Perusahaan_Hukumonline
Kamis, 08 April 2010
Lembaga
Pendidikan itu Bentuknya Apa ya?
Saya ingin
mendirikan sebuah usaha pendidikan (sekolah). Pertama-tama, saya ingin usaha
tersebut dibentuk dengan badan usaha CV, namun menurut notaris yang saya temui
mengatakan bahwa umumnya usaha pendidikan tersebut didirikan dengan bentuk
lembaga pendidikan. Pertanyaan saya, apakah lembaga pendidikan itu sama dengan
yayasan (organisasi nirlaba) atau bisa dibentuk mirip dengan CV?
Pada
dasarnya, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan. Hal ini
diatur di dalam pasal 53 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Sebenarnya, UU Sisdiknas
mengamanatkan pengaturan lebih lanjut tentang badan hukum pendidikan dalam
bentuk undang-undang. Namun, pada 31 Maret 2010 UU No. 9 Tahun 2009 tentang
Badan Hukum Pendidikan sudah dibatalkan (dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena dinilai bertentangan
dengan UUD 1945.
Walaupun UU BHP dibatalkan, pasal 53
ayat (1) UU Sisdiknas yang menjadi payung hukum UU BHP tetap berlaku. MK
menyatakan pasal 53 ayat (1) konstitusional sepanjang frasa “badan hukum
pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan
sebagai bentuk badan hukum tertentu.
Melalui putusannya, MK ingin
memperkuat keberagaman dari lembaga pendidikan. Artinya, satuan pendidikan
memang harus berbentuk badan hukum. Namun, tidak boleh dibatasi badan hukum
tertentu.
Anda tidak dapat mendirikan
institusi pendidikan formal (sekolah) yang berbentuk Persekutuan Komanditer
atau CV. CV bukanlah badan hukum karena kekayaannya tidak dipisahkan (tidak
memiliki kekayaan sendiri).
Masing-masing badan hukum memang
memiliki karakteristik sendiri. Sebagian besar bertujuan untuk kependingan usaha
atau mencari keuntungan. Sementara karakteristik pendidikan, sifatnya nirlaba.
Karena itu, bentuk badan hukum yang
paling tepat adalah yayasan. Menurut pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2001
tentang Yayasan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004 (UU
Yayasan), yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan,
dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.
Namun, yayasan tidak otomatis bisa menyelenggarakan
pendidikan. Yayasan harus membentuk badan usaha untuk menjalankan bidang usaha
yang sesuai dengan tujuannya.
Selain yayasan, perkumpulan bisa
menjadi bentuk badan hukum bagi lembaga pendidikan, selama perkumpulan itu
disahkan dengan akta notaris. Namun, dasar hukum dari perkumpulan hanya ada di
Staatsblad 1870 No. 64. Sementara, yayasan memiliki undang-undang tersendiri
dalam UU Yayasan.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
- Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 18 November 2003
Legal
Audit
Apa yang dimaksud dengan Legal
Audit? Untuk kepeluan apa Legal Audit dibutuhkan? Hal-hal apa saja yang masuk
dalam kategori Legal Audit? dan Dokumen apa saja yag dibutuhkan sehubungan
dengan keperluan tersebut?
Legal Audit adalah suatu pemeriksaan
dan/atau penilaian permasalahan-permasalahan hukum mengenai atau berkaitan
dengan suatu perusahaan.
Legal Audit diperlukan untuk hal-hal
antara lain sebagai berikut:
a. Perusahaan yang akan melakukan Initial Public Offering (IPO);
b. Perusahaan yang akan melakukan merger,
konsolidasi, akuisisi;
c. Perusahaan yang akan melakukan
transaksi kredit sindikasi;
d. Perusahaan yang akan dijual (Legal
Audit dilaksanakan apabila pihak pembeli menginginkannya);
e. dan sebagainya.
Sehubungan keperluan suatu Legal
Audit tersebut di atas, maka dokumen-dokumen yang diperlukan, antara lain,
sebagai berikut:
a. Anggaran
dasar perusahaan, antara lain berupa akta pendirian perusahaan, berita
acara rapat pemegang umum saham, daftar pemegang saham perusahaan, struktur
organisasi perusahaan, daftar bukti penyetoran modal perusahaan dan anggaran
dasar perusahaan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas;
b. Dokumen-dokumen
mengenai asset perusahaan, antara lain berupa sertifikat-sertifikat
tanah, surat-surat tanda bukti kepemilikan kendaraan bermotor, dokumen-dokumen
kepemilikan saham pada perusahaan lain, da sebagainya;
c. Perjanjian-perjanjian
yang dibuat dan ditandatangani oleh perusahaan dengan pihak ketiga,
antara lain berupa perjanjian hutang piutang, perjanjian kerja sama, perjanjian
dengan (para) pemegang saham, perjanjian-perjanjian dengan supplier, dan sebagainya;
d. Dokumen-dokumen
mengenai perizinan dan persetujuan perusahaan, antara lain berupa surat
keterangan domisili perusahaan, tanda daftar perusahaan, perijinan dan
persetujuan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah, dan sebagainya;
e. Dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan permasalahan kepegawaian perusahaan, antara lain
berupa peraturan perusahaan, dokumen mengenai jaminan social tenaga kerja
(jamsostek), dokumen mengenai ijin tenaga kerja asing, dokumen mengenai
perijinan dan kewajiban pelaporan mengenai kepegawaian, dokumen mengenai upah
tenaga kerja, dokumen mengenai kesepkatan kerja bersama, dan sebagainya;
f. Dokumen-dokumen
mengenai asuransi perusahaan, antara lain berupa polis asuransi gedung,
polis kendaraan, polis mengenai gangguan usaha, polis untuk pihak ketiga
(misalnya konsumen), polis koperasi, polis dana yang tersimpan, dan sebagainya;
g. Dokumen-dokumen
mengenai pajak perusahaan, antara lain berupa nomor pokok wajib pajak
(NPWP) perusahaan, dokumen mengenai pajak bumi bangunan, dokumen mengenai
pajak-pajak terhutan, dan sebagainya;
h. Dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan terkait atau tidak terkaitnya perusahaan dengan tuntutan
dan/atau sengketa baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Hal-hal yang termasuk ke dalam
katagori Legal Audit antara lain, yaitu:
- Penelitian secara fisik atau penelitian area, peninjauan lapangan dan pengamatan terhadap suatu obyek untuk memastikan kebenaran;
- Penelitian dokumen yang berkaitan dengan obyek;
- Penelitian yang didasarkan pada sumber informasi lainnya, misalnya pengadilan, laporan keuangan, keterangan direksi, dan sebagainya.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 07 Maret 2011
Legal
Audit (2)
Bung Pokrol, bagaimana cara untuk
melakukan legal audit di suatu perusahaan dan langkah-langkah apa yang mesti
dilakukan?
Legal
audit atau
lazim juga disebut Legal Due Diligence (“LDD”) adalah kegiatan pemeriksaan secara seksama dari segi hukum yang
dilakukan oleh konsultan hukum terhadap suatu perusahaan atau obyek
transaksi sesuai dengan tujuan transaksi, untuk memperoleh informasi atau fakta
material yang dapat menggambarkan kondisi suatu perusahaan atau obyek
transaksi. Tujuan dilakukannya legal audit atau LDD yaitu:
1. Memperoleh status hukum
atau penjelasan hukum terhadap dokumen yang diaudit atau diperiksa;
2. Memeriksakan legalitas
suatu badan hukum/badan usaha;
3. Memeriksa tingkat
ketaatan suatu badan hukum/badan usaha;
4. Memberikan pandangan
hukum atau kepastian hukum dalam suatu kebijakan yang dilakukan oleh
perusahaan.
Menurut
advokat Melli Darsa, tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk melakukan
LDD adalah:
1.
Tanda tangan Confidentiality
Agreement (dalam hal akuisisi);
2.
Pembentukan Tim Due
Diligence;
3.
Persiapan Due
Diligence Request List;
4.
Pemeriksaan Dokumen.
(dikutip
dari materi seminar “Strategi Pembuatan Legal Due Diligence yang Tanpa Celah” kerjasama Peradi dan Hukumonline.com,
pada 30 November 2010).
Legal audit atau LDD harus dilakukan secara teliti dan
seksama dengan meliputi hal-hal seperti fisik perusahaan, kelengkapan
dokumen, serta kondisi obyek transaksi. Sehubungan dengan
proses LDD yang dibuat, terdapat banyak dokumen penting yang harus diperiksa antara lain sebagai
berikut:
1. Anggaran dasar perusahaan, antara lain berupa akta pendirian
perusahaan, berita acara rapat pemegang umum saham, daftar pemegang saham
perusahaan, struktur organisasi perusahaan, daftar bukti penyetoran modal
perusahaan dan anggaran dasar perusahaan yang telah disesuaikan dengan
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
2. Dokumen-dokumen mengenai aset
perusahaan,
antara lain berupa sertifikat-sertifikat tanah, surat-surat tanda bukti
kepemilikan kendaraan bermotor, dokumen-dokumen kepemilikan saham pada
perusahaan lain, dan sebagainya;
3. Perjanjian-perjanjian yang dibuat
dan ditandatangani oleh perusahaan dengan pihak ketiga, antara lain berupa perjanjian hutang piutang, perjanjian
kerja sama, perjanjian dengan (para) pemegang saham, perjanjian-perjanjian
dengan supplier, dan sebagainya;
4. Dokumen-dokumen mengenai perizinan
dan persetujuan perusahaan, antara lain berupa surat keterangan domisili perusahaan,
tanda daftar perusahaan, perijinan dan persetujuan yang dikeluarkan oleh
instansi pemerintah, dan sebagainya;
5. Dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan permasalahan kepegawaian perusahaan, antara lain berupa peraturan
perusahaan, dokumen mengenai jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), dokumen
mengenai ijin tenaga kerja asing, dokumen mengenai perijinan dan kewajiban
pelaporan mengenai kepegawaian, dokumen mengenai upah tenaga kerja, dokumen
mengenai kesepakatan kerja bersama, dan sebagainya;
6. Dokumen-dokumen mengenai asuransi
perusahaan,
antara lain berupa polis asuransi gedung, polis kendaraan, polis mengenai
gangguan usaha, polis untuk pihak ketiga (misalnya konsumen), polis koperasi,
polis dana yang tersimpan, dan sebagainya;
7. Dokumen-dokumen mengenai pajak
perusahaan,
antara lain berupa nomor pokok wajib pajak (NPWP) perusahaan, dokumen mengenai
pajak bumi bangunan, dokumen mengenai pajak-pajak terhutan, dan sebagainya;
8. Dokumen-dokumen yang berkenaan
dengan terkait atau tidak terkaitnya perusahaan dengan tuntutan dan/atau
sengketa baik di dalam maupun di luar Pengadilan.
Terhadap
dokumen-dokumen tersebut di atas harus dilakukan pemeriksaan secara seksama
apakah sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Selain
pemeriksaan dokumen, hal-hal
lain yang termasuk ke dalam kategori legal audit, yang harus dilakukan
antara lain:
1. Penelitian secara fisik atau
penelitian area, peninjauan lapangan dan pengamatan terhadap suatu obyek
untuk memastikan kebenaran;
2. Penelitian dokumen yang berkaitan
dengan obyek;
3. Penelitian yang didasarkan pada
sumber informasi lainnya, misalnya pengadilan, laporan keuangan, keterangan
direksi, dan sebagainya.
Demikian jawaban
dari kami, semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda
simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 17 Pebruari 2010
Adakah
jabatan Dewan Direksi?
Dalam suatu perusahaan perseroan
apakah dikenal jabatan Dewan Direksi? Bila tidak, apakah bisa suatu perseroan mencantumkan
jabatan Dewan Direksi dalam anggaran dasarnya? Apakah dampak hukum atas
pencantuman Jabatan Dewan Direksi dan apa bedanya dengan Direksi saja?
Dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan anggaran dasar suatu PT, tidak dikenal istilah Dewan Direksi.
Istilah yang dikenal adalah Direksi.
Draf
anggaran dasar PT yang baku (dan hanya boleh diganti sepanjang diatur dalam
pedomannya) pun tidak mengenal istilah Dewan Direksi, melainkan Direksi.
Adapun
untuk penggunaan istilah Dewan Direksi yang dipakai secara umum, boleh saja.
Biasanya istilah umum Dewan Direksi dipakai untuk menyebut para direktur.
Padahal, menurut undang-undang, mengingat Direksi merupakan organ perseroan,
istilah Direksi sudah cukup untuk menyebut para direktur. Jadi, perbedaan
antara pemakaian kata “dewan” dengan tidak dalam masyarakat, tidaklah prinsip.
Hanya
saja, undang-undang menentukan dalam pasal 98 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, dalam hal anggota Direksi
terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah
setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Dalam
penjelasan pasal 98 ayat (2) disebutkan, Undang-Undang ini pada dasarnya
menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiap-tiap anggota Direksi
berwenang mewakili Perseroan. Namun, untuk kepentingan Perseroan, anggaran dasar
dapat menentukan bahwa Perseroan diwakili oleh anggota Direksi tertentu. Hal
ini berarti perbuatan hukum dapat dilakukan oleh satu orang anggota Direksi
mewakili Direksi untuk dan atas nama Perseroan, sepanjang anggaran dasar tidak
menentukan lain.
Di sisi
lain, kata “dewan” memang digunakan UU No. 40 Tahun 2007 untuk istilah/organ
perseroan lain yaitu Dewan Komisaris. Dalam pasal 108 ayat (4) UU No. 40 Tahun
2007 ditentukan bahwa Dewan Komisaris yang terdiri
atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota
Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan
keputusan Dewan Komisaris. Sehingga, perbuatan hukum yang dilakukan Dewan
Komisaris haruslah secara kolektif atau bersama-sama.
Boleh
jadi, menurut hemat kami, alasan undang-undang tidak memakai istilah Dewan
Direksi adalah untuk membedakan antara Direksi yang bukan merupakan majelis dan
adanya sistem perwakilan kolegial dengan Dewan Komisaris yang merupakan majelis
dan bertindak secara kolektif.
Demikian sejauh yang
kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas
Simak dan
dapatkan tanya-jawab seputar Hukum Perusahaan lainnya dalam buku “Tanya
Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline & Visimedia) yang telah beredar di
toko-toko buku.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 29 Desember 2011
Adakah
Pembatasan Wilayah Notaris Terkait Pembuatan Akta Pendirian PT?
Saya ingin bertanya, apakah ada
pembatasan wilayah kerja Notaris dalam rangka pembuatan akta pendirian sebuah
PT? Kondisinya sebagai berikut: ada PT xx yang berdiri di wilayah Kota Medan
sementara itu akta pendiriannya dibuat oleh Notaris di Kabupaten Cianjur.
Apakah resiko hukumnya dari perbuatan ini dan peraturan yang mendasarinya apa
kalau boleh/tidak boleh?
Jawaban:
Berdasarkan
UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 30/2004”), khususnya pada Pasal 18 ayat (2)-nya
disebutkan bahwa wilayah kerja/wilayah jabatan notaris meliputi seluruh wilayah
provinsi dari tempat kedudukannya. Artinya, notaris tersebut berwenang untuk
membuat akta sepanjang perbuatan hukum tersebut dilakukan masih dalam wilayah
kerjanya, yang meliputi seluruh propinsi di tempat kedudukan notaris yang
bersangkutan.
Sebagai
contoh:
Seorang
notaris yang berkedudukan di Bekasi, berhak untuk membuat akta di
Bandung, Cirebon, Sukabumi, dan lain sebagainya. Karena daerah-daerah tersebut
masih masuk dalam wilayah kerjanya (provinsi Jawa Barat). Namun, dia tidak
berhak untuk membuat akta di Tangerang. Walaupun kalau secara jarak, lebih
dekat dengan Bekasi. Karena Tangerang sudah masuk dalam Provinsi Banten.
Yang
dimaksud dengan “membuat akta” di sini adalah hadir di hadapan para penghadap
(subjek perjanjian), membacakan dan menanda-tangani akta tersebut.
Sekarang
kembali ke pertanyaan semula: Bagaimana jika akta yang ditanda-tangani
tersebut adalah akta pendirian PT yang berkedudukan di Medan, sedangkan pembuat
aktanya adalah Notaris Kabupaten Cianjur?
Seperti
pada konsep pembuatan perjanjian pada umumnya, asalkan pada saat pembuatan akta
pendirian PT tersebut dilakukan oleh para pendiri, yang hadir dan
menanda-tangani akta pendirian tersebut di hadapan Notaris Kabupaten Cirebon,
serta para penghadap tersebut memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal
39 UU No. 30/2004, maka akta pendirian tersebut sah dan diperbolehkan.
Pasal 39
UU No. 30/2004 menyebutkan bahwa:
(1)
Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan
belas) tahun atau telah menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh
Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang
berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.
Selanjutnya,
demikian pula dalam hal misalnya akan dilaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham
(“RUPS”) yang mengubah anggaran dasar, susunan direksi/komisaris maupun
struktur pemegang saham PT yang berkedudukan di Medan tersebut. Hal-hal
tersebut juga akan dilakukan oleh Notaris Kabupaten Cianjur, karena memang
pelaksanaan RUPS-nya dilaksanakan di Cianjur. Hal tersebut dapat juga dilakukan
asalkan memenuhi ketentuan dalam Pasal 76 ayat (4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU No. 40/2007”) yaitu, seluruh
pemegang saham hadir dan/atau diwakili dan agenda RUPS-nya sesuai dengan
undangan rapat. Dalam hal ada pemegang saham yang tidak hadir dan/atau
diwakili, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam Pasal 76 ayat (1) UU No.
40/2007 yaitu harus di tempat kedudukan PT tersebut.
Semoga
bermanfaat.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 10 Desember 2003
advokat
apakah advokat itu?apa yang
membedakan antara advokat dengan pengacara biasa?bagaimana kedudukkan advokat
sebelum dan sesudah uu ttg advokat dalam peradilan di indonesia?baik peradilan
agama,peradilan umum maupun peradilan militer?
Jawaban:
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) menyatakan bahwa advokat adalah
orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan dan berdasarkan ketentuan UU Advokat.
Sebelum diberlakukannya UU Advokat,
maka yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk
memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseotang yang
mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pengacara biasa adalah
seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan
di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang
dimilikinya. Sehubungan dengan hal
tersebut, apabila pengacara tersebut akan beracara di luar lingkup wilayah izin
prakteknya tersebut di atas, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu ke
pengadilan dimana ia akan beracara.
Selanjutnya setelah diberlakukannya
UU Advokat, maka tidak lagi dikenal istilah pengacara biasa (pengacara
praktek), karena berdasarkan Pasal 32 UU Advokat dinyatakan bahwa advokat,
penasihat hukum, pengacara parktek, dan konsultan hukum yang telah diangkat
pada saat UU Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat sebagaimana
diatur dalam UU Advokat.
Sebelum diberlakukannya UU Advokat,
maka kedudukan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan
jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseroang yang mempunyai izin
praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. Disamping itu, advokat
diangkat oleh Presiden Republik Indonesia melalui Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia, sehingga pengakuan advokat pun diperoleh dari Presiden Republik
Indonesia melalui intansi pemerintah tersebut di atas.
Dengan diberlakukannya UU Advokat,
maka kedudukan advokat adalah semua orang yang memiliki profesi untuk
memberikan jasa hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan sesuai dengan
ketentuan advokat. Dan pengangkatan
advokat akan dilakukan oleh Organisasi Advokat sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 2 ayat 2 UU Advokat, sehingga dengan demikian, pengakuan advokat itu
diperoleh dari ketentuan suatu Undang-Undang dalam hal ini UU Advokat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 13 Agustus 2009
Akibat
hukum bagi pemegang saham
Jelaskan
akibat hukum bagi pemegang saham apabila terjadi pengurangan modal pada
perseroan terbatas?
Terima kasih atas pertanyaan yang
disampaikan.
Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No. 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT, pengurangan modal Perseroan
merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri.
Seperti kita ketahui, modal Perseroan terdiri atas modal dasar serta modal
ditempatkan dan disetor. Modal dasar Perseroan sedikitnya Rp50 juta, serta
modal ditempakan dan disetor sedikitnya 25% dari modal dasar atau Rp12,5 juta.
Terkait dengan pengurangan modal,
Pasal 47 ayat (1) UU PT diatur mengenai pengurangan modal ditempatkan dan
disetor yaitu, Keputusan RUPS tentang pengurangan modal ditempatkan dan
disetor dilakukan dengan cara penarikan kembali saham atau penurunan nilai
nominal saham.
Apa akibat hukum pengurangan modal,
dalam hal ini modal ditempatkan dan disetor, bagi pemegang saham? Seperti
dijelaskan di atas, pengurangan modal merupakan perubahan anggaran dasar, yang
mungkin berakibat merugikan pemegang saham atau Perseroan. Oleh karena itu,
setiap pemegang saham berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli
dengan harga yang wajar jika perubahan Anggaran Dasar merugikan pemegang saham
atau Perseroan [Pasal 62 ayat (1) huruf a UU PT].
Di sisi lain, UU PT tidak mengatur
secara khusus tentang pengurangan modal dasar. Namun, karena setiap pengurangan
modal merupakan perubahan anggaran dasar, maka setiap pemegang saham juga
berhak meminta kepada Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar
jika perubahan anggaran dasar merugikan pemegang saham atau Perseroan seperti
diatur dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a UU PT.
Demikian sejauh yang kami pahami.
Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 28 September 2011
Akibat
Hukum Jika Sekutu Komanditer Melakukan PMH
Dalam Undang-Undang Hukum Dagang, CV
dikatakan suatu persekutuan perdata di mana apabila terjadi permasalahan yang
ditimbulkan di dalamnya akan menjadi tanggung renteng (Pasal 20 dan 21). Yang
saya ingin tanyakan, apabila komanditer dalam CV tersebut terbukti melakukan
perbuatan melawan hukum berdasarkan putusan pengadilan negeri maka modal yang
telah dimasukkan ke dalam CV dapat ditariknya kembali?
Persekutuan
Komanditer (commandiraire vennootschap atau
CV) adalah suatu persekutuan yang didirikan oleh seseorang atau oleh beberapa
orang yang mempercayakan uang dan atau barang kepada seseorang atau beberapa
orang yang menjalankan pengurusan yang dikenal sebagai sekutu aktif (sekutu
komplementer) dan orang yang mempercayakan uang (pemberi modal) tersebut
disebut sekutu komanditer.
Lebih jauh mengenai sekutu aktif dan
sekutu pasif dalam CV, simak beberapa artikel berikut:
Dalam hal sekutu pasif
melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam perusahaan (CV) baik dengan
atau tanpa pemberian kuasa, maka berlaku Pasal 21 KUHD yaitu
bahwa sekutu tersebut bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk seluruhnya terhadap semua utang dan
perikatan perseroan itu. Dengan kata lain apabila kemudian CV mengalami
kerugian, pertanggungjawaban sekutu pasif yang melakukan pengurusan menjadi sama
dengan tanggung jawab sekutu aktif (hingga ke harta pribadi).
M.
Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” (hal. 18) juga menjelaskan
bahwa kerugian Perseroan Komanditer yang ditanggung sekutu komanditer, hanya
terbatas sebesar jumlah modal yang ditanamkan (beperkte
aansprakelijkheid, limited liability) (lihat Pasal 20 KUHD). Sedangkan, bagi anggota atau
pemegang saham yang bertindak sebagai pengurus (daden van beheer) yang
disebut sekutu komplimentaris, mempunyai tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited
liability) sampai meliputi harta pribadi mereka (hal. 20).
Mengenai
masalah yang Anda tanyakan, kami kurang jelas apakah perbuatan melawan hukum
(PMH) yang Anda maksudkan terkait dengan kegiatan CV tersebut atau tidak.
Namun, pada dasarnya PMH yang dilakukan sekutu pasif dan kemudian telah
dibuktikan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tidaklah
terkait dengan hak sekutu pasif untuk dapat atau tidak dapat menarik kembali
modal yang telah dimasukkannya. Terlebih lagi jika modal yang dimasukkan ke CV
tersebut bukan dari hasil PMH yang dimaksud.
Apabila
putusan pengadilan membuktikan bahwa sekutu pasif tersebut telah melakukan PMH,
sekutu pasif tersebut tetap berhak menarik ataupun tidak menarik modal yang
telah dimasukkannya dalam CV tersebut, terlepas dari PMH yang dilakukannya.
Kecuali kemudian dapat dibuktikan modal tersebut diperoleh dari hasil
PMH, maka berdasarkan proses di pengadilan, maka dimungkinkan pihak yang
dirugikanlah yang kemudian berhak atas modal yang telah ditanamkan tersebut.
Di
sisi lain, jika PMH yang dilakukan oleh sekutu pasif tersebut adalah terkait
dengan kegiatan/pengurusan perseroan, maka tanggung jawab sekutu pasif itu
kemudian menjadi tidak terbatas, dapat melibatkan baik modal yang telah
ditanamkannya maupun sampai ke harta pribadinya.
Jadi,
pada dasarnya, modal yang dimasukkan oleh sekutu pasif adalah sepenuhnya
menjadi hak sekutu tersebut untuk dapat menariknya atau tidak sesuai yang
diperjanjikan dan ditentukan dalam Anggaran Dasar CV yang bersangkutan. Namun,
bila sekutu pasif melakukan PMH yang berakibat pada kerugian CV, maka
pertanggungjawabannya menjadi tidak terbatas.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van
Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 21 September 2010
Akta Notaris
Pengikatan Saham dan Kuasa Saham
Terhadap suatu PT tertutup terdapat
akta pengikatan saham dan kuasa saham kepada orang asing. Apakah orang asing
dapat dimenangkan di pengadilan berdasarkan akta tersebut? Orang asing tersebut
menjual saham kepada orang lain berdasarkan akta tersebut. Seberapa kuat akta
tersebut melindung orang asing/orang yang benar memiliki uang/saham tersebut
baik di dalam pengadilan (sidang perkara) maupun diluar pengadilan? Terima
kasih.
Jawaban:
Akta
pengikatan saham dan kuasa saham tersebut beresiko untuk dikategorikan sebagai
praktek nominee arrangement. Dalam perjanjian tersebut kuasa atas saham
tersebut dilimpahkan pada orang lain. Mengenai nominee arrangement ini
pernah dibahas dalam artikel jawaban kami di sini.
Nominee arrangement ini sebenarnya tidak
diperbolehkan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (“UUPM”). Pasal 33 ayat (1) UUPM melarang penanam modal
dalam negeri dan penanam modal asing untuk membuat perjanjian dan/atau
pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas
untuk dan atas nama orang lain. Pasal 33 ayat (2) UUPM selanjutnya mengatur
bahwa perjanjian semacam itu dinyatakan batal demi hukum.
Larangan
ini juga diperkuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”). Dalam pasal 48 ayat (1) UUPT disebutkan bahwa saham
dikeluarkan atas nama pemiliknya. Jadi, saham itu haruslah atas nama si
pemegang sahamnya, tidak bisa nama pemegang sahamnya berbeda dengan pemilik
sebenarnya.
Jadi, menurut kami, perjanjian tersebut tidak cukup untuk
melindungi orang yang memiliki uang tersebut. Hal ini karena struktur nominee
arrangement demikian tidak diperbolehkan dalam perundang-undangan kita.
Demikian
yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
- Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
- Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar