Perusahaan_Hukumonline
Kamis, 05 Mei 2011
Pertanggungjawaban Direksi PT yang
Lalai
Adakah ada putusan yang menyangkut
tentang tanggung jawab tidak terbatas kepada Direksi atau Direktur mengenai PT
yang dikelolanya? Dan mengapa bisa demikian? Terima kasih.
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban Direksi ini dapat
kita temui dalam UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berdasarkan Pasal
97 ayat (2) UUPT, Direksi wajib melaksanakan pengurusan perseroan (“PT”)
dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dan setiap anggota Direksi
bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian PT apabila yang
bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (lihat Pasal
97 ayat [3] UUPT). Pertanggungjawaban ini berlaku secara tanggung renteng
bagi setiap anggota Direksi apabila ada 2 (dua) orang anggota Direksi atau
lebih (lihat Pasal 97 ayat [4] UUPT).
Meski demikian, UUPT juga memberikan pembatasan tanggung
jawab Direksi dalam pengurusan PT. Pembatasan tanggung jawab Direksi dapat kita
temui dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang menyebutkan bahwa anggota
Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian PT
apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan
kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk
mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Contoh putusan yang menyangkut
tanggung jawab tidak terbatas bagi Direksi antara lain Putusan Mahkamah Agung
No. 2740K/PID/2006 Tahun 2006 dengan terdakwa Drs. Ahmad Djunaidi Ak alias Drs.
Djunaidi Ak selaku Direktur utama PT. Jamsostek pada waktu itu. Djunaidi
digugat karena dianggap telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam melakukan
investasi. Lebih jauh, simak artikel-artikel berikut:
Jadi, anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban
tidak terbatas apabila tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 29 Mei 2006
perlindungan terhadap pemegang saham
Dapatkah dijelaskan dengan rinci
perlindungan apa yang telah diakomodir oleh UUPT kita terhadap pemegang saham
baik pemegang saham mayoritas maupun minoritas?
Jawaban:
Pada dasarnya, pemegang saham berhak
mempertahankan haknya sehubungan dengan saham yang dimilikinya dengan cara
menggugat segala tindakan perseroan yang merugikan kepentingannya dalam
perseroan yang bersangkutan. Tindakan perseroan tersebut dapat berupa tindakan
RUPS, Komisaris dan atau Direksi (lihat ps.54 (1) Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas atau UUPT).
Perlu diperhatikan bahwa perseroan
didirikan dan dijalankan atas dasar Anggaran Dasar yang dibuat di antara para
pemegang saham. Sehingga segala hak dan kewajibannya pun harus dituangkan
sejelas mungkin di dalam Anggaran Dasar tersebut, yang dapat dikatakan sebagai
perjanjian di mereka. Karena dianggap sebagai perjanjian, maka Anggaran Dasar
harus tunduk pada UUPT, Undang-Undang dan peraturan lain yang terkait dengan
hak dan kewajiban pemegang saham.
Salah satu efek dari struktur
kepemilikan melalui saham adalah terciptanya struktur pemegang saham mayoritas
dan minoritas. Pada dasarnya masing-masing mempunyai hak yang sama. Terutama
terhadap hak suara. Yaitu 1 saham adalah 1 suara. Ketentuan tambahan terhadap
hak suara dapat diatur secara tegas-tegas sehubungan dengan klasifikasi saham.
Dengan mekanisme pemilikan yang demikian, pemegang saham mayoritas menjadi
pihak yang diuntungkan dengan sendirinya. Semakin banyak saham yang
dimilikinya, maka makin dapat berkuasa ia dalam menentukan keputusan mengenai
keberadaan dan jalannya suatu perseroan terbatas.
Persoalannya adalah bagaimana
melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang beresiko dirugikan oleh
kekuasaan pemegang saham mayoritas. Ini beberapa pasal yang dapat berusaha
mengatur kepentingan pemegang saham baik mayoritas dan minoritas:
A. Tindakan
Derivatif
Ketentuan ini mengatur bahwa
Pemegang saham dapat mengambil alih untuk mewakili urusan perseroan demi
kepentingan perseroan, karena ia menganggap Direksi dan atau Komisaris telah
lalai dalam kewajibannya terhadap perseroan.
1. Pemegang saham dapat
melakukan tindakan-tindakan atau bertindak selaku wakil perseoran dalam
memperjuangkan kepentingan perseroan terhadap tindakan perseroan yang
merugikan, sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota
Direksi dan atau pun oleh komisaris (lihat ps.85 (3) jo. ps.98 (2) UUPT).
2. Melalui ijin dari
Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan,
pemegang saham dapat melakukan sendiri pemanggilan RUPS (baik RUPS tahunan
maupun RUPS lainnya) apabila direksi ataupun komisaris tidak menyelenggarakan
RUPS atau tidak melakukan pemanggilan RUPS (lihat ps.67 UUPT).
B. Hak Pemegang
Minoritas
Pada dasarnya ketentuan-ketentuan di
bawah ini terutama ditujukan untuk melindungi kepentingan pemegang saham
minoritas dari kekuasaan pemegang saham mayoritas.
1. Hak Menggugat
Setiap
pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan melalui Pengadilan
Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan, bila tindakan
perseroan merugikan kepentingannya (ps. 54 UUPT)
2. Hak Atas Akses
Informasi Perusahaan
Pemegang
saham dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan, permintaan data atau
keterangan dilakukan apabila ada dugaan bahwa perseroan dan atau anggota
direksi atau komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
pemegang saham atau pihak ketiga (lihat ps.110 UUPT).
3. Hak Atas Jalannya
Perseroan
Pemegang
saham dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk membubarkan
perseroan (lihat ps.117 UUPT).
4. Hak Perlakuan Wajar
Pemegang
saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang
wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang
merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:
(i) perubahan anggaran dasar perseroan;
(ii) penjualan, penjaminan,
pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan; atau
(iii) penggabungan, peleburan atau pengambilalihan
perseroan.
(lihat ps.55 UUPT)
Demikianlah jawaban kami semoga
bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 01 Oktober 2001
Perseroan Terbuka
Saya pernah melihat di sebuah media
cetak laporan keuangan suatu Perseroan Terbuka yang bergerak di bidang
Perbankan. Namun begitu saya lihat komposisi pemegang saham, saya menemukan
bahwa hanya tiga orang saja yang memegang saham perseroan tersebut walaupun
Perseroan itu suatu Perseroan Terbuka. Pertanyaan saya adalah bagaimana hal ini
bisa terjadi, karena menurut sepengetahuan saya bahwa suatu Perseroan Terbuka
memiliki setidaknya dua syarat, yaitu: a. memiliki modal disetor minimal Rp. 3
milyar b. pemilik saham sekurang-kurangnya 300 pemegang saham. Demikianlah saya
sangat berterima kasih atas jawabannya.
Jawaban:
Dalam konteks pertanyaan anda,
perseroan ini dalam memperoleh status Perseroan Terbuka adalah dengan cara
melakukan penawaran umum di pasar perdana dan dicatatkan di bursa efek, bukan
melalui proses menjadi perusahaan publik (lihat arsip kami sebelumnya tentang perbedaan perseroan tertutup dan terbuka).
Dengan konteks yang demikian, ada
kemungkinan (salah satunya) adalah perseroan itu sendiri dan atau pemegang
saham(-pemegang saham) telah melakukan pembelian kembali saham-saham yang
beredar di bursa efek. Saham-saham yang dibeli kembali oleh perseroan disebut
juga treasury stocks. Saham-saham tersebut tidak mempunyai hak suara dan
karenanya tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah korum RUPS.
Menurut Pasal 30 Ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (UUPT) syarat materiil
pembelian kembali saham-saham yang telah disetor oleh perseroan terbatas adalah
sebagai berikut:
1. Pembelian
di atas dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kekayaan bersih
perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah
cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan UUPT; dan
2. Jumlah
nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan bersama dengan yang
dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang dipegang, tidak melebihi 10%
(sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan.
Syarat formil (prosedural) pembelian
kembali saham-saham di atas pada dasarnya memerlukan persetujuan RUPS dengan
dihadiri oleh dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3
bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dan disetujui oleh
paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara tersebut. Selengkapnya, anda dapat
membaca Pasal 30 hingga 33 UUPT, dan Peraturan Bapepam terkait sesuai dengan
kondisi kenyataan yang ada.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 01 Maret 2011
Perjanjian Eksklusif BUMN dengan
Anak Perusahaan
Sebuah BUMN memiliki saham
(minoritas) pada sebuah perusahaan Joint Venture dengan pihak asing yang
memproduksi bahan pendukung untuk produksi BUMN tersebut. Pertanyaan: Apakah
ada pengecualian untuk perusahaan joint venture tersebut terhadap UU No. 5
Tahun 1999 apabila perusahaan joint venture tersebut bermaksud secara eksklusif
mensuplai 90% kebutuhan bahan pendukung produksi BUMN selama jangka waktu joint
venture tersebut berdiri?
Dari
pertanyaan Saudara, kami memandang bahwa kasus tersebut terkait dengan masalah perjanjian
vertikal yang bersifat eksklusif (walaupun tidak 100%). Untuk menentukan
apakah suatu perjanjian vertikal dapat melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”), maka perlu diperiksa atau dikaji lebih jauh hal-hal
sebagai berikut:
1.
Apakah pelaku usaha yang membuat
perjanjian tersebut memiliki posisi dominan di pasar dimana pelaku usaha tersebut
beroperasi atau menjalankan usahanya?
Suatu perjanjian vertikal yang bersifat menghambat atau
membatasi persaingan, hanya akan dianggap memiliki dampak antipersaingan, dan
karena itu dapat melanggar UU 5/1999, apabila perjanjian tersebut:
a.
melibatkan pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan atau memiliki kekuatan pasar yang signifikan; dan
b.
mengakibatkan terjadinya dampak
penutupan pasar (foreclosure) atau penyingkiran pesaing (exclusionary)
atau dampak merugikan (exploitative) secara tidak wajar dan substansial.
Adapun alasannya adalah karena apabila pelaku usaha yang
dominan yang melakukannya maka dampaknya akan signifikan dan tekanan persaingan
yang ada di pasar tidak akan cukup mampu atau tidak akan efektif untuk
menghambat dampak antipersaingan dari praktek antipersaingan tersebut.
Sementara itu, apabila dilakukan oleh pelaku usaha yang
tidak dominan, maka perjanjian yang sifatnya antipersaingan tidak akan
mempunyai dampak yang signifikan terhadap pasar karena persaingan atau pesaing
yang ada di dalam pasar bersangkutan akan mampu menghambat atau mengurangi
dampak antipersaingan dari praktek tersebut.
2.
Apakah perjanjian yang sifatnya
membatasi persaingan tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup signifikan yang
melebihi dampak antipersaingan yang ditimbulkan?
Dalam hal ini, perjanjian vertikal yang dilakukan oleh atau
melibatkan pelaku usaha yang dominan dapat dianggap tidak melanggar UU
5/1999, apabila dapat dibuktikan bahwa:
a.
praktek tersebut sangat diperlukan
untuk mencapai suatu tujuan efisiensi (dalam arti, tidak ada cara lain yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama); dan
b.
efisiensi yang dihasilkan melebihi
dampak antipersaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut.
3.
Apakah pembatasan terhadap
persaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut melebihi dari yang dibutuhkan
(more than necessary)?
Apabila untuk mencapai efisiensi yang diharapkan, mau tak
mau persaingan harus dibatasi, maka praktek yang membatasi persaingan tersebut
seharusnya tidak dianggap melanggar UU 5/1999. Namun, perlu diperhatikan
mengenai jangka waktu dari perjanjian tersebut dan ketersediaan alternatif atau
cara lain yang dampak antipersaingannya lebih kecil.
Karena perjanjian antara BUMN dengan afiliasinya adalah
perjanjian vertikal berupa perjanjian pemasokan bahan baku dan bukan perjanjian
horisontal atau perjanjian antarpesaing, maka ketentuan tentang kartel tidak
berlaku dan perlu dilakukan analisis dampak antipersaingan dari perjanjian tersebut.
Berdasarkan kerangka analisis di atas, maka untuk menentukan
apakah perjanjian eksklusif tersebut dapat melanggar UU 5/1999, harus diteliti
terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:
a.
Apakah BUMN dan joint venture
tersebut memiliki posisi dominan di pasar pembelian dan penjualan bahan baku
tersebut. Indikator yang paling awal untuk menentukan adanya posisi dominan
adalah penguasaan pangsa pasar BUMN tersebut, apakah mencapai atau lebih dari
50 persen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 25 UU
5/1999, suatu pelaku usaha akan dianggap atau disimpulkan memiliki
posisi dominan atau memiliki kekuatan monopoli apabila memiliki pangsa pasar
yang mencapai atau lebih dari 50 persen (dengan asumsi pasar bersangkutan
didefinisikan secara tepat). Penguasaan pangsa pasar yang lebih dari 50 persen
merupakan indikasi kuat bahwa BUMN tersebut memiliki posisi yang dominan.
Apabila pangsa pasar dari BUMN tersebut relatif kecil atau kurang dari 50
persen maka perjanjian tersebut tidak akan memiliki dampak antipersaingan.
b.
Apabila BUMN adalah pelaku usaha
dominan, maka harus dilihat apakah perjanjian tersebut mendatangkan efisiensi
yang cukup besar bagi BUMN tersebut, misalnya dalam bentuk biaya transaksi yang
lebih murah, harga beli yang lebih murah, jaminan pasokan bahan baku, atau
kualitas bahan baku yang lebih baik dan terjamin. Dengan adanya efisiensi
tersebut maka diharapkan kegiatan produksi BUMN akan berjalan lebih baik dan
menghasilkan barang yang lebih baik dalam kualitas dan biaya produksi yang
lebih murah sehingga akan menguntungkan konsumen.
Jika kondisi ini tercapai, dan di sisi lain, tidak
menimbulkan dampak antipersaingan sebagaimana disebutkan di atas, maka
perjanjian eksklusif tersebut bukan merupakan pelanggaran terhadap UU 5/1999.
Namun, apabila perjanjian eksklusif tersebut tidak memberikan dampak efisiensi
bagi kegiatan produksi BUMN tersebut, atau malah menyebabkan peningkatan biaya
produksi karena harga beli yang lebih mahal, atau kualitas bahan baku yang
lebih jelek, maka ini akan menjadi dasar bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(“KPPU”) untuk menyatakan bahwa perjanjian tersebut sebagai praktek
antipersaingan yang berpotensi melanggar UU 5/1999, misalnya melanggar Pasal
14 tentang integrasi vertikal.
Pasal 14 huruf d UU 5/1999
mengatur sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku
usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang
termasuk dalam rangkaian produksi barang ada atau jasa tertentu dimana setiap
rangkaian produksi merupakan hasil pengolahana atau proses lanjutan, baik dalam
satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.”
Sebagai referensi terkait dengan kasus yang melibatkan
perjanjian eksklusif, lihat Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003 tentang
perjanjian eksklusif antara PT Garuda Indonesia dan PT Abacus Indonesia,
yang merupakan anak perusahaan PT Garuda Indonesia.
c.
Dalam hal BUMN tersebut
dominan, tetapi perjanjian tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup besar,
maka perlu diteliti pula apakah masih ada alternatif lain untuk mencapai
efisiensi tersebut yang dampak antipersaingannya lebih kecil. Perlu ditanyakan
apakah perjanjian eksklusif satu-satunya solusi? Apakah mekanisme pengadaan
dengan membuka persaingan yang seluas-luasnya bagi para pemasok bahan baku
tidak mungkin atau memberikan tingkat efisiensi yang lebih besar? Ini harus
dipastikan terlebih dahulu sebelum memutuskan membuat perjanjian eksklusif atau
tidak dengan perusahaan Joint Venture tersebut.
Mengenai
kemungkinan pengecualian, berdasarkan ketentuan Pasal 50 dan selanjutnya
Pasal 51 UU 5/1999, dimungkinkan adanya pengecualian terhadap
pelarangan-pelarangan di dalam undang-undang tersebut, apabila syarat-syarat
berikut ini terpenuhi:
Pasal 50 UU 5/1999 menyatakan:
a. perbuatan dan atau perrjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan
intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk
industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian
yang berkaitan dengan waralaba; atau
c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau
jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih
rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia; atau
g. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor
yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.”
Pasal 51
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup
orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan
undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan
atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”
Penjelasan
mengenai pengecualian tersebut di atas dapat dilihat di dalam Pedoman-Pedoman
Pasal yang dikeluarkan oleh KPPU, seperti Pedoman Pasal 50 huruf a, Pedoman
Pasal 50 huruf b, Pedoman Pasal 50 huruf d, dan Pedoman Pasal 51.
Pedoman-pedoman tersebut dapat diakses melalui situs KPPU, www.kppu.go.id.
Demikian penjelasan kami. Semoga
dapat memberikan manfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 07 Mei 2003
perbedaan perusahaan terbuka dan
tertutup
Apakah
yang menjadi perbedaan antara perusahaan tertutup dan perusahaan terbuka?
Istilah yang
digunakan oleh undang-undang yang berlaku, yaitu UU
No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah Perseroan Terbuka untuk
perusahaan terbuka dan Perseroan Tertutup untuk perusahaan tertutup.
Perseroan Terbuka adalah: (i) perseroan yang modal dan
jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau (ii) perseroan yang
melakukan penawaran umum (emiten), sesuai dengan peraturan perundang-undangan
di bidang pasar modal. Dengan demikian, Perseroan Tertutup mempunyai pengertian
sebaliknya.
Yang dimaksud dengan perseroan terbuka yang pertama
disebut di atas dalam UU
No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan Perusahaan Publik. Yaitu adalah
perseroan terbatas yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300
(tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan
modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud penawaran umum oleh emiten
berarti kegiatan penawaran efek yang dilakukan untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya. Pada prinsipnya, pengertian penawaran efek yang
demikian memperhatikan kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Setiap penawaran efek kepada lebih dari
100 pihak;
b. Setiap penawaran efek yang menggunakan media massa dianggap sebagai suatu penawaran kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak; dan atau
c. Suatu Penawaran efek bukan merupakan suatu penawaran umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, jika nilai seluruh penawaran dari penawaran efek tersebut kurang dari Rp.1 miliar.
b. Setiap penawaran efek yang menggunakan media massa dianggap sebagai suatu penawaran kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak; dan atau
c. Suatu Penawaran efek bukan merupakan suatu penawaran umum sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, jika nilai seluruh penawaran dari penawaran efek tersebut kurang dari Rp.1 miliar.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar