Perusahaaan_Hukumonline


Rabu, 23 Pebruari 2011

Debitur Berubah dari CV menjadi PT

Kami perusahaan multifinance mempunyai Debitur yang berubah bentuk dari CV (Perseroan Komanditer) menjadi PT (Perseroan Terbatas). Pertanyaan saya, bagaimana status Perjanjian Kredit dan Pengikatan Agunan (Fidusia) yg telah dibuat sebelum perubahan ? Mohon penjelasannya..


Perbedaan prinsipil antara CV (Commanditaire vennootschap) dengan PT (Perseroan Terbatas) adalah pada status badan hukumnya. CV merupakan persekutuan yang tidak berbadan hukum dan tanggung jawab dari para sekutu pengurus adalah sampai kepada harta pribadinya. Berbeda dengan PT yang merupakan perseoran berbadan hukum, memisahkan harta perseroan dengan harta pribadi sehingga tanggung jawabnya terbatas, tidak sampai kepada harta pribadi para pemegang saham.
Dalam hal ini perusahaan Anda telah terikat Perjanjian Kredit dan Pengikatan Agunan (Fidusia) dengan CV yang sebelum kemudian berubah bentuk menjadi PT. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh CV sebelum berubah menjadi PT ini dapat tetap mengikat PT yang baru apabila memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan-persyaratan tersebut adalah (lihat Pasal 13 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas):
1.         Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri atau kuasanya.
2.         RUPS pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum.
3.         Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sah apabila RUPS dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili semua saham dengan hak suara dan keputusan disetujui dengan suara bulat.
4.         Dalam hal RUPS tidak diselenggarakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau RUPS tidak berhasil mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setiap calon pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul.
5.         Persetujuan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperlukan apabila perbuatan hukum tersebut dilakukan atau disetujui secara tertulis oleh semua calon pendiri sebelum pendirian Perseroan.

Jadi, Perjanjian Kredit dan Pengikatan Agunan (Fidusia) antara perusahaan Anda dengan CV tersebut tetap sah dan mengikat PT yang baru (eks CV) SEPANJANG persyaratan-persyaratan tersebut di atas dipenuhi.
Namun, jika PT yang baru tidak menerima perbuatan hukum para pendiri (pemilik CV), maka Perjanjian Kredit dan Pengikatan Agunan (Fidusia) tersebut tetap sah dan mengikat para pemilik CV secara pribadi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Rabu, 04 Mei 2011
Daya Mengikat Surat Menteri

Ada yang bisa menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan 'Surat Menteri"? Sebagai contoh, sebuah perusahaan persero, diawasi dan dibina oleh seorang menteri teknis (catatan: menteri tersbeut bukanlah Menneg BUMN dalam kedudukannya sebagai pemegang saham). Menteri tersebut, dalam beberapa kasus mengeluarkan surat kepada Direksi Persero tersebut berisi instruksi untuk melakukan investasi di berbagai tempat. Pertanyaan, sampai di manakah instruksi dalam bentuk surat (bukan keputusan) tersebut dapat mengikat direksi PT Persero tersebut? Terima kasih.


Persero adalah Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 persen sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (lihat Pasal 1 ayat [3] UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara – UU BUMN). Berdasarkan Pasal 11 UU BUMN, terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas.
Organ Persero adalah Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Komisaris (lihat Pasal 13 UU BUMN). Berdasarkan Pasal 5 UU BUMN, pengurusan BUMN dilakukan oleh Direksi, di mana Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sementara itu, pengawasan kegiatan pengurusan Persero oleh direksi adalah dilakukan oleh Komisaris. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang dan/atau anggaran dasar. Berdasarkan Pasal 14 UU BUMN menyebutkan salah satu kewenangan dalam RUPS adalah kewenangan dalam menentukan investasi dan pembiayaan jangka panjang yang dilakukan oleh Persero.
Berdasarkan Pasal 91 UU BUMN, dijelaskan bahwa selain organ BUMN, pihak lain manapun dilarang campur tangan dalam pengurusanBUMN. Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan larangan campur tangan tersebut dimaksudkan supaya Direksi dapat melaksanakan tugasnya secara mandiri, pihak-pihak luar manapun, selain organ BUMN tidak diperbolehkan ikut campur tangan terhadap pengurusan BUMN.

Pengertian campur tangan termasuk adalah tindakan atau arahan yang secara langsung memberi pengaruh terhadap tindakan pengurusan BUMN atau terhadap pengambilan keputusan oleh Direksi. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mempertegas kemandirian BUMN sebagai badan usaha agar dapat dikelola secara profesional sehingga dapat berkembang dengan baik sesuai dengan tujuan usahanya. Hal ini berlaku pula bagi Departemen dan instansi Pemerintah lainnya.
Di dalam UU BUMN tidak diatur mengenai kewenangan menteri dalam menentukan kebijakan investasi Persero. Namun demikian, terkait daya mengikat Surat Menteri tersebut sebagai suatu peraturan perundang-undangan, maka perlu dicermati mengenai pemenuhan unsur-unsur dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/04”). Sesuai dengan Pasal 7 ayat (4) UU 10/04, maka jenis peraturan perundang-undangan selain Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden Peraturan Daerah diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, untuk mengetahui daya mengikat suatu peraturan menteri ataupun surat menteri perlu diperhatikan beberapa hal.
Di dalam UUD 1945 pun tidak diatur mengenai surat menteri, namun berdasarkan Pasal 17 UUD 1945 disebutkan fungsi dari peraturan menteri adalah menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya. Sifat wewenang pembentukan peraturan menteri adalah bersifat kewenangan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun demikian, pendelegasian kewenangan tersebut dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
Sebagai contoh, bahwa menteri teknis dalam memberikan kebijakan investasi dalam sektornya, dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat memberikan peraturan mengenai besarnya modal minimum Persero dalam melakukan investasi di sektor tersebut. Sehingga, penerbitan peraturan menteri tersebut merupakan pelaksanaan dari suatu peraturan di atasnya.
Dengan demikian, kami menyimpulkan menteri teknis tidak dapat mengintervensi pengurusan Persero dalam menentukan kebijakan arah investasi Persero. Di samping itu, bidang usaha investasi Persero telah diatur sesuai dengan anggaran dasar dan keputusan yang diambil oleh organ Persero tersebut secara mandiri.

Hal tersebut karena Persero merupakan badan hukum mandiri yang memiliki organ di dalamnya berupa RUPS, Direksi, dan Komisaris yang memiliki kewenangan secara mandiri untuk menjalankan kegiatan Persero. Lebih lanjut, UU BUMN melarang pihak manapun kecuali organ Persero, untuk terlibat dalam pengurusan BUMN. Oleh karena itu surat menteri teknis tersebut tidak mengikat Persero dalam kebijakan investasinya.
Menteri teknis memiliki kewenangan dalam rangka pengaturan secara umum sehubungan dengan penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dalam bidangnya dengan menerbitkan peraturan mengenai investasi di bidang tertentu, sepanjang memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal demikian, surat menteri teknis yang sifatnya kebijakan mengatur tersebut adalah mengikat bagi Persero yang hendak melakukan investasi dalam bidang tertentu tersebut.
Demikian pendapat kami, semoga dapat menjawab apa yang ditanyakan.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 06 Pebruari 2012

Dasar Hukum Pendirian Organisasi di Bidang Sosial

Bagaimana eksistensi organisasi nonpemerintah (NGO) atau disebut LSM dewasa ini, apakah ada aturan-aturan hukum yang khusus mengatur pendiriannya?  

Jawaban:  Diana Kusumasari

Pada dasarnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah istilah yang senantiasa digunakan oleh masyarakat luas untuk menyebut organisasi yang bergerak di bidang sosial (tidak berorientasi profit) dan secara institusi tidak terikat dan/atau tidak berada di bawah organ-organ negara. Lebih jauh mengenai LSM simak artikel Prosedur Mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat. Pengertian LSM ini sama dengan yang pada umumnya disebut sebagai Non-Government Organization (NGO).

Jeff Atkinson dan Martin Scurrah dalam bukunya Globalizing Social Justice; The Role of Non-Governmental Organizations in Bringing about Social Change memberikan pengertian NGO sebagai suatu sekelompok masyarakat (perhimpunan) yang secara formal terorganisir dan merupakan lembaga yang umumnya self-governing, privat, dan non-profit (tidak berorientasi pada profit).
Di Indonesia, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. sebagaimana kami kutip dari buku Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha (hal. 33-34), perhimpunan/perkumpulan ini umumnya dibagi menjadi dua:
1.      Perkumpulan biasa yang merupakan Organisasi Massa;
Untuk perkumpulan yang merupakan Organisasi Massa (Ormas) bisa berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak menangani masalah anak jalanan, partai politik, atau perkumpulan biasa pada umumnya seperti: perkumpulan pencinta moge (motor gede), perkumpulan pencinta perangko, perkumpulan pencinta keris dll.
Dasar hukum pendiriannya:
-         Pasal 1663-1664 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
-         UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”).

2.      Perkumpulan yang Berbadan Hukum.
Perkumpulan jenis ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Staatsblad 1870 No. 64 (berdasarkan Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870), yaitu: perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jendral (pada waktu itu Directeur van Justitie – kini Menteri Hukum & HAM RI).
Dasar hukum pendiriannya:
-         Staatsblad 1870 No. 64;
-         UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 (“UU Yayasan”).

Dalam sebuah artikel hukumonline DPR Diminta Batalkan Revisi UU Ormas, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Eryanto Nugroho berpendapat bahwa organisasi yang bergerak di bidang sosial sebenarnya hanya dua jenis yakni Yayasan dan Perkumpulan Berbadan Hukum. Sedangkan, bentuk ormas sebenarnya tidaklah dikenal dalam kerangka hukum yang benar. Eryanto berpendapat bahwa lahirnya UU Ormas pada 1985 merupakan warisan Orde Baru yang membuat salah kaprah pengaturan organisasi dalam hukum Indonesia. Menurutnya, UU Ormas itu lahir dengan semangat Orde Baru untuk mengkontrol organisasi yang ada di era itu. Demikian pendapat Eryanto Nugroho.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2.      Staatsblad 1870 No. 64 (28 Maret 1870);
4.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline 
Jumat, 05 Agustus 2011

CV Bubar, Bagaimana dengan Utangnya?
Salam Hormat redaksi Hukumonline. Sebuah CV (terdiri dari 2 pesero pengurus dan 2 pesero komanditer) mempunyai utang kepada PT. Sebelum utang lunas CV menyatakan bubar (dengan menunjukkan Kesepakatan Pembubaran kepada PT). PT masih berusaha menagih utang tersebut, meski CV tersebut telah bubar. Muncul opsi dari salah seorang pesero komanditer agar utang dibagi rata (4 orang) dan masing-masing bertanggung jawab secara pribadi atas utang tersebut. (1) Jika opsi tersebut dilaksanakan apakah dilindungi hukum? (2) Apakah masih bisa menggugat CV yang sudah bubar? (3) Jika CV yang bubar dan masih mempunyai Piutang kepada pihak lain, dapatkan Piutang tersebut dialihkan kepada PT sebagai pembayaran utang dan jika bisa dilakukan pengalihan piutang, siapakah yang mewakili CV untuk tanda tangan dan apakah pihak lain yang berutang kepada kepada CV juga harus tanda tangan? Demikian terima kasih atas responnya.


Terima kasih atas pertannyaannya.

Berikut jawaban yang dapat kami sampaikan atas pertanyaan saudara.
A.      Definisi Persekutuan Komanditer (commandiraire vennootschap atau CV)?
Persekutuan Komanditer (commandiraire vennootschap atau CV) adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau oleh beberapa orang yang mempercayaakan uang dan atau barang kepada seseorang atau beberapa orang yang menjalankan pengurusan yang dikenal sebagai sekutu aktif (sekutu komplementer) dan orang yang mempercayakan uang (pemberi modal) tersebut disebut sekutu komanditer.
CV bukanlah suatu badan hukum, sehingga pertanggungjawaban atas CV tersebut adalah terhadap pribadi dari sekutu aktif dalam CV tersebut hingga harta pribadinya. Sedangkan, sekutu pasif hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disetorkan saja.
Dalam hal adanya kerugian yang diderita oleh CV namun harta dari CV tersebut tidak cukup untuk menutupnya, maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab dari Sekutu aktif.
Dari apa yang diterangkan di atas dapat kita lihat ada dua macam sekutu yakni;
a.     Sekutu Aktif/pengurus (Sekutu Komplementer), berhak memasukan modal, namun tugas pokoknya adalah melakukan pengurusan terhadap persekutuan tersebut di mana tanggung jawab dari para sekutu aktif tersebut bertanggung jawab hingga harta pribadinya secara keseluruhan
b.     Sekutu Komanditer (pasif), berkewajiban menyerahkan uang, benda dan atau tenaga sebagaimana telah diperjanjikan sebelumnya yang kemudian mendapatkan keuntungan dari persekutuan tersebut berdasarkan besaran modal yang telah disetorkannya. Tanggung jawab persekutuan komanditer terbatas hanya sampai dengan jumlah uang yang telah disanggupi untuk disetorkannya.

Sekutu komanditer tidak boleh melakukan pengurusan layaknya sekutu aktif. Dalam hal sekutu komanditer turut serta melakukan pengurusan CV, maka tanggung jawab Sekutu Komanditer dapat diperluas hingga harta pribadinya. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 20 dan Pasal 21 KUHD.
B.      Jawaban atas kasus posisi di atas
Dalam kasus posisi sebagaimana telah dijabarkan pada pertanyaan di atas dapat diketahui bahwa CV telah menyatakan pembubaran diri, namun masih mempunyai tunggakan terhadap PT. Kemudian CV tersebut diwakili oleh sekutu komanditer memberikan opsi untuk membagi tanggung jawab atas utang yang tersisa tersebut kepada empat sekutu secara pro rata termasuk sekutu komanditer dan sekutu pengurus. Pertanyaan-pertanyaan hukumnya adalah;
a.     Apakah Opsi tersebut dilindungi hukum?
Pada prinsipnya, utang dari suatu CV menjadi tanggung jawab sekutu komplementer (sekutu pengurus). Dalam hal dalam hal dibuat suatu kesepakatan mengenai pembagian utang CV terhadap PT secara pro rata kepada setiap sekutu, maka hal tersebut dapat saja dilakukan sepanjang telah disepakati oleh seluruh sekutu.
Sedangkan, bagi PT yang memiliki piutang sebaiknya meminta agar dibuat suatu akta pengakuan utang oleh CV yang bersangkutan yang ditandatangani oleh semua sekutu baik sekutu komplemeter (sekutu pengurus) maupun sekutu komanditer guna menjamin kepastian hukum bagi PT tersebut di kemudian hari.

b.     Jika opsi yang ditawarkan tidak berjalan apakah CV yang sudah bubar masih bisa digugat oleh PT?
Dalam pembubaran suatu persekutuan (CV) tidak dapat dikatakan selesai jika seluruh hak dan kewajiban dari si CV tersebut belum seluruhnya selesai dilaksanakan. Para sekutu berkewajiban untuk menyelesaikan segala tunggakan-tunggakan utang maupun piutang atas nama CV yang belum diselesaikan kepada pihak ketiga.
Mengenai siapa yang bertanggung jawab atas tuntutan-tuntutan dari kreditur kepada CV tersebut, yang bertanggung jawab tentunya adalah sekutu aktif atau sekutu komplementer hingga harta pribadinya.
Dalam pembubaran CV telah terjadi, kreditur tetap dapat mengajukan gugatan kepada sekutu aktif tersebut secara pribadi, mengingat CV bukanlah suatu badan hukum.
c.     Jika kemudian dapat diketahui CV tersebut masih mempunyai piutang terhadap pihak ketiga, timbul pertanyaan hukum, dapatkah piutang tersebut dialihkan kepada PT? Jika dapat, siapakah yang berhak melakukan pengalihan tersebut?
Pengalihan utang suatu persekutuan komanditer kepada PT dapat dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya melalui mekanisme cessie sebagaimana diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata. Dan pihak yang berhak melakukan pengalihan tersebut adalah sekutu aktif atau sekutu Komplementer. Mengenai pengalihan utang tersebut harus diberitahukan atau dengan persetujuan tertulis yang diberikan oleh debitur dimaksud.

Demikan kiranya yang dapat kami sampaikan, semoga dapat membantu.
 Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43);
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Kamis, 02 September 2004

Cara mendirikan CV
Saya ingin mendirikan CV dan saya ingin mendaftarkan secara resmi. CV yang akan saya jalankan bila telah berjalan nantinya, apakah ada dampaknya terhadap hukum bila belum didaftarkan secara resmi? apa syarat mendirikan CV dan berapa biayanya? ke lembaga mana yang berhak mensahkan pendirian CV saya tersebut?


Jawaban:  Bung Pokrol

Persekutuan Komanditer (commanditaire vennootschap atau CV) ialah Persekutuan firma yang memiliki satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu Komanditer ialah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan kepada Persekutuan, dan ia tidak ikut campur dalam pengurusan atau-pun penguasaan dalam Persekutuan.

Status Sekutu Komanditer dapat disamakan dengan seorang yang menitipkan modal pada suatu perusahaan, yang hanya menantikan hasil keuntungan dari inbreng yang dimasukan itu, dan tidak ikut campur dalam kepengurusan, pengusahaan, maupun kegiatan usaha perusahaan. Sehingga dalam Persekutuan Komanditer terdapat 2 macam sekutu, yaitu :
a.  sekutu kerja atau sekutu Komplementer adalah sekutu yang menjadi pengurus Persekutuan; dan
b.    sekutu tidak kerja atau sekutu Komanditer adalah tidak mengurus Persekutuan dan hanya memberikan inbreng saja.

Dasar Pengaturan Persekutuan Komanditer

Persoalan Firma diatur dalam Pasal 16 s/d 35 KUHD, sementara Pasal 19, 20 dan 21 adalah aturan untuk Persekutuan Komanditer. Pasal 19 (a) KUHD mengatur bahwa Persekutuan secara melepas uang/Persekutuan komanditer, didirikan atas satu atau beberapa orang yang bertanggung-jawab secara pribadi untuk keseluruhan dengan satu atau beberapa orang pelepas uang. Terdapatnya aturan Persekutuan komanditer diantara/ didalam aturan mengenai firma, karena Persekutuan komanditer juga termasuk kedalam bentuk firma dalam arti khusus, yang kekhususannya terletak dari adanya persekutuan komanditer, sementara sekutu jenis ini tidak ada pada bentuk firma (yang ada dalam firma hanya bentuk sekutu kerja atau Firman).

Pendirian, Pendaftaran & Pengumuman CV : Commanditaire Vennootschap

Mengenai hal tidak ada pengaturan khusus bagi CV, sehingga dalam pendirian CV adalah sama dengan pendirian Firma, bisa didirikan secara lisan (konsesuil diatur dala Pasal 22 KUHD dikatakan bahwa tiap-tiap perseroan firma harus didirikan dengan AKTA OTENTIK, akan tetapi ketiadaan akta demikian, tidak dapat dikemukakan untuk merugikan publik / pihak ketiga). Pada prakteknya di Indonesia telah menunjukkan suatu kebiasaan bahwa orang mendirikan CV berdasarkan Akta Notaris (Otentik), didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang, dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara R.I.

Karena adanya kesamaan dalam pendirian tersebut dengan Firma, maka tahap-tahap pendirian CV adalah sebagai berikut :
1.      Pasal 23 KUHD mewajibkan pendiri Firma (yang juga berlaku juga pada CV) untuk mendaftarkan akta pendiriannya kepada Panitera PN yang berwenang, dan yang didaftarkan hanyalah akta pendirian firma (atau CV) atau ihtisar resminya saja (Pasal 24 KUHD), dan
2.      Para pendiri CV diwajibkan untuk mengumumkan ihtisar resmi akta pendiriannya dalam Tambahan Berita Negara R.I. (Pasal 28 KUHD); kedua pekerjaan ini bisa dilimpahkan kepada Notaris yang membuat akta.

Adapun ihtisar isi resmi dari Akta Pendirian CV meliputi :
a.      nama lengkap, pekerjaan & tempat tinggal para pendiri;
b.      penetapan nama CV;
c.      keterangan mengenai CV itu bersifat umum atau terbatas untuk menjalankan sebuah perusahaan cabang secara khusus;
d.      nama sekutu yang tidak berkuasa untuk menandatangani perjanjian atas nama persekutuan;
e.      saat mulai dan berlakunya CV;
f.       clausula-clausula lain penting yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap sekutu pendiri;
g.      Pendaftaran akta pendirian ke PN harus diberi tanggal;
h.      Pembentukan kas (uang) dari CV yang khusus disediakan bagi penagih dari pihak ketiga, yang jika sudah kosong berlakulah tanggung jawab sekutu secara pribadi untuk keseluruhan;
i.        Pengeluaran satu atau beberapa sekutu dari wewenangnya untuk bertindak atas nama persekutuan.

Demikian, yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
            Kamis, 08 September 2011
Pertanyaan:
Bolehkah Surat Kuasa yang Isinya Mengalihkan Tanggung Jawab?

Kpd. Yth. Redaksi Hukumonline, PT A (pemberi order) membuat perjanjian cetak dengan PT B. Pihak PT A diwakili oleh Amrih (selaku Penanggung Jawab) yang mendapatkan kuasa dari Direktur PT A. Ada 2 poin yang dikuasakan (i) kewenangan bertindak atas nama PT A untuk tanda tangan perjanjian; (ii) adanya pelimpahan tanggung jawab, "bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Perjanjian cetak menjadi tanggung jawab Amrih (penerima kuasa). Pertanyaannya (1) jika ada tagihan, siapakah yang bertanggung jawab secara hukum, PT A atau Amrih selaku pribadi? (2) apakah isi surat kuasa yang mengalihkan tanggung jawab diperbolehkan secara hukum?

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.       Ketentuan Pasal 103 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) menyebutkan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Yang dimaksud “kuasa” di sini adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa (lihat Penjelasan Pasal 103 UUPT).
Sedangkan, dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa dapat kita temui dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”). Pada dasarnya, penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya (lihat Pasal 1797 KUHPerdata).

Dengan demikian, perlu dilihat kembali dalam surat kuasa yang diberikan oleh Direksi PT A kepada Amrih. Dalam surat kuasa khusus yang diberikan oleh Direksi tersebut kepada Amrih, seharusnya dijelaskan secara rinci tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh Amrih. Pada umumnya, pemberian kuasa dari Direksi kepada orang lain hanya untuk mewakili Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu ketika Direksi berhalangan. Dan bukan untuk mengalihkan tanggung jawab.
Namun kami mengamati kalimat dalam surat kuasa tersebut, "bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Perjanjian cetak menjadi tanggung jawab Amrih (penerima kuasa)”, kami melihat hal tersebut sebagai pemberian kuasa secara umum. Padahal, surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan, untuk memindahtangankan benda-benda, atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik, tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum, melainkan harus dengan surat kuasa khusus (lihat Pasal 1796 KUHPer). Lebih jauh simak Kuasa Umum atau Kuasa Khusus.
Mengingat esensi dari pemberian kuasa dalam konteks pertanyaan di atas adalah untuk dan atas nama PT A, maka apabila penerima kuasa (dalam hal ini Amrih) telah melakukan hal-hal yang dikuasakan dengan iktikad baik dan tanpa kelalaian, maka seharusnya dia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Yang bertanggung jawab adalah PT A.
Penerima kuasa dapat dimintakan pertanggungjawaban bila dia tidak melaksanakan hal-hal yang dikuasakan kepadanya atau lalai dalam melaksanakan yang dikuasakan kepadanya (lihat Pasal 1800 dan Pasal 1801 KUHPerdata). Jadi, apabila ada tagihan yang muncul, seharusnya PT A-lah yang bertanggung jawab untuk melunasinya.
2.       Kemudian, mengenai pengalihan tanggung jawab diperbolehkan sepanjang disetujui oleh Amrih sebagai penerima tanggung jawab. Pengalihan tanggung jawab ini masuk ke dalam skema penanggungan/penjaminan, yaitu melalui penanggungan perorangan/pribadi (personal guarantee), dan bukan pemberian kuasa.
Penjaminan pribadi merupakan bagian dari skema perjanjian penanggungan yang diatur pada KUHPerdata (Bab XVII KUHPerdata). Inti dari perjanjian penanggungan adalah adanya pihak ketiga yang setuju untuk kepentingan si berutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang, apabila pada waktunya si berutang sendiri tidak berhasil memenuhi kewajibannya (lihat Pasal 1820 KUHPerdata). Lebih jauh simak Kepailitan Personal Guarantor.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Selasa, 15 November 2011

Bolehkah PNS Menjadi Direksi/Komisaris PT?
1. Bolehkah pegawai negeri sipil (PNS) memiliki saham pada suatu Perseroan Terbatas (PT)? 2. Bolehkah PNS menjadi Direksi/Komisaris pada suatu PT?  

Jawaban:  Diana Kusumasari
Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) selain berlaku UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Pokok-Pokok Kepegawaian”), juga berlaku peraturan mengenai disiplin PNS (Pasal 29 UU Pokok-Pokok Kepegawaian). Peraturan disiplin bagi PNS ini diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri (“PP 53/2010”).

Sebelum diberlakukannya PP 53/2010, peraturan disiplin bagi pegawai negeri diatur dengan PP No. 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”). Dalam kedua peraturan disiplin tersebut terdapat perbedaan sebagai berikut:
 Larangan bagi PNS dalam PP 30/1980
Larangan bagi PNS dalam PP 53/2010
Pasal 3

(1) Setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang:
a.      melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau martabat Negara, Pemerintah, atau Pegawai Negeri Sipil;
b.      menyalahgunakan wewenangnya;
c.       tanpa izin Pemerintah menjadi Pegawai atau bekerja untuk negara asing;
d.      menyalahgunakan barang-barang, uang, atau surat-surat berharga milik Negara;
e.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang, dokumen, atau surat-surat berharga milik Negara secara tidak sah;
f.        melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan Negara;
g.      melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam maupun diluar lingkungan kerjanya;
h.      menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut dapat di duga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
i.         memasuki tempat-tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Pegawai Negeri Sipil, kecuali untuk kepentingan jabatan;
j.        bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
k.       melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani;
l.         menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
m.     membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain;
n.      bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Pemerintah;
o.      memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
p.      memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatannya tidak berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
q.      melakukan kegiatan usaha dagang baik secara resmi, maupun sambilan, menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a keatas atau yang memangku jabatan eselon I.
r.        melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain.

(2)    Pegawai Negeri Sipil yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang akan melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf q, wajib mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang.

Pasal 4

Setiap PNS dilarang:
1.      menyalahgunakan wewenang;
2.      menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain;
3.     tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional;
4.     bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing;
5.      memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah;
6.      melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
7.      memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan;
8.      menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya;
9.      bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya;
10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani;
11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan;
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
a.      ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b.      menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c.       sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d.      sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a.      membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a.      terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b.      menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c.       membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d.      mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Dalam PP 30/1980 jelas dilarang bagi PNS untuk memiliki saham suatu perusahaan ataupun menjabat sebagai Direksi atau Dewan Komisaris. Namun, terkait larangan menjadi Direksi atau Dewan Komisaris ini dapat dikecualikan bagi PNS yang berpangkat Penata Tingkat I golongan ruang III/d ke bawah yang mendapat izin tertulis dari pejabat yang berwenang. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam PP 53/2010 yang melarang PNS bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional tanpa izin Pemerintah. Dalam PP 53/2010 ini PNS juga dilarang bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing.
Sejak diberlakukannya PP 53/2010, PP 30/1980 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga, yang berlaku adalah ketentuan Disiplin Pegawai Negeri dalam PP 53/2010 yang di dalamnya tidak ada larangan secara tegas bagi PNS yang ingin memiliki saham atau menjadi Direksi/Dewan Komisaris suatu perusahaan.
Sementara itu, menurut Irma Devita Purnamasari dalam artikel Lagi, Ketentuan Apakah PNS Bisa Menjadi pengusaha? di irmadevita.com, kemungkinannya PNS boleh saja bila ingin menjadi pengusaha, namun tetap harus dengan seizin atasan. Hal ini karena dalam Sistem Administrasi Badan Hukum/SABH (sebagai proses permohonan untuk pengesahan badan hukum di Kementerian Hukum dan HAM RI) untuk memasukkan nama pemegang saham atau direksi yang pegawai negeri harus memakai surat izin dari atasannya. Kemudian, dalam artikel Apakah Polri dan TNI Boleh Menjadi Pengusaha? (lanjutan) Irma menulis antara lain bahwa di dalam pengajuan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) masih mensyaratkan suami/istri PNS/POLRI/TNI wajib melampirkan surat keterangan dari atasan langsung. Persyaratan ini berlaku untuk pengajuan pendirian PT, Koperasi, Perusahaan Persekutuan maupun Perusahaan Perorangan. Begitu juga untuk perusahaan pemegang SIUP yang akan membuka kantor cabang/kantor perwakilan dan perusahaan yang dibebaskan dari kepemilikan SIUP.
 Jadi, PNS boleh saja memiliki saham pada suatu PT maupun menjadi Direksi/Dewan Komisaris sepanjang telah mendapatkan izin dari atasannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 28 Agustus 2012

Bolehkah Pengurus Yayasan Menjadi Pemegang Saham PT yang Didirikan Yayasan?
Salam bung, mohon informasi/keterangan tentang yayasan, Jika ada suatu yayasan yang ingin mendirikan suatu badan usaha/PT merujuk pada pasal 7 UU Yayasan Tahun 2001. Apakah Pembina, Pengurus atau Pengawas Yayasan tersebut juga boleh menjadi Pemegang saham atau karyawan dari badan usaha yang bersangkutan?

Jawaban: Ilman Hadi

Memang benar bahwa dalam Pasal 7 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya disebut dengan UU Yayasan), membolehkan Yayasan membentuk badan usaha untuk tujuan mencari keuntungan. Pasal 7 UU Yayasan selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

(1)      Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan.
(2)      Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
(3)      Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).

Karena Saudara menanyakan soal pemegang saham, maka badan usaha yang didirikan Yayasan tersebut adalah Perseoran Terbatas, (PT) yang diatur dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), karena hanya dalam PT dikenal adanya Pemegang Saham. Di dalam ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Yayasan, hanya disebutkan bahwa “Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha”, dan tidak disebutkan dilarang untuk menjadi Pemegang Saham. Menurut hemat kami, larangan anggota pembina, pengurus, dan pengawas yayasan merangkap jabatan sebagai anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris PT yang didirikan yayasan tersebut adalah untuk menghindari benturan kepentingan. Karena di satu sisi sifat dari yayasan adalah berfungsi sosial, sedangkan sifat dari PT adalah mencari keuntungan. Baik pembina, pengurus, dan pengawas Yayasan melakukan fungsi pengurusan dan pengawasan Yayasan., fungsi tersebut sama halnya dengan fungsi Direksi dan Dewan Komisaris dalam PT (lihat Pasal 1 angka 5 dan angka 6 UUPT). Pada sisi lain, Pemegang Saham PT tidak melakukan fungsi pengurusan maupun pengawasan dalam PT. Oleh karena itu, tidak ada larangan bagi anggota pembina, pengurus, atau pengawas Yayasan untuk menjadi pemegang saham PT yang didirikan oleh Yayasan.
Kemudian, mengenai larangan untuk menjadi karyawan bagi Pengurus, Pembina, dan Pengawas Yayasan dalam PT yang didirikan oleh Yayasan, mengutip artikel Karyawan Diangkat Jadi Direksi¸ intinya Direksi PT bukanlah termasuk karyawan PT. Karyawan PT adalah pekerja yang bekerja di PT berdasarkan perjanjian kerja sedangkan Direksi bekerja di PT berdasarkan penunjukan Rapat Umum Pemegang Saham, sehingga memiliki perbedaan sifat hubungan hukum. Oleh karena itu, karena karyawan bukanlah Direksi maka menjadi karyawan PT bagi Pembina, Pengurus, atau Pengawas Yayasan yang mendirikan PT adalah tidak dilarang.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Komentar

Postingan Populer