Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline


Pengakhiran Perjanjian Waralaba

Apakah suatu surat pengakhiran perjanjian waralaba yang telah diatur dan disepakati bersama cukup untuk mengakhiri suatu perjanjian, apabila dalam perjanjian tersebut diatur bahwa pengakhiran perjanjian waralaba cukup dengan dikirimnya surat pengakhiran perjanjian waralaba dari Pemberi waralaba kepada penerima waralaba (diasumsikan penerima waralaba wanprestasi)? Apakah surat tersebut cukup kuat sebagai alasan untuk mengeksekusi pengakhiran perjanjian berikut akibat hukumnya termasuk tidak terbatas pada pembatalan segala jenis perizinan (dalam konteks ini si penerima waralaba berada dan beroperasi di Indonesia)? Sebagai pertimbangan, penyelesaian sengketa perjanjian waralaba memilih fasilitas Arbitrase Uncitral dengan seat di New York.  

Terima kasih atas pertanyaan saudara, berikut dapat kami sampaikan jawaban atas pertanyaan saudara.
 A.       Definisi Waralaba
 Waralaba atau dalam bahasa ingris dikenal dengan franchising adalah hak untuk menjual suatu produk atau jasa atas milik pemilik waralaba oleh penerima waralaba.
 Definisi waralaba diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (“PP 42/2007”), sebagai berikut;
 “Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
 Dari ketentuan tersebut, pengertian waralaba adalah hak untuk menjual produk atau jasa milik pemilik waralaba oleh penerima waralaba di mana dalam waralaba terdapat adanya dua subjek hukum yakni, Pemberi Waralaba (Pemilik Waralaba) dan Penerima Waralaba. Pemilik atau penerima waralaba tersebut dapat merupakan badan hukum atau pribadi.
  
B.       Perjanjian Waralaba
 Dalam hal membahas suatu Perjanjian waralaba tidak lah lepas dari ketentuan mengenai syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata  yaitu:
 1.    Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2.    Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.    Suatu pokok persoalan tertentu;
4.    Suatu sebab yang tidak terlarang (Pasal 1335 KUHPerdata dst.)
 Dalam hal keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali melainkan atas kesepakatan kedua belah pihak (Vide Pasal 1338 KUHPerdata)
 Setelah diketahui apa definisi dari waralaba, maka Pemberi dan Penerima waralaba akan melakukan suatu kesepakatan bersama yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Waralaba di mana dalam perjanjian waralaba ini bersifat khusus dan spesifik sebagaimana dituangkan dalam Pasal 5 PP 42/2007 yang minimal dalam perjanjian tersebut harus mencantumkan antara lain:
a.    nama dan alamat para pihak;
b.    jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c.    kegiatan usaha;
d.    hak dan kewajiban para pihak;
e.    bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada Penerima Waralaba;
f.     wilayah usaha;
g.    jangka waktu perjanjian;
h.    tata cara pembayaran imbalan;
i.      kepemilikan, perubahan kepemilikan dan hak ahli waris;
j.      penyelesaian sengketa; dan
k.    tata cara perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian.
 Merujuk pada Pasal 5 huruf k PP 42/2007 di atas, maka jelas diatur bahwa tata cara pengakhiran dari suatu perjanjian waralaba haruslah dituangkan di dalam suatu klasula perjanjian waralaba.
 Sebagaimana perjanjian pada umumnya, ketentuan pengakhiran suatu perjanjian selalu dicantumkan di dalam perjanjian tersebut. Dari ilustrasi kasus di atas, kami tidak mengetahui mengenai ketentuan pengakhiran perjanjian tersebut. Sehingga, kami mengasumsikan ketentuan pengakhiran perjanjian telah dicantumkan dalam perjanjian waralaba pada kasus di atas.
 Berdasarkan ilustrasi kasus di atas, kami mengasumsikan telah terjadi sengketa, ataupun ada salah satu pihak dalam perjanjian yang tidak melakukan prestasinya atau sebaliknya, atau bahkan akibat adanya perbedaan penafsiran dalam perjanjian. Dalam hal terjadi kondisi demikian, umumnya terdapat klausul yang mengatur mengenai pengakhiran perjanjian secara sepihak oleh pihak yang merasa tidak dipenuhi haknya oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut.

Namun demikian, untuk dapat melakukan pengakhiran perjanjian tersebut, umumnya diatur beberapa ketentuan formil yang harus ditempuh terlebih dahulu, Misalnya, harus dilakukan teguran kepada pihak yang lalai memenuhi kewajibannya agar dapat segera memenuhi kewajibannya dalam periode waktu tertentu. Setelah hal tersebut dilakukan dan tidak ada perbaikan atau pemenuhan kewajiban oleh pihak yang ditegur, barulah dapat dilakukan pengkahiran secara sepihak yang dibuat secara tertulis.

Apabila tahapan secara formil maupun materil yang menjadi syarat pengakhiran perjanjian tersebut telah dipenuhi barulah perjanjian dapat berlaku efektif. Namun demikian, apabila ada hak dan kewajiban yang belum dipenuhi, maka pihak yang merasa haknya belum dipenuhi tersebut tetap dapat menuntut ganti rugi dari pihak lain yang menimbulkan kerugian terhadapnya.

C.       Arbitrase sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar peradilan.
Sehubungan dengan klausula arbitrase dalam perjanjian tersebut, merupakan suatu forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih para pihak dalam menyelesaiakn sengketa yang timbul. Sehingga, apabila terdapat kerugian yang hendak dituntut, maka tuntutan ganti kerugian tersebut harus diajukan melalui forum arbitrase.
Sekalipun perjanjian pokok (perjanjian waralaba) telah berakhir, namun klausula arbitrase tersebut tidak menjadi hilang dan tetap mengikat para pihak (severability clause). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf h UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

D.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian kami di atas, sehubungan dengan pertanyaan yang disampaikan, maka apabila Surat pengakhiran parjanjian yang diterima oleh Penerima waralabaa telah memenuhi persyaratan perjanjian, maka penerima waralaba tidak berhak lagi untuk mengunakan dan/atau memasarkan produk atau jasa atas nama (merek) milik pemberi waralaba di kemudian hari, termasuk untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan produk atau jasa tersebut.
Apabila setelah berakhirnya perjanjian tersebut, pihak penerima waralaba tetap menggunakan merek dari pemberi waralaba, maka dianggap telah terjadi persetujuan diam-diam atas kesepakatan awal (silent agreement) sehingga Pemberi Waralaba tetap berhak menagih royalti dan/atau hak lainnya yang diatur dalam perjanjian waralaba tersebut.
Di sisi lain, apabila penerima waralaba merasa berkeberatan atas pemutusan perjanjian tersebut maka sengketa terkait pengakhiran perjanjian tersebut dapat diselesaikan melalui forum Arbitrase dengan mengunakan UNCITRAL rules yang dilaksanakan di New York yang merupakan seat yang telah disepakati oleh para pihak (lex arbitri).
  Semoga jawaban kami dapat membantu.
 Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
  
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 18 Januari 2012
Pengaturan Besar Iuran Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)
Terima kasih sebelumnya karena saya banyak terbantu oleh adanya artikel-artikel yang ada di sini. Saya mau menanyakan, diatur di manakah tentang besarnya jumlah biaya iuran IPPA (Izin Pengusahaan Pariwisata Alam), khususnya untuk IUPSWA (Izin Usaha Pengelolaan Sarana Wisata Alam) dan IUPJWA (Izin Usaha Pengelolan Jasa Pariwisata Alam)?  

Jawaban:    Adi Condro Bawono

-         Izin pengusahaan pariwisata alam (“IPPA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam (Pasal 1 angka 5).
-         Izin usaha penyediaan jasa wisata alam (“IUPJWA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam (Pasal 1 angka 6).
-         Izin usaha penyediaan sarana wisata alam (“IUPSWA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam (Pasal 1 angka 7).
 PP 36/2010 merupakan dasar hukum yang mengatur mengenai kewajiban membayar iuran IUPJWA dan IUPSWA. Pasal 13 ayat (1) Jo. Pasal 14 ayat (1) PP 36/2010 mewajibkan pemohon IUPSWA untuk membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Iuran tersebut dihitung berdasarkan luas areal yang diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis kegiatan usaha penyediaan jasa wisata alam (lihat Pasal 14 ayat [3] PP 36/2010).
 Selain itu, terdapat ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 36/2010 mewajibkan pemegang IUPJWA untuk membayar iuran usaha penyediaan jasa wisata alam sesuai ketentuan yang ditetapkan. Sedangkan, Pasal 21 ayat (2) huruf b PP 36/2010 mewajibkan pemegang IUPSWA untuk membayar pungutan izin usaha penyediaan sarana wisata alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Iuran IUPJWA dan IUPSWA lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (“Permenhut No. P.48/Menhut-II/2010”).
 Permenhut No. P.48/Menhut-II/2010 memang tidak menyebutkan berapa besar iuran IUPJWA dan IUPSWA tersebut. Namun, dalam Pasal 12 ayat (3) Permen No. P.48/Menhut-II/2010 disebutkan bahwa terhadap pemohon IUPJWA akan diterbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJWA (SPP-IIUPJWA) oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal yang membidangi perlindungan hutan dan konservasi alam, yang mengelola suaka margasatwa, taman nasional, dan taman wisata alam.
 Sedangkan, berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Permen No. P.48/Menhut-II/2010 terhadap pemohon IUPSWA akan diterbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPSWA (SPP-IIUPSWA) oleh Direktur Jenderal di bidang perlindungan hutan dan konservasi alam.

Perlu ditambahkan bahwa dalam dokumen berjudul Arahan Teknis Rapat Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (Raker PPA) dan Munas Assosiasi Pengusahaan Pariwisata Alam Indonesia (Munas APPAI) yang kami unduh dari laman ekowisata.org, Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLK2HL), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, menyampaikan bahwa:

“IUPJWA diberikan oleh Kepala UPT PHKA. Dikarenakan format ijin dan besaran iuran IUPJWA, belum ada aturannya, maka sambil menunggu aturan-aturan tersebut, Kepala UPT PHKA diarahkan untuk menerbitkan IUPJWA dengan format ijin dari UPT PHKA masing-masing, dengan diberi catatan bahwa Iuran IUPJWA diberlakukan setelah ada aturannya, dan sementara dapat diberikan arahan program Konservasi SDA.”
 Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.
 Dasar hukum:
2.      Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
  
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 11 Mei 2011


Pengaturan dan Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture
Bung Pokrol, saya mohon dibantu. Saya masih bingung terkait pengawasan pelaksanaan joint venture (usaha patungan) di Indonesia. Apakah ada aturan yang mengatur secara khusus mengenai pengawasan pelaksanaan joint venture? Siapakah yang memiliki wewenang mengawasi, apakah BKPM? Bagaimana metodenya? Mohon maaf bila pertanyaan melantur. Terima kasih.


Pengaturan Joint Venture di Indonesia
Joint venture merupakan salah satu bentuk kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing melalui usaha patungan untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Joint venture atau usaha patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”) sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”).
Berdasarkan Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). BKPM merupakan lembaga independen non-departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Presiden kemudian menetapkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007 (“Perpres No. 90/2007”).
Sesuai dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007, maka BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkan Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”). Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal.
Tujuan dari pengendalian pelaksanaan modal ini adalah agar dapat:
i.        memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
ii.       melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
iii.     melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.
Dengan demikian, diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal.  
Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture dan Badan yang Berwenang Melakukan Pengawasan

Pengawasan pelaksanaan penanaman modal diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No. 13/2009 dilakukan melalui:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

Badan yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal tersebut adalah:
a.      Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (“PDKPM”) terhadap seluruh kegiatan penanaman modal di kabupaten/kota;
b.      Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (“PDPPM”) terhadap penanaman modal yang kegiatannya bersifat lintas kabupaten/kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan pemerintahan provinsi;
c.      BKPM terhadap penggunaan fasilitas fiskal penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah;
d.      instansi teknis terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan usaha.
Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana disebut di atas, PDKPM melakukan koordinasi dengan instansi daerah terkait. Sedangkan PDPPM melakukan koordinasi dengan PDKPM dan instansi daerah terkait, di mana BKPM melakukan koordinasi dengan PDKPM, PDPPM dan instansi daerah terkait.
Dalam hal-hal tertentu, BKPM dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan dan pengawasan atas kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Perka BKPM No. 13/2009. Perka BKPM ini kemudian diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal (“Perka BKPM No. 7/2010”).


Metode Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture

Dalam melaksanakan joint venture di Indonesia, maka setiap PT PMA yang telah mendapat Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman Modal dan/atau Persetujuan Penanaman Modal dan/atau Izin Usaha wajib menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (“LKPM”) secara berkala kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal, Kepala PDPPM dan Kepala PDKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (7) Perka BKPM No. 7/2010 jo. Pasal 15 ayat (c) UU Penanaman Modal.

LKPM merupakan laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal yang disampaikan secara online melalui Sistem Pelayanan Informasi dan Pemberian Izin Investasi Secara Elektronik pada website http://nswi.bkpm.go.id atau langsung kepada BKPM dan kepada Badan Penanaman Modal Provinsi serta Kabupaten/Kota dimana proyek penanaman modal berlokasi.
Metode pelaporan LKPM tersebut adalah sebagai berikut:
a.      Bagi PT PMA yang masih dalam tahap pembangunan, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi setiap tiga bulanan atau per triwulan yaitu:
1.      LKPM triwulan I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Maret, disampaikan paling lambat pada 5 April bulan yang bersangkutan;
2.      LKPM triwulan II untuk periode pelaporan April sampai dengan Juni, disampaikan paling lambat pada 5 Juli bulan yang bersangkutan;
3.      LKPM triwulan III untuk periode pelaporan Juli sampai dengan September, disampaikan paling lambat pada 5 Oktober bulan yang bersangkutan; dan
4.      LKPM triwulan IV untuk periode pelaporan Oktober sampai dengan Desember, disampaikan paling lambat pada 5 Januari tahun berikutnya.
b.      Bagi PT PMA yang telah memiliki Izin Usaha, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi per enam bulan atau per semester yaitu:
1.      LKPM semester I untuk periode pelaporan Januari sampai dengan Juni, disampaikan pada minggu pertama Juli bulan yang bersangkutan; dan
2.      LKPM semester II untuk periode pelaporan Juli sampai dengan Desember, disampaikan pada minggu pertama Januari tahun berikutnya.
c.      Bagi PT PMA yang memiliki kegiatan penanaman modal lebih dari satu kabupaten/kota wajib menyampaikan LKPM untuk masing-masing kabupaten/kota.
d.      Bagi PT PMA yang memiliki beberapa bidang usaha wajib merinci realisasi investasi untuk masing-masing bidang usaha dalam LKPM.
Formulir LKPM ini dapat diunduh melalui website www.bkpm.go.id

Dengan adanya LKPM ini, maka segala perkembangan realisasi investasi dan produksi dari PT PMA dapat diawasi oleh BKPM yang kewenangannya dapat didelegasikan kepada PDKPM atau PDPPM yang terkait. LKPM ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan:
(i)     penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii)   pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.
Apabila PT PMA tidak menyampaikan kewajiban menyampaikan LKPM, maka PT PMA dapat dikenakan sanksi administratif di antaranya pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.      Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
3.      Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 20 Pebruari 2012

Pengaturan Mengenai Short Selling

Bagaimanakah pengaturan short selling di Indonesia? Dibandingkan dengan negara lain, apakah secara tegas diatur dalam peraturan di negara lain dimaksud? Terima kasih.  

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Short selling adalah suatu cara yang digunakan dalam penjualan saham di mana investor atau trader meminjam dana (on margin) untuk menjual saham (yang belum dimiliki) dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya pada saat saham turun.
 Dalam perjalanan pasar modal di Indonesia, pertama kali aturan mengenai short selling ini diatur melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-09/PM/1997 tanggal 30 April 1997 tentang Pembiayaan Penyelesaian Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah (“Peraturan V.D.6”).

Bapepam-LK kemudian merevisi aturan yang diberi Peraturan V.D.6 itu. Revisi itu seiring terjadinya krisis finansial yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Gara-gara krisis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia mengalami kejatuhan yang sangat dalam.

Untuk mengantisipasi transaksi yang bisa membuat IHSG makin jatuh, Bapepam menerbitkan sejumlah aturan termasuk revisi aturan short selling. Transaksi short selling ini kemudian diatur antara lain dengan Keputusan Ketua Bapepam-LK No. 258/BL/2008 yang kemudian diubah dengan Keputusan Ketua Bapepam-LK No. 556/BL/2008. Lebih jauh, simak artikel Jual Kosong yang Bisa Menjatuhkan Bursa.
 Sehingga, pada dasarnya transaksi short selling di Indonesia diperbolehkan. Namun, Bapepam-LK tetap menentukan rambu-rambu transaksi short selling seperti apa yang dibolehkan. Tujuannya, tentu saja mengamankan pasar modal dalam negeri selain untuk kepentingan investor minoritas. 
 2.      Di Amerika Serikat, praktik transaksi short selling ini dapat kita temui pengaturannya dalam Regulation SHO yang terakhir diamandemen pada Februari 2010 (sumber: http://www.sec.gov).
 Begitu pula dengan negara-negara Uni Eropa, mereka juga mengatur mengenai transaksi short selling ini. Contohnya Austria mengaturnya dalam Stock Exchange Act dan Denmark mengaturnya dalam Act on Securities Trading. Namun, ada juga negara-negara yang melarang dilakukannya praktik short selling, seperti Latvia dan Lithuania (sumber: http://www.cysec.gov.cy).
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
1.      Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-09/PM/1997 tanggal 30 April 1997 tentang Pembiayaan Penyelesaian Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah;
2.      Keputusan Ketua Bapepam-LK No. 258/BL/2008 Pembiayaan Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah Dan Transaksi Short Selling Oleh Perusahaan Efek;
3.      Keputusan Ketua Bapepam-LK No. 556/BL/2008 tentang Perubahan Pasal 2 Huruf A, Pasal 4 Ayat (1), Dan Pasal 5 Keputusan Ketua Bapepam Dan Lk Nomor: Kep-258/Bl/2008 Tanggal 30 Juni 2008 Tentang Pembiayaan Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah Dan Transaksi Short Selling oleh Perusahaan Efek.
  
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer