Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
Senin, 26 April 2010
Surat
Keterangan Terdaftar (SKT) Migas
Saya mau tanya, dalam pengurusan SKT
Migas, berdasarkan 1. Surat Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi
No.111/DJ/MIGAS/1974 tanggal 13 April 1974 jo. No. 7523/29.06/DJM.B/2003
tanggal 31 Desember 2003. 2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor: 27 Tahun 2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang
Minyak dan Gas Bumi. Pertanyaan: 1. Jelaskan peraturan tersebut sebatas mana
saja! 2. Fasilitas apa saja yang didapatkan dengan menjadi member
hukumonline.com. 3. Biaya yang dikenakan jika menjadi member sebagai a.
personal b. perusahaan Terima kasih atas jawabannya.
Jawaban: Shanti
Rachmadsyah
1. Surat Keterangan Terdaftar Usaha
Penunjang Migas (SKT Migas) adalah surat yang diberikan·kepada Perusahaan atau
Perseorangan yang melaksanakan Usaha Penunjang Migas berdasarkan klasifikasi
usaha penunjang sesuai dengan kompetensi yangsi dimiliki (Pasal 1 ayat
[11] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 27 Tahun 2008
tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi). Sedangkan, Surat
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi No. 111/DJ/MIGAS/1974 tanggal 13 April
1974 jo. No. 7523/29.06/DJM.B/2003 tanggal 31 Desember 2003 tersebut mengatur
mengenai keharusan bagi perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas
bumi untuk mendaftarkan data perusahaannya.
SKT
Migas didapat dengan mengajukan permohonan kepada Dirjen Migas cq. Direktur
Teknik dan Lingkungan. Dokumen yang perlu dilampirkan dalam pengajuan
permohonan SKT Migas adalah data perusahaan, yang meliputi:
a. tenaga kerja termasuk tenaga
teknik dalam jumlah yang cukup;
b. memiliki
peralatan kerja yang dibutuhkan;
c.
memiliki penguasaan teknologi;
d.
memiliki modal kerja yang cukup; dan
e. unjuk
kerja (performance) Perusahaan.
Selanjutnya,
akan ada verifikasi dokumen dan pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan
lapangan dilakukan untuk memeriksa sarana dan prasarana perusahaan. Jika Hasil Pemeriksaan & Verifikasi memenuhi
persyaratan, maka Dirjen Migas cq. Direktur Teknik dan Lingkungan akan
mengeluarkan SKT Migas. Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral.
2. Fasilitas yang didapatkan member
hukumonline tergantung ada jenis jenis member yang anda pilih. Akan tetapi,
secara umum fasilitas yang didapat member adalah:
-
Diskon untuk produk-produk offline
hukumonline, seperti buku, seminar, dan diskusi.
3. Biaya untuk member individual adalah
sebesar Rp 200.000 per bulan. Sedangkan untuk korporat, biayanya sebesar Rp
1.000.000 per bulan.
Untuk
informasi selanjutnya silahkan hubungi marketing hukumonline di marketing@hukumonline.com
atau melalui telepon di (021) 8370 1827.
Demikian penjelasan kami. Semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 17 Juni 2010
Structured
Product
Salam hormat. Beberapa waktu lalu
ayah saya ditawarkan suatu produk investasi berbentuk structured product oleh
bank. Saya ingin bertanya mengenai kegiatan structured product yang dilakukan
oleh bank; 1. Apa yang dimaksud dengan structured product? 2. Bentuk-bentuk
structured product apa sajakah yang biasa ditawarkan oleh bank kepada nasabah?
3. Ketentuan-ketentuan apa saja yang harus diperhatikan oleh ayah saya sebelum
menandatangani kontrak investasi tersebut? Perlindungan apa sajakah yang akan
saya dapatkan selaku nasabah structured product?, 4. Permasalahan apa saja kah
yang biasa dihadapi oleh nasabah pada produk ini? Mohon bantuannya.
Jawaban: Mutiara
Putri Artha
1. Structured Products,
menurut pasal 1 ayat (2) PBI No. 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip
Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank
Umum (PBI 11/2009), adalah produk Bank yang merupakan penggabungan
antara 2 (dua) atau lebih instrumen keuangan berupa instrumen keuangan non
derivatif dengan derivatif atau derivatif dengan derivatif dan paling kurang
memiliki karakteristik sebagai berikut:
- nilai atau arus kas yang timbul dari produk tersebut dikaitkan dengan satu atau kombinasi variabel dasar seperti suku bunga, nilai tukar, komoditi dan/atau ekuitas; dan
- pola perubahan atas nilai atau arus kas produk bersifat tidak reguler apabila dibandingkan dengan pola perubahan variabel dasar sebagaimana dimaksud pada huruf a sehingga mengakibatkan perubahan nilai atau arus kas tersebut tidak mencerminkan keseluruhan perubahan pola dari variabel dasar secara linear (asymmetric payoff), yang antara lain ditandai dengan keberadaan:
- optionality, seperti caps, floors, collars, step up/step down dan/atau call/put features;
- leverage;
- barriers, seperti knock in/knock out; dan/atau
- binary atau digital ranges.
Pengertian derivatif dalam pengaturan ini mencakup derivatif
melekat (embedded derivatives).
2. Structured Product
yang dapat ditawarkan oleh bank kepada nasabah harus sesuai dengan pasal 4
PBI 11/2009 yakni:
1) Bank umum devisa hanya dapat melakukan transaksi Structured
Productyang dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau
suku bunga.
2) Bank umum bukan devisa hanya dapat melakukan transaksi StructuredProduct
yang dikaitkan dengan variabel dasar berupa suku bunga.
Jadi, selain Structured Product dengan variabel
dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga, bentuk lainnya dapat
melanggar PBI ini.
3. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam perjanjian Structured Product adalah mengenai
ketentuan risiko yang akan ditanggung nasabah. Pada dasarnya produk Structured
Product merupakan varian dari produk derivatif yang memiliki risiko-risiko
yakni:
1) Risiko kredit, disebabkan karena nasabah gagal menyelesaikan
kewajibannya;
2) Risiko penyelesaian (settlement risk);
3) Risiko pasar, timbul sebagai akibat dari menguat/melemahnya
suatu mata uang atau naik/turunnya suatu tingkat suku bunga;
4) Kemungkinan saldo Margin Deposit dapat menjadi nihil dan
bahkan negatif sehingga Bank dapat meminta nasabah untuk menambah Margin
Deposit apabila nasabah akan melanjutkan atau menutup transaksi Margin Trading.
Selain itu, nasabah harus memperhatikan perjanjian Structured
Product yang akan ditandatangani, khususnya ketentuan mengenai kewajiban
jika nasabah wanprestasi atau gagal bayar, atau kewajiban nasabah jika terdapat
penghentian awal transaksi yang bersangkutan.
Kami sarankan, sebelum penandatanganan perjanjian yang
bersangkutan ayah Anda perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan konsultan
hukum yang mengerti karakteristik transaksi derivatif khususnya Structured
Product.
Terkait dengan perlindungan nasabah, terdapat beberapa
peraturan mengenai perlindungan nasabah misalnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia terkait dengan Transaksi
Derivatif, dan lain sebagainya, yang pada intinya, nasabah sebagai konsumen
berhak mendapatkan informasi yang lengkap, jelas dan benar mengenai produk Structured
Product (pasal 4 PBI No. 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif).
Selain itu, menurut pasal 4 PBI No. 7/6/2005 tentang Transparansi Informasi
Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Bank wajib menyediakan
informasi tertulis dalam bahasa Indonesia secara lengkap dan jelas mengenai
karakteristik setiap Produk Bank (ayat [1]). Informasi tersebut wajib
disampaikan kepada Nasabah secara tertulis dan atau lisan (ayat [2]). Bank
dilarang memberikan informasi yang menyesatkan (mislead) dan atau tidak
etis (misconduct) (ayat [3]).
4. Permasalahan yang mungkin
dihadapi nasabah terkait dengan produk tersebut adalah kerugian yang besar
jika terjadi ketidakstabilan pada harga kurs untuk variabel nilai tukar.
Pasalnya, kembali pada jawaban no. 2 di atas, Structured Product yang
merupakan varian produk derivatif merupakan transaksi yang berisiko.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Peraturan Bank Indonesia No. 7/6/2005 tentang Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah
- Peraturan Bank Indonesia No. 7/31/PBI/2005 tentang Transaksi Derivatif
- Peraturan Bank Indonesia No. 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 07 Pebruari 2012
Pertanyaan:
Status
Anak Perusahaan dari PT yang Beralih Jadi PMA
Saya ingin bertanya, bagaimanakah
status perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh PMA? Contoh: A punya anak
perusahaan B dan C, kemudian A diakuisisi PMA. Status A tentu menjadi PMA.
Tapi, bagaimanakah status B dan C? Menimbang keduanya sudah dimiliki A sebelum
ia menjadi PMA. Terima kasih.
Jawaban: Bimo Prasetio/Dwinanda Febriany
Contoh kasus: A merupakan
Perseroan terbatas (PT Biasa). A memiliki saham di Perusahaan B dan C. Setelah
adanya penyertaan modal oleh penanam modal asing, maka statusnya menjadi
Penanaman Modal Asing (PMA). Lalu, bagaimana status Perusahaan B dan C sebagai
anak Perusahaan A?
Sebelum
menjawab pertanyaan Anda, kami akan jabarkan unsur-unsur definisi mengenai
Penanaman Modal Asing ("PMA"), yaitu:
Berdasarkan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
("UU No. 25/2007"), yang dimaksud dengan PMA adalah “kegiatan
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia
yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang
menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan
penanam modal dalam negeri “
Merujuk
pada penjelasan tersebut dapat dijabarkan bahwa PMA memilki unsur–unsur:
a. Subjek PMA, berdasarkan Pasal 1
angka 6 UU No. 25/2007 penanam modal asing merupakan perseorangan warga
negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan
penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.
b. PMA merupakan suatu bidang usaha
yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun berpatungan. Adapun yang
dimaksud dengan modal asing berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No 25/2007
adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing,
badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang
sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.
Berdasarkan
penjabaran tersebut, modal yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia yang
sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing merupakan modal asing,
sehingga status perusahaan akan beralih menjadi PMA.
Sebagai
contoh, Perusahaan B dan C sebagai anak Perusahaan A (berstatus PMA), sehingga
modal penyertaan di dalam Perusahaan B dan C adalah modal asing. Dalam hal ini,
Perusahaan B dan C dimiliki oleh Perusahaan A yang merupakan suatu badan hukum
Indonesia yang sebagian sahamnya dimiliki oleh penanam modal asing. Sehingga,
Perusahaan B dan C yang telah dimiliki oleh Perusahaan A sebelum berstatus
menjadi PMA akan beralih status menjadi PMA karena terdapat modal asing dalam
Perusahaan B dan C tersebut.
Perubahan
status Perusahaan B dan C menjadi PMA bertujuan agar tidak terjadi pelanggaran
atas ketentuan Daftar Negatif Investasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden RI No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan
Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
("Perpres 36/2010").
Contoh
pelanggaran yang dapat terjadi apabila anak perusahaan PMA tidak berubah status
menjadi PMA, yaitu induk perusahaan yang berstatus PMA akan membentuk anak
perusahaan (yang tidak tidak berstatus PMA) untuk melakukan kegiatan usaha yang
dilarang untuk PMA.
Karena
itu, jiwa (spirit) dari beralihnya status anak perusahaan PMA menjadi
perusahaan PMA adalah agar tidak terjadi penyelundupan hukum yang melanggar
ketentuan Perpres 36/2010. Penyelundupan hukum yang dimaksud adalah dengan
membentuk anak perusahaan yang tidak berstatus PMA, untuk melakukan kegiatan
usaha dan/atau komposisi penyertaan modal asing dalam suatu bidang usaha yang
dilarang berdasarkan Perpres 36/2010.
Anak perusahaan
yang akan beralih status menjadi PMA, wajib untuk memperhatikan bidang usaha
dan komposisi penyertaan modal asing yang diperbolehkan dalam Perpres 36/2010.
Sedangkan, terkait permohonan status menjadi perusahaan PMA dapat mengacu pada Peraturan
Kepala Badan Koordinansi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.
Demikian
jawaban yang dapat kami berikan. Semoga dapat memberi pencerahan.
Dasar
hukum:
2. Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun
2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan
Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;
3. Peraturan Kepala Badan Koordinansi
Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan
Penanaman Modal.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 16 Juli 2010
SIUP Besar
Bung Pokrol, terhitung tanggal 1
Juli 2010 mulai diberlakukan ketentuan Permendag No. 46/M-DAG/PER/9/2009
tentang Penerbitan SIUP. Pertanyaan saya: 1. Apa yang dimaksud dengan kekayaan
bersih perseroan dan dihitung dari mana? 2. Jika sebuah perusahaan akan
mengurus SIUP yang modal dasarnya Rp20 M, dengan modal ditempatkan dan disetor
sebesar Rp7,5 M, maka apakah perusahaan tersebut bisa mendapatkan SIUP Besar?
Terima kasih.
Jawaban: Muhammad
Iqsan Sirie
Kekayaan
bersih adalah dan dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
Total Nilai Kekayaan Usaha (Aset) –
Total Nilai Kewajiban = Kekayaan Bersih (Tanpa Tanah & Bangunan Tempat
Usaha)
Definisi dan formula di atas dapat
ditemukan dalam pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan No.
36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan,
sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Perdagangan No.
46/M-DAG/PER/9/2009 (“Permendag”).
Secara
umum, yang dimaksud dengan “total nilai kekayaan usaha” adalah keseluruhan
aset, yang dapat berupa tabungan (uang tunai maupun simpanan), investasi,
properti, dan sebagainya. Sedangkan “total nilai kewajiban” adalah keseluruhan
liabilitas, seperti pinjaman, utang kartu kredit, serta semua kewajiban
finansial lainnya.
Dalam
prakteknya, kekayaan bersih, terutama kekayaan bersih perusahaan, tidak akan
jauh dari besarnya modal disetor dan modal ditempatkan ke dalam kas
perusahaan. Perlu diingat pula bahwa kekayaan bersih tidak termasuk
nilai dari tanah dan bangunan tempat usaha.
Misalkan,
perusahaan X memiliki modal dasar sebesar Rp20 miliar. Dari jumlah modal dasar
tersebut, Rp13 miliar merupakan modal disetor, sebesar Rp5 miliar merupakan
tanah dan bangunan yang digunakan sebagai kantor dan atau gudang perusahaan X,
dan sisa Rp2 miliar merupakan utang kepada bank. Dalam situasi seperti ini,
kekayaan bersih yang dimiliki perusahaan tidak memperhitungkan nilai bangunan
dan tanah milik perusahaan, melainkan hanya hasil dari pengurangan modal yang
disetor dengan utang yang dimiliki perusahaan, yang mana adalah Rp11 miliar.
Maka dari itu,
untuk mengetahui SIUP apa yang Bapak akan dapat (SIUP Mikro, Kecil, Menengah,
atau Besar), modal disetor dan ditempatkan Bapak yang sejumlah Rp7,5 miliar harus
dikurangi dahulu dengan total liabilitas yang Bapak miliki.
Setelah
hasil dari penjumlahan di atas didapat, Bapak kemudian hanya perlu melihat pasal
3 Permendag. Berikut adalah kutipan dari pasal 3 Permendag:
“Pasal 3
(1) SIUP Kecil wajib dimiliki
oleh perusahaan perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
(2) SIUP Menengah wajib
dimiliki oleh perusahaan perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha.
(3) SIUP Besar wajib dimiliki oleh perusahaan
perdagangan yang kekayaan bersihnya lebih dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.”
Demikian
hemat kami. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban
Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar