Perusahaan_Hukumonline
Jenis-jenis
kontrak bisnis
Dalam jenis kontrak bisnis yang
biasa dipakai dalam praktek sehari-hari, Ada berapa macam baik yang sifatnya
insidental atau standard (seperti TAC, BOT, TAA, joint operation, production
sharing, dll) Dimanakah bisa diperoleh copy dari jenis-jenis kontrak tersebut?
Jawaban:
Jenis-jenis
kontrak bisnis dapat dilihat dari hubungan dan kondisi bisnis yang terjadi pada
suatu perusahaan. Terlepas dari bidang usaha yang dijalani, adapun macam-macam
hubungan dan kondisi bisnis tersebut yaitu sebagai berikut:
a. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan kontraktor dan mitra bisnis
Hubungan dengan kontraktor merupakan
hubungan pemborongan suatu proyek, bisa dalam rangka mengadakan suatu bangunan
pabrik dan atau kantor, dimana perusahaan menjadi pemilik (yang memberikan order
kerja) dan kontraktor menjadi pemborong (yang menerima order kerja).
Skala dan kompleksitas proyek dapat sangat beragam. Dari yang proyek kecil
hingga yang proyek besar; dari yang sederhana hingga yang canggih. Konsep
perikatan (perjanjian)-nya pun beragam mengikuti hal-hal tersebut. Dari sekedar
Perjanjian Pemborongan hingga Engineering Procurement Construction Contract
atau EPC Contract.
Sedangkan hubungan dengan mitra
bisnis, perusahaan mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu proyek atau obyek
kerjasama bisnis tertentu. Dalam hal suatu proyek, maka kedua belah pihak
melakukan: (i) suatu kerjasama operasi (joint operation; seperti: Joint
Operation Agreement atau Production Sharing Agreement), atau (ii) penyertaan
modal saham (joint venture) dengan mendirikan suatu perusahaan usaha
patungan (joint venture company), yang perjanjiannya disebut Joint
Venture Agreement.
Sedangkan dalam obyek kerjasama
bisnis tertentu dapat mencakup hal-hal yang sangat luas dan beragam. Pada
umumnya: (i) ada struktur transaksi pembiayaan proyek (seperti: Build Operate
& Transfer Agreement atau disingkat BOT Agreement, atau Build Operate &
Own Agreement atau disingkat BOO Agreement); (ii) proses alih teknologi atau
pengetahuan tertentu (seperti: Technical Assistance Agreement); (iii)
kepentingan pengembangan/jaringan bisnis (seperti: Collaboration Agreement);
dan (iv) kepentingan penelitian dan pengembangan serta rekayasa mengenai obyek
tertentu; mungkin tidak ada pendapatan yang diperoleh tetapi tujuan dari hasil
kegiatan tersebut yang diutamakan (seperti: Research, Development &
Engineering Agreement); serta (v) kepentingan hak milik intelektual (seperti:
Licence Agreement).
b. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan pemasok
Sederhananya, perjanjian dengan para
pemasok barang atau jasa bagi kepentingan produksi atau operasi bisnis
sehari-hari. Biasanya disebut Supply Agreement.
c. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan distributor, retailer/agen penjualan
Singkatnya, dalam hal perusahaan
tidak melakukan penjualan langsung melalui divisi pemasaran dan penjualannya,
maka ia akan menunjuk pihak lain yaitu distributor atau retailer atau agen
penjualan. Biasanya disebut Distribution Agreement dan Sales Representative
Agreement.
d. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan konsumen atau debitur
Singkatnya, dalam hal konsumen tidak
mampu membayar tunai, maka perusahaan dapat melakukan pembiayaan sendiri
terhadap konsumen yang bersangkutan dengan melakukan perjanjian jual beli
dengan cicilan (Purchase With Installment) atau sewa beli (Hire Purchase
Agreement).
e. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan para pemegang saham
Pada umumnya, dalam hal kondisi
diluar dari penyertaan modal yang sudah diatur dalam anggaran dasar, yaitu
seperti Perjanjian Hutang Subordinasi atau bila ada kesepakatan antara pemegang
saham lama dengan yang baru, yaitu Shareholder Agreement.
f. Hubungan
bisnis antara perusahaan dengan kreditur yang memberikan fasilitas kredit atau
pinjaman
Pada umumnya dikenal dengan dengan
Facility Agreement atau Credit Agreement. Namun dari segi sifat hutang dan
struktur transaksi dapat merupakan macam ragam hubungan atau transaksi
pinjaman, misalnya, Syndicated Facility Agreement, Convertible Bond Agreement,
Put Option Agreement, Middle Term Note Agreement.
Untuk
contoh-contoh dokumen di atas, anda dapat menghubungi dari kantor-kantor
konsultan hukum yang alamat-nya dapat anda lihat di rubrik direktori kami.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 12 Maret 2012
Jika
Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Adalah Suami-Istri
Sampai manakah tanggung jawab
komisaris bila komisaris adalah istri dari direksi yang perusahaannya mengalami
kredit macet?
Jawaban:Diana
Kusumasari
Dalam
suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”) ada organ-organ PT
yakni Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Direksi, dan Dewan Komisaris (Pasal
1 angka 2 UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas -
“UUPT”).
Perlu
diketahui tugas dan kewenangan Direksi dan Dewan Komisaris adalah sebagai
berikut:
1. Dewan Komisaris
bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi (Pasal 1 angka 6 jo
Pasal 108 UUPT).
2. Direksi
berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk
kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili
Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar (Pasal 1 angka 5 UUPT).
Dalam hal
kemudian PT mengalami kredit macet, Direksi PT tidak dapat dituntut
pertanggungjawabannya secara pribadi (hingga melibatkan harta pribadi) jika
Direksi tersebut telah melaksanakan tugas pengurusannya dengan iktikad baik dan
penuh tanggung jawab.
Sebaliknya,
anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan
apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai
dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab (Pasal 97 ayat [3] UUPT).
Demikian
pula halnya bagi Dewan Komisaris, setiap anggota Dewan Komisaris wajib dengan
iktikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi untuk kepentingan Perseroan dan
sesuai dengan maksud dan tujuan (Pasal 114 ayat [2] UUPT). Jika Dewan
Komisaris bersalah atau lalai menjalankan tugasnya, maka Dewan Komisaris dapat
dimintai pertanggung jawabannya secara pribadi atas kerugian PT.
Tapi,
anggota Dewan Komisaris tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian PT
apabila dapat membuktikan (Pasal 114 ayat [5] UUPT):
(a). telah melakukan
pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
(b). tidak mempunyai
kepentingan pribadi baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan Direksi yang mengakibatkan kerugian; dan
(c). telah memberikan
nasihat kepada Direksi untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut.
Terlepas
dari hubungan antara Direksi dan Dewan Komisaris adalah suami-istri, Dewan
Komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban secara tanggung renteng dengan
anggota Direksi dalam hal terjadi kepailitan jika Dewan Komisaris
bersalah dan lalai dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang
dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar
seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut (Pasal 115 ayat [1]
UUPT). Jika terjadi hal yang demikian, setiap anggota Dewan Komisaris
secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas
kewajiban yang belum dilunasi.
Akan
tetapi, anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
kepailitan PT apabila dapat membuktikan (Pasal 115 ayat [3] UUPT):
(a). kepailitan tersebut
bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
(b). telah melakukan
tugas pengawasan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
(c). tidak mempunyai
kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
(d). telah memberikan
nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.
Jadi,
terlepas apakah anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris adalah suami istri,
apabila kerugian PT (dalam hal ini kredit macet) diakibatkan oleh kesalahan
atau kelalaian Dewan Komisaris dalam menjalankan tugasnya mengawasi dan
memberikan nasihat kepada Direksi, memang Dewan Komisaris dapat turut dimintai
pertanggungjawabannya.
Kecuali,
Dewan Komisaris telah melakukan tugasnya dengan iktikad baik dan penuh tanggung
jawab, seharusnya Dewan Komisaris tidak dapat turut dimintai
pertanggungjawabannya. Namun, persoalannya di sini adalah jika antara suami
(Direksi) dan istri (Dewan Komisaris) tidak ada perjanjian kawin mengenai
pemisahan harta sebelumnya, maka mereka memiliki harta bersama dan dalam hal
suami sebagai Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian PT karena
kesalahan/kelalaiannya, harta bersama itulah yang turut menjadi pelunasan
kerugian PT.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 13 Mei 2002
Jual Beli
Saham tanpa persetujuan
Saya dan seorang rekan mendirikan
PT. Dalam anggaran dasar pendirian PT, rekan A selaku Direktur dan memiliki 30
% saham. Saya selaku Komisaris dan memiliki 70 % saham (dimana berdasarkan
perjanjian dan kuasa notaris, dalam PT tersebut saya memiliki 30 % saham dan
sisanya 40 % milik rekan B yg memberikan kuasa kepada saya untuk mengurus
segalanya). Bulan lalu rekan B meninggal dunia. Tanpa sepengetahuan saya, rekan
A telah menjual saham saya (70%) kepada anak-anaknya. Sehingga saya hanya
tersisa 15 % saja (termasuk saham B). Bahkan jual beli palsu ini sudah
dibuatkan akta oleh notaris berikut akta perubahan susunan pemegang saham. Saat
ini sedang dalam pengesahan di MenKeh. Saya memiliki bukti bahwa notulen rapat
tidak ada tanda tangan saya, karena memang saya tidak diundang dalam RUPS itu.
Saya rasa ini bentuk penipuan. Saya juga sudah mendatangi notaris ybs dan
menegurnya. Mungkin karena takut notaris tsb sulit sekali utk dihubungi.
Pertanyaan saya : 1. Saya ingin membatalkan jual beli saham fiktif tsb dan kembali
ke susunan pemegang saham awal. Apakah bisa dilakukan pembatalan akta? Krn
notaris sengaja mengulur waktu dan tidak ingin membatalkan (krn takut minta di
MenKeh). Notaris mengusulkan jual beli lagi. Tetapi rekan A tidak mau tanda
tangan jual beli utk kembali ke susunan awal. 2. Sanksi apa yg akan dikenakan
kepada notaris yg berani membuatkan akta jual beli saham tanpa persetujuan
saya? 3. Langkah apa yang harus saya diambil? Saya harus menghubungi siapa?
Terima kasih atas jawabannya dan saya sangat menunggu jawaban secepatnya karena
situasi di PT makin panas.
Jawaban:
Hal yang mesti anda perhatikan dalam hal ini adalah perihal
pengalihan atas saham menurut ketentuan anggaran dasar PT Saudara. Biasanya
setiap pengalihan saham memerlukan persetujuan organ perseroan (RUPS dan atau
Komisaris). Anda sebagai pemegang saham mayoritas (yaitu mempunyai 30% saham
ditambah kuasa atas pengurusan saham milik B sebanyak 40%) seharusnya memiliki
peran yang cukup besar dalam RUPS. Transaksi jual beli saham yang telah terjadi
yang mana tidak telah meminta persetujuan RUPS (bila demikian diatur dalam
anggaran dasar; di dalam RUPS mana anda berkedudukan sebagai pemilik 30% dan
sebagai kuasa B, pemegang 40% hak suara), bila dilihat dari segi hukum perdata
(ps.1320 KUHPerdata) tidak memenuhi syarat objektif, dimana yang menjadi obyek
persetujuan bukanlah milik yang sah dari pihak yang menjual (dalam hal ini si
A). Dengan demikian, jual beli yang terjadi adalah batal demi hukum.
Pemilikan saham beralih dari pewaris kepada ahli waris karena
pewarisan, kecuali ada surat wasiat yang menyatakan sebaliknya (pasal 874
KUHPerdata). Untuk memenuhi ketentuan ps.49 UUPT, maka (para) ahli waris dapat
meminta fatwa waris dari pengadilan yang berwenang dan mengusulkan diadakannya
RUPS untuk menyetujui perubahan pemegang saham dari pewaris (B) kepada (para)
ahli waris yang bersangkutan. Bila fatwa waris belum dilaksanakan dan ahli
waris lebih dari 1 (satu), maka perseroan harus meminta 1 (satu) wakil dari
para ahli waris tersebut untuk mewakili mereka dalam RUPS yang dimaksud di atas
(lihat pasal 45 ayat 2 UUPT). Keputusan RUPS yang demikian harus didahulukan
demi kepentingan PT saudara dan juga ahli waris. Perlu anda ketahui pula bahwa
sebagai kuasa B, bila anda telah diberitahukan oleh ahli waris (karena ahli
waris mengetahui adanya kuasa), maka ahli waris mengambil alih segala tanggung
jawab B sebagai pemegang saham (pasal 1819 KUHPerdata).
Untuk kepentingan anda sebagai pemegang saham dalam PT Saudara,
antara lain anda dapat:
� mengusulkan diadakannya RUPS, berdasarkan mana RUPS harus
memutuskan untuk menyatakan kembali susunan pemegang saham dan kepemilikan
saham sesuai dengan adanya fakta bahwa B telah meninggal dan (para) ahli
warisnya yang menggantikan kedudukannya, sekaligus menyatakan keputusan RUPS
dalam akta yang lama (bila ada) beserta perjanjian-perjanjian jual beli saham
yang telah dilaksanakan adalah batal. Korum yang digunakan adalah anda sebagai
pemegang 30% dan wakil dari (para) ahli waris 40% serta A sebagai 30%.
� menggugat tindakan A yang menjual saham milik anda dan B (pewaris)
kepada anak(-anak) A.
(lihat juga ps.54 dan 55 UUPT sebagai referensi untuk tindakan
alternatif)
Semoga jawaban kami menjadi referensi yang berguna bagi anda. Untuk
mendapatkan jawaban atau solusi yang lebih rinci, sebaiknya anda melakukan
konsultasi dengan pengacara/konsultan hukum yang kompeten atau anda dapat
memeriksa nama nama konsultan di Direktori Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 15 November 2012
Keberlakuan
Surat Kuasa dari Direksi yang Masa Jabatannya Sudah Berakhir
Surat Kuasa yang diberikan oleh
seorang Direktur yang sah mewakili Direksi PT dan diberikan pada saat dia masih
menjabat apakah masih bisa atau sah secara hukum digunakan oleh penerima kuasa
pada suatu waktu di kemudian hari di mana Direktur tersebut sudah tidak
menjabat lagi sebagai Direktur di PT tersebut? Misalnya, Tuan A selaku Direktur
Bank ABC yang menjabat dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 memberikan
kuasa kepada Tuan B selaku Kepala Cabang Bank ABC untuk menandatangani
Perjanjian Kredit dengan debitur di tahun 2005. Kemudian, di tahun 2011 Tuan B
selaku Kepala Cabang Bank ABC tersebut masih menggunakan Surat Kuasa tahun 2005
tersebut untuk menandatangani Perjanjian Kredit dengan debitur, padahal Tuan A
tadi sudah tidak menjabat lagi sebagai Direktur di Bank ABC. Apakah Kepala
Cabang Bank dapat bertindak mewakili Bank dalam membuat perjanjian-perjanjian
kredit dengan debitur tanpa ada Surat Kuasa dari Direksi Bank?
Pertama,
perlu kami sampaikan bahwa di dalam UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang digunakan adalah
Direksi, dan bukan direktur.
Sebenarnya kewenangan untuk menandatangani perjanjian
merupakan kewenangan Direksi sebagai bentuk pengurusan PT sebagaimana diatur Pasal
92 ayat (1) UUPT. Akan tetapi, akan merepotkan Direksi jika harus
menandatangani langsung semua perjanjian kredit antara Bank dengan kreditur
yang tersebar di banyak tempat. Oleh karena itu, dalam praktik perbankan pada
umumnya, penandatangan perjanjian kredit dengan debitur biasanya didelegasikan
kepada Kepala Cabang dengan surat kuasa.
Berdasarkan
Pasal 103 UUPT, Direksi dapat menyerahkan sebagian kewenangannya dengan
surat kuasa:
“Direksi dapat memberi kuasa
tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang
lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu
sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa.”
Surat kuasa yang diberikan oleh Tuan A sebagai Direksi
kepada Kepala Cabang merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh
Tuan A sebagai Direksi dan bukan sebagai diri pribadi.
Berdasarkan keterangan yang Saudara sebutkan, dalam hal ini
karyawan Perseroan adalah kepala cabang dan kewenangan yang diberikan adalah
kewenangan untuk menandatangani perjanjian kredit dengan debitur mewakili PT
Bank ABC (Direksi dalam hal ini merupakan pengurus PT yang telah mendelegasikan
sebagian kewenangan kepada Kepala Cabang).
Ketentuan mengenai surat kuasa diatur tersendiri dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Menurut Pasal 1813 KUHPer, kuasa
berakhir karena:
a. penarikan kembali kuasa penerima
kuasa;
b. pemberitahuan penghentian kuasanya
oleh penerima kuasa;
c. meninggalnya, pengampuan atau
pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa
Pemberian kuasa dapat berlaku untuk waktu yang tidak
terbatas selama belum dicabut oleh pemberi kuasa (lihat Pasal 1800 KUHPer).
Sayangnya Saudara tidak menyebutkan sampai kapan jangka
waktu surat kuasa dari Direksi tersebut. Jika surat kuasa tersebut disebutkan
jangka waktu berlakunya, maka saat setelah jangka waktunya, maka surat kuasa telah
berakhir.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam buku Hukum
Perseroan Terbatas (hal. 391), kepala cabang atau kepala perwakilan
perseroan mempunyai legal standing atau legal persona standi in
judicio untuk mewakili cabang atau perwakilan perseroan untuk dan atas nama
perseroan. Bahkan, menurutnya, kepala cabang atau kepala perwakilan PT dalam
kedudukan dan kapasitas mereka sebagai kuasa menurut undang-undang tidak
memerlukan surat kuasa dari Direksi Perseroan. Contoh kasus mengenai hal ini
misalnya Putusan MA No. 3562K/Pdt/1984 yang mengatakan Pimpinan Cabang
BNI Tebing Tinggi menurut hukum merupakan kuasa atau wakil, dapat bertindak ke
dalam dan ke luar mewakili kepentingan BNI di daerahnya. Lebih dari itu,
menurut Putusan MA No. 558K/Pdt/1984, cabang perseroan dapat bertindak
di depan pengadilan untuk dan atas nama Perseroan tanpa memerlukan surat kuasa
khusus dari Direksi Perseroan.
Selain itu, advokat Robaga
Gautama Simanjuntak
dalam artikel Wewenang
Kantor Cabang Bank Tanda Tangani Perjanjian Kredit, menjelaskan antara lain sebagai
berikut:
Dalam praktik pemberian kuasa
menandatangani Perjanjian Kredit pada suatu Bank Cabang, tidak
otomatis tak terbatas. Misalkan, seorang pimpinan cabang berdasarkan surat kuasa
untuk menandatangani perjanjian kredit, hanya diperkenankan untuk
menandatangani perjanjian kredit yang memiliki plafon sampai dengan Rp300 Juta.
Sehingga terhadap perjanjian kredit yang melebihi Rp300 Juta harus
ditandatangani oleh Pimpinan Kantor Regional ataupun harus ditandatangani oleh
Kantor Pusat (dalam praktik semua ini bergantung pada peraturan yang berlaku
pada masing-masing bank).
Surat kuasa yang diberikan kepada
Pimpinan cabang untuk menandatangani Perjanjian kredit ini, berlaku untuk
seluruh perjanjian kredit yang akan ditandatangani dan bernilai dibawah Rp300
juta. Surat kuasa dimaksud sebaiknya dibuat dalam bentuk Surat Kuasa Otentik
(dibuat di hadapan Notaris). Apabila seorang Pimpinan Cabang menandatangani
sebuah perjanjian kredit melampaui kewenangan berdasarkan surat kuasa dimaksud,
maka perjanjian kredit tersebut adalah batal demi hukum.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, kiranya dapat disimpulkan
bahwa kepala cabang PT mempunyai kewenangan untuk mewakili kepentingan PT di daerahnya.
Kewenangan yang diberikan oleh Direksi Perseroan kepada kepala cabang dapat
pula dilakukan dengan pemberian surat kuasa. Dalam pertanyaan yang Saudara
ajukan, surat kuasa yang diberikan oleh Tuan A sebagai Direksi yang berwenang
dari PT Bank ABC pada 2005 masih dapat digunakan karena pemberian kuasa
tersebut dilakukan Tuan A sebagai jabatan Direksi dan bukan sebagai diri
pribadi sehingga walaupun sudah tidak lagi menjabat surat kuasa tersebut masih
tetap berlaku selama belum dicabut kembali oleh Direksi.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
Putusan:
1.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
558K/Pdt/1984
2.
Putusan Mahkamah Agung Nomor
3562K/Pdt/1984
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 18 Agustus 2009
Kedudukan
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Bung hukumonline, setelah Mahkamah
Konstitusi diadakan sampai sekarang sudah mengeluarkan beberapa Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK). Dimana dan bagaimana posisi PMK dalam hirarki
peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Pasal 7 ayat (1)
Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU PPP) menyebutkan bahwa hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan
Pemerintah;
d. Peraturan
Presiden;
e. Peraturan
Daerah.
Adapun jenis
peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan Pasal 7 ayat (1) diakui
keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi [Pasal 7 ayat (4) UU PPP]. Mahkamah
Konstitusi, berdasarkan Pasal 86 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Salah satu contohnya adalah Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam
Pengujian Undang-Undang.
Jika terdapat PMK
yang isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya, maka dapat
diajukan permohonan pengujiannya kepada Mahkamah Agung [Pasal 11 ayat (2)
huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman].
Demikian
sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 30 Maret 2011
Kekosongan
Jabatan Direksi Perseroan
Bung Prokol, ada pertanyaan yang
berhubungan dengan Perseroan Terbatas (PT). Masa Jabatan anggota direksi di
dalam PT telah habis (selesai) sesuai dengan ketentuan dalam Anggaran Dasar PT.
Telah diadakan RUPS tetapi tidak menghasilkan keputusan apapun. Apakah dalam
hal ini Komisaris dapat menunjuk seorang Direksi untuk menjalankan perusahaan
untuk sementara waktu agar tidak terjadi kekosongan pimpinan/Direksi dalam
perusahaan (tanpa mengadakan RUPS Kedua)?
Komisaris
tidak dapat menunjuk seorang Direksi untuk menjalankan perusahaan pada saat
terjadi kekosongan posisi Direksi dalam Perseroan. Hal ini karena Pasal 94
ayat (1) UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) telah menentukan bahwa anggota Direksi diangkat oleh Rapat
Umum Pemegang Saham (“RUPS”). Hal-hal mengenai pengangkatan, penggantian dan
pemberhentian anggota Direksi ini selanjutnya diatur dalam Anggaran Dasar
(“AD”).
Ditegaskan
pula oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas”
(hal. 359) bahwa pengangkatan Direksi oleh RUPS ini bersifat imperatif atau
memaksa (dwingendrecht, mandatory law). Tidak bisa disampingi
pengaturannya dalam AD Perseroan.
Dalam hal masa jabatan Direksi
telah berakhir sesuai dengan ketentuan dalam AD dan belum ditentukan
penggantinya, Pasal 107 huruf c UUPT menentukan bahwa dalam AD
seharusnya diatur siapa pihak yang berwenang menjalankan pengurusan Perseroan
apabila terjadi kekosongan posisi Direksi.
Selanjutnya, dalam Pasal
118 ayat (1) UUPT diatur bahwa Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan
pengurusan Perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu,
sepanjang telah diatur dalam AD Perseroan.
Jadi, menjawab pertanyaan
Anda, Komisaris tidak berwenang menunjuk seseorang untuk menjabat sebagai
Direksi dan menjalankan pengurusan Perseroan untuk sementara waktu.
Demikian jawaban dari kami,
semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar