Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Jumat, 25 Juni 2010

Shariah Compliance Officer (SCO)

Apakah Shariah Compliance Officer (SCO) sudah terbentuk? Bagaimana mekanisme Initial Public Offering (IPO) dalam pasar modal syariah? Bagaimana mekanisme penerbitan obligasi syariah dalam pasar modal syariah?
  •  

Menurut pasal 1 butir 4 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal (“Fatwa DSN”), Syariah Compliance Officer (SCO) adalah:

“Pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai prinsip-prinsip syariah di Pasar Modal.”

Pasal 3 ayat 4 Fatwa DSN tersebut di atas selanjutnya mengatur bahwa perusahaan publik yang akan menerbitkan efek syariah wajib memiliki SCO:

“Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer”
Jadi, keberadaan dari SCO ini diharuskan untuk setiap emiten/perusahaan publik yang akan menerbitkan efek syariah. Keberadaaannya tergantung pada masing-masing emiten, apakah hendak menerbitkan efek syariah atau tidak.
Mekanisme IPO pada pasar modal syariah tidak berbeda dengan mekanisme IPO di pasar modal konvensional. Bedanya adalah kewajiban untuk melampirkan opini “syariah compliance” dari tim ahli syariah atau dewan syariah nasional. Selengkapnya untuk proses IPO dapat anda baca DI SINI:
Menurut pasal 4 ayat 3 Fatwa DSN, Obligasi Syariah adalah:

“Surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”

Jadi, obligasi syariah menggunakan perhitungan imbal hasil dengan perhitungan bagi hasil. Ada dua macam obligasi syariah, yaitu:
a)        Obligasi Syariah Mudharabah, yaitu obligasi syariah yang menggunakan akad bagi hasil sehingga pendapatan yang diperoleh investor atas obligasi tersebut diperoleh setelah mengetahui pendapatan emiten.

Berdasarkan pasal 1 huruf c Peraturan Bapepam No. IX.A.14 tentang Akad-Akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal (“Peraturan Bapepam”), Mudharabah (qiradh) adalah perjanjian (akad) di mana pihak yang menyediakan dana (shahib al-mal) berjanji kepada pengelola usaha (mudharib) untuk menyerahkan modal dan pengelola (mudharib) berjanji untuk mengelola modal tersebut. Jadi, skemanya adalah dengan penyertaan.

Obligasi syariah mudharabah dikeluarkan perusahaan untuk membiayai proyek tertentu. Keuntungannya didistribusikan secara periodik dengan nisbah tertentu, yang merupakan rasio pembagian keuntungan riil dengan basis profit-loss sharing.

b)        Obligasi Syariah Ijarah, yaituadalah obligasi syariah yang menggunakan akad sewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan pendapatan investor dapat diketahui sejak awal obligasi diterbitkan.
Menurut pasal 1 huruf a Peraturan Bapepam, Ijarah adalah perjanjian (akad) di mana Pihak yang memiliki barang atau jasa (pemberi sewa atau pemberi jasa) berjanji kepada penyewa atau pengguna jasa untuk menyerahkan hak penggunaan atau pemanfaatan atas suatu barang dan atau memberikan jasa yang dimiliki pemberi sewa atau pemberi jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa dan atau upah (ujrah), tanpa diikuti dengan beralihnya hak atas pemilikan barang yang menjadi obyek Ijarah.
Mekanisme penerbitan obligasi syariah juga tidak diatur secara khusus, kecuali untuk obligasi syariah yang diterbitkan negara/Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan Peraturan Menteri Keuangan No. 218 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri (“PMK No. 218/2008”). Penerbitannya berdasarkan pasal 2 PMK No. 218/2008 dilakukan melalui dua cara:
1.      Langsung diterbitkan oleh pemerintah
2.      Melalui perusahaan penerbit SBSN

Penjualan Sukuk Negara Ritel di Pasar Perdana dalam negeri dilakukan melalui Agen Penjual yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang (pasal 5 jo. pasal 6 PMK No. 218/2008). Agen Penjual adalah Bank dan/atau Perusahaan Efek yang ditunjuk untuk melaksanakan penjualan Sukuk Negara Ritel.

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara
2.      Peraturan Menteri Keuangan No. 218 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Dalam Negeri
3.      Peraturan Bapepam No. IX.A.14 tentang Akad-Akad yang Digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal
4.      Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Sabtu, 17 Maret 2012

Siapa Saja yang Termasuk Pejabat Bank?

Dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, diatur mengenai sanksi pidana perbankan. Pertanyaan saya : apakah pengertian pegawai bank dalam pasal itu hanya diartikan bagi pegawai yg punya wewenang dan tanggung jawab dalam usaha bank? Apakah loan supervisor termasuk dalam pengertian ini?  

Jawaban:   Adi Condro Bawono



1.     UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”)menyebutkan ada dua jenis pegawai bank, yakni:
-      pejabat bank;dan
-      karyawan bank (disimpulkan dari Penjelasan Pasal 47 dan 49 UU Perbankan).

Lalu, istilah pejabat bank juga ditemui dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia No. 11/19/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Resiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum (sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Bank Indonesia No. 12/7/PBI/2010 Tahun 2010)yang mendefinisikan: “Pejabat Bank adalah pegawai Bank yang menduduki jabatan di bawah Direksi sesuai dengan ukuran dan kompleksitas usaha, termasuk pegawai Bank yang mempunyai pengaruh atas kebijakan dan atau operasional Bank.

Dari pengaturan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tidak semua karyawan bank merupakan pejabat bank. Pegawai bank yang tidak mempunyai pengaruh atas kebijakan dan atau operasional bank bukanlah seorang pejabat bank, maka ia termasuk kategori sebagai karyawan bank.

Terkait dengan sanksi pidana dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan yang Anda tanyakan, dalam Penjelasan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan dinyatakan “Yang dimaksud dengan pegawai bank adalah pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal yang berkaitan dengan usaha bank yang bersangkutan.” Maka jelas bahwa yang dimaksud dengan pegawai bank dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan adalah terbatas pada pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal yang berkaitan dengan usaha bank.

Jadi, pengaturan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan hanya berlaku bagi pegawai bank yang merupakan pejabat bank dan tidak berlaku bagi seluruh karyawan bank.

2.     Kami tidak dapat menemukan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai definisi loan supervisor ini. Namun, sebagai referensi, dituliskan dalam Laporan Tahun 2009 - Layananku Untuk Jakarta-kuyang dipublikasikan Bank DKI (hlm 65), loan supervisor atau tenaga supervisi kredit diantaranya bertugas untuk menganalisa kredit komersial, membaca informasi di balik laporan keuangan debitur, memverifikasinya, kemudian menagih dengan cara yang tepat.

Jadi, dalam praktiknya, loan supervisor pada suatu bank adalah seseorang yang menjadi pengawas bagian kredit. Loan supervisor ikut serta dalam proses penentuan apakah seorang nasabah kreditnya di setujui oleh pihak bank atau tidak, serta memiliki peran dalam penagihan kredit.

Oleh karena kewenangan yang dimilikinya itu, loan supervisor juga tunduk pada pengaturan Pasal 49 ayat (2) huruf b UU Perbankan, karena ia juga merupakan pejabat bank yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab tentang hal yang berkaitan dengan usaha bank (dalam hal ini terkait perkreditan).

Demikian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
2.     Peraturan Bank Indonesia No. 11/19/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Resiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum;
3.     Peraturan Bank Indonesia No. 12/7/PBI/2010 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 11/19/PBI/2009 Tahun 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Resiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum.
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer