Perusahaan_Hukumonline


Kamis, 11 Maret 2010

Akuisisi Secara Langsung

Saya melihat bahwa ada indikasi terjadi dualisme hukum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Pasal 125 ayat (7) UUPT memberikan keleluasaan atau kebebasan kepada pemegang saham dan pihak pengakuisisi untuk tidak membuat rancangan akuisisi seperti halnya yang diwajibkan dalam akuisisi melalui direksi. Akan tetapi dalam pasal 127 ayat (8) UUPT mewajibkan direksi perseroan untuk mengumumkan ringkasan rancangan akuisisi, baik akuisisi melalui direksi maupun akuisisi secara langsung. Pertanyaan: 1. Dalam hal akuisisi secara langsung, bagaimana mungkin direksi perseroan dapat mengumumkan ringkasan rancangan akuisisi jika pemegang saham dan pihak ketiga tidak membuat rancangan akuisisi? Bukankah pasal 127 ayat (8) justru menyalahi kebebasan yang ada di pasal 125 ayat (7), karena secara tidak langsung tetap mewajibkan direksi perseroan untuk membuat rancangan akuisisi? 2. Bagaimana prakteknya di lapangan? Jalan apa yang biasa ditempuh oleh notaris yang membuat akta pemindahan hak atas saham tersebut? Terima kasih. GBU.
Jawaban:  Alfi Renata

1.      Pasal 127 ayat (8) UU No. 40 Tahun 2007 (UUPT) tidak bertentangan dengan pasal 125 ayat (7) UUPT. 
Berdasarkan pasal 125 ayat (7) UUPT, dalam hal pengambilalihan dilakukan secara langsung melalui pemegang saham, ketentuan mengenai kewajiban menyusun Rancangan Pengambilalihan tidak wajib dilakukan
Pasal 127 ayat (8) UUPT berbunyi, “pengambilalihan saham yang langsung dilakukan dari pemegang saham, wajib diumumkan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam pasal 127 ayat (2). ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).”  
Memang Pasal 127 ayat (2) UUPT berbunyi “Direksi Perseroan yang akan melakukan Pengambilalihan wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari Perseroan yang akan melakukan pengambilalihan ...” 
Maksud dari ketentuan Pasal tersebut bagi pengambilalihan adalah sebagai berikut.
·     Direksi Perseroan yang akan melakukan Pengambilalihan ...” à Dalam hal ini, pihak yang akan mengambil alih tidak selalu sebuah PT. Menurut hemat kami, kewajiban mengumumkan tidak hanya oleh Direksi suatu PT, melainkan juga harus dilakukan oleh yang berwenang dan berkewajiban melakukan dalam badan hukum yang bukan PT atau perseorangan, apabila pihak yang akan mengambil alih adalah badan hukum bukan PT atau perseorangan.
·     Ringkasan rancangan” à Untuk pengambilalihan secara langsung dari pemegang saham, tidak perlu didahului dengan pembuatan Rancangan Pengambilalihan, akan tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih (Penjelasan pasal 125 ayat [5] UUPT). Sehingga, yang dimaksud dengan apa yang wajib diumumkan di sini berupa Rencana Kesepakatan Pengambilalihan
Jadi, maksud dari ketentuan pasal 127 ayat (8) jo. ayat (2) UUPT adalah mengatur mengenai kewajiban pengumuman oleh pihak yang akan mengambil alih mengenai (ringkasan) Rencana Kesepakatan Pengambilalihan kepada karyawan PT yang akan diambil alih. 
2.      Karena pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, maka dibuat Akta Pemindahan Hak atas Saham (pasal 131 ayat [2] UUPT). 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Selasa, 06 November 2012
Langkah Hukum Pemegang Saham Jika Laporan Keuangan Direkayasa
Apabila di dalam suatu PT Terbuka, pihak manajemennya melakukan kesalahan dalam membuat laporan keuangan (misalnya direkayasa), apa yang menjadi hak para pemegang saham dan bagaimana upaya yang harus ditempuh para pemegang saham PT Terbuka tersebut untuk memperoleh haknya?

Jawaban: Ilman Hadi
Pengertian dari PT terbuka atau perseroan terbuka pada Pasal 1 angka 7 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pengertian ini juga disebutkan dalam Poin 1 huruf a Peraturan No. IX.H.1 - Keputusan Ketua Bapepam-LK Nomor KEP-264/BL/2011 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka, Perusahaan Terbuka adalah Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas atau Perusahaan Publik
 Jadi, PT terbuka adalah PT yang telah melakukan penawaran umum saham di pasar modal (emiten) atau PT yang telah menjadi Perseroan Publik.
 Kemudian, yang dimaksud dengan perseroan publik dijelaskan dalam Pasal 1 angka 8 UUPT Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dalam ketentuan pasar modal yaitu Pasal 1 angka 22 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”) Perseroan publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 Secara umum, hak-hak dari pemegang saham dalam PT dapat Saudara lihat dalam artikel Bolehkah Karyawan memiliki Saham Perseroan?
 Kemudian karena yang Saudara tanyakan adalah PT terbuka, maka dalam hal ini terkait juga ketentuan di bidang pasar modal dan pengawasan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ("Bapepam-LK"). Karena PT terbuka adalah Perusahaan Publik atau PT yang telah melakukan penawaran umum saham (emiten), maka dalam hal ini kepentingan publik/masyarakat sebagai pemilik saham harus dilindungi.

Laporan keuangan wajib diserahkan oleh Direksi PT terbuka kepada akuntan publik untuk diaudit (lihat Pasal 68 ayat (1) huruf c UUPT). Kemudian laporan hasil audit akuntan publik atas laporan keuangan tersebut disampaikan secara tertulis dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) melalui Direksi dan disahkan melalui RUPS (Pasal 68 ayat (3) jo. Pasal 69 ayat (1) UUPT). Bila pemegang saham tidak menerima laporan keuangan tersebut, maka tidak akan disahkan dalam RUPS. Dalam hal laporan keuangan yang disediakan ternyata tidak benar dan/atau menyesatkan, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan, dalam hal ini adalah pemegang saham (lihat Pasal 69 ayat (3) UUPT).

Ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan No. X.K.2 - Keputusan Ketua Bapepam-LK No. KEP-346/BL/2011 Tahun 2011 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten atau Perusahaan Publik (“Peraturan X.K.2”). Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan Laporan Keuangan Berkala kepada Bapepam dan LK paling sedikit 2 (dua) eksemplar, satu di antaranya dalam bentuk asli, dan disertai dengan laporan dalam salinan elektronik (soft copy). Laporan keuangan tersebut meliputi:
1)    laporan posisi keuangan (neraca);
2)    laporan laba rugi komprehensif;
3)    laporan perubahan ekuitas;
4)    laporan arus kas;
5)    laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif, jika Emiten atau Perusahaan Publik menerapkan suatu kebijakan akuntansi secara retrospektif, membuat penyajian kembali pospos laporan keuangan, atau mereklasifikasi pos-pos dalam laporan keuangannya; dan
6)    catatan atas laporan keuangan

Dalam Peraturan X.K.2 dikenal adanya laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan tengah tahunan. Mengenai dugaan terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan ini, Bapepam berwenang untuk memeriksa apabila emiten atau PT publik tersebut melakukan pelanggaran (lihat Pasal 100 ayat [1] UUPM). Apabila pelanggaran tersebut berakibat merugikan kepentingan pasar modal dan/atau merugikan kepentingan pemodal atau masyarakat Bapepam berwenang untuk melakukan penyidikan (lihat Pasal 101 ayat [1] UUPM). Bila terbukti melakukan pelanggaran, maka Bapepam berwenang menjatuhkan sanksi adminstratif antara lain (Pasal 102 ayat [2] UUPM):
a.    peringatan tertulis;
b.    denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu;
c.    pembatasan kegiatan usaha;
d.    pembekuan kegiatan usaha;
e.    pencabutan izin usaha;
f.     pembatalan persetujuan;dan
g.    pembatalan pendaftaran.

Sedangkan bila terbukti melakukan tindak pidana, maka dalam hal ini Direksi yang merekayasa laporan keuangan dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam  Pasal 107 UUPM:
Pasal 107
“Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”

Pemegang saham yang merasa dirugikan oleh Direksi dapat melakukan gugatan untuk menuntut ganti kerugian ke pengadilan negeri berdasarkan Pasal 61 UUPT:

Pasal 61
(1)   Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.
(2)   Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
3.    Peraturan No. IX.H.1 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-264/BL/2011 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka
4.    Peraturan No. X.K.2 - Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan Nomor KEP-346/BL/2011 Tahun 2011 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten atau Perusahaan Publik

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Komentar

Postingan Populer