Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Selasa, 24 Juli 2012
Syarat
Diperbolehkan Membeli BBM dengan Jeriken
Saya berniat membeli BBM jenis solar
di sebuah SPBU di tempat saya tinggal (Dompu NTB), tapi saya dipersulit oleh
pihak pengelola. Saya ditanyain izin padahal saya membeli solar untuk keperluan
membajak sawah. Saya sempat cekcok dengan mereka tapi hasilnya saya tetap tidak
mendapatkan solar. Mereka bersikeras bahwa saya harus memiliki izin dulu baru
bisa mendapatkan jatah. Saya sempat bertanya pada mereka izin apa yang
dimaksud? Jawaban mereka "ya, izin" (mereka tidak bisa memberikan
penjelasan yang jelas). Saya merasa dibodohin oleh pihak pengelola SPBU karena
dua jeriken yang saya bawa untuk mengisi BBM ditolak mentah-mentah oleh mereka
sementara truk yang membawa ratusan jeriken dilayani dengan ramah. pertanyaan
saya : 1. Izin apa yang dimaksud oleh pihak SPBU dalam hal pendistribusian BBM
bersubsidi? 2. Kemana saya harus mengajukan mengenai kejanggalan ini dan
langkah apa yang harus saya ambil karena tindakan diskriminasi semacam ini
bukan hanya saya yang mengalaminya tapi masih banyak di belakang saya. (mohon
bantuannya) 3. Apakah pemerintah mensyaratkan sesuatu bagi orang seperti saya
yang ingin mendapatkan BBM bersubsidi? Salam dan terima kasih atas jawabannya.
Jawaban: Ilman Hadi
1. Pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan tanggung
jawab dari Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan
Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa pada kegiatan usaha hilir
sesuai dengan amanat Pasal 46 sampai Pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”).
Badan pengatur tersebut lebih dikenal dengan nama BPH Migas.
BPH Migas dibentuk dengan PP No. 67
Tahun 2002 tentang Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian Bahan Bakar
Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa sebagaimana diubah dengan PP No. 49
Tahun 2012
jo. Keppres No. 86 Tahun 2002 tentang Pembentukan Badan Pengatur Penyediaan dan
Pendistribusian Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi
Melalui Pipa.
Dari penelusuran kami, kami tidak menemukan “izin” yang
Saudara tanyakan, tetapi kemungkinan “izin” yang dimaksud pengelola SPBU
adalah sebagaimana diatur dalam Lampiran Perpres No. 15 Tahun 2012 tentang
Harga Jual Eceran dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu
(Perpres 15/2012)yang menyatakan bahan bakar minyak solar untuk konsumen
pengguna usaha pertanian disyaratkan memperoleh verifikasi dan rekomendasi dari
Lurah/Kepala Desa/Kepala SKPD sebagai berikut:
“Petani/kelompok tani/UPJA Mesin
Pertanian yang melakukan usaha tani tanaman pangan, holtikultura, perkebunan
dengan luas maksimal 2 Ha, dan peternakan dengan menggunakan mesin pertanian
dengan verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa/ Kepala SKPD
Kabupaten/ Kota yang membidangi pertanian.”
Dalam lampiran tersebut ditentukan bahwa titik serah BBM
tersebut dilakukan di Penyalur. Yang dimaksud dengan Penyalur berdasarkan Pasal
1 angka 2 Perpres 15/2012 adalah Terminal BBM/Depot/Penyalur adalah
tempat penimbunan dan penyaluran BBM yang dimiliki atau dikuasai PT Pertamina
(Persero) dan/atau badan usaha lainnya yang mendapat penugasan Penyediaan dan
Pendistribusian Jenis BBM Tertentu.
Saat ini sebagian pemberitaan memang ada yang menyebutkan
bahwa untuk mendapatkan BBM eceran dengan jeriken harus mendapat izin dari
Disperindag, akan tetapi karena usaha yang Saudara lakukan merupakan usaha
pertanian, maka berdasarkan Perpres 15/2012, Saudara cukup membutuhkan
verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa yang umumnya berupa surat
pengantar.
Jadi, untuk bisa membeli BBM solar bersubsidi dengan jeriken
Saudara harus mendapat verifikasi dan rekomendasi dari Lurah/Kepala Desa/
Kepala SKPD Kabupaten/ Kota yang membidangi pertanian.
2. Bila Saudara merasakan kejanggalan atau merasa
didiskriminasi untuk mendapat BBM solar tersebut, Saudara dapat mengajukan pengaduan
atau keluhan kepada BPH Migas. Dalam situs resminya, BPH Migas membuka layanan
pengaduan melalui SMS dengan format BPH<spasi>Kota#Nama#Isi pengaduan
kirim ke 3477.
3. Untuk konsumen pengguna akhir dari BBM seperti Saudara,
Pemerintah tidak menetapkan syarat selain verifikasi dan rekomendasi yang telah
disebutkan sebelumnya, karena Saudara bukan merupakan Badan Usaha yang
menjalankan kegiatan usaha BBM.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
4. Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun
2012 tentang Harga Jual Eceran dan dan Konsumen Pengguna Jenis Bahan Bakar
Minyak Tertentu;
5. Keputusan Presiden Nomor 86
Tahun 2002 tentang Pembentukan Badan Pengatur Penyediaan dan Pendistribusian
Bahan Bakar Minyak dan Kegiatan Usaha Pengangkutan Gas Bumi Melalui Pipa.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 04 Januari 2012
Terjemahan
Akta Perusahaan, Haruskah oleh Penerjemah Tersumpah?
Perusahaan tempat saya bekerja selalu
menerjemahkan akta notaris yang selalu dibuat. Apakah terjemahan tersebut wajib
dilakukan oleh penerjemah tersumpah atau bisa diterjemahkan oleh penerjemah
biasa? Apa ada beda kekuatan hukum antara hasil terjemahan penerjemah tersumpah
dengan yang biasa? Mohon info.
Jawaban: Diana Kusumasari
Pada
dasarnya, perlu dipahami bahwa sejak diundangkannya UU No. 24
Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu
Kebangsaan, penggunaan bahasa Indonesia menjadi hal yang
diwajibkan seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 31 UU tersebut yang
berbunyi:
Ayat (1):
“Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga
Negara, instansi pemerintahan Republik Indonesia, lembaga swasta
Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia”.
Ayat (2):
“Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris”.
Dari yang
Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa perusahaan tempat Anda bekerja adalah
Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (“PT PMA”). Dengan demikian, perlu
dibuat akta pendirian yang berbahasa Indonesia dan juga berbahasa nasional
pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris. Sebenarnya tujuannya adalah agar
pihak asing itu juga memahami isi dari akta pendirian tersebut.
Di sisi
lain, saat pendirian PT PMA, maka pertama kali pendiri PT PMA harus mengajukan
aplikasi kepada BKPM untuk pendaftaran penanaman modal, yaitu dengan
mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dalam Lampiran I Perka
BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal
(“Perka BKPM 12/2009”).
Dalam
Perka BKPM 12/2009 tersebut antara lain disebutkan bahwa untuk pendirian PT PMA
harus melampirkan berbagai dokumen yang di antaranya juga melampirkan rekaman Anggaran Dasar (Article
of Association) dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa
Indonesia dari penterjemah tersumpah untuk pemohon adalah untuk badan usaha
asing. Lebih
jauh, simak Pendirian PT PMA.
Pada dasarnya,
tujuan dokumen tersebut harus diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah adalah
tentu untuk tujuan kebenaran dan akurasi makna dari dokumen yang diterjemahkan.
Setiap penerjemah tersumpah dapat dianggap berkompeten karena harus melalui
Ujian Kualifikasi Penerjemah (“UKP”) dengan nilai di atas 80 (nilai A), baru berhak untuk disumpah sebagai
Penerjemah Bersumpah. Pengambilan sumpahnya kemudian
dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta, lalu akan dikeluarkan Surat Keputusan
mengenai pengangkatan penerjemah tersebut sebagai Penerjemah Bersumpah. Lebih
jauh simak Prosedur
Menjadi Penerjemah Tersumpah.
Perlunya
akta pendirian PT PMA ini untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris selain
untuk mendapatkan izin prinsip pendirian PT PMA dari BKPM, juga di antaranya
apabila di kemudian hari PT PMA yang bersangkutan hendak melakukan perluasan
usaha, BKPM juga akan mensyaratkan PT PMA dalam permohonannya untuk melampirkan
Rekaman Akta Pendirian (Article of Association) dan terjemahannya dalam
bahasa Indonesia atau bahasa Inggris bagi badan hukum asing (Lampiran V
Perka BKPM No. 12 Tahun 2009).
Jadi,
sebenarnya yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa asing/Inggris oleh
penerjemah tersumpah adalah akta pendirian PT PMA, selain akta pendirian, tidak
ada kewajiban untuk menerjemahkannya ataupun menggunakan jasa penerjemah
tersumpah atau bukan.
Namun,
dikarenakan PT PMA melibatkan pihak asing sebagai pemegang saham, maka ada
kalanya pihak asing tersebut ingin mengetahui isi dari perubahan akta, oleh
karena itu perlu adanya terjemahannya. Hanya saja, kemampuan menerjemahkan dari
penerjemah tersumpah tentu lebih dapat dipertanggungjawabkan. Mengingat hal
itulah mengapa sebaiknya dokumen-dokumen terkait perusahaan sebaiknya
diterjemahkan oleh penerjemah tersumpah. Dan, menurut hemat kami, tidak ada
perbedaan kekuatan hukum antara akta yang diterjemahkan oleh penerjemah
tersumpah maupun akta yang diterjemahkan oleh penerjemah tidak tersumpah.
Karena, dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, maka bahasa Indonesia-nya lah
yang berlaku.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
1. Undang-Undang
No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu
Kebangsaan
2. Peraturan Kepala Badan Koordinasi
Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan
Penanaman Modal
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat,
07 Juni 2002
tindak pidana pencucian uang dan
rahasia bank
Dengan
dikeluarkannya UU No.25 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
bagaimana dengan status pasal 42 & 45 UU perbankan?
Jawaban: Bung Pokrol
Bank
wajib merahasiakan keterangan nasabah dan simpananya, kecuali yang ditentukan
dalam pasal 41, 41A, 42, 43, 44 dan 44A Undang-undang
No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang
Perbankan
("UU Perbankan").
Ketentuan rahasia bank yang diatur dalam ps. 40 UU Perbankan tersebut ternyata
juga dikecualikan dalam Undang-undang
No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang ("UU TPPU"), bila hal itu menyangkut
adanya dugaan tindak pidana pencucian uang oleh nasabah dari bank yang
bersangkutan (lihat ps.14 UU TPPU). Dengan demikian, pengaturan tindak pidana
pencucian uang dimaksudkan untuk menambahkan ketentuan pengecualian terhadap
rahasia bank yang telah diatur dalam ps. 41 hingga 44A UU Perbankan.
Sebagai
tambahan, dengan berlakunya UU TPPU, bank wajib melaporkan (i) transaksi
keuangan mencurigakan; (ii) transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau
lebih atau yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi
maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja (lihat ps.13 UU TPPU) kepada Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebagai otoritas untuk memeriksa perkara
tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
Transaksi mana pastinya akan menyangkut rahasia bank karena hal itu berkaitan
dengan keterangan nasabah dan simpananya yang sebenarnya bank harus
merahasiakannya. Bila
bank atau penyedia jasa keuangan tidak melaporkan hal ini maka bank atau
penyedia jasa keuangan tersebut justru dikenakan sanksi sebagaimana diatur
dalam ps. 8 UU TPPU.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 19 Juli 2011
Transaksi
Penjualan Saham Harus dalam Rupiah?
Selamat Siang Bung Pokrol. Saya
ingin tanya terkait dengan UU mata uang yang baru. Apakah benar semua transaksi
pembayaran sekarang diharuskan menggunakan mata uang Rupiah? Lalu bagaimana
bila suatu PT yang memiliki penghasilan dalam bentuk valas, kemudian pemegang
sahamnya ingin menjual sahamnya ke pihak lain di Indonesia, apakah sahamnya
harus dihargai dengan Rupiah?
Jawaban: Diana Kusumasari
Melihat
pada ketentuan UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur
dalam Pasal 49 ayat (1) UUPT bahwa nilai saham harus dicantumkan dalam
mata uang Rupiah. Akan tetapi UUPT ini tidak mengatur apakah bila saham
tersebut diperjualbelikan, transaksinya harus menggunakan Rupiah atau tidak.
Akan
tetapi, sejak 28 Juni 2011 ada aturan yang secara umum mewajibkan semua
transaksi yang dilakukan di Indonesia dan mempunyai tujuan pembayaran,
penyelesaian kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang dan transaksi keuangan
lainnya untuk menggunakan Rupiah (lihat Pasal 21 ayat [1] UU No. 7
Tahun 2011 tentang Mata Uang – “UU Mata Uang”).
Dengan
demikian, jika PT yang Anda sebutkan itu berada di Indonesia baik PT Lokal
maupun PT Penanaman Modal Asing (“PT PMA”), maka segala transaksi keuangannya
harus menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang ini. Kecuali transaksi yang
terjadi termasuk hal-hal yang dikecualikan di bawah ini, boleh menggunakan mata
uang asing/valuta asing:
a. transaksi tertentu dalam rangka
pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. penerimaan atau pemberian hibah dari
atau ke luar negeri;
c. transaksi perdagangan internasional;
d. simpanan di bank dalam bentuk valuta
asing; atau
e. transaksi pembiayaan internasional.
(lihat Pasal
21 ayat [2] UU Mata Uang).
Dengan demikian,
terkait dengan transaksi jual beli saham yang Anda tanyakan, meskipun
harga/nilai saham dicantumkan dalam dolar, transaksi jual belinya tetap harus
dilakukan dengan menggunakan Rupiah berdasarkan UU Mata Uang yang baru.
Sementara
itu, menurut notaris Irma Devita Purnamasari dalam praktik PT PMA yang
sebagian pemegang sahamnya asing, biasanya selain dalam Rupiah, nilai sahamnya
juga ada ekuivalen dolarnya. Jadi, kalau ada transaksi penjualan saham asing
dengan dolar, tetap ada ekuivalen Rupiahnya. Dengan demikian, misalkan dijual
seharga USD 3 juta, maka kita harus cari ekuivalen Rupiahnya berapa. Misalnya,
Rp25 miliar dengan nilai USD 1 = Rp8.623,-. Pihak asing terimanya tetap di Rp25
miliar. Karena di PT PMA memang harus ada ekuivalen antara dolar dan Rupiahnya.
Sehubungan
dengan kewajiban transaksi menggunakan Rupiah, menurut Irma, maka jual-beli
saham PT PMA juga harus dinyatakan dan diterima dalam Rupiah. Kemudian, setelah
terjadi transaksi pihak yang menjual saham tersebut dapat mengkonversi uang
hasil penjualan saham tersebut ke dolar.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan
editor: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Purnamasari melalui
komunikasi telepon pada 19 Juli 2011.
Dasar hukum:
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 22 Pebruari 2010
Undang-Undang
Ketenagalistrikan
Mohon penjelasan perbedaan antara UU
No. 15 Tahun 1985 dengan UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Jawaban: Muhammad Iqsan Sirie
Perbedaan
yang mendasar dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan dengan UU
yang sebelumnya, UU No. 15 Tahun 1985 adalah pelaku yang terlibat dalam
penyediaan tenaga listrik. Menurut pasal 11 ayat (1) UU 30 Tahun 2009, tidak
hanya BUMN c.q. PLN saja yang berhak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik, namun sekarang BUMD, badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya
masyarakat yang berusaha di bidang penyediaan tenaga listrik juga punya hak
yang sama dalam hal melakukan usaha penyediaan tenaga listrik.
Walaupun
demikian, PLN sebagai perpanjangan tangan dari Negara yang merupakan pelaksana
utama usaha penyediaan tenaga listrik, tetap memegang hak untuk mendapatkan
prioritas pertama (first right of refusal) dalam penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum. Apabila PLN sebagai pemilik hak untuk
diprioritaskan menolak untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik, maka
kegiatan ini kemudian ditawarkan kepada entitas-entitas lainnya.
Selain
perbedaan yang di atas, UU No. 30 Tahun 2009 juga mengatur hal-hal lain yang
sebelumnya tidak diatur. Misalnya, regionalisasi penentuan tarif tenaga listrik
(pasal 34) dan jual-beli tenaga listrik dengan Negara lain (pasal 37 – pasal
41).
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 15 April 2010
Undian
Berhadiah
Undian berhadiah yang bagaimanakah
yang harus atau perlu mendapatkan ijin dari Departemen Sosial dan pada saat
penarikan undian tersebut harus dilakukan di hadapan Notaris? Adakah peraturan
yang mengatur hal tersebut?
Jawaban: Alfi Renata
Setiap
penyelengaraan undian gratis berhadiah harus mendapatkan izin terlebih dahulu
dari Departemen Sosial (pasal 2 ayat [1] Peraturan Menteri Sosial No.
13/Huk/2005 tentang Izin Undian jo. Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1973
tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian jo. pasal 1 UU No. 22 Tahun 1954
tentang Undian. Kecuali, bagi penyelenggaraan undian yang hanya dilakukan dalam
lingkungan terbatas untuk para anggotanya dan tidak ada unsur jual-beli atau
promosi, dapat dilakukan tanpa izin dari Menteri Sosial (pasal 5 Peraturan
Menteri Sosial No. 13/Huk/2005 tentang Izin Undian).
Benar,
pelaksanaan penarikan undian berhadiah harus disaksikan dan dihadiri oleh
notaris sebagai pejabat yang berwenang. Hal tersebut berdasarkan pasal 18
Peraturan Menteri Sosial No. 13/HUK/2005 Tentang Izin Undian. Dalam hal ini,
notaris menyaksikan dan mengikuti proses pelaksanaan penarikan undian berhadiah
dari awal sampai akhir serta membuat akta berita acara mengenai pelaksanaan
penarikan undian berhadiah.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1954 tentang Undian.
- Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1973 tentang Penertiban Penyelenggaraan Undian.
- Keputusan Menteri Sosial Nomor 73/HUK/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Izin dan Penyelenggaraan Undian Gratis.
- Peraturan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/2005 Tentang Izin Undian
- Peraturan Menteri Sosial Nomor 14A/HUK/2006 tentang Izin Undian.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 26 Januari 2004
Wewenang
mengadili sengketa perbankan syariah
Baru-baru ini sedang melambungnya
pamor perbankan syariah seiring fatwa MUI tentang status bunga bank. Nah,
bagaimana bila terjadi sengketa menyangkut perbankan syariah, apakah merupakan
wewenang Peradilan Umum(PN perdata) ataukah wewenang Peradilan Agama? Apakah
ditentukan juga adanya perkara koneksitas antara PU-PA bila misalnya kasus
tersebut menyangkut pihak perbankan konvensional dan perbankan syariah? Apa
dasar hukumnya dalam pemecahan masalah tersebut?
Jawaban: Bung Pokrol
Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita harus mengetahui
kewenangan dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum.
Kewenangan Pengadilan Agama:
Berdasarkan ketentuan ps.49 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UU Peradilan Agama),
disebutkan:
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. Perkawinan;
b. Kewarisan; Wasiat; dan
Hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam
c. Waqaf
dan Shadaqoh
Kewenangan Pengadilan Umum:
Berdasarkan ketentuan ps.50
Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum), disebutkan bahwa :
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.
Melihat kepada definisi kewenangan diatas, Kewenangan
Pengadilan Agama dibatasi hanya untuk hal-hal tertentu dan hanya untuk
orang-orang tertentu. Pengertian orang dalam ketentuan mengenai kewenangan
tersebut tidak dapat diartikan melalui intepretasi analogi sebagai badan hukum,
karena dipersyaratkan beragama Islam. Badan hukum, termasuk Bank Syariah secara
hukum tidak beragama islam, meskipun mungkin menjalankan kaidah syariah. Dengan
demikian, sengketa yang bersangkutan
dengan Perbankan Syariah tidak termasuk kewenangan dari Pengadilan Agama.
Apabila dimasukan dalam kewenangan pengadilan
umum, apakah dari segi hukum syariahnya memungkinkan? Untuk itu kita perlu
memahami terlebih dahulu beberapa terminologi dan kaidah-kaidah dasarnya.
Syariah, dari akar katanya berarti adalah
jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Dalam pemahaman terminologi,
Syariah diartikan sebagai Ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan Manusia
untuk menjalankan peranan hidupnya yaitu untuk beribadah. Sumber hukum syariah
adalah dari Al- Qur'an dan Al-Hadist (Sunah Rasulullah).
Secara garis besar, ketentuan tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
yang mengatur mengenai Ibadah, yaitu bentuk hubungan manusia dengan Allah
(habluminallah) dan yang mengatur mengenai hubungan sesama manusia
(hablumminannas) atau lebih dikenal dengan muamalah. Muamalah, dalam istilah
hukum kita lebih dikenal dengan Perdata.
Kaidah dasar untuk ibadah adalah: segala sesuatunya haram untuk dilakukan,
kecuali yang telah jelas-jelas diperintahkan.
Kaidah dasar untuk muamalah/ perdata adalah : segala sesuatunya boleh,
kecuali yang telah jelas-jelas diharamkan. Muamalah dalam bahasa hukum
konvensional dikenal dengan istilah perdata (privat).
Kegiatan usaha Perbankan Syariah, diwujudkan dalam aqad-aqad yang
dibuatnya, baik itu dalam bentuk musyarakat, mudarabah, ataupun bentuk-bentuk
yang lain. Tindakan membuat Aqad tersebut termasuk dalam klasifikasi muamalah,
maka dari itu segala sesuatunya diperbolehkan, sepanjang tidak melanggar
ketentuan syariah yang melarang, termasuk penggunaan ketentuan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata.
Jika kemudian timbul sengketa terhadap Aqad bank syariah tersebut, karena
termasuk dalam kaidah syariah muamalah, maka kita dibebaskan untuk
menyelesaikannya dengan cara yang menurut kita baik, sepanjang tidak melanggar
ketentuan yang telah dilarang oleh syariah. Oleh karena itu, dari sudut pandang hukum Syariah boleh dipergunakan
hukum acara perdata dalam Pengadilan Umum untuk menyelesaikan sengketa yang
berkaitan dengan Perbankan Syariah.
Sedangkan dalam definisi kewenangan Pengadilan Umum, sebagaimana telah
disebutkan diatas, perkara perdata/muamalah adalah kewenangan dari Pengadilan
Umum, maka dengan demikian telah jelas bahwa sengketa yang bersangkutan dengan Perbankan Syariah menurut hukum
adalah kewenangan Pengadilan Umum, dan hal tersebut diperbolehkan (tidak
dilarang) oleh kaidah syariah muamalah.
Hanya saja,
perlu diperhatikan apabila dalam aqad dibuat klausula mengenai penyelesaian
sengketa melalui Arbriter, maka penyelesaiannya harus melalui proses Arbitrase
dengan mengacu pada ketentuan UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Pilihan Penyelesaian Sengketa.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 16 April 2010
Wewenang
PN dalam Melaksanakan Putusan Arbitrase
Sebenarnya bagaimanakah wewenang
pengadilan negeri dalam melaksanakan putusan arbitrase?
Jawaban: Shanti Rachmadsyah
Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase),
pelaksanaan arbitrase oleh Pengadilan Negeri dibedakan berdasarkan jenis
putusan arbitrasenya.
Untuk putusan arbitrase nasional,
pelaksanaannya dilakukan berdasarkan pasal 59 – pasal 64 UU Arbitrase.
Tahapannya adalah:
1. Pendaftaran putusan arbitrase ke
Pengadilan Negeri, oleh arbiter atau kuasanya.
2. Permohonan eksekusi kepada Panitera
Pengadilan Negeri. Atas permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan penetapan
menerima atau menolak pelaksanaan eksekusi. Setelah ada penetapan ini, maka
putusan arbitrase tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan
dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Untuk putusan arbitrase
internasional, pelaksanaannya dilakukan berdasar pasal 65 – pasal 69 UU
Arbitrase. Tahapannya adalah:
(1) Tahap Pendaftaran. Putusan
arbitrase tersebut harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
(pasal 65 UU Arbitrase). Berdasarkan pasal 67 UU Arbitrase, pendaftaran
putusan arbitrase asing dilakukan dengan penyerahan putusan arbitrase ke
Panitera Pengadilan Jakarta Pusat oleh arbiter atau kuasanya.
(2) Setelah pendaftaran ini, diajukan
permohonan eksekuatur kepada PN Jakarta Pusat (pasal 67 UU Arbitrase).
Terhadap permohonan ini, Ketua PN akan mengeluarkan perintah yang mengakui
dan memerintahkan pelaksanaan putusan arbitrase asing ini.
(3) Setelah perintah Ketua PN
diterima, pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri
yang memiliki kompetensi relatif untuk melaksanakannya (pasal 69 ayat 1 UU Arbitrase).
Tata cara pelaksanaan eksekusi sendiri dilakukan sesuai ketentuan Hukum Acara
Perdata.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar