Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Jumat, 27 Juli 2012

Sistem Bagi Hasil Perbankan Syariah dan SBI
Apakah sistem bagi hasil di perbankan syariah juga mengacu pada SBI?

Jawaban:  Ilman Hadi

Mengutip uraian dalam artikel yang ditulis oleh Dadang Romansyah dari Universitas Paramadina berjudul “Penentuan Rate Bagi Hasil Deposito Mudharabah Bank Syariah di Indonesia (Analisis Teori dan Praktik)”, dijelaskan bahwa  di dalam sistem perbankan yang tidak berdasarkan bunga (bank syariah), bagian keuntungan yang berhak diterima oleh pemilik dana (shahibul mal) dan pengurus bank (mudharib) atas suatu rekening investasi akan disepakati sebelum proses penyimpanan dana dilakukan.

Pemilik rekening investasi akan menerima bagian keuntungan yang berasal dari investasi dana-dana tersebut dan bank akan mendapatkan sisanya. Jadi sebuah bank mungkin menawarkan kepada penyimpan potensial bagi hasil 80% atas keuntungan, dan 20% berhak diterima oleh bank (El-Diwani, 2005 : p. 211).

Perbankan syariah pada dasarnya merupakan suatu industri keuangan yang memiliki sejumlah perbedaan mendasar dalam kegiatan utamanya dibandingkan dengan perbankan konvensional. Salah satu perbedaan utamanya terletak pada penentuan return yang akan diperoleh oleh para depositornya. Pada perbankan syariah, besarnya kompensasi yang didapatkan oleh nasabah bukan berasal dari perhitungan bunga yang ditetapkan di awal, namun kesepakatan mengenai proporsi keuntungan yang ditetapkan di awal (Arundina, 2007 : p. 117). Inilah yang kemudian disebut dengan sistem bagi hasil.

Dalam sistem keuangan tanpa bunga (sistem keuangan syariah), yang berupaya dijalankan oleh para penganut prinsip-prinsip Islam, seseorang dapat memperoleh keuntungan dari uang mereka hanya dengan cara tunduk pada risiko yang termasuk dalam skema bagi hasil (K. Lewis, 2007: p. 59).

Saudara menyebutkan apakah bagi hasil pada perbankan syariah juga mengacu pada SBI. Perlu diketahui bahwa SBI atau Sertifikat Bank Indonesia diatur dalam PBI No. 4/10/PBI/2002 Tahun 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia (“PBI 4/10/2002”) sebagaimana telah diubah dengan PBI No. 6/5/PBI/2004 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas PBI No. 4/10/PBI/2002 Tahun 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia. SBI merupakan surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek (Pasal 1 angka 3 PBI 4/10/2002).

Penerbitan, perdagangan, dan penghitungan SBI diatur dalam Pasal 3 PBI 4/10/2002:

Pasal 3
        (1) SBI memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.      satuan unit sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b.      berjangka waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan yang dinyatakan dalam jumlah hari dan dihitung dari tanggal penyelesaian transaksi sampai dengan tanggal jatuh waktu;
c.      penerbitan dan perdagangan dilakukan dengan sistem diskonto;
d.      diterbitkan tanpa warkat (scripless);
e.      dapat dipindahtangankan (negotiable).
       (2) Perhitungan diskonto dalam perdagangan SBI dengan Bank Indonesia dilakukan atas dasar rumus diskonto murni (true discount) sebagai berikut:
Nilai Nominal x 360
Nilai Tunai =     ---------------------------------------------------------
360 + {(Tingkat Diskonto) x (Jangka Waktu)}
Nilai Diskonto = Nilai Nominal - Nilai Tunai.

SBI diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti OPT (Pasal 2 PBI 4/10/2002) yakni Operasi Pasar Terbuka yang adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. SBI ini sebelumnya menuai berbagai keluhan karena bank syariah merasa diperlakukan berbeda dengan bank konvensional, yang telah lebih dulu menikmati SBI konvensional.  

Keluhan tersebut ditanggapi dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ju’alah (Akad ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan). Sebagai referensi mengenai SBIS simak artikel berjudul BI Terbitkan Ketentuan SBI Syariah.

Menjawab yang Saudara tanyakan, karena penerbitan dan perdagangan SBI dilakukan dengan sistem diskonto (bunga), maka sistem bagi hasil perbankan syariah tidak seharusnya mempengaruhi business processbank syariah sebagaimana halnya yang terjadi pada bank konvensional. Lebih jauh mengenai perhitungan bagi hasil bisa disimak di situs Bank Indonesia.

Jadi, secara teori seharusnya tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap penentuan rate bagi hasil bank syariah. Oleh karena itu, sistem bagi hasil di perbankan syariah tidak mengacu pada SBI.

Demikian sepengetahuan kami, semoga membantu. Untuk lebih jelasnya, Saudara dapat menghubungi Kontak Bank Indonesia:
Untuk surat, layangkan ke alamat :
Humas Bank Indonesia
Jl. MH. Thamrin 2 Jakarta 10110 Indonesia
Telp (62-21) 381-7187 Faks (62-21) 350 1867
email : humasbi@bi.go.id

Dasar hukum:
1.    Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 Tahun 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia;
2.    Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/5/PBI/2004 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002 Tahun 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia;
3.    Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 Tahun 2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah;
4.    Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/18/PBI/2010 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/11/PBI/2008 Tahun 2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah. 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 18 September 2012

Siapa yang Berwenang Terbitkan Izin Usaha Niaga Bahan Bakar Minyak?

Apakah ada wewenang dari dinas pertambangan dan energi kabupaten/kota untuk menerbitkan izin usaha niaga Bahan Bakar Minyak?

Jawaban:  Ilman Hadi

Kegiatan niaga minyak bumi termasuk kegiatan usaha hilir sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”). Berdasarkan Pasal 43 PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (“PP 36/2004”) sebagaimana telah diubah dengan PP No. 30 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi:
Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan wajib memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri.”
Jadi, yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin usaha niaga bahan bakar minyak adalah Menteri (dalam hal ini adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) dan bukan dinas pertambangan dan energi kabupaten/kota.

Kemudian, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi (“Permen ESDM 7/2005”) untuk mendapatkan izin usaha, badan usaha harus mengajukan permohonan kepada Menteri (dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) melalui Direktur Jenderal (yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi) dilengkapi dengan persyaratan administratif dan teknis.

Selain diajukan kepada Menteri melalui Drektur Jenderal, permohonan izin usaha bahan bakar minyak juga disampaikan tembusannya kepada Badan Pengatur (Pasal 4 ayat [2] Permen ESDM 7/2005). Apabila permohonan izin usaha disetujui, Direktur Jenderal atas nama Menteri memberikan izin usaha sementara kepada Badan Usaha dengan tembusan kepada Menteri dan/atau Badan Pengatur (Pasal 13 ayat [1] Permen ESDM 7/2005).

Badan Pengatur yang dimaksud adalah Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada kegiatan usaha hilir sebagaimana diatur dalam Pasal 46 s.d. Pasal 49 UU Migas. Badan pengatur tersebut lebih dikenal dengan nama BPH Migas.

Setelah mendapatkan izin usaha niaga, Badan Usaha memiliki kewajiban untuk pendaftaran izin usaha niaga bahan bakar minyak kepada BPH Migas berdasarkan Pasal 3 Peraturan BPH Migas No. 08/P/BPH MIGAS/X/2005 Tahun 2005 tentang Kewajiban Pendaftaran Bagi Badan Usaha yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Bahan Bakar Minyak (“Peraturan BPH Migas 08/2005”). BPH Migas akan mengeluarkan sertifikat Nomor Registrasi Usaha (“NRU”) kepada Badan usaha yang telah mendapat Izin Usaha Sementara atau Izin Usaha Niaga (Pasal 4 Peraturan BPH Migas 08/2005). Badan Usaha yang telah mendapat NRU memiliki kewajiban untuk wajib melaporkan kemajuan usahanya secara periodik dan membayar iuran kepada BPH Migas (Pasal 6 jo.Pasal 7 Peraturan BPH Migas 08/2005). Apabila melanggar kewajiban untuk mendaftarkan izin usahanya, BPH Migas dapat mengusulkan kepada Menteri untuk mencabut izin usaha yang telah diberikan (Pasal 8 Peraturan BPH Migas 08/2005).

Badan usaha yang melakukan kegiatan niaga minyak bumi harus berbentuk badan hukum yang didirikan yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Republik Indonesia (lihat Pasal 1 angka 17 jo. Pasal 23 ayat [1] UU Migas).

Izin usaha niaga yang diberikan kepada badan usaha dapat berupa izin usaha niaga umum (wholesale) atau izin usaha niaga terbatas (trading) (Pasal 46 ayat (1) PP 36/2004). Pengertian kegiatan usaha niaga umum dan kegiatan usaha niaga khusus adalah:

Kegiatan Usaha Niaga Umum (Wholesale) adalah kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan /atau Hasil Olahan dalam skala besar yang menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan berhak menyalurkannya kepada semua pengguna akhir dengan menggunakan merek dagang tertentu (Pasal 1 angka 16 PP 36/2004).

Kegiatan Usaha Niaga Terbatas (Trading) adalah kegiatan usaha penjualan, pembelian, ekspor dan impor, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan dalam skala besar yang tidak menguasai atau mempunyai fasilitas dan sarana penyimpanan dan hanya dapat menyalurkannya kepada pengguna yang mempunyai/menguasai fasilitas dan sarana pelabuhan dan/atau terminal penerima (receiving terminal) (Pasal 1 angka 17 PP 36/2004).



Kemudian, di dalam ketentuan pidana Pasal 53 huruf d UU Migas diatur bahwa setiap orang yang melakukan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU Migas TANPA Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30 miliar.

Menjawab pertanyaan Saudara, tidak ada sama sekali kewenangan dari dinas pertambangan dan energi kabupaten/kota untuk menerbitkan izin usaha niaga bahan bakar minyak. Izin Usaha Niaga bahan bakar minyak diberikan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral) setelah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Dirjen (yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi) dan mengirim tembusannya kepada BPH Migas.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.    Peraturan  Menteri  Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2005 tentang Persyaratan dan Pedoman Pelaksanaan Izin Usaha Dalam Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi
4.    Peraturan BPH Migas Nomor 08/P/BPH MIGAS/X/2005 Tahun 2005 tentang Kewajiban Pendaftaran Bagi Badan Usaha yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Bahan Bakar Minyak
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 22 September 2010

Tentang Valuta Asing

Apabila ada perusahaan valuta asing yang tidak memiliki izin usaha dari BI, apa sanksinya dan diatur di dalam perundang-undangan yang mana? Terima kasih.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah


Mungkin yang Anda maksudkan perusahaan valuta asing adalah Pedagang Valuta Asing. Menurut pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pedagang Valuta Asing (“PBI No. 9/11/PBI/2007”), Pedagang Valuta Asing adalah perusahaan yang melakukan jual beli uang kertas asing (banknotes) dan pembelian traveller's cheque. Pedagang Valuta Asing (“PVA”) terdiri dari:

  1. PVA Bukan Bank, yakni perusahaan berbadan hukum Perseroan Terbatas bukan bank yang maksud dan tujuan perseroan adalah melakukan kegiatan usaha jual beli uang kertas asing (banknotes) dan pembelian traveller's cheque. PVA Bukan Bank dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin dari Bank Indonesia (lihat pasal 5 PBI No. 9/11/PBI/2007). Sertifikat izin usaha tersebut wajib dipasang oleh PVA Bukan Bank (lihat pasal 13 PBI No. 9/11/PBI/2007).
  2. PVA Bank, yakni bank umum bukan bank devisa yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah, yang melakukan kegiatan usaha jual beli uang kertas asing (banknotes) dan pembelian traveller's cheque. PVA Bank baru boleh melakukan kegiatan usaha sebagai PVA setelah mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia (lihat pasal 29 PBI No. 9/11/PBI/2007).

Jadi, untuk dapat menjalankan usaha sebagai PVA, harus mendapatkan izin/persetujuan dari Bank Indonesia terlebih dahulu. Bagi PVA Bank yang menjalankan kegiatan usaha tanpa mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia terlebih dahulu, dapat dikenakan sanksi sebagai berikut:

  1. teguran tertulis;
  2. penilaian manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan;
  3. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham Bank dalam daftar pihak-pihak yang mendapatkan predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan

Selain untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, pengaturan mengenai perizinan PVA oleh Bank Indonesia juga bertujuan untuk melindungi konsumen PVA serta masyarakat pada umumnya. Konsumen dapat dirugikan oleh PVA yang tidak mengantongi izin dari Bank Indonesia karena PVA tidak berizin dapat menjadi sarana peredaran valuta asing palsu. Selain itu, PVA tidak berizin juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana kejahatan lain seperti misalnya pendanaan terorisme.

Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/11/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pedagang Valuta Asing
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer