usaha yang ingin saya gunakan adalah tempat orang tua saya yang sebelumnya juga punya usaha yang bergerak di bidang penjualan oli, gas, dan lain-lain ( tempatnya dalam satu ruko dan hanya disekat saja ). Ruko orang tua saya tersebut sudah punya SIUP dan SITU. Pertanyaan saya, bolehkah saya usaha penjualan susu dll. tapi SITU dan SIUP-nya sama dengan orang tua saya atau satu SIUP/SITU dengan dua usaha atau dua nama toko? Tolong beri penjelasan karena ada yang bilang tidak apa-apa/bisa, karena dianggap sebagai bentuk pengembangan usaha. Terima kasih atas perhatiannya.


Mengutip istilah Perdagangan dari Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya, Perdagangan berarti kegiatan usaha transaksi barang atau jasa seperti jual-beli, sewa beli, sewa menyewa yang dilakukan secara berkelanjutan dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan kompensasi. Dalam melaksanakan kegiatan Perdagangan, perusahaan perdagangan wajib memiliki surat izin untuk melaksanakan kegiatan Perdagangan yang dinamakan Surat Izin Usaha Perdagangan (“SIUP”).

Kegiatan usaha yang tercantum didalam SIUP menurut lampiran Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya adalah kegiatan-kegiatan usaha yang diklasifikasikan didalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik 57/2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”).
 Kami mengasumsikan ibu Novi dalam menjual oli, gas, dan keinginannya menjual susu, diapers, dan peralatan bayi lainnya dilakukan secara eceran. Menurut Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik 57/2009, perdagangan oli dan gas adalah kegiatan usaha yang  termasuk dalam klasifikasi perdagangan eceran khusus bahan bakar kendaraan bermotor dan perdagangan eceran bahan bakar bukan bahan bakar untuk kendaraan bermotor di toko. Sedangkan klasifikasi penjualan susu, diapers dan perlengkapan bayi lainnya termasuk ke dalam klasfikasi perdagangan eceran berbagai macam barang yang didominasi oleh barang bukan makanan dan tembakau di toko.
 Di dalam Pasal 5 ayat (1)a Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya dinyatakan:
SIUP dilarang digunakan untuk melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan kelembagaan dan/atau kegiatan usaha, sebagaimana yang tercantum di dalam SIUP.
 Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila di dalam SIUP tidak mencantumkan kegiatan usaha yang ingin dijalankan, pemegang SIUP tidak dapat menjalankan usaha yang tidak sesuai sebagaimana tercantum dalam SIUP. Oleh karena itu, apabila di dalam SIUP hanya tercantum kegiatan usaha Perdagangan oli dan gas, pemilik SIUP tidak dapat melaksanakan penjualan susu, diapers, dan perlengkapan bayi lainnya. Jika pemilik SIUP melaksanakan kegiatan yang tidak sesuai dengan kegiatan usaha berdasarkan SIUP, pemilik SIUP dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara SIUP tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya.

Namun, hal tersebut dapat disikapi dengan melakukan perubahan SIUP yang diatur pada Pasal 14 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya. Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya tidak mengatur tentang jumlah kegiatan usaha yang dapat dicantumkan dalam SIUP, namun jumlah kegiatan usaha dalam SIUP dibatasi oleh Pasal 18 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya yang menyatakan:
Pemilik SIUP yang tidak melakukan kegiatan usaha selama 6 (enam) bulan berturut-turut atau menutup perusahaannya wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Pejabat Penerbit SIUP disertai alasan Penerbit SIUP disertai penutupan dan mengembalikan SIUP asli.
 Dengan dilanggarnya pelaksanaan pada Pasal 18 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya di atas, pemilik SIUP akan dikenakan peringatan tertulis sampai dengan sanksi berupa pemberhentian sementara oleh Penerbit SIUP sebagaimana diatur pada Pasal 20 dan Pasal 21 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya.
 Dalam melakukan perubahan data perusahaan di dalam SIUP, pemilik SIUP memerlukan data pendukung yaitu berupa anggaran dasar sebuah perusahaan (dalam hal ini perseroan terbatas– “PT”), yang mencantumkan jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan untuk dicantumkan di dalam SIUP. Apabila pada kenyataannya di dalam anggaran dasar PT belum mencantumkan kegiatan penjualan susu, diapers, dan peralatan bayi lainnya, maka perlu dilakukan perubahan anggaran dasar PT terlebih dahulu sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar PT tersebut, guna mencantumkan kegiatan yang diinginkan sebelum memohonkan perubahan penambahan kegiatan usaha dalam SIUP.

Semoga jawaban kami dapat membantu ibu Novi dalam menjalankan usaha. Terima kasih.

Dasar hukum:
2.    Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan yang telah diubah dengan:
a.    Peraturan Menteri Perdangan No. 46/M-DAG/PER/9/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan; dan
b.    Peraturan Menteri Perdagangan No. 39/M-DAG/PER/12/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan; dan
3.    Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik 57/2009”).
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer