Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Selasa, 24 Juli 2012

Syarat Diperbolehkan Membeli BBM dengan Jeriken

Saya berniat membeli BBM jenis solar di sebuah SPBU di tempat saya tinggal (Dompu NTB), tapi saya dipersulit oleh pihak pengelola. Saya ditanyain izin padahal saya membeli solar untuk keperluan membajak sawah. Saya sempat cekcok dengan mereka tapi hasilnya saya tetap tidak mendapatkan solar. Mereka bersikeras bahwa saya harus memiliki izin dulu baru bisa mendapatkan jatah. Saya sempat bertanya pada mereka izin apa yang dimaksud? Jawaban mereka "ya, izin" (mereka tidak bisa memberikan penjelasan yang jelas). Saya merasa dibodohin oleh pihak pengelola SPBU karena dua jeriken yang saya bawa untuk mengisi BBM ditolak mentah-mentah oleh mereka sementara truk yang membawa ratusan jeriken dilayani dengan ramah. pertanyaan saya : 1. Izin apa yang dimaksud oleh pihak SPBU dalam hal pendistribusian BBM bersubsidi? 2. Kemana saya harus mengajukan mengenai kejanggalan ini dan langkah apa yang harus saya ambil karena tindakan diskriminasi semacam ini bukan hanya saya yang mengalaminya tapi masih banyak di belakang saya. (mohon bantuannya) 3. Apakah pemerintah mensyaratkan sesuatu bagi orang seperti saya yang ingin mendapatkan BBM bersubsidi? Salam dan terima kasih atas jawabannya.  
  •  
Jawaban:  Ilman Hadi

1.    Pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan tanggung jawab dari Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada kegiatan usaha hilir sesuai dengan amanat Pasal 46 sampai Pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”).

Badan pengatur tersebut lebih dikenal dengan nama BPH Migas. BPH Migas dibentuk dengan PP No. 67 Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa sebagaimana diubah dengan PP No. 49 Tahun 2012 jo. Keppres No. 86 Tahun 2002 tentang Pembentukan Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.

Dari penelusuran kami, kami tidak menemukan “izin” yang Saudara tanyakan, tetapi  kemungkinan “izin” yang dimaksud pengelola SPBU adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran Perpres No. 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (Perpres 15/2012)yang menyatakan bahan bakar minyak solar untuk konsumen pengguna usaha pertanian disyaratkan memperoleh verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa/Kepala SKPD sebagai berikut:

“Petani/kelompok tani/UPJA Mesin Pertanian yang melakukan usaha tani tanaman pangan, holtikultura, perkebunan dengan luas maksimal 2 Ha, dan peternakan dengan menggunakan mesin pertanian dengan verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa/ Kepala SKPD Kabupaten/ Kota yang membidangi pertanian.”

Dalam lampiran tersebut ditentukan bahwa titik serah BBM tersebut dilakukan di Penyalur. Yang dimaksud dengan Penyalur berdasarkan Pasal 1 angka 2 Perpres 15/2012 adalah Terminal BBM/Depot/Penyalur adalah tempat penimbunan dan penyaluran BBM yang dimiliki atau dikuasai PT Pertamina (Persero) dan/atau badan usaha lainnya yang mendapat penugasan Penyediaan dan Pendistribusian Jenis BBM Tertentu.

Saat ini sebagian pemberitaan memang ada yang menyebutkan bahwa untuk mendapatkan BBM eceran dengan jeriken harus mendapat izin dari Disperindag, akan tetapi karena usaha yang Saudara lakukan merupakan usaha pertanian, maka berdasarkan Perpres 15/2012, Saudara cukup membutuhkan verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa yang umumnya berupa surat pengantar.

Jadi, untuk bisa membeli BBM solar bersubsidi dengan jeriken Saudara harus mendapat verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa/ Kepala SKPD Kabupaten/ Kota yang membidangi pertanian.

2.     Bila Saudara merasakan kejanggalan atau merasa didiskriminasi untuk mendapat BBM solar tersebut, Saudara dapat mengajukan pengaduan atau keluhan kepada BPH Migas. Dalam situs resminya, BPH Migas membuka layanan pengaduan melalui SMS dengan format BPH<spasi>Kota#Nama#Isi pengaduan kirim ke 3477.

3.     Untuk konsumen pengguna akhir dari BBM seperti Saudara, Pemerintah tidak menetapkan syarat selain verifikasi dan rekomendasi yang telah disebutkan sebelumnya, karena Saudara bukan merupakan Badan Usaha yang menjalankan kegiatan usaha BBM.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
4.      Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2012 tentang Harga Jual Eceran dan dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu;
5.      Keputusan Presiden Nomor  86 Tahun 2002 tentang Pembentukan Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Rabu, 04 Januari 2012

Terjemahan Akta Perusahaan, Haruskah oleh Penerjemah Tersumpah?

Perusahaan tempat saya bekerja selalu menerjemahkan akta notaris yang selalu dibuat. Apakah terjemahan tersebut wajib dilakukan oleh penerjemah tersumpah atau bisa diterjemahkan oleh penerjemah biasa? Apa ada beda kekuatan hukum antara hasil terjemahan penerjemah tersumpah dengan yang biasa? Mohon info.  
  •  
Jawaban: Diana Kusumasari

Pada dasarnya, perlu dipahami bahwa sejak diundangkannya UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang  Negara, Serta Lagu Kebangsaan, penggunaan bahasa Indonesia menjadi hal yang diwajibkan seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 31 UU tersebut yang berbunyi:
Ayat (1):
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.

Ayat (2):
Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.

Dari yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa perusahaan tempat Anda bekerja adalah Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (“PT PMA”). Dengan demikian, perlu dibuat akta pendirian yang berbahasa Indonesia dan juga berbahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Sebenarnya tujuannya adalah agar pihak asing itu juga memahami isi dari akta pendirian tersebut.

Di sisi lain, saat pendirian PT PMA, maka pertama kali pendiri PT PMA harus mengajukan aplikasi kepada BKPM untuk pendaftaran penanaman modal, yaitu dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dalam Lampiran I Perka BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“Perka BKPM 12/2009”).

Dalam Perka BKPM 12/2009 tersebut antara lain disebutkan bahwa untuk pendirian PT PMA harus melampirkan berbagai dokumen yang di antaranya juga melampirkan rekaman Anggaran Dasar (Article of Association) dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah untuk pemohon adalah untuk badan usaha asing. Lebih jauh, simak Pendirian PT PMA.

Pada dasarnya, tujuan dokumen tersebut harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah adalah tentu untuk tujuan kebenaran dan akurasi makna dari dokumen yang diterjemahkan. Setiap penerjemah tersumpah dapat dianggap berkompeten karena harus melalui Ujian Kualifikasi Penerjemah (“UKP”) dengan nilai di atas 80 (nilai A), baru berhak untuk disumpah sebagai Penerjemah Bersumpah. Pengambilan sumpahnya kemudian dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, lalu akan dikeluarkan Surat Keputusan mengenai pengangkatan penerjemah tersebut sebagai Penerjemah Bersumpah. Lebih jauh simak Prosedur Menjadi Penerjemah Tersumpah.

Perlunya akta pendirian PT PMA ini untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris selain untuk mendapatkan izin prinsip pendirian PT PMA dari BKPM, juga di antaranya apabila di kemudian hari PT PMA yang bersangkutan hendak melakukan perluasan usaha, BKPM juga akan mensyaratkan PT PMA dalam permohonannya untuk melampirkan Rekaman Akta Pendirian (Article of Association) dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris bagi badan hukum asing (Lampiran V Perka BKPM No. 12 Tahun 2009).

Jadi, sebenarnya yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa asing/Inggris oleh penerjemah tersumpah adalah akta pendirian PT PMA, selain akta pendirian, tidak ada kewajiban untuk menerjemahkannya ataupun menggunakan jasa penerjemah tersumpah atau bukan.

Namun, dikarenakan PT PMA melibatkan pihak asing sebagai pemegang saham, maka ada kalanya pihak asing tersebut ingin mengetahui isi dari perubahan akta, oleh karena itu perlu adanya terjemahannya. Hanya saja, kemampuan menerjemahkan dari penerjemah tersumpah tentu lebih dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal itulah mengapa sebaiknya dokumen-dokumen terkait perusahaan sebaiknya diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah. Dan, menurut hemat kami, tidak ada perbedaan kekuatan hukum antara akta yang diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah maupun akta yang diterjemahkan oleh penerjemah tidak tersumpah. Karena, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, maka bahasa Indonesia-nya lah yang berlaku.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2.      Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline. 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 07 Juni 2002

tindak pidana pencucian uang dan rahasia bank
Dengan dikeluarkannya UU No.25 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, bagaimana dengan status pasal 42 & 45 UU perbankan?

Jawaban:  Bung Pokrol

Bank wajib merahasiakan keterangan nasabah dan simpananya, kecuali yang ditentukan dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan ("UU Perbankan"). Ketentuan rahasia bank yang diatur dalam ps. 40 UU Perbankan tersebut ternyata juga dikecualikan dalam Undang-undang No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ("UU TPPU"), bila hal itu menyangkut adanya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh nasabah dari bank yang bersangkutan (lihat ps.14 UU TPPU). Dengan demikian, pengaturan tindak pidana pencucian uang dimaksudkan untuk menambahkan ketentuan pengecualian terhadap rahasia bank yang telah diatur dalam ps. 41 hingga 44A UU Perbankan.

Sebagai tambahan, dengan berlakunya UU TPPU, bank wajib melaporkan (i) transaksi keuangan mencurigakan; (ii) transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja (lihat ps.13 UU TPPU) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagai otoritas untuk memeriksa perkara tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Transaksi mana pastinya akan menyangkut rahasia bank karena hal itu berkaitan dengan keterangan nasabah dan simpananya yang sebenarnya bank harus merahasiakannya. Bila bank atau penyedia jasa keuangan tidak melaporkan hal ini maka bank atau penyedia jasa keuangan tersebut justru dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam ps. 8 UU TPPU. 


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 19 Juli 2011

Transaksi Penjualan Saham Harus dalam Rupiah?

Selamat Siang Bung Pokrol. Saya ingin tanya terkait dengan UU mata uang yang baru. Apakah benar semua transaksi pembayaran sekarang diharuskan menggunakan mata uang Rupiah? Lalu bagaimana bila suatu PT yang memiliki penghasilan dalam bentuk valas, kemudian pemegang sahamnya ingin menjual sahamnya ke pihak lain di Indonesia, apakah sahamnya harus dihargai dengan Rupiah?

Jawaban:  Diana Kusumasari

Melihat pada ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPT bahwa nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah. Akan tetapi UUPT ini tidak mengatur apakah bila saham tersebut diperjualbelikan, transaksinya harus menggunakan Rupiah atau tidak.

Akan tetapi, sejak 28 Juni 2011 ada aturan yang secara umum mewajibkan semua transaksi yang dilakukan di Indonesia dan mempunyai tujuan pembayaran, penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan transaksi keuangan lainnya untuk menggunakan Rupiah (lihat Pasal 21 ayat [1] UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang “UU Mata Uang”).

Dengan demikian, jika PT yang Anda sebutkan itu berada di Indonesia baik PT Lokal maupun PT Penanaman Modal Asing (“PT PMA”), maka segala transaksi keuangannya harus menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang ini. Kecuali transaksi yang terjadi termasuk hal-hal yang dikecualikan di bawah ini, boleh menggunakan mata uang asing/valuta asing:
a.      transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b.      penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
c.      transaksi perdagangan internasional;
d.      simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau
e.      transaksi pembiayaan internasional.
(lihat Pasal 21 ayat [2] UU Mata Uang).
Dengan demikian, terkait dengan transaksi jual beli saham yang Anda tanyakan, meskipun harga/nilai saham dicantumkan dalam dolar, transaksi jual belinya tetap harus dilakukan dengan menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang yang baru.
Sementara itu, menurut notaris Irma Devita Purnamasari dalam praktik PT PMA yang sebagian pemegang sahamnya asing, biasanya selain dalam Rupiah, nilai sahamnya juga ada ekuivalen dolarnya. Jadi, kalau ada transaksi penjualan saham asing dengan dolar, tetap ada ekuivalen Rupiahnya. Dengan demikian, misalkan dijual seharga USD 3 juta, maka kita harus cari ekuivalen Rupiahnya berapa. Misalnya, Rp25 miliar dengan nilai USD 1 = Rp8.623,-. Pihak asing terimanya tetap di Rp25 miliar. Karena di PT PMA memang harus ada ekuivalen antara dolar dan Rupiahnya.
Sehubungan dengan kewajiban transaksi menggunakan Rupiah, menurut Irma, maka jual-beli saham PT PMA juga harus dinyatakan dan diterima dalam Rupiah. Kemudian, setelah terjadi transaksi pihak yang menjual saham tersebut dapat mengkonversi uang hasil penjualan saham tersebut ke dolar.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Purnamasari melalui komunikasi telepon pada 19 Juli 2011.

Dasar hukum:

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 22 Pebruari 2010

Undang-Undang Ketenagalistrikan

Mohon penjelasan perbedaan antara UU No. 15 Tahun 1985 dengan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.


Perbedaan yang mendasar dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dengan UU yang sebelumnya, UU No. 15 Tahun 1985 adalah pelaku yang terlibat dalam penyediaan tenaga listrik. Menurut pasal 11 ayat (1) UU 30 Tahun 2009, tidak hanya BUMN c.q. PLN saja yang berhak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, namun sekarang BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik juga punya hak yang sama dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga listrik. 
Walaupun demikian, PLN sebagai perpanjangan tangan dari Negara yang merupakan pelaksana utama usaha penyediaan tenaga listrik, tetap memegang hak untuk mendapatkan prioritas pertama (first right of refusal) dalam penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum. Apabila PLN sebagai pemilik hak untuk diprioritaskan menolak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, maka kegiatan ini kemudian ditawarkan kepada entitas-entitas lainnya. 
Selain perbedaan yang di atas, UU No. 30 Tahun 2009 juga mengatur hal-hal lain yang sebelumnya tidak diatur. Misalnya, regionalisasi penentuan tarif tenaga listrik (pasal 34) dan jual-beli tenaga listrik dengan Negara lain (pasal 37 – pasal 41). 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Kamis, 15 April 2010

Undian Berhadiah

Undian berhadiah yang bagaimanakah yang harus atau perlu mendapatkan ijin dari Departemen Sosial dan pada saat penarikan undian tersebut harus dilakukan di hadapan Notaris? Adakah peraturan yang mengatur hal tersebut?

Jawaban: Alfi Renata

Setiap penyelengaraan undian gratis berhadiah harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Departemen Sosial (pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Sosial No. 13/Huk/2005 tentang Izin Undian jo. Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1973 tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian jo. pasal 1 UU No. 22 Tahun 1954 tentang Undian. Kecuali, bagi penyelenggaraan undian yang hanya dilakukan dalam lingkungan terbatas untuk para anggotanya dan tidak ada unsur jual-beli atau promosi, dapat dilakukan tanpa izin dari Menteri Sosial (pasal 5 Peraturan Menteri Sosial No. 13/Huk/2005 tentang Izin Undian). 
Benar, pelaksanaan penarikan undian berhadiah harus disaksikan dan dihadiri oleh notaris sebagai pejabat yang berwenang. Hal tersebut berdasarkan pasal 18 Peraturan Menteri Sosial No. 13/HUK/2005 Tentang Izin Undian. Dalam hal ini, notaris menyaksikan dan mengikuti proses pelaksanaan penarikan undian berhadiah dari awal sampai akhir serta membuat akta berita acara mengenai pelaksanaan penarikan undian berhadiah. 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. 
Dasar hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian.
  2. Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1973 tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian.
  3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 73/HUK/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin dan Penyelenggaraan Undian Gratis.
  4. Peraturan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/2005 Tentang Izin Undian
  5. Peraturan Menteri Sosial Nomor 14A/HUK/2006 tentang Izin Undian.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 26 Januari 2004

Wewenang mengadili sengketa perbankan syariah

Baru-baru ini sedang melambungnya pamor perbankan syariah seiring fatwa MUI tentang status bunga bank. Nah, bagaimana bila terjadi sengketa menyangkut perbankan syariah, apakah merupakan wewenang Peradilan Umum(PN perdata) ataukah wewenang Peradilan Agama? Apakah ditentukan juga adanya perkara koneksitas antara PU-PA bila misalnya kasus tersebut menyangkut pihak perbankan konvensional dan perbankan syariah? Apa dasar hukumnya dalam pemecahan masalah tersebut?
  •  
Jawaban:  Bung Pokrol

Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus mengetahui kewenangan dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum.

Kewenangan Pengadilan Agama:

Berdasarkan ketentuan ps.49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama), disebutkan:

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.         Perkawinan;
b.         Kewarisan; Wasiat; dan Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c.         Waqaf dan Shadaqoh

Kewenangan Pengadilan Umum:

Berdasarkan ketentuan ps.50  Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa :

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Melihat kepada definisi kewenangan diatas, Kewenangan Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu dan hanya untuk orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan tersebut tidak dapat diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum, karena dipersyaratkan beragama Islam. Badan hukum, termasuk Bank Syariah secara hukum tidak beragama islam, meskipun mungkin menjalankan kaidah syariah. Dengan demikian, sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah tidak termasuk kewenangan dari Pengadilan Agama.
Apabila dimasukan dalam kewenangan pengadilan umum, apakah dari segi hukum syariahnya memungkinkan? Untuk itu kita perlu memahami terlebih dahulu beberapa terminologi dan kaidah-kaidah dasarnya.
Syariah, dari akar katanya berarti adalah jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminologi, Syariah diartikan sebagai Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan Manusia untuk menjalankan peranan hidupnya yaitu untuk beribadah. Sumber hukum syariah adalah dari Al- Qur'an dan Al-Hadist (Sunah Rasulullah).
Secara garis besar, ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang mengatur mengenai Ibadah, yaitu bentuk hubungan manusia dengan Allah (habluminallah) dan yang mengatur mengenai hubungan sesama manusia (hablumminannas) atau lebih dikenal dengan muamalah. Muamalah, dalam istilah hukum kita lebih dikenal dengan Perdata.

Kaidah dasar untuk ibadah adalah: segala sesuatunya haram untuk dilakukan, kecuali yang telah jelas-jelas diperintahkan.

Kaidah dasar untuk muamalah/ perdata adalah : segala sesuatunya boleh, kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum konvensional dikenal dengan istilah perdata (privat).

Kegiatan usaha Perbankan Syariah, diwujudkan dalam aqad-aqad yang dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakat, mudarabah, ataupun bentuk-bentuk yang lain. Tindakan membuat Aqad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah, maka dari itu segala sesuatunya diperbolehkan, sepanjang tidak melanggar ketentuan syariah yang melarang, termasuk penggunaan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.

Jika kemudian timbul sengketa terhadap Aqad bank syariah tersebut, karena termasuk dalam kaidah syariah muamalah, maka kita dibebaskan untuk menyelesaikannya dengan cara yang menurut kita baik, sepanjang tidak melanggar ketentuan yang telah dilarang oleh syariah. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum Syariah boleh dipergunakan hukum acara perdata dalam Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan Perbankan Syariah.

Sedangkan dalam definisi kewenangan Pengadilan Umum, sebagaimana telah disebutkan diatas, perkara perdata/muamalah adalah kewenangan dari Pengadilan Umum, maka dengan demikian telah jelas bahwa sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah menurut hukum adalah kewenangan Pengadilan Umum, dan hal tersebut diperbolehkan (tidak dilarang) oleh kaidah syariah muamalah.

Hanya saja, perlu diperhatikan apabila dalam aqad dibuat klausula mengenai penyelesaian sengketa melalui Arbriter, maka penyelesaiannya harus melalui proses Arbitrase dengan mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Pilihan Penyelesaian Sengketa.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Jumat, 16 April 2010

Wewenang PN dalam Melaksanakan Putusan Arbitrase
Sebenarnya bagaimanakah wewenang pengadilan negeri dalam melaksanakan putusan arbitrase?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), pelaksanaan arbitrase oleh Pengadilan Negeri dibedakan berdasarkan jenis putusan arbitrasenya.
Untuk putusan arbitrase nasional, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan pasal 59 – pasal 64 UU Arbitrase. Tahapannya adalah:
1.      Pendaftaran putusan arbitrase ke Pengadilan Negeri, oleh arbiter atau kuasanya.
2.      Permohonan eksekusi kepada Panitera Pengadilan Negeri. Atas permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan penetapan menerima atau menolak pelaksanaan eksekusi. Setelah ada penetapan ini, maka putusan arbitrase tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk putusan arbitrase internasional, pelaksanaannya dilakukan berdasar pasal 65 – pasal 69 UU Arbitrase. Tahapannya adalah:
(1) Tahap Pendaftaran. Putusan arbitrase tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (pasal 65 UU Arbitrase). Berdasarkan pasal 67 UU Arbitrase, pendaftaran putusan arbitrase asing dilakukan dengan penyerahan putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Jakarta Pusat oleh arbiter atau kuasanya.
(2) Setelah pendaftaran ini, diajukan permohonan eksekuatur kepada PN Jakarta Pusat (pasal 67 UU Arbitrase). Terhadap permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan perintah yang mengakui dan memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini.
(3) Setelah perintah Ketua PN diterima, pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kompetensi relatif untuk melaksanakannya (pasal 69 ayat 1 UU Arbitrase). Tata cara pelaksanaan eksekusi sendiri dilakukan sesuai ketentuan Hukum Acara Perdata.

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer