Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Pengakhiran
Perjanjian Waralaba
Apakah suatu surat pengakhiran
perjanjian waralaba yang telah diatur dan disepakati bersama cukup untuk
mengakhiri suatu perjanjian, apabila dalam perjanjian tersebut diatur bahwa
pengakhiran perjanjian waralaba cukup dengan dikirimnya surat pengakhiran
perjanjian waralaba dari Pemberi waralaba kepada penerima waralaba (diasumsikan
penerima waralaba wanprestasi)? Apakah surat tersebut cukup kuat sebagai alasan
untuk mengeksekusi pengakhiran perjanjian berikut akibat hukumnya termasuk
tidak terbatas pada pembatalan segala jenis perizinan (dalam konteks ini si
penerima waralaba berada dan beroperasi di Indonesia)? Sebagai pertimbangan,
penyelesaian sengketa perjanjian waralaba memilih fasilitas Arbitrase Uncitral
dengan seat di New York.
Terima
kasih atas pertanyaan saudara, berikut dapat kami sampaikan jawaban atas
pertanyaan saudara.
A.
Definisi Waralaba
Waralaba
atau dalam bahasa ingris dikenal dengan franchising adalah hak untuk
menjual suatu produk atau jasa atas milik pemilik waralaba oleh penerima
waralaba.
Definisi waralaba diatur dalam Pasal 1 angka 1 PP No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba (“PP 42/2007”), sebagai berikut;
“Waralaba
adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha
terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang
dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau
digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.
Dari
ketentuan tersebut, pengertian waralaba adalah hak untuk menjual produk atau
jasa milik pemilik waralaba oleh penerima waralaba di mana dalam waralaba
terdapat adanya dua subjek hukum yakni, Pemberi Waralaba (Pemilik Waralaba) dan
Penerima Waralaba. Pemilik atau penerima waralaba tersebut dapat merupakan
badan hukum atau pribadi.
B.
Perjanjian Waralaba
Dalam
hal membahas suatu Perjanjian waralaba tidak lah lepas dari ketentuan mengenai
syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:
1.
Kesepakatan mereka yang mengikatkan
dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang (Pasal 1335 KUHPerdata
dst.)
Dalam hal keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut
telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi mereka
yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali melainkan atas kesepakatan
kedua belah pihak (Vide Pasal 1338 KUHPerdata)
Setelah diketahui apa definisi dari waralaba, maka
Pemberi dan Penerima waralaba akan melakukan suatu kesepakatan bersama yang
dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Waralaba di
mana dalam perjanjian waralaba ini bersifat khusus dan spesifik sebagaimana
dituangkan dalam Pasal 5 PP 42/2007 yang minimal dalam perjanjian
tersebut harus mencantumkan antara lain:
a. nama dan alamat para pihak;
b. jenis Hak Kekayaan Intelektual;
c. kegiatan usaha;
d. hak dan kewajiban para pihak;
e. bantuan, fasilitas, bimbingan
operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan Pemberi Waralaba kepada
Penerima Waralaba;
f. wilayah usaha;
g. jangka waktu perjanjian;
h. tata cara pembayaran imbalan;
i. kepemilikan, perubahan kepemilikan
dan hak ahli waris;
j. penyelesaian sengketa; dan
k. tata cara perpanjangan, pengakhiran
dan pemutusan perjanjian.
Merujuk
pada Pasal 5 huruf k PP 42/2007 di atas, maka jelas diatur bahwa tata
cara pengakhiran dari suatu perjanjian waralaba haruslah dituangkan di dalam
suatu klasula perjanjian waralaba.
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, ketentuan
pengakhiran suatu perjanjian selalu dicantumkan di dalam perjanjian tersebut.
Dari ilustrasi kasus di atas, kami tidak mengetahui mengenai ketentuan
pengakhiran perjanjian tersebut. Sehingga, kami mengasumsikan ketentuan
pengakhiran perjanjian telah dicantumkan dalam perjanjian waralaba pada kasus
di atas.
Berdasarkan ilustrasi kasus di atas, kami
mengasumsikan telah terjadi sengketa, ataupun ada salah satu pihak dalam
perjanjian yang tidak melakukan prestasinya atau sebaliknya, atau bahkan akibat
adanya perbedaan penafsiran dalam perjanjian. Dalam hal terjadi kondisi
demikian, umumnya terdapat klausul yang mengatur mengenai pengakhiran
perjanjian secara sepihak oleh pihak yang merasa tidak dipenuhi haknya oleh
pihak lain dalam perjanjian tersebut.
Namun demikian, untuk dapat melakukan pengakhiran perjanjian
tersebut, umumnya diatur beberapa ketentuan formil yang harus ditempuh terlebih
dahulu, Misalnya, harus dilakukan teguran kepada pihak yang lalai memenuhi
kewajibannya agar dapat segera memenuhi kewajibannya dalam periode waktu tertentu.
Setelah hal tersebut dilakukan dan tidak ada perbaikan atau pemenuhan kewajiban
oleh pihak yang ditegur, barulah dapat dilakukan pengkahiran secara sepihak
yang dibuat secara tertulis.
Apabila tahapan secara formil maupun materil yang menjadi
syarat pengakhiran perjanjian tersebut telah dipenuhi barulah perjanjian dapat
berlaku efektif. Namun demikian, apabila ada hak dan kewajiban yang belum
dipenuhi, maka pihak yang merasa haknya belum dipenuhi tersebut tetap dapat
menuntut ganti rugi dari pihak lain yang menimbulkan kerugian terhadapnya.
C.
Arbitrase sebagai Alternatif
Penyelesaian Sengketa di luar peradilan.
Sehubungan dengan klausula arbitrase dalam perjanjian
tersebut, merupakan suatu forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
para pihak dalam menyelesaiakn sengketa yang timbul. Sehingga, apabila terdapat
kerugian yang hendak dituntut, maka tuntutan ganti kerugian tersebut harus
diajukan melalui forum arbitrase.
Sekalipun perjanjian pokok (perjanjian waralaba) telah berakhir,
namun klausula arbitrase tersebut tidak menjadi hilang dan tetap mengikat para
pihak (severability clause). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal
10 huruf h UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
D.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian kami di atas, sehubungan dengan
pertanyaan yang disampaikan, maka apabila Surat pengakhiran parjanjian yang
diterima oleh Penerima waralabaa telah memenuhi persyaratan perjanjian, maka
penerima waralaba tidak berhak lagi untuk mengunakan dan/atau memasarkan produk
atau jasa atas nama (merek) milik pemberi waralaba di kemudian hari, termasuk
untuk mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan produk atau jasa tersebut.
Apabila setelah berakhirnya perjanjian tersebut, pihak
penerima waralaba tetap menggunakan merek dari pemberi waralaba, maka dianggap
telah terjadi persetujuan diam-diam atas kesepakatan awal (silent agreement)
sehingga Pemberi Waralaba tetap berhak menagih royalti dan/atau hak lainnya
yang diatur dalam perjanjian waralaba tersebut.
Di sisi lain, apabila penerima waralaba merasa berkeberatan
atas pemutusan perjanjian tersebut maka sengketa terkait pengakhiran perjanjian
tersebut dapat diselesaikan melalui forum Arbitrase dengan mengunakan UNCITRAL
rules yang dilaksanakan di New York yang merupakan seat yang telah
disepakati oleh para pihak (lex arbitri).
Semoga
jawaban kami dapat membantu.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 18
Januari 2012
Pengaturan
Besar Iuran Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)
Terima kasih sebelumnya karena saya
banyak terbantu oleh adanya artikel-artikel yang ada di sini. Saya mau
menanyakan, diatur di manakah tentang besarnya jumlah biaya iuran IPPA (Izin
Pengusahaan Pariwisata Alam), khususnya untuk IUPSWA (Izin Usaha Pengelolaan
Sarana Wisata Alam) dan IUPJWA (Izin Usaha Pengelolan Jasa Pariwisata Alam)?
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan
Taman Wisata Alam (“PP 36/2010”), yang dimaksud dengan:
- Izin pengusahaan pariwisata alam
(“IPPA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan
pariwisata alam di areal suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya,
dan taman wisata alam (Pasal 1 angka 5).
- Izin usaha penyediaan jasa wisata alam
(“IUPJWA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata
alam pada kegiatan pariwisata alam (Pasal 1 angka 6).
- Izin usaha penyediaan sarana wisata
alam (“IUPSWA”) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan
fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata
alam (Pasal 1 angka 7).
PP
36/2010 merupakan
dasar hukum yang mengatur mengenai kewajiban membayar iuran IUPJWA dan IUPSWA.
Pasal 13 ayat (1) Jo. Pasal 14 ayat (1) PP 36/2010 mewajibkan pemohon
IUPSWA untuk membayar iuran usaha pariwisata alam sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Iuran tersebut dihitung berdasarkan luas areal yang
diizinkan untuk usaha penyediaan sarana wisata alam atau jenis kegiatan usaha
penyediaan jasa wisata alam (lihat Pasal 14 ayat [3] PP 36/2010).
Selain
itu, terdapat ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a PP 36/2010
mewajibkan pemegang IUPJWA untuk membayar iuran usaha penyediaan jasa wisata
alam sesuai ketentuan yang ditetapkan. Sedangkan, Pasal 21 ayat (2) huruf b
PP 36/2010 mewajibkan pemegang IUPSWA untuk membayar pungutan izin usaha
penyediaan sarana wisata alam sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Iuran
IUPJWA dan IUPSWA lebih lanjut diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam (“Permenhut No.
P.48/Menhut-II/2010”).
Permenhut
No. P.48/Menhut-II/2010 memang tidak menyebutkan berapa besar iuran IUPJWA
dan IUPSWA tersebut. Namun, dalam Pasal 12 ayat (3) Permen No.
P.48/Menhut-II/2010 disebutkan bahwa terhadap pemohon IUPJWA akan
diterbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPJWA (SPP-IIUPJWA) oleh
Kepala Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal yang membidangi perlindungan
hutan dan konservasi alam, yang mengelola suaka margasatwa, taman nasional, dan
taman wisata alam.
Sedangkan,
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Permen No. P.48/Menhut-II/2010 terhadap
pemohon IUPSWA akan diterbitkan Surat Perintah Pembayaran Iuran IUPSWA
(SPP-IIUPSWA) oleh Direktur Jenderal di bidang perlindungan hutan dan
konservasi alam.
Perlu
ditambahkan bahwa dalam dokumen berjudul Arahan Teknis Rapat Kerja Pengusahaan Pariwisata Alam (Raker PPA)
dan Munas Assosiasi Pengusahaan Pariwisata Alam Indonesia (Munas APPAI) yang kami unduh dari laman ekowisata.org,
Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung
(PJLK2HL), Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
menyampaikan bahwa:
“IUPJWA diberikan oleh Kepala UPT PHKA. Dikarenakan
format ijin dan besaran iuran IUPJWA, belum ada aturannya, maka sambil
menunggu aturan-aturan tersebut, Kepala UPT PHKA diarahkan untuk menerbitkan
IUPJWA dengan format ijin dari UPT PHKA masing-masing, dengan diberi catatan
bahwa Iuran IUPJWA diberlakukan setelah ada aturannya, dan sementara dapat
diberikan arahan program Konservasi SDA.”
Sekian
jawaban dari kami, semoga membantu.
Dasar
hukum:
2. Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.48/Menhut-II/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 11 Mei 2011
Pengaturan
dan Pengawasan Pelaksanaan Joint Venture
Bung Pokrol, saya mohon dibantu.
Saya masih bingung terkait pengawasan pelaksanaan joint venture (usaha
patungan) di Indonesia. Apakah ada aturan yang mengatur secara khusus mengenai
pengawasan pelaksanaan joint venture? Siapakah yang memiliki wewenang mengawasi,
apakah BKPM? Bagaimana metodenya? Mohon maaf bila pertanyaan melantur. Terima
kasih.
Pengaturan
Joint Venture di Indonesia
Joint
venture merupakan
salah satu bentuk kegiatan menanam modal yang dilakukan oleh penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing melalui usaha patungan untuk melakukan
usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
Joint
venture atau usaha
patungan ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”)
sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) UU
No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”).
Berdasarkan
Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka Pemerintah mengoordinasi kebijakan
penanaman modal, baik koordinasi antar instansi Pemerintah dengan Bank
Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar
pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal ini
dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”). BKPM
merupakan lembaga independen non-departemen yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden. Presiden kemudian menetapkan Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007
tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal pada 3 September 2007 (“Perpres
No. 90/2007”).
Sesuai
dengan Pasal 28 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 Perpres No. 90/2007,
maka BKPM memiliki tugas utama untuk melaksanakan koordinasi kebijakan dan
pelayanan di bidang penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dengan
kewenangan yang diberikan kepadanya, BKPM mengeluarkan Peraturan Kepala BKPM
No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan
Penanaman Modal pada 23 Desember 2009 (“Perka BKPM No. 13/2009”).
Pengendalian Pelaksanaan Modal ini dimaksudkan untuk melaksanakan pemantauan,
pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai
dengan hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal.
Tujuan
dari pengendalian pelaksanaan modal ini adalah agar dapat:
i. memperoleh data perkembangan
realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh
perusahaan;
ii. melakukan bimbingan dan fasilitasi
penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan;
iii. melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal
dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan
yang dilakukan oleh perusahaan.
Dengan
demikian, diharapkan tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanaan penanaman
modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal.
Pengawasan
Pelaksanaan Joint Venture dan Badan yang Berwenang Melakukan Pengawasan
Pengawasan
pelaksanaan penanaman modal diatur dalam Pasal 6 huruf (c) Perka BKPM No.
13/2009 dilakukan melalui:
(i) penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan
penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii) pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap
penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.
Badan yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal tersebut adalah:
a. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota
bidang Penanaman Modal (“PDKPM”) terhadap seluruh kegiatan penanaman
modal di kabupaten/kota;
b. Perangkat Daerah Provinsi bidang
Penanaman Modal (“PDPPM”) terhadap penanaman modal yang kegiatannya
bersifat lintas kabupaten/kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
menjadi kewenangan pemerintahan provinsi;
c. BKPM terhadap penggunaan fasilitas
fiskal penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah;
d. instansi teknis terhadap pelaksanaan
penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kegiatan usaha.
Dalam
melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana disebut di atas, PDKPM melakukan
koordinasi dengan instansi daerah terkait. Sedangkan PDPPM melakukan koordinasi
dengan PDKPM dan instansi daerah terkait, di mana BKPM melakukan koordinasi
dengan PDKPM, PDPPM dan instansi daerah terkait.
Dalam
hal-hal tertentu, BKPM dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan dan
pengawasan atas kegiatan penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintahan
daerah provinsi atau kabupaten/kota. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal
10 Perka BKPM No. 13/2009. Perka BKPM ini kemudian diubah dengan Peraturan
Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No.
13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman
Modal (“Perka BKPM No. 7/2010”).
Metode Pengawasan Pelaksanaan Joint
Venture
Dalam
melaksanakan joint venture di Indonesia, maka setiap PT PMA yang telah
mendapat Pendaftaran Penanaman Modal dan/atau Izin Prinsip Penanaman
Modal dan/atau Persetujuan Penanaman Modal dan/atau Izin Usaha wajib
menyampaikan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (“LKPM”) secara berkala
kepada Kepala BKPM melalui Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman
Modal, Kepala PDPPM dan Kepala PDKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat
(7) Perka BKPM No. 7/2010 jo. Pasal 15 ayat (c) UU Penanaman Modal.
LKPM
merupakan laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan
kendala yang dihadapi penanam modal yang disampaikan secara online melalui
Sistem Pelayanan Informasi dan Pemberian Izin Investasi Secara Elektronik pada
website http://nswi.bkpm.go.id atau langsung kepada BKPM dan
kepada Badan Penanaman Modal Provinsi serta Kabupaten/Kota dimana proyek
penanaman modal berlokasi.
Metode
pelaporan LKPM tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bagi PT PMA yang masih dalam tahap
pembangunan, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi setiap tiga bulanan atau per
triwulan yaitu:
1.
LKPM triwulan I untuk periode
pelaporan Januari sampai dengan Maret, disampaikan paling lambat pada 5 April
bulan yang bersangkutan;
2.
LKPM triwulan II untuk periode
pelaporan April sampai dengan Juni, disampaikan paling lambat pada 5 Juli bulan
yang bersangkutan;
3.
LKPM triwulan III untuk periode
pelaporan Juli sampai dengan September, disampaikan paling lambat pada 5
Oktober bulan yang bersangkutan; dan
4.
LKPM triwulan IV untuk periode
pelaporan Oktober sampai dengan Desember, disampaikan paling lambat pada 5
Januari tahun berikutnya.
b. Bagi PT PMA yang telah memiliki Izin
Usaha, kewajiban menyampaikan LKPM menjadi per enam bulan atau per semester
yaitu:
1.
LKPM semester I untuk periode
pelaporan Januari sampai dengan Juni, disampaikan pada minggu pertama Juli
bulan yang bersangkutan; dan
2.
LKPM semester II untuk periode
pelaporan Juli sampai dengan Desember, disampaikan pada minggu pertama Januari tahun
berikutnya.
c. Bagi PT PMA yang memiliki kegiatan
penanaman modal lebih dari satu kabupaten/kota wajib menyampaikan LKPM untuk
masing-masing kabupaten/kota.
d. Bagi PT PMA yang memiliki beberapa
bidang usaha wajib merinci realisasi investasi untuk masing-masing bidang
usaha dalam LKPM.
Dengan
adanya LKPM ini, maka segala perkembangan realisasi investasi dan produksi dari
PT PMA dapat diawasi oleh BKPM yang kewenangannya dapat didelegasikan kepada
PDKPM atau PDPPM yang terkait. LKPM ini dapat digunakan sebagai dasar untuk
melakukan:
(i) penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan
penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan;
(ii) pemeriksaan ke lokasi proyek penanaman modal; dan
(iii) tindak lanjut terhadap
penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.
Apabila PT
PMA tidak menyampaikan kewajiban menyampaikan LKPM, maka PT PMA dapat dikenakan
sanksi administratif di antaranya pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal sebagaimana diatur dalam UU Penanaman Modal.
Demikian
penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007
tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
3. Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun
2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 20 Pebruari 2012
Pengaturan
Mengenai Short Selling
Bagaimanakah pengaturan short
selling di Indonesia? Dibandingkan dengan negara lain, apakah secara tegas
diatur dalam peraturan di negara lain dimaksud? Terima kasih.
1. Short selling adalah suatu cara yang
digunakan dalam penjualan saham di mana investor atau trader meminjam
dana (on margin) untuk menjual saham (yang belum dimiliki)
dengan harga tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan
pinjaman saham ke pialangnya pada saat saham turun.
Dalam perjalanan pasar modal di Indonesia, pertama kali aturan
mengenai short selling ini diatur melalui Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-09/PM/1997
tanggal 30 April 1997 tentang Pembiayaan Penyelesaian Transaksi Efek
Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah (“Peraturan V.D.6”).
Bapepam-LK kemudian merevisi
aturan yang diberi Peraturan V.D.6 itu. Revisi itu seiring terjadinya krisis
finansial yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Gara-gara krisis, Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia mengalami kejatuhan yang sangat dalam.
Untuk mengantisipasi transaksi
yang bisa membuat IHSG makin jatuh, Bapepam menerbitkan sejumlah aturan
termasuk revisi aturan short selling. Transaksi short selling ini kemudian diatur antara lain dengan Keputusan Ketua
Bapepam-LK No. 258/BL/2008 yang kemudian diubah dengan Keputusan Ketua
Bapepam-LK No. 556/BL/2008. Lebih jauh, simak artikel Jual Kosong yang Bisa Menjatuhkan Bursa.
Sehingga, pada dasarnya transaksi short selling
di Indonesia diperbolehkan. Namun, Bapepam-LK tetap menentukan
rambu-rambu transaksi short selling seperti
apa yang dibolehkan. Tujuannya, tentu saja mengamankan pasar modal dalam negeri
selain untuk kepentingan investor minoritas.
2. Di Amerika Serikat, praktik
transaksi short selling ini dapat kita temui pengaturannya dalam Regulation
SHO yang
terakhir diamandemen pada Februari 2010 (sumber: http://www.sec.gov).
Begitu
pula dengan negara-negara Uni Eropa, mereka juga mengatur mengenai transaksi short
selling ini. Contohnya Austria mengaturnya dalam Stock Exchange Act
dan Denmark mengaturnya dalam Act on Securities Trading. Namun, ada juga
negara-negara yang melarang dilakukannya praktik short selling, seperti
Latvia dan Lithuania (sumber: http://www.cysec.gov.cy).
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
1. Keputusan Ketua Bapepam No.
Kep-09/PM/1997 tanggal 30 April 1997 tentang Pembiayaan Penyelesaian Transaksi
Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah;
2. Keputusan Ketua Bapepam-LK No.
258/BL/2008 Pembiayaan
Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah Dan Transaksi Short Selling
Oleh Perusahaan Efek;
3. Keputusan Ketua Bapepam-LK No.
556/BL/2008 tentang
Perubahan Pasal 2 Huruf A, Pasal 4 Ayat (1), Dan Pasal 5 Keputusan Ketua
Bapepam Dan Lk Nomor: Kep-258/Bl/2008 Tanggal 30 Juni 2008 Tentang Pembiayaan
Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah Dan Transaksi Short Selling
oleh Perusahaan Efek.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar