Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Jumat, 04 Juni 2010

Penjualan Piutang oleh Bank Tbk

Pertanyaan saya adalah: Bagaimana caranya suatu Bank (Tbk) write-off piutang dan apa peraturannya?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Definisi write off (hapus buku) berdasarkan pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Keuangan No. 28/PMK.05/2010 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Penerusan Pinjaman adalah sebagai berikut:

“Write-Off adalah proses penghapusan hak tagih atau upaya tagih secara perdata atas suatu piutang”

Prosedur write off ini sendiri tidak diatur secara khusus oleh Bank Indonesia. Hanya saja dalam pasal 69 Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (PBI 7/2005) diatur bahwa Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis mengenai hapus buku (write off). Prosedur ini wajib disetujui oleh Direksi dan Komisaris, dan Komisaris wajib mengawasi secara aktif mengenai pelaksanaan hapus buku ini.

Pasal 70 PBI 7/2005 kemudian mengatur bahwa write off tersebut hanya dapat dilakukan terhadap kredit yang dikategorikan sebagai “Macet”. Write off ini juga harus dilakukan untuk keseluruhan utang, tidak bisa hanya untuk sebagian saja (partial write off).

Jadi, untuk proses write off ini merupakan kebijakan yang bergantung pada masing-masing bank.
 Untuk perusahaan terbuka (Tbk), juga perlu diperhatikan mengenai Peraturan Bapepam No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik (Peraturan Bapepam). Dalam Angka 1 Peraturan Bapepam ini, diatur bahwa setiap perusahaan publik wajib menyampaikan kepada Bapepam dan mengumumkan kepada masyarakat apabila terdapat keputusan atau informasi atau fakta material yang mungkin dapat mempengaruhi nilai efek perusahaan atau keputusan investasi pemodal.

Angka 2 Peraturan Bapepam tersebut mengatur bahwa informasi atau fakta material sebagaimana dimaksud dalam Angka 1 Peraturan Bapepam:
 a)     Penggabungan usaha, pembelian saham, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan;
b)     Pemecahan saham atau pembagian dividen saham;
c)     Pendapatan dari dividen yang luar biasa sifatnya;
d)     Perolehan atau kehilangan kontrak penting;
e)     Produk atau penemuan baru yang berarti;
f)       Perubahan dalam pengendalian atau perubahan penting dalam manajemen;
g)     Pengumuman pembelian kembali atau pembayaran Efek yang bersifat utang;
h)     Penjualan tambahan efek kepada masyarakat atau secara terbatas yang material jumlahnya;
i)        Pembelian, atau kerugian penjualan aktiva yang material;
j)       Perselisihan tenaga kerja yang relatif penting;
k)      Tuntutan hukum yang penting terhadap perusahaan, dan atau direktur dan komisaris perusahaan;
l)        Pengajuan tawaran untuk pembelian Efek perusahaan lain;
m)    Penggantian Akuntan yang mengaudit perusahaan;
n)     Penggantian Wali Amanat;
o)     Perubahan tahun fiskal perusahaan;
 Jika write off utang tersebut mengakibatkan adanya informasi/fakta material sebagaimana disebutkan di atas, maka bank tersebut wajib memberitahukan pada Bapepam dan mengumumkan pada masyarakat.
 Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
  1. Peraturan Menteri Keuangan No. 28/PMK.05/2010 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Penerusan Pinjaman
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
  3. Peraturan Bapepam No. X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 10 Maret 2010

Pentingnya prinsip "per se" dan "rule of reason" di UU Persaingan Usaha

Kepada hukumonline, saya mau menanyakan mengenai pasal-pasal yang terdapat di UU Persaingan Usaha mencirikan 2 prinsip yaitu; per se illegal dan rule of reason. Sebenarnya apa pentingnya prinsip-prinsip tersebut? Dan berdasarkan apa prinsip itu dikenal di UU Persaingan Usaha? Dan mengapa pada setiap putusan KPPU menggunakan pendekatan prinsip-prinsip tersebut?
Jawaban:  Ranyta Yusran

a.      Pendekatan rule of reason dan per se illegal telah lama diterapkan dalam bidang hukum persaingan usaha untuk menilai apakah suatu kegiatan maupun perjanjian yang dilakukan oleh pelaku usaha telah atau berpotensi untuk melanggar UU Antimonopoli. Kedua pendekatan in pertama kali tercantum dalam beberapa suplemen terhadap Sherman Act 1980, yang merupakan UU Antimonopoli AS, dan pertama kali diimplementasikan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1899 (untuk per se illegal) dan pada 1911 (untuk rule of reason) dalam putusan atas beberapa kasus antitrust. Sebagai pioneer dalam bidang persaingan usaha, maka pendekatan-pendekatan yang diimplementasikan di AS juga turut diimplementasikan oleh negara-negara lainnya sebagai praktik kebiasaan (customary practice)dalam bidang persaingan usaha. 
Demikian halnya dengan Indonesia, dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat pendekatan rule of reason dapat diidentifikasikan melalui penggunaan redaksi “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan pendekatan per se illegal biasanya dipergunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “…yang dapat mengakibatkan…”. Berdasarkan hal-hal tersebut maka KPPU juga menerapkan kedua pendekatan ini dalam pengambilan keputusan atas perkara-perkara persaingan usaha. 
b.      Pentingnya pendekatan-pendekatan rule of reason dan per se illegal dalam persaingan usaha, antara lain:
  • Rule of reason
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. 
Pendekatan ini memungkinkan pengadilan melakukan interpretasi terhadap UU seperti mempertimbangkan faktor-faktor kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan perdagangan. Hal ini disebabkan karena perjanjian-perjanjian maupun kegiatan usaha yang termasuk dalam UU Antimonopoli tidak semuanya dapat menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat. Sebaliknya, perjanjian-perjanjian maupun kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga menimbulkan dinamika persainga usaha yang sehat. Oleh karenanya, pendekatan ini digunakan sebagai penyaring untuk menentukan apakah mereka menimbulkan praktek monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat atau tidak.
  • Per se illegal
Pendekatan per se illegal menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal, tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan kembali. 
Jenis Perilaku yang digolongkan sebagai per se illegal adalah perilaku-perilaku dalam dunia usaha yang hampir selalu bersifat anti persaingan, dan hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena metode ini membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan secara rinci, yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya yang mahal guna mencari fakta di pasar yang bersangkutan. 
Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Rabu, 20 Januari 2010

Persaingan usaha di ASEAN

1. Bagaimana pengaturan persaingan usaha di kawasan ASEAN terutama dalam era AFTA? 2. Apakah negara-negara ASEAN sudah mempunyai union rule tentang persaingan usaha, seperti Uni Eropa? 3. Kalau belum selain Indonesia, negara mana yang mempunyai aturan tentang persaingan usaha? seperti apa peraturannya? 4. Bagaimana penegakan hukum Indonesia jika pelaku usaha asing melakukan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat? 5. Bagaimana pengawasan persaingan usaha di kawasan AFTA? Apakah ada harmonisasi hukum dalam AFTA?

Jawaban:   Amrie Hakim


1.      Sejauh yang kami ketahui, hingga saat ini negara-negara ASEAN belum memiliki persepsi yang sama mengenai persaingan usaha, khususnya dalam konteks Asean Free Trade Area (AFTA). Dari 10 negara anggota ASEAN, ternyata baru Indonesia, Thailand, dan Filipina yang memiliki undang-undang mengenai persaingan usaha. Itu pun baru Indonesia yang memiliki lembaga independen yang mengawasi persaingan usaha, lewat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sedangkan Thailand baru memiliki lembaga yang sifatnya inter departemen di bawah Dirjen Perdagangan Dalam Negeri.
2.      Hingga saat ini, ASEAN belum memiliki aturan bersama atau union rule tentang persaingan usaha. Pada sisi lain, sejak 2003 Indonesia telah memelopori diselenggarakannya forum “ASEAN Conference on Fair Competition Law and Policy” pada Maret 2003 di Bali. Forum itu kemudian dilanjutkan dengan “The 2nd ASEAN Conference on Competition Policy and Law” pada Juni 2006 di Bali. Meski demikian, pertemuan-pertemuan tersebut hanya sebatas “mengenali dan mengidentifikasi permasalahan dalam mengembangkan efektifitas hukum dan kebijakan persaingan usaha” di tingkat ASEAN.
3.        Selain Indonesia, ada dua negara ASEAN yang telah memiliki undang-undang persaingan usaha yaitu Thailand dan Filipina. Thailand memiliki Trade Competition Act 1999, sedangkan Filipina sudah memiliki undang-undang yang melarang praktik monopoli sejak 1925 yang diadopsi dari Sherman Act 1840 milik AS. Namun, hingga kini baru Indonesia yang memiliki lembaga independen yang mengawasi persaingan usaha, lewat KPPU. Untuk mengetahui lebih jauh perbandingan hukum persaingan usaha di ASEAN, Anda antara lain dapat membaca makalah “Competition Policy in ASEAN” oleh G. Sivalingam.
4.      UU No. 5 Tahun 1999 Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat juga dapat ditegakkan kepada pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Indonesia. Karena pasal 1 Angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan, “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”
Selain itu, dalam pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 diatur bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pelanggaran pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999, dapat dijatuhi tindakan administratif (pasal 35 huruf a) serta sanksi pidana (pasal 48 ayat [1]).
5.      Hingga saat ini belum ada lembaga pengawas persaingan usaha di tingkat ASEAN. Dengan demikian, pengawasan persaingan usaha di negara-negara ASEAN diatur oleh hukum masing-masing negara.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

            Jumat, 18 Maret 2011
Persaingan Usaha dalam Industri Bioskop

Apakah hukum tentang persaingan usaha telah dilaksanakan dengan baik di Indonesia? Bagaimana penanganan tentang kasus dugaan monopoli oleh Grup Cineplex 21?

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Hukum Persaingan Usaha di Indonesia diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/99”). Terkait dengan pelaksanaannya dibentuklah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) pada 7 Juni 2000 sebagai badan independen yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan UU 5/99.

Pelaksanaan hukum persaingan usaha ini dinilai telah dilaksanakan dengan baik di Indonesia. Penilaian ini dibuktikan dengan diterimanya penghargaan dan apresiasi Intergovernmental Group of Experts on Competition Policy and Law, United Nations Conference on Trade and Development (IGE-UNCTAD) pada 8 Juli 2009 oleh KPPU atas kinerja yang baik dalam mengimplementasikan hukum dan kebijakan persaingan di Indonesia. Lembaga tersebut menyebut KPPU sebagai potret “bagaimana sebuah otoritas kompetisi yang masih muda dan dinamis dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain” (“how a young and dynamic competition authority can be a model for other countries”). Demikian sebagaimana kami kutip dari buku Satu Dasawarsa KPPU Mewujudkan Persaingan Usaha yang Sehat (hal. 1) yang diterbitkan KPPU.

2.      Kami mencatat ada dua laporan dugaan pelanggaran UU 5/99 oleh Grup 21 Cineplex , sebagai berikut:
a.      Grup 21 Cineplex vs. Blitzmegaplex. Pada Juli 2009, pengelola Grup 21 Cineplex dilaporkan ke KPPU oleh PT Graha Layar Prima, pengelola Blitzmegaplex. Pasal yang diduga dilanggar adalah Pasal 25, Pasal 19, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 15, Pasal 26 dan Pasal 27. Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 tentang posisi dominan. Sedangkan Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 tentang monopoli, monopsoni dan penguasaan pasar. Sementara Pasal 15 mengatur tentang perjanjian tertutup. Dalam laporannya, Blitz mendudukan PT Nusantara Sejahtera Raya, pengelola Bioskop 21 Cineplex sebagai terlapor I. Beberapa distributor film yang dilaporkan merupakan perusahaan penyalur film yang terafiliasi dengan 21 Cineplex terkait dengan kepemilikan saham.

Namun, setelah dilakukan upaya monitoring dan pemeriksaan oleh KPPU, laporan terhadap Grup 21 Cineplex itu dinilai tidak lengkap dan tidak jelas seperti yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) Peraturan Komisi (Perkom) No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, sehingga pemeriksaan dihentikan (lebih lanjut baca KPPU Hentikan Pemeriksaan Terhadap 21 Cineplex).

b.      Grup 21 Cineplex vs. Monopoly Watch. Pada 5 Juli 2002, Grup 21 Cineplex juga pernah dilaporkan oleh Monopoly Watch kepada KPPU. Pasal yang diduga dilanggar adalah Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 UU 5/99. para terlapornya adalah PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Nusantara Sejahtera Raya.

Berdasarkan pemeriksaan KPPU terhadap ketiga terlapor, hanya PT Nusantara Sejahtera Raya selaku pemilik beberapa bioskop 21 Cineplex yang dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 27 UU 5/99 yaitu:

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
a.      satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
b.      dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Dalam putusan perkara tersebut KPPU memerintahkan PT Nusantara Sejahtera Raya untuk mengurangi kepemilikan sahamnya di PT Intra Mandiri dan atau di PT Wedu Mitra atau mengambil tindakan lain sehingga tidak melanggar Pasal 27 UU 5/99. Selengkapnya silahkan simak putusan KPPU terkait dugaan monopoli Grup 21 Cineplex yang dilaporkan Monopoly Watch tersebut di sini.

Skema penanganan perkara dugaan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat oleh KPPU yang diatur dalam Perkom No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara dapat dilihat di sini.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


            Senin, 14 Juni 2010
Perpres No. 36 Tahun 2010

Menanyakan perihal pasal 5 huruf a (Perpres No 36 Tahun 2010). Apa maksud dari “........sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut”? Terima kasih. (Pertanyaan dari A. Badarudin)
  •  

Bunyi selengkapnya pasal 5 huruf a Perpres No. 36 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:

Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a.      Batasan kepemilikian modal penanam modal asing dalam perusahaan penanam modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut.

Perpres No. 36 Tahun 2010memang tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “surat persetujuan perusahaan” sebagaimana tercantum dalam pasal 5 huruf a. Namun demikian, yang dimaksud dengan “surat persetujuan perusahaan” dalam pasal tersebut sebenarnya adalah Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing (“SP PMA”), yang sekarang menjadi Pendaftaran Penanaman Modal berdasarkan Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

SP PMA pada prinsipnya adalah dokumen yang diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai bentuk pengesahan permohonan penanaman modal yang diajukan oleh penanam modal asing. SP PMA merupakan dokumen awal yang mesti dimiliki oleh penanam modal asing sebelum melaksanakan kegiatan penanaman modalnya di Indonesia.

Ketentuan tentang SP PMA dapat ditemukan dalam Keputusan Kepala BKPM No. 57/SK/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing (“Keputusan Kepala BKPM No. 57/2004”). Keputusan ini telah beberapa kali diamandemen; terakhir melalui Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 1/P/2008.
 Akan tetapi, aturan-aturan di atas tidak menjelaskan apa isi dari SP PMA. Meski demikian, tetap dapat disimpulkan bahwa SP PMA berisi tentang persetujuan dari apa yang tercantum dalam permohonan penanaman modal asing.
 Permohonan penanaman modal asing singkatnya adalah permintaan penanam modal asing untuk mendirikan dan menjalankan usaha di Indonesia. Permohonan ini, berdasarkan Lampiran 2 Keputusan Kepala BKPM No. 57/2004, memuat hal-hal terkait dengan profil penanam modal asing dan deskripsi perusahaan yang akan dibentuk, termasuk individu-individu yang akan menjabat dalam organ-organ perusahaan tersebut dan - yang terpenting - struktur permodalan (berapa jumlah saham yang akan dimiliki oleh pihak asing dan berapa yang akan menjadi milik pihak dalam negeri).
 Mengingat dalam SP PMA juga dijelaskan tentang prosentase kepemilikan saham penanam modal asing, karena itulah pasal 5 huruf a Perpres No. 36/2010 menjadikannya sebagai ‘patokan’ untuk mengetahui apakah kepemilikan modal seorang penanam modal asing dalam sebuah perusahaan penanam modal yang melakukan penggabungan melebihi atau tidak melebihi batas kepemilikan modal yang ditetapkan BKPM melalui penerbitan SP PMA.

Perlu dicatat bahwa Keputusan Kepala BKPM No. 57/2004 beserta perubahan-perubahannya telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 2 Januari 2010. Hal ini tertuang dalam pasal 69 huruf a Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009. Dengan demikian, istilah SP PMA sekarang menjadi Pendaftaran Penanaman Modal.
 Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
  1. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal
  2. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Permohonan Penanaman Modal;
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Kamis, 10 Juni 2010

Perpajakan (Syarat Menjadi Kuasa di Pengadilan Pajak)

Apakah pernah organisasi advokat/penasehat hukum mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak tentang syarat untuk menjadi kuasa hukum di lingkungan Dirjen Pajak hanyalah pemegang brevet?

Jawaban:  Abdul Razak Asri

Seperti diketahui, ketentuan mengenai kuasa hukum di Pengadilan Pajak diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa. Dalam PMK itu disebutkan, seorang kuasa yang dapat beracara di Pengadilan Pajak harus memiliki sertifikat bravet atau ijazah pendidikan di bidang perpajakan.

Sejauh sepengetahuan hukumonline, organisasi advokat belum pernah secara resmi mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak tentang syarat untuk menjadi kuasa hukum di lingkungan Ditjen Pajak hanyalah pemegang brevet.

Meski demikian, salah satu rekomendasi yang dihasilkan Musyawarah Nasional I Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada 1 Mei 2010 adalah meminta kepada Dewan Pengurus Nasional (DPN) Peradi terpilih untuk melakukan kerjasama dengan Kementerian Keuangan agar seluruh advokat yang berada di bawah naungan Peradi dapat beracara di peradilan pajak.

Sebelumnya pada 2004, tidak lama setelah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) diundangkan, muncul perdebatan tentang ketentuan hukum beracara di Pengadilan Pajak yang dinilai bertentangan dengan UU Advokat. Hukumonline sempat merekam perdebatan ini dalam artikel di sini.

Sikap organisasi advokat, sebagaimana pernyataan Denny Kailimang dalam artikel, sebenarnya menginginkan semua kegiatan praktisi hukum di pengadilan harus berkiblat pada satu undang-undang yakni UU Advokat. Seperti diketahui, menurut pasal 1 angka 1 UU Advokat, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU ini. Namun, fakta menunjukkan untuk praktik hukum bidang-bidang tertentu memang mensyaratkan keahlian tertentu.

Tidak hanya pajak, sektor hak atas kekayaan intelektual (HKI) pun mensyaratkan praktisinya harus seseorang yang bersertifikat konsultan HKI. Diatur dalam PP No. 2 Tahun 2005, konsultan HKI bahkan tidak harus seorang sarjana hukum. Meski begitu, konsultan HKI tidak bisa mendampingi klien dalam perkara HKI di Pengadilan Niaga (lihat di sini).

Hal sama juga berlaku untuk sektor pasar modal. Konsultan Pasar Hukum Pasar Modal diatur secara rinci dalam Peraturan No. VIII.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal (lihat di sini).
 Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
  2. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2005 tentang Konsultan Hak Kekayaan Intelektual
  3. Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2008 tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa
  4. Peraturan No. VIII.B.1, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-261/BL/2008 tanggal 3 Juli 2008 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal
  Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Selasa, 06 April 2010

Perlukah Izin Bapepam?

1. Apakah seorang (perorangan) calon pembeli saham pada suatu perseroan terbuka harus didampingi seorang konsultan hukum? 2. Kalau diharuskan, apakah ada dasar hukumnya? Sebab sepengetahuan saya yang harus punya izin dari Bapepam-LK adalah konsultan hukum emiten yang melakukan legal due diligence.

Jawaban:  Pringgo Sanyoto

Pasal 78 ayat (3) angka 6  UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menyatakan: “prospektus sekurang-kurangnya memuat: keterangan dari segi hukum.”
Lebih lanjut, terkait dengan proses penawaran umum oleh emiten, keterangan dari segi hukum (legal due diligence) merupakan informasi yang harus diungkap dalam prospektus.
Peraturan Bapepam No. IX.C.2 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum angka 5 huruf o menyatakan pendapat dari segi hukum (legal due diligence) meliputi:
1)     Keabsahan akta pendirian serta Anggaran Dasar dan perubahan-perubahannya;
2)     Keabsahan perjanjian-pedanjian dalam rangka Penawaran Umum dan perjanjian penting lainnya;
3)     Apakah semua izin dan persetujuan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha yang direncanakan Emiten telah diperoleh;
4)     Status pemilikan aktiva yang material dari Emiten;
5)     Sengketa (litigasi) yang penting dan relevan, tuntutan perdata atau pidana serta tindakan hukum lainnya menyangkut Emiten, komisaris atau direktur;
6)     Apakah modal Emiten dan perubahan-perubahan yang direncanakan, diajukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan telah memperoleh semua persetujuan yang diperlukan; dan
7)     Hal-hal yang material lainnya sehubungan dengan status hukum dari Emiten dan penawaran Efek yang akan dilaksanakan.

Merujuk pada ketentuan di atas, berarti yang wajib menunjuk konsultan hukum adalah Emiten yang akan melakukan Penawaran Umum Perdana (initial public offering) atau Hak Memesan Efek Terlebih dahulu/HMETD (rights issue) bukan calon pembeli saham (investor).
Berarti tidak ada keharusan bagi calon pembeli saham (investor) untuk didampingi konsultan hukum dalam proses pembelian saham, baik pada Penawaran Umum Perdana (initial public offering) atau HMETD (rights issue).
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
2.      Peraturan Bapepam No. IX.C.2 tentang Pedoman Mengenai Bentuk dan Isi Prospektus dalam Rangka Penawaran Umum
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Rabu, 15 September 2010

Perjanjian Komisi

Berlakukah sifat perjanjian kerja komisi (pencapaian hasil) antara perusahaan dengan perorangan, apakah ada landasan hukumnya? Terima kasih.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah
Komisi dalam konteks yang Anda sebutkan, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, berarti:

imbalan (uang) atau persentase tertentu yang dibayarkan karena jasa yang diberikan dalam jual beli dan sebagainya

Perjanjian pemberian komisi antara perusahaan dengan perorangan tidak termasuk dalam perjanjian kerja yang diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Artinya, kedudukan para pihaknya bukanlah sebagai pemberi kerja dan penerima kerja, melainkan sebagai mitra kerja.
Mengenai dasar hukum perjanjian pemberian komisi seperti Anda sebutkan, secara prinsip mengacu pada ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian dalam Buku III tentang Perikatan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat Anda lihat di artikel ini.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Rabu, 09 Maret 2011

Perjanjian Gadai Deposito Tanpa Tanda Tangan Istri

1. Bagaimana kekuatan Perjanjian Penjaminan Deposito antara Bank (Kreditur) dengan Debitur tanpa tanda tangan istri? Mengapa dalam praktek perbankan diperlukan tanda tangan istri/suami? 2. Bagaimana Bank melakukan eksekusi jaminan yang tidak turut ditandatangani oleh suami/istri pemilik deposito jika debitur macet?
  •  
Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Dalam suatu perkawinan terjadi percampuran harta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”). Kecuali dalam hal adanya perjanjian kawin yaitu perjanjian pisah harta (prenuptial agreement). Sepanjang tidak ada perjanjian pisah harta, maka harta yang diperoleh adalah harta bersama dan terhadap harta bersama, suami/istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (lihat Pasal 36 ayat [1] UU 1/1974).

Dalam hal adanya Perjanjian Penjaminan Deposito yang dilakukan tanpa adanya persetujuan (tanda tangan) istri, maka perjanjian tersebut tidaklah sah karena harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah tunduk pada UU 1/1974 yaitu menjadi harta bersama.

Dengan demikian, salah satu pihak baik suami atau istri tidak dapat mengesampingkan ataupun meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta tersebut, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik harta bersama itu. Oleh karena itu,  segala perbuatan hukum (dalam hal ini gadai) terhadap harta bersama harus atas persetujuan kedua belah pihak.
 2.      Dalam praktiknya, pihak bank tidak akan memberikan pinjaman apabila tidak ada persetujuan dari pasangan (suami/istri) debitur. Kecuali, ada perjanjian pisah harta di antara suami dan istri yang dibuktikan dengan melampirkan akta perjanjian pisah harta pada saat mengajukan permohonan kredit. Dalam hal istri berhalangan untuk menandatangani perjanjian tersebut, harus ada kuasa yang diberikan kepada suami dalam bentuk akta surat kuasa notariil (surat kuasa yang dibuat di hadapan notaris).
 Dengan demikian, dalam hal tidak ada tanda tangan dari pasangan debitur, pihak bank tidak akan memberikan kredit dikarenakan hal ini merupakan persyaratan prosedural bank dalam rangka penerapan manajemen risiko oleh bank.

Apabila ada perjanjian penjaminan atas kredit yang tidak ditandatangani oleh pasangan debitur, maka perjanjian tersebut menjadi cacat hukum dan dapat disengketakan ke pengadilan. Jadi, mengenai eksekusi terhadap jaminan kemudian akan diputuskan oleh pengadilan.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Kamis, 01 April 2010

Perizinan Kelapa Sawit

Bagaimana prosedur perizinan perkebunan kelapa sawit dan dasar hukum sehubungan dengan usaha perkebunan kelapa sawit? Saya mohon bantuannya. Terima kasih.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Mengenai perizinan perkebunan kelapa sawit, prosedurnya dapat ditemui pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 357/KMS/HK.350/5/2002 tentang Penyelesaian Ijin Usaha Perkebunan (SK Mentan). Berdasarkan SK Mentan ini, usaha perkebunan ada dua macam, yaitu: 
1.      Usaha Budidaya Perkebunan, yaitu serangkaian kegiatan pengusahaan tanaman perkebunan yang meliputi kegiatan pratanam, penanam, pemeliharaan tanaman dan pemanenan, termasuk perubahan jenis tanaman.
2.      Usaha Industri Perkebunan, yaitu serangkaian kegiatan pengolahan produksi tanaman perkebunan yang bertujuan untuk memperpanjang daya simpan atau meningkatkan nilai tambah 
Karena Anda tidak menjelaskan secara rinci maksud dari usaha perkebunan kelapa sawit yang Anda tanyakan, kami asumsikan yang Anda maksud adalah Usaha Budidaya Perkebunan. 
Selanjutnya untuk Usaha Budidaya Perkebunan, prosedur perizinannya terbagi berdasarkan luasnya lahan perkebunan, yaitu: 
1.      Usaha budidaya skala kecil, yaitu yang luas lahannya di bawah 25 hektare. Usaha skala kecil ini wajib didaftar oleh pemberi izin.
2.      Usaha budidaya skala besar, yaitu yang luas lahannya 25 hektare atau lebih. Usaha skala besar ini haru mempunyai Izin Usaha Perkebunan (IUP). Untuk memperoleh IUP, perusahaan perkebunan wajib mempersiapkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 
a.   Akte pendirian atau perubahannya yang terakhir,
b.   Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c.   Surat Keterangan Domisili,
d.   Rencana kerja usaha perkebunan,
e.   Rekomendasi lokasi dari instansi pertanahan,
f.    Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari instansi kehutanan sepanjang kawasan hutan,
g.   Rekomendasi teknis kesesuaian lahan dari Kepala Dinas yang membidangi usaha perkebunan Provinsi, Kabupaten atau Kota setempat yang didasarkan pada perencanaan makro, perwilayahan komoditi dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR),
h.   Pernyataan penguasaan lahan perusahaan atau grup bahwa usaha perkebunannya belum melampaui batas maksimum,
i.     Pernyataan mengenai pola pengembangan yang dipilih dan dibuat dalam akta notaris,
j.     Peta calon lokasi dengan skala 1:100.000,
k.   Surat persetujuan dokumen AMDAL dari komisi AMDAL daerah.

Tatacara Perizinannya sendiri adalah sebagai berikut:
a.      Perusahaan perkebunan yang lokasi perkebunannya berada pada lintas daerah Kabupaten dan atau kota, Permohonan Izin Usaha disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Pertanian , dalam hal : Direktur Jenderal Bina Perkebunan Departemen Pertanian;
b.      Perusahaan Perkebunan yang lokasi lahan usaha perkebunan disuatu wilayah daerah Kabupaten dan atau kota, permohonan Izin Usahanya disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan tembusan Menteri Pertanian dalam hal ini Direktur Jenderal Bina Perkebunan Departemen Pertanian;
c.      Gubernur, Bupati atau Walikota menolak permohonan Izin Usaha Perkebunan dari pemohon dalam jangka waktu tertentu memberikan jawaban menyetujui atau menolak perizinan usaha perkebunan;
d.      Dalam hal Gubernur, Bupati atau Walikota menyetujui permohonan Izin Usaha wajib memberikan alasan penolakan secara tertulis;
e.      Dalam hal Gubernur, Bupati atau Walikota menyetujui permohonan Izin Usaha Perkebunan Maka Gubernur atau Bupati atau Walikota dalam jangka waktu tertentu memberikan Surat Keputusan Pemberian Izin Usaha Perkebunan;
f.       Dalam jangka waktu tertentu sejak permohonan diterima dengan lengkap Gubernur, Bupati atau Walikota tidak memberikan jawaban menyetujui atau menolak permohonan izin usaha perkebunan, maka permohonan memenuhi persyaratan untuk disetujui;

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Kamis, 15 April 2010

Penyelesaian Sengketa di Arbitrase

Dengan hormat. Sebelumnya kami informasikan bahwa kami adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang Kawasan Industri. Dalam kesempatan ini, kami ingin sekali BANI bisa memberikan sedikit informasi berkenaan masalah kami yaitu dalam perjanjian jual beli tanah antara kami sebagai developer dengan investor (asing). Biasanya kami memasukkan klausul apabila ada persengketaan dalam hal jual beli akan diselesaikan menggunakan arbitrase dari BANI. Namun, salah satu calon buyers kami (Jepang) menginginkan penyelesaian sengketa di arbitrase Singapore dan menggunakan Rules of Arbitration of the International Chamber of Commerce disebutkan dalam perjanjian. Adapun pertanyaan kami: 1) Apa kelebihan dan kekurangannya apabila kita menggunakan arbitrase di Singapore? 2) Apakah penerapan Rules of Arbitration of the International Chamber of Commerce akan memberikan akibat hukum yang lebih berat bagi kami apabila diputus suatu sengketa? Apakah bisa dimungkinkan penyelesaian sengketa di arbitrase Singapore namun menggunakan/prevailing Hukum Indonesia? 3) Dalam hal putusan penyelesaian sengketa di arbitrase Singapore, apakah bisa langsung dieksekusi? Karena menurut informasi yang kami dapat suatu putusan sengketa dari arbitrase asing harus mendapat penetapan dari Pengadilan Negeri? Dan dalam hal penetapan oleh Pengadilan Negeri, apakah materi perkara diperiksa kembali dari awal? Bagaimana dasar hukumnya dan acara Peradilannya? Demikian hal yang menjadi pertanyaan kami, besar harapan kami dari BANI bisa memberikan sedikit informasi yang sangat kami butuhkan. Terima kasih atas perhatiannya. Wahyu (legal staff)

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah


1.      Keuntungan dan kerugian menggunakan Singapore International Arbitration Center (SIAC), apabila dibandingkan dengan menggunakan arbitrase domestik, adalah SIAC merupakan lembaga yang dikenal secara internasional (internationally recognized). Selain itu, para arbiter yang ada di SIAC dianggap lebih memahami seluk beluk masalah yang biasanya dihadapi bila berbisnis dengan pengusaha Indonesia (lebih lanjut simak Pengguna SIAC Asal Indonesia Terus Meningkat, Bagaimana Nasib BANI?)

Barangkali kerugian menggunakan SIAC dibandingkan menggunakan arbitrase Indonesia di antaranya pelaksanaan putusannya akan relatif sulit. Dengan dipilihnya badan arbitrase singapura (SIAC) sebagai choice of forum, putusan arbitrase tersebut menjadi putusan arbitrase asing (lihat pasal 1 angka 9 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa/UU Arbitrase). Hal ini akan menjadi masalah pada saat Anda akan mengeksekusi putusan arbitrase. Untuk mengeksekusi pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut, Anda harus mengikuti prosedur yang ditentukan dalam New York Covention 1958 dan UU Arbitrase, antara lain dengan meminta penetapan eksekuatur dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada prakteknya, putusan arbitrase asing sendiri masih banyak yang ditolak untuk dieksekusi di Indonesia, seperti misalnya kasus Paiton Energy Corporation (PEC) melawan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada 2001 (lebih lanjut baca Putusan Arbitrase Seharusnya Dipatuhi).

2.      Apakah penggunaan Rules of Arbitration of the International Chamber of Commerce akan menimbulkan akibat hukum yang lebih berat bagi Anda? Rules of Arbitration ICC berlaku sebagai hukum acara dalam proses arbitrase. Jadi, ia tidak menimbulkan akibat hukum yang lebih berat, karena hukum yang dipakai untuk mengadili substansi sengketa (hukum materiil-nya) bukan Rules of Arbitration ICC.

Apakah bisa dimungkinkan penyelesaian sengketa di arbitrase Singapore namun menggunakan/prevailing hukum Indonesia? Sebelumnya, perlu dipahami mengenai perbedaan antara choice of forum/choice of court (pilihan forum/pilihan pengadilan) dengan choice of law (pilihan hukum). Menurut Dr. Eman Suparman, choice of forum adalah pemilihan yang dilakukan terhadap instansi peradilan atau instansi lain yang oleh para pihak ditentukan sebagai instansi yang akan menangani sengketa mereka jika terjadi di kemudian hari (“Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,” Dr. Eman Suparman, SH, MH, hal. 75). Jadi, choice of forum hanya merupakan pilihan mengenai di lembaga mana penyelesaian sengketa akan dilakukan. Sedangkan, untuk choice of law adalah mengenai hukum apa yang akan dipakai untuk mengadili sengketa tersebut. Jadi, para pihak bisa saja memilih choice of forum di Singapore International Arbitration Center (SIAC), tetapi menggunakan rules dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dasarnya adalah kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

3.      Sebagaimana telah diuraikan di atas, penggunaan badan arbitrase Singapura menyebabkan putusan yang dihasilkan kelak akan dikategorikan sebagai putusan arbitrase asing (pasal 1 angka 9 UU Arbitrase). Dengan demikian, untuk pelaksanaannya di Indonesia harus melalui tahap-tahap sebagai berikut:
(1) Tahap Pendaftaran. Putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 65 UU Arbitrase). Berdasarkan pasal 67 UU Arbitrase, pendaftaran putusan arbitrase asing dilakukan dengan penyerahan putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Jakarta Pusat oleh arbiter atau kuasanya.
(2) Setelah pendaftaran ini, diajukan permohonan eksekuatur kepada PN Jakarta Pusat (pasal 67 UU Arbitrase). Terhadap permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan perintah yang mengakui dan memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini.
(3) Setelah perintah Ketua PN diterima, pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kompetensi relatif untuk melaksanakannya (Pasal 69 ayat 1 UU Arbitrase). Tatacara pelaksanaan eksekusi sendiri dilakukan sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata.

Terhadap penetapan PN yang menolak permohonan eksekuatur, dapat diajukan upaya kasasi. Karena upaya hukumnya adalah kasasi, maka MA tidak memeriksa pokok perkara lagi, melainkan hanya memeriksa penerapan hukumnya.

Mengenai problematika eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia Anda dapat baca tulisan dari Wakil Ketua BANI M. Husseyn Umar di hukumonline.com.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Komentar

Postingan Populer