Perusahaan_Hukumonline




Senin, 24 September 2001
Konpensasi hutang perseroan terhadap pemegang saham
Apakah materi dari Peraturan Pemerintah no. 15 tahun 1999 pasal 2 (1) bertentangan dengan pasal 28 (1) Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan terbatas?

Jawaban: Bung Pokrol

Tidak ada yang bertentangan dengan materi pengaturan antara Undang-Undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UU Perseroan Terbatas) dengan Peraturan Pemerintah No.15 tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk Tagihan Tertentu yang Dapat Dikompensasikan sebagai Setoran Saham (PP 15/1999). PP 15/1999 merupakan pelaksanaan Pasal 28 Ayat 2 UU Perseroan Terbatas (lihat Penjelasan Umum PP 15/1999). Kami mencoba menjawab pertanyaan anda dari sudut pandangan tindakan pemegang saham berbeda dengan tindakan RUPS.

Tujuan pengaturan oleh kedua peraturan di atas pada hakekatnya adalah terutama tata cara konversi piutang kreditor menjadi modal saham dalam perseroan di mana kreditor tersebut berkedudukan pula sebagai pemegang saham perseroan.

Hal ini konsisten dengan pengaturan dalam Pasal 3 UU Perseroan Terbatas bahwa pemegang saham tidak boleh melakukan tindakan di luar kewenangan yang sewajarnya atas kedudukan dia sebagai pemegang saham. Batasan kewenangan yang dimaksud adalah dia tidak boleh menjadikan kepentingan perseroan menjadi kepentingan pribadi. Konversi piutang secara langsung oleh pemegang saham kepada perseroan sebagai penyetoran modal saham merupakan salah satu cara atau bentuk yang potensial dimana pemegang saham dapat dianggap melakukan tindakan di luar batasan kewenangan tersebut (baca: di luar kepentingan perseroan; lihat Pasal 28 Ayat 1 UU Perseroan terbatas). Hal di atas didasarkan pada kenyataan bahwa pemegang saham dapat berkedudukan pula sebagai kreditor perseroan. Hal tersebut tidak dapat dihindari atau dikesampingkan.

Hukum positif (dalam hal ini UU Perseroan Terbatas dan PP 15/1999) berperan memberikan pagar-pagar agar pemegang saham tidak melakukan tindakan di luar kepentingan perseroan. Untuk melakukan konversi piutang/tagihan pemegang saham kepada perseroan, perseroan harus memperoleh persetujuan RUPS (fungsi korporasi) dan mengumumkan dalam 2 (dua) surat kabar harian (fungsi publisitas).  
Dengan disyaratkan adanya persetujuan RUPS, maka hal ini sejalan juga dengan hakekat kekuasaan tertinggi dalam perseroan yaitu bukanlah pada pemegang saham namun pada RUPS (Pasal 1 Ayat 7 UU Perseroan Terbatas). Sedangkan, persyaratan pengumuman tersebut merupakan tanggung jawab atau akuntabilitas tindakan perseroan berdasarkan keputusan RUPS terhadap pihak ketiga sehubungan dengan transaksi tersebut.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.



Jumat, 16 Desember 2011

Haruskah Mengubah Nama PT yang Berbahasa Asing ke Bahasa Indonesia?
Dear tim hukumonline ada beberapa pertanyaan dari saya: 1. Apakah dengan diberlakukannya PP 43 Tahun 2011 perubahan nama PT harus menggunakan bahasa Indonesia? 2. Jika iya, bagaimana dengan nama PT yang sebelumnya menggunakan bahasa asing? 3. Bagaimana perusahaan tersebut jika ingin mengganti nama namun tetap ingin menggunakan bahasa asing? 3. Bagaimana tata cara untuk melakukan pendaftaran suatu PT?

Jawaban: Diana Kusumasari

Untuk perubahan nama Perseroan Terbatas (PT), diamanatkan oleh Pasal 21 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) harus mendapat persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menkumham”). Hal ini ditegaskan pula melalui Pasal 3 ayat (1) PP No. 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“PP 43/2011”) dan Pasal 10 Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-01.Ah.01.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Perseroan Terbatas.
 Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda:
1.      Apakah dengan diberlakukannya PP 43/2011 perubahan nama PT harus mengunakan bahasa Indonesia?
Sebenarnya sejak masih diberlakukannya PP No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“PP 26/1998”), ditentukan bahwa pemakaian nama perseroan untuk perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia mengutamakan pemakaian nama dalam bahasa Indonesia (Pasal 6 PP 26/1998). Dengan diberlakukannya PP 43/2011 sejak 4 Oktober 2011, PP 26/1998 dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi (lihat Pasal 12 PP 43/2011).
 Diterbitkannya PP 43/2011 ini adalah upaya Pemerintah mengoptimalkan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) terkait persetujuan atau penolakan pengajuan Perseroan Terbatas (PT). Lebih jauh simak artikel Pengajuan Nama PT Optimalkan SABH. Dan terkait dengan ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia Untuk perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh WNI atau badan hukum Indonesia ini diatur juga dalam Pasal 11 PP 43/2011 yang bunyinya:
 “Perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib memakai Nama Perseroan dalam bahasa Indonesia.”
 Dalam ketentuan yang baru yakni PP 43/2011, tidak lagi menggunakan frasa “diutamakan” melainkan menggunakan frasa “wajib“ yang berarti, memang penggunaan bahasa Indonesia untuk nama perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia hukumnya adalah wajib.
 2.      Bagaimana dengan nama PT yang sebelumnya menggunakan bahasa asing?
Untuk nama PT yang sebelumnya menggunakan bahasa asing, PP 43/2011 tidak mewajibkan menggantinya dengan menggunakan bahasa Indonesia. 
 Namun, dalam artikel Aturan Nama Perseroan Sudah Jelas notaris Irma Devita berpendapat bahwa ketentuan penggunaan bahasa Indonesia menjadi wajib bagi perusahaan PMA yang berubah menjadi perusahaan yang sahamnya seluruhnya milik WNI. Menurut Irma, ketika membuat perubahan anggaran dasar maka perseroan tersebut juga harus mengganti nama perseroannya pakai bahasa Indonesia.

3.      Bagaimana perusahaan tersebut jika ingin mengganti nama namun tetap ingin menggunakan bahasa asing?
Jika PT tersebut adalah perseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia maka saat akan mengganti nama maka wajib menggunakan bahasa Indonesia sesuai ketentuan PP 43/2011. Kecuali, apabila kemudian sebagian atau seluruh sahamnya juga dimiliki oleh asing, maka nama PT dengan menggunakan bahasa asing masih diperbolehkan. Akan tetapi dengan beralihnya kepemilikan sebagian atau seluruh saham kepada pihak asing, akan merubah bentuk PT menjadi PT PMA (Penanaman Modal Asing). Hal ini sesuai dengan pendapat dari notaris Irma Devita dalam artikel Aturan Nama Perseroan Sudah Jelas, yaitu bahwa aturan tersebut tak berlaku bila ada saham perseroan tersebut yang dimiliki asing, walaupun asing itu hanya punya satu persen.
 Selain itu, perubahan nama PT akan berakibat pada perubahan beberapa dokumen atau izin yang dimiliki oleh perusahaan. Lebih jauh simak artikel Perubahan Nama PT Terhadap Izin-izin Terdahulu.
 4.      Bagaimana tata cara untuk melakukan pendaftaran suatu PT?
Mengenai hal ini, simak penjelasan kami dalam artikel sebelumnya Bagaimana Cara Mendaftarkan Nama Usaha?
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
3.      Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.Hh-01.Ah.01.01 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum Dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar Dan Perubahan Data Perseroan Terbatas.
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Kamis, 24 Pebruari 2011

Haruskah Merger dan Akuisisi Disetujui Menteri?
1. Apakah proses hukum penggabungan, peleburan, dan akuisisi semuanya harus mendapat persetujuan Menkumham? dan 2. Dalam bentuk apakah persetujuan diberikan? 3. Pernahkah Menkumham menolak memberikan persetujuan untuk merger dan akuisisi? Atas bantuan yang diberikan saya ucapkan banyak terima kasih.

Jawaban:

1.      Pasal 21 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang menyatakan bahwa yang perlu mendapatkan persetujuan Menteri hanyalah untuk perubahan-perubahan tertentu sebagai berikut:

a.      nama Perseroan dan/atau tempat kedudukan Perseroan;
b.      maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;
c.      jangka waktu berdirinya Perseroan;
d.      besarnya modal dasar;
e.      pengurangan modal ditempatkan dan disetor; dan/atau
f.       status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka atau sebaliknya.

Bagi suatu perusahaan yang akan melakukan penggabungan, peleburan dan akuisisi (pengambilalihan) tidak perlu mendapatkan persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”) kecuali merubah AD yang mencakup satu atau lebih perubahan tersebut di atas. Dalam hal terjadi penggabungan, peleburan dan akuisisi dengan perubahan AD yang demikian, penggabungan, peleburan dan akuisisi baru mulai berlaku sejak tanggal persetujuan perubahan Anggaran Dasar oleh Menteri tersebut.


Khusus untuk Bank, untuk melakukan penggabungan, peleburan, dan akuisisi wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Pimpinan Bank Indonesia (lihat Pasal 4 ayat [1] PP No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank).

Jadi, tidak semua penggabungan, peleburan, dan akuisisi harus mendapat persetujuan Menteri.

2.      Persetujuan atas peleburan dan perubahan AD mengenai hal tertentu (sebagaimana tersebut di atas) dalam rangka penggabungan dan akuisisi diberikan dalam bentuk surat Keputusan Menteri (SK Menteri).

3.      M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya “Perseroan Terbatas” (hal. 495 dan 515) menulis bahwa untuk merger (penggabungan) dan akuisisi (pengambilalihan) tidak memerlukan persetujuan Menteri, melainkan hanya bersifat pemberitahuan saja kepada Menteri. Oleh karena itu, tidak akan ada penolakan dari Menteri terhadap merger dan akuisisi (lihat Pasal 129 ayat [2] dan Pasal 131 ayat [2] UUPT), kecuali ada perubahan AD yang termasuk Pasal 21 ayat (2) UUPT.

Sedangkan, terhadap merger dan akuisisi yang menyebabkan perubahan AD yang memerlukan persetujuan Menteri barulah ada kemungkinan Menteri memberi atau menolak memberikan persetujuan atas perubahan AD tersebut. Misalnya dalam hal perubahan nama PT, apabila ada kesamaan dengan nama PT yang telah ada (lihat Pasal 16 UUPT) maka Menteri tidak akan memberikan persetujuan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Rabu, 02 Januari 2002

Hibah saham
Apakah untuk melakukan hibah saham perlu dilakukan penawaran terlebih dahulu kepada pemegang saham lainnya.

Jawaban: Bung Pokrol

Sesuai dengan pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas, suatu anggaran dasar perseroan terbatas dapat membatasi pemindahan hak atas saham-saham (antara lain dengan cara menjual atau menghibahkan) kepada pihak lain dengan cara:

1. menawarkan terlebih dahulu saham-saham tersebut kepada pemegang saham; atau 
2. mensyaratkan persetujuan lebih dahulu dari Komisaris dan atau Rapat Umum Pemegang Saham.

Jadi, lihat lah ketentuan anggaran dasar yang menyangkut hal di atas (bila ada).
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 13 Maret 2012
Hukum Menjaminkan Aset Pribadi untuk Kepentingan PT
Dalam suatu PT baik yang telah berbadan hukum sempurna ataupun belum sempurna, terkadang terdapat aset yang tercatat dalam pembukuan PT masih atas nama pribadi (direksi/komisaris/pemilik). Apakah aset pribadi tersebut dapat dijaminkan atas nama PT? Dalam hal dijaminkan, apakah yang harus dilakukan agar pihak kreditur tidak lemah dari segi hukum? Apakah dengan kondisi tersebut, dapat dikatakan adanya pelarian/penggunaan kekayaan PT untuk kepentingan perorangan (pemilik aset tersebut)? Apabila diperlukan surat pernyataan, materi apa saja yang harus tercakup untuk memperkuat sisi kreditur?

Jawaban:  Diana Kusumasari
Perlu kami perjelas bahwa suatu Perseroan Terbatas (“PT”) adalah suatu perseroan yang telah berbadan hukum. Jika suatu badan usaha masih dalam proses pendirian dan belum memperoleh pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Kemenkumham”) sebagai badan hukum, maka badan usaha itu belum dapat dikatakan berbentuk PT.
Mengenai aset PT yang masih tercatat atas nama pribadi dari direksi/dewan komisaris/pemegang saham, kami kurang jelas apakah aset tersebut merupakan setoran modal dari pemegang saham atau dipinjamkan kepada PT.
Jika aset tersebut merupakan setoran modal sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang berbunyi “Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya.” Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Erman Rajagukguk,terhadap aset pribadi yang kemudian disetorkan sebagai modal PT, harus dilakukan balik nama menjadi atas nama PT. Berbeda halnya, jika aset tersebut dipinjamkan kepada PT, hal ini memang dimungkinkan tanpa perlu adanya perubahan atau balik nama aset.

1.      Kemudian menjawab pertanyaan Anda, apakah aset pribadi tersebut dapat dijaminkan atas nama PT atau tidak.
Apabila aset tersebut disetorkan sebagai modal PT, maka aset tersebut bukan lagi merupakan harta pribadi pemegang saham, melainkan harta PT. Oleh karena itulah maka harus dilakukan balik nama. Hal ini merupakan kelebihan PT yaitu harta kekayaan pribadi pemegang saham dipisahkan dari harta perusahaan, sehingga dalam hal terjadi kerugian atau kebangkrutan hanya akan melibatkan harta sebatas yang disetorkan dalam bentuk kepemilikan saham. Terkait dengan penyetoran modal PT ini akan dicantumkan dalam Anggaran Dasar PT (lihat Pasal 8 ayat [2] UUPT). Sehingga, dalam hal PT memiliki utang dan hendak menjaminkan aset yang merupakan kekayaan PT, hal itu dapat dilakukan.
Apabila aset tersebut bukanlah merupakan setoran modal dan hanya dipinjamkan kepada PT, maka aset tersebut juga dapat dijaminkan untuk utang PT. Dalam hal ini pemilik aset akan memberikan surat kuasa menjaminkan kepada PT.
2.      Terkait dengan aset atas nama pribadi yang dijaminkan atas utang PT, menurut Erman, yang dapat dilakukan oleh kreditur antara lain adalah memastikan bentuk penjaminannya yakni aset tersebut dijaminkan dengan hak tanggungan (untuk tanah dan bangunan) atau dengan fidusia (untuk benda bergerak) atau dengan gadai saham (untuk saham).
3.      Kondisi yang Anda ceritakan tidak dapat dikatakan sebagai pelarian atau penggunaan kekayaan PT untuk kepentingan perorangan.

Berbeda halnya jika aset atau harta PT kemudian dijadikan jaminan untuk utang perorangan, hal itu dapat dikatakan penyalahgunaan kekayaan PT untuk kepentingan pribadi/perorangan.
4.      Sesuai dengan penjelasan kami di atas, yang harus ada dalam penjaminan aset pribadi untuk utang PT adalah surat kuasa menjaminkan dari pemilik aset kepada PT dan bukan surat pernyataan.  
Lebih jauh mengenai surat kuasa, simak artikel-artikel berikut:
-         Keabsahan Surat Kuasa;
-         Surat Kuasa dan Surat Tugas;
-         Kuasa Umum atau Kuasa Khusus;
-         Surat Kuasa Memasang Fidusia.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Prof. Erman Rajagukguk pada 28 Februari 2012.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.





Kamis, 27 Mei 2010
Hukum Perusahaan

Terima kasih kesempatannya. Pada kesempatan ini yang saya tanyakan adalah; 1. Pengertian komisaris independen apa dan wajibkah komisaris independen ada di dalam PT? 2. Aapa pengertian teori piercing corporate veil?

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah

1.        Komisaris independen menurut Penjelasan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (UUPT) adalah “Komisaris dari pihak luar”. Pasal 120 ayat (2) UUPT juga mengatur bahw komisaris independen diangkat dari pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris lainnya.

Selanjutnya dalam Peraturan Bapepam Nomor IX.I.5 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit butir 1 b, diatur bahwa Komisaris Independen adalah anggota komisaris yang:

a.            berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik;
b.            tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik;
c.            tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, Komisaris, Direksi, atau Pemegang Saham Utama Emiten atau Perusahaan Publik; dan
d.            tidak memiliki hubungan usaha baik langsung ataupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik.


Menurut Pasal 120 ayat (1) UUPT, keberadaan Komisaris Independen bergantung pada Anggaran Dasar Perseroan.

Anggaran dasar Perseroan dapat mengatur adanya 1 (satu) orang atau lebih komisaris ndependen dan 1 (satu) orang komisaris utusan
Apabila Anggaran Dasar perseroan mengatur bahwa dalam Dewan Komisaris terdapat Komisaris Independen, maka keberadaan Komisaris Independen tersebut menjadi wajib.
Akan tetapi hal di atas tidak berlaku bagi perusahaan yang tercatat di bursa saham Indonesia. Untuk perusahaan-perusahaan tersebut, keberadaan Komisaris Independen ini diwajibkan dalam Peraturan Bapepam Nomor I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa Efek Jakarta huruf C butir 1, bahwa Perusahaan Tercatat wajib memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan Pemegang Saham Pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari jumlah seluruh anggota komisaris.

2.        Menurut Black's Law Dictionary 7th Edition,piercing the corporate veil” adalah
The judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officers, directors, and shareholders for the corporation's wrongful acts.

Prinsip “piercing the corporate veil” ini berkaitan dengan prinsip tanggung jawab terbatas yang dianut oleh PT. Dalam suatu PT, tanggung jawab dari pemegang saham, Direksi dan Komisaris atas perbuatan PT dibatasi.
Prinsip “piercing the corporate veil” ini diadopsi dalam UUPT, yaitu dalam:
1)                 Pasal 3 ayat (2), yang mengatur mengenai pengecualian tanggung jawab terbatas pada pemegang saham dalam PT:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila:
a)           Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum ata tidak terpenuhi;
b)           Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
c)           pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan; atau
d)           pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.”

2)                Pasal 104, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan direksi dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi
3)                Pasal 115, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan komisaris dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris melakukan pengawasan terhadap pengurusan perseroan.

 Demikian sejauh yang kami tahu. Semoga bermanfaat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.






Kamis, 21 April 2011
Insurable Interest dalam Asuransi Jiwa

Dear Hukum Online, sebuah perusahaan yang bertindak sebagai principal ingin memberikan penghargaan/bonus terhadap para distributor/agen yang telah berprestasi dalam hal memasarkan produk-produknya. Bonus itu dalam bentuk polis asuransi jiwa. Hal tersebut akan direalisasikan dengan cara perusahaan itu membayarkan premi asuransi jiwa untuk distributor/agen secara langsung kepada perusahaan asuransi. Untuk catatan: perusahaan principal tersebut dalam hal ini TIDAK DALAM DALAM POSISI sebagai pemegang polis, tertanggung ataupun penerima manfaat dari asuransi/beneficiary. Namun, ia hanya bertindak sebagai pihak asal uang premi dan pembayar premi ke perusahaan asuransi. Pertanyaan: 1. Apakah prinsip insurable interest dapat diterapkan dalam kasus di atas? 2. Dapatkah dikatakan bahwa perusahaan telah melanggar prinsip insurable interest? 3. Apakah perusahaan itu dianggap sebagai pihak dalam perjanjian asuransi jiwa? 4. Dalam kasus tersebut di atas, dapatkah perusahaan dipersamakan sebagai juru bayar kolektif? 5. Benarkah dalam hal pembayaran premi asuransi jiwa di Indonesia diwajibkan teknis pembayaran premi atas nama pemegang polis? Untuk jawabannya saya ucapkan banyak terima kasih.


1.      Orang yang mempunyai insurable interest (kepentingan yang dipertanggungkan) dalam asuransi jiwa adalah orang yang mempunyai kepentingan langsung jika terjadi suatu risiko terhadap dirinya yang menimbulkan kerugian yang mempunyai nilai ekonomi. Misalnya, risiko kematian, sehingga pemegang polis (si orang yang mempunyai insurable interest) tidak dapat lagi melakukan kegiatan ekonomi secara permanen, cacat tetap atau memerlukan biaya pengobatan. Jadi, dalam kasus di atas, prinsip insurable interest dapat diterapkan.
2.      Dalam kasus di atas, perusahaan tidak melanggar prinsip insurable interest.
3.      Perusahaan bukan merupakan pihak dalam kasus di atas.
 4.      Perusahaan hanya sebagai juru bayar saja (memberikan hadiah berupa premi asuransi) kepada distributor atau agen yang berprestasi.

5.      Tidak harus, karena pemegang polis yang namanya tertulis dalam polis, tidak dilarang mendapatkan pembayaran premi atas dirinya untuk membayar sejumlah premi.

Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Kamis, 18 Pebruari 2010
Inti plasma
Yth. Hukum Online. Pada perjanjian plasma inti, pihak penandatangan perjanjian adalah koperasi dengan perusahaan inti, di mana koperasi sebagai wakil dari para petani plasma. Yang ingin saya tanyakan, bentuk perwakilan antara koperasi dengan petani plasma itu seperti apa? Jika terjadi wanprestasi yang dilakukan oleh petani plasma, kepada siapakah perusahaan inti menuntut?

Jawaban:  Alfi Renata

Perjanjian plasma inti merupakan kemitraan dengan pola inti-plasma. Anda dapat melihat lebih lanjut mengenai kemitraan dengan pola inti plasma dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (pasal 27) dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. 
Menjawab pertanyaan Anda, dalam hal ini perlu dilihat lebih lanjut apa yang Anda sebut “koperasi sebagai wakil dari para petani plasma”. Menurut hukum koperasi diwakili oleh para pengurusnya (pasal 30 ayat [2] huruf a UU No. 25 Tahun 1992 tentang Koperasi). Bentuk perwakilan antara koperasi dengan petani inti plasma tersebut bisa ada dua kemungkinan, yaitu:
-         Koperasi selaku kuasa; menandatangani perjanjian mewakili, untuk dan atas nama anggotanya; atau
-         Koperasi menandatangani perjanjian untuk dan atas nama koperasi itu sendiri, di mana perjanjian tersebut akan dilanjutkan kepada anggota koperasi, dalam hal ini para petani plasma.
Dengan demikian, perlu dilihat lebih lanjut dalam perjanjian plasma inti yang dimaksud, koperasi yang bersangkutan bertindak selaku apa. 
Untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab jika terjadi wanprestasi, maka kita perlu melihat pada dua kemungkinan di atas. Kemungkinan pertama, apabila koperasi bertindak selaku kuasa, maka jika terjadi wanprestasi, yang ditagih adalah anggotanya, dalam hal ini petani plasma karena merupakan pihak dalam perjanjian (pemberi kuasa). 
Kemungkinan kedua, apabila koperasi bertindak untuk diri koperasi itu sendiri dan setelah itu akan dilanjutkan kepada anggotanya, maka jika terjadi wanprestasi yang bertanggung jawab tetap koperasi sendiri. 
Sebagai tambahan, mengenai perjanjian plasma inti ini pun bervariasi. Pola kemitraan dapat terjadi di mana petani yang tergabung dalam kelompok-kelompok tani mengadakan perjanjian kerjasama langsung kepada perusahaan inti; atau melalui koperasinya; dengan melibatkan bank; atau tidak melibatkan bank; dengan melibatkan koperasi; atau tidak, dan sebagainya.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer