Perusahaan_Hukumonline

Kamis, 05 Mei 2011

Pertanggungjawaban Direksi PT yang Lalai

Adakah ada putusan yang menyangkut tentang tanggung jawab tidak terbatas kepada Direksi atau Direktur mengenai PT yang dikelolanya? Dan mengapa bisa demikian? Terima kasih.

Jawaban: Diana Kusumasari
Pengaturan mengenai pertanggungjawaban Direksi ini dapat kita temui dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Berdasarkan Pasal 97 ayat (2) UUPT, Direksi wajib melaksanakan pengurusan perseroan (“PT”) dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dan setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian PT apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya (lihat Pasal 97 ayat [3] UUPT). Pertanggungjawaban ini berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi apabila ada 2 (dua) orang anggota Direksi atau lebih (lihat Pasal 97 ayat [4] UUPT).  

Meski demikian, UUPT juga memberikan pembatasan tanggung jawab Direksi dalam pengurusan PT. Pembatasan tanggung jawab Direksi dapat kita temui dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT yang menyebutkan bahwa anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian PT apabila dapat membuktikan:
a.      kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b.      telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c.      tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d.      telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
 Contoh putusan yang menyangkut tanggung jawab tidak terbatas bagi Direksi antara lain Putusan Mahkamah Agung No. 2740K/PID/2006 Tahun 2006 dengan terdakwa Drs. Ahmad Djunaidi Ak alias Drs. Djunaidi Ak selaku Direktur utama PT. Jamsostek pada waktu itu.  Djunaidi digugat karena dianggap telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam melakukan investasi. Lebih jauh, simak artikel-artikel berikut:
Jadi, anggota Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban tidak terbatas apabila tidak memenuhi ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 29 Mei 2006

perlindungan terhadap pemegang saham

Dapatkah dijelaskan dengan rinci perlindungan apa yang telah diakomodir oleh UUPT kita terhadap pemegang saham baik pemegang saham mayoritas maupun minoritas?

Jawaban:

Pada dasarnya, pemegang saham berhak mempertahankan haknya sehubungan dengan saham yang dimilikinya dengan cara menggugat segala tindakan perseroan yang merugikan kepentingannya dalam perseroan yang bersangkutan. Tindakan perseroan tersebut dapat berupa tindakan RUPS, Komisaris dan atau Direksi (lihat ps.54 (1) Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas atau UUPT).

Perlu diperhatikan bahwa perseroan didirikan dan dijalankan atas dasar Anggaran Dasar yang dibuat di antara para pemegang saham. Sehingga segala hak dan kewajibannya pun harus dituangkan sejelas mungkin di dalam Anggaran Dasar tersebut, yang dapat dikatakan sebagai perjanjian di mereka. Karena dianggap sebagai perjanjian, maka Anggaran Dasar harus tunduk pada UUPT, Undang-Undang dan peraturan lain yang terkait dengan hak dan kewajiban pemegang saham.

Salah satu efek dari struktur kepemilikan melalui saham adalah terciptanya struktur pemegang saham mayoritas dan minoritas. Pada dasarnya masing-masing mempunyai hak yang sama. Terutama terhadap hak suara. Yaitu 1 saham adalah 1 suara. Ketentuan tambahan terhadap hak suara dapat diatur secara tegas-tegas sehubungan dengan klasifikasi saham. Dengan mekanisme pemilikan yang demikian, pemegang saham mayoritas menjadi pihak yang diuntungkan dengan sendirinya. Semakin banyak saham yang dimilikinya, maka makin dapat berkuasa ia dalam menentukan keputusan mengenai keberadaan dan jalannya suatu perseroan terbatas.

Persoalannya adalah bagaimana melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang beresiko dirugikan oleh kekuasaan pemegang saham mayoritas. Ini beberapa pasal yang dapat berusaha mengatur kepentingan pemegang saham baik mayoritas dan minoritas:

A.        Tindakan Derivatif

Ketentuan ini mengatur bahwa Pemegang saham dapat mengambil alih untuk mewakili urusan perseroan demi kepentingan perseroan, karena ia menganggap Direksi dan atau Komisaris telah lalai dalam kewajibannya terhadap perseroan.

1.       Pemegang saham dapat melakukan tindakan-tindakan atau bertindak selaku wakil perseoran dalam memperjuangkan kepentingan perseroan terhadap tindakan perseroan yang merugikan, sebagai akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dan atau pun oleh komisaris (lihat ps.85 (3) jo. ps.98 (2) UUPT).

2.       Melalui ijin dari Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan, pemegang saham dapat melakukan sendiri pemanggilan RUPS (baik RUPS tahunan maupun RUPS lainnya) apabila direksi ataupun komisaris tidak menyelenggarakan RUPS atau tidak melakukan pemanggilan RUPS (lihat ps.67 UUPT).

B.        Hak Pemegang Minoritas

Pada dasarnya ketentuan-ketentuan di bawah ini terutama ditujukan untuk melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dari kekuasaan pemegang saham mayoritas.

1.       Hak Menggugat

            Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan perseroan, bila tindakan perseroan merugikan kepentingannya (ps. 54 UUPT)

2.       Hak Atas Akses Informasi Perusahaan

            Pemegang saham dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan, permintaan data atau keterangan dilakukan apabila ada dugaan bahwa perseroan dan atau anggota direksi atau komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga (lihat ps.110 UUPT).

3.       Hak Atas Jalannya Perseroan

            Pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri untuk membubarkan perseroan (lihat ps.117 UUPT).

4.       Hak Perlakuan Wajar

            Pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:
          (i)       perubahan anggaran dasar perseroan;
(ii)      penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan perseroan; atau
          (iii)     penggabungan, peleburan atau pengambilalihan perseroan.
          (lihat ps.55 UUPT) 
Demikianlah jawaban kami semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 01 Oktober 2001
Perseroan Terbuka
Saya pernah melihat di sebuah media cetak laporan keuangan suatu Perseroan Terbuka yang bergerak di bidang Perbankan. Namun begitu saya lihat komposisi pemegang saham, saya menemukan bahwa hanya tiga orang saja yang memegang saham perseroan tersebut walaupun Perseroan itu suatu Perseroan Terbuka. Pertanyaan saya adalah bagaimana hal ini bisa terjadi, karena menurut sepengetahuan saya bahwa suatu Perseroan Terbuka memiliki setidaknya dua syarat, yaitu: a. memiliki modal disetor minimal Rp. 3 milyar b. pemilik saham sekurang-kurangnya 300 pemegang saham. Demikianlah saya sangat berterima kasih atas jawabannya.

Jawaban:

Dalam konteks pertanyaan anda, perseroan ini dalam memperoleh status Perseroan Terbuka adalah dengan cara melakukan penawaran umum di pasar perdana dan dicatatkan di bursa efek, bukan melalui proses menjadi perusahaan publik (lihat arsip kami sebelumnya tentang perbedaan perseroan tertutup dan terbuka).

Dengan konteks yang demikian, ada kemungkinan (salah satunya) adalah perseroan itu sendiri dan atau pemegang saham(-pemegang saham) telah melakukan pembelian kembali saham-saham yang beredar di bursa efek. Saham-saham yang dibeli kembali oleh perseroan disebut juga treasury stocks. Saham-saham tersebut tidak mempunyai hak suara dan karenanya tidak diperhitungkan dalam penentuan jumlah korum RUPS.

Menurut Pasal 30 Ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, (UUPT) syarat materiil pembelian kembali saham-saham yang telah disetor oleh perseroan terbatas adalah sebagai berikut:
1.         Pembelian di atas dibayar dari laba bersih sepanjang tidak menyebabkan kekayaan bersih perseroan menjadi lebih kecil dari jumlah modal yang ditempatkan ditambah cadangan yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan UUPT; dan
2.         Jumlah nilai nominal seluruh saham yang dimiliki perseroan bersama dengan yang dimiliki oleh anak perusahaan dan gadai saham yang dipegang, tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan.
Syarat formil (prosedural) pembelian kembali saham-saham di atas pada dasarnya memerlukan persetujuan RUPS dengan dihadiri oleh dihadiri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah, dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara tersebut. Selengkapnya, anda dapat membaca Pasal 30 hingga 33 UUPT, dan Peraturan Bapepam terkait sesuai dengan kondisi kenyataan yang ada.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 01 Maret 2011

Perjanjian Eksklusif BUMN dengan Anak Perusahaan

Sebuah BUMN memiliki saham (minoritas) pada sebuah perusahaan Joint Venture dengan pihak asing yang memproduksi bahan pendukung untuk produksi BUMN tersebut. Pertanyaan: Apakah ada pengecualian untuk perusahaan joint venture tersebut terhadap UU No. 5 Tahun 1999 apabila perusahaan joint venture tersebut bermaksud secara eksklusif mensuplai 90% kebutuhan bahan pendukung produksi BUMN selama jangka waktu joint venture tersebut berdiri?

Dari pertanyaan Saudara, kami memandang bahwa kasus tersebut terkait dengan masalah perjanjian vertikal yang bersifat eksklusif (walaupun tidak 100%). Untuk menentukan apakah suatu perjanjian vertikal dapat melanggar UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”), maka perlu diperiksa atau dikaji lebih jauh hal-hal sebagai berikut:

1.      Apakah pelaku usaha yang membuat perjanjian tersebut memiliki posisi dominan di pasar dimana pelaku usaha tersebut beroperasi atau menjalankan usahanya?

Suatu perjanjian vertikal yang bersifat menghambat atau membatasi persaingan, hanya akan dianggap memiliki dampak antipersaingan, dan karena itu dapat melanggar UU 5/1999, apabila perjanjian tersebut:
a.      melibatkan pelaku usaha yang memiliki posisi dominan atau memiliki kekuatan pasar yang signifikan; dan
b.      mengakibatkan terjadinya dampak penutupan pasar (foreclosure) atau penyingkiran pesaing (exclusionary) atau dampak merugikan (exploitative) secara tidak wajar dan substansial.
Adapun alasannya adalah karena apabila pelaku usaha yang dominan yang melakukannya maka dampaknya akan signifikan dan tekanan persaingan yang ada di pasar tidak akan cukup mampu atau tidak akan efektif untuk menghambat dampak antipersaingan dari praktek antipersaingan tersebut.

Sementara itu, apabila dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak dominan, maka perjanjian yang sifatnya antipersaingan tidak akan mempunyai dampak yang signifikan terhadap pasar karena persaingan atau pesaing yang ada di dalam pasar bersangkutan akan mampu menghambat atau mengurangi dampak antipersaingan dari praktek tersebut.

2.      Apakah perjanjian yang sifatnya membatasi persaingan tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup signifikan yang melebihi dampak antipersaingan yang ditimbulkan?

Dalam hal ini, perjanjian vertikal yang dilakukan oleh atau melibatkan pelaku usaha yang dominan dapat dianggap tidak melanggar UU 5/1999, apabila dapat dibuktikan bahwa:
a.      praktek tersebut sangat diperlukan untuk mencapai suatu tujuan efisiensi (dalam arti, tidak ada cara lain yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang sama); dan
b.      efisiensi yang dihasilkan melebihi dampak antipersaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut.

3.      Apakah pembatasan terhadap persaingan yang ditimbulkan dari praktek tersebut melebihi dari yang dibutuhkan (more than necessary)?

Apabila untuk mencapai efisiensi yang diharapkan, mau tak mau persaingan harus dibatasi, maka praktek yang membatasi persaingan tersebut seharusnya tidak dianggap melanggar UU 5/1999. Namun, perlu diperhatikan mengenai jangka waktu dari perjanjian tersebut dan ketersediaan alternatif atau cara lain yang dampak antipersaingannya lebih kecil.

Karena perjanjian antara BUMN dengan afiliasinya adalah perjanjian vertikal berupa perjanjian pemasokan bahan baku dan bukan perjanjian horisontal atau perjanjian antarpesaing, maka ketentuan tentang kartel tidak berlaku dan perlu dilakukan analisis dampak antipersaingan dari perjanjian tersebut.

Berdasarkan kerangka analisis di atas, maka untuk menentukan apakah perjanjian eksklusif tersebut dapat melanggar UU 5/1999, harus diteliti terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

a.      Apakah BUMN dan joint venture tersebut memiliki posisi dominan di pasar pembelian dan penjualan bahan baku tersebut. Indikator yang paling awal untuk menentukan adanya posisi dominan adalah penguasaan pangsa pasar BUMN tersebut, apakah mencapai atau lebih dari 50 persen.

Berdasarkan ketentuan Pasal 17, Pasal 25, dan Pasal 25 UU 5/1999, suatu pelaku usaha akan dianggap atau disimpulkan memiliki posisi dominan atau memiliki kekuatan monopoli apabila memiliki pangsa pasar yang mencapai atau lebih dari 50 persen (dengan asumsi pasar bersangkutan didefinisikan secara tepat). Penguasaan pangsa pasar yang lebih dari 50 persen merupakan indikasi kuat bahwa BUMN tersebut memiliki posisi yang dominan. Apabila pangsa pasar dari BUMN tersebut relatif kecil atau kurang dari 50 persen maka perjanjian tersebut tidak akan memiliki dampak antipersaingan.

b.      Apabila BUMN adalah pelaku usaha dominan, maka harus dilihat apakah perjanjian tersebut mendatangkan efisiensi yang cukup besar bagi BUMN tersebut, misalnya dalam bentuk biaya transaksi yang lebih murah, harga beli yang lebih murah, jaminan pasokan bahan baku, atau kualitas bahan baku yang lebih baik dan terjamin. Dengan adanya efisiensi tersebut maka diharapkan kegiatan produksi BUMN akan berjalan lebih baik dan menghasilkan barang yang lebih baik dalam kualitas dan biaya produksi yang lebih murah sehingga akan menguntungkan konsumen.

Jika kondisi ini tercapai, dan di sisi lain, tidak menimbulkan dampak antipersaingan sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian eksklusif tersebut bukan merupakan pelanggaran terhadap UU 5/1999. Namun, apabila perjanjian eksklusif tersebut tidak memberikan dampak efisiensi bagi kegiatan produksi BUMN tersebut, atau malah menyebabkan peningkatan biaya produksi karena harga beli yang lebih mahal, atau kualitas bahan baku yang lebih jelek, maka ini akan menjadi dasar bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) untuk menyatakan bahwa perjanjian tersebut sebagai praktek antipersaingan yang berpotensi melanggar UU 5/1999, misalnya melanggar Pasal 14 tentang integrasi vertikal.

Pasal 14 huruf d UU 5/1999 mengatur sebagai berikut:

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang ada atau jasa tertentu dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahana atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat atau merugikan masyarakat.”

Sebagai referensi terkait dengan kasus yang melibatkan perjanjian eksklusif, lihat Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2003 tentang perjanjian eksklusif antara PT Garuda Indonesia dan PT Abacus Indonesia, yang merupakan anak perusahaan PT Garuda Indonesia.

c.        Dalam hal BUMN tersebut dominan, tetapi perjanjian tersebut menghasilkan efisiensi yang cukup besar, maka perlu diteliti pula apakah masih ada alternatif lain untuk mencapai efisiensi tersebut yang dampak antipersaingannya lebih kecil. Perlu ditanyakan apakah perjanjian eksklusif satu-satunya solusi? Apakah mekanisme pengadaan dengan membuka persaingan yang seluas-luasnya bagi para pemasok bahan baku tidak mungkin atau memberikan tingkat efisiensi yang lebih besar? Ini harus dipastikan terlebih dahulu sebelum memutuskan membuat perjanjian eksklusif atau tidak dengan perusahaan Joint Venture tersebut.

Mengenai kemungkinan pengecualian, berdasarkan ketentuan Pasal 50 dan selanjutnya Pasal 51 UU 5/1999, dimungkinkan adanya pengecualian terhadap pelarangan-pelarangan di dalam undang-undang tersebut, apabila syarat-syarat berikut ini terpenuhi:

Pasal 50 UU 5/1999 menyatakan:
a.      perbuatan dan atau perrjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
b.      perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
c.      perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
d.      perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau
e.      perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
f.       perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
g.      perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
h.      pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
i.        kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.”

Pasal 51
“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.”

Penjelasan mengenai pengecualian tersebut di atas dapat dilihat di dalam Pedoman-Pedoman Pasal yang dikeluarkan oleh KPPU, seperti Pedoman Pasal 50 huruf a, Pedoman Pasal 50 huruf b, Pedoman Pasal 50 huruf d, dan Pedoman Pasal 51. Pedoman-pedoman tersebut dapat diakses melalui situs KPPU, www.kppu.go.id.

Demikian penjelasan kami. Semoga dapat memberikan manfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Rabu, 07 Mei 2003

perbedaan perusahaan terbuka dan tertutup
Apakah yang menjadi perbedaan antara perusahaan tertutup dan perusahaan terbuka?

Jawaban:  Bung Pokrol

Istilah yang digunakan oleh undang-undang yang berlaku, yaitu UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) adalah Perseroan Terbuka untuk perusahaan terbuka dan Perseroan Tertutup untuk perusahaan tertutup.
Perseroan Terbuka adalah: (i) perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau (ii) perseroan yang melakukan penawaran umum (emiten), sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Dengan demikian, Perseroan Tertutup mempunyai pengertian sebaliknya.
Yang dimaksud dengan perseroan terbuka yang pertama disebut di atas dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal merupakan Perusahaan Publik. Yaitu adalah perseroan terbatas yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan yang dimaksud penawaran umum oleh emiten berarti kegiatan penawaran efek yang dilakukan untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Pada prinsipnya, pengertian penawaran efek yang demikian memperhatikan kondisi-kondisi sebagai berikut:
a.         Setiap penawaran efek kepada lebih dari 100 pihak;
b.         Setiap penawaran efek yang menggunakan media massa dianggap sebagai  suatu penawaran kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak; dan atau
c.         Suatu Penawaran efek bukan merupakan suatu penawaran umum sebagaimana dimaksud dalam
UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, jika nilai seluruh penawaran dari penawaran efek tersebut kurang dari Rp.1  miliar.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer