Perusahaan_Hukumonline



Senin, 10 Oktober 2011
Bolehkah Pemegang Saham PT Menarik Modal Secara Diam-diam?
Selamat siang. Saya mau tanya, jika salah satu pemegang saham melakukan pengambilan modal secara diam-diam apakah itu diperbolehkan atau tidak?

Jawaban: Diana Kusumasari

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) mensyaratkan untuk Perseroan Terbatas harus memiliki modal paling sedikit Rp50 juta. Dari modal dasar tersebut paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) harus ditempatkan dan disetor penuh (lihat Pasal 32 dan Pasal 33 UUPT).
 Dari yang Anda ceritakan, kami asumsikan yang Anda tanyakan adalah terkait dengan modal yang telah disetorkan. Modal yang telah disetorkan untuk menjadi modal dalam suatu perusahaan (PT) bukan lagi menjadi kepemilikan pribadi secara langsung dari penyetor modal, melainkan menjadi harta perusahaan. Modal dasar PT ini kemudian terbagi dalam nominal saham (lihat Pasal 31 ayat [1] UUPT) dan diambil bagian oleh penyetor modal. Kepemilikan saham ini memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
a.      menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b.      menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c.      menjalankan hak lainnya berdasarkan Undang-Undang ini (UUPT).
(lihat Pasal 52 ayat [1] UUPT)
 Dengan demikian, pemegang saham tidak berhak menarik kembali secara diam-diam modal yang telah disetorkan. Karena jika terjadi penarikan kembali atas modal yang telah disetorkan, maka akan terjadi pengurangan modal. Sedangkan pengurangan modal harus melalui mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”).
 Keputusan RUPS untuk pengurangan modal Perseroan ini adalah sah apabila dilakukan dengan memperhatikan persyaratan kuorum dan jumlah suara setuju terhadap adanya perubahan anggaran dasar (lihat Pasal 44 ayat [1] UUPT). Mengenai syarat kuorum, simak artikel kami sebelumnya, Mengadakan RUPS Perubahan Anggaran Dasar.

Selain itu, dalam Pasal 46 ayat (1) UUPT ditentukan bahwa pengurangan modal PT merupakan perubahan anggaran dasar yang harus mendapat persetujuan Menteri. Dan persetujuan Menteri ini baru diberikan apabila:
a.      tidak terdapat keberatan tertulis dari kreditor dalam jangka waktu dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman pada 1 atau lebih surat kabar bahwa akan dilakukan pengurangan modal;
b.      telah dicapai penyelesaian atas keberatan yang diajukan kreditor; atau
c.      gugatan kreditor ditolak oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 Dalam hal pemegang saham mengambil secara diam-diam modal yang telah disetorkan, Prof. Erman Rajagukguk, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa perbuatan tersebut seharusnya batal dan dapat digugat secara perdata dengan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Hal ini karena akan ada kemungkinan pihak ketiga (kreditor) bisa saja keberatan bila terjadi pengurangan modal.
 Jadi, pemegang saham tidak boleh secara diam-diam maupun  terang-terangan mengambil modal yang telah disetor tanpa persetujuan RUPS.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Prof. Erman Rajagukguk pada 19 September 2011 melalui hubungan telepon.
 Dasar hukum:
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.




Senin, 10 Oktober 2011

Hak Pemegang Saham Jika Saham Digadaikan
Bagaimana dengan hak atas saham yang dimiliki oleh pemilik saham dan pemegang gadai atas saham, apakah hak atas saham (suara dalam RUPS, pembagian dividen, etc.) akan beralih juga bersamaan dengan digadaikannya saham kepada pihak lain? Proses gadai tersebut telah sesuai dengan UU Perseroan Terbatas tentang gadai saham.

Jawaban:  Diana Kusumasari

Saham memberikan hak kepada pemiliknya untuk:
a.      menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b.      menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c.      menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT.
(lihat Pasal 52 ayat [1] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas - “UUPT”).
 Dalam UUPT kemudian disebutkan bahwa saham merupakan benda bergerak dan dapat diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia sepanjang tidak ditentukan lain dalam Anggaran Dasar (lihat Pasal 60 ayat [1] dan [2] UUPT). Disebutkan pula bahwa hak suara atas saham yang diagunkan dengan gadai atau jaminan fidusia tetap berada pada pemegang saham. Sehingga, meskipun saham tersebut dijadikan sebagai agunan atas utang, hak suaranya tidak beralih (lihat Pasal 60 ayat [4] UUPT).
 Dalam praktiknya, menurut salah seorang dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof. Erman Rajagukguk, ada pula debitor yang bukan mengagunkan sahamnya, melainkan mengagunkan dividen yang diperoleh dari saham tersebut, baik untuk sebagian maupun untuk keseluruhannya, bergantung yang diperjanjikan.
 Hal ini senada dengan pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” (hal. 275). Yahya menyatakan bahwa hal yang perlu diingat sehubungan dengan pengagunan saham, saham dalam bentuk gadai saham atau jaminan fidusia adalah ketentuan Pasal 60 ayat (4) UUPT yang menegaskan:
-         Hak suara atas saham tersebut, tetap berada pada pemegang saham, bukan beralih kepada pemegang gadai atau penerima jaminan fidusia;
-         Menurut penjelasan pasal ini, ketentuan ini merupkana penegasan kembali asas hukum yang tidak memungkinkan pengalihan hak secara terlepas dari kepemilikan atas saham;
-         Sedangkan hak lain di luar suara seperti hak atas dividen dapat diperjanjikan sesuai dengan kesepakatan di antara pemegang saham dan pemegang agunan.
 Jadi, dengan diagunkannya saham, hak suara dari pemegang saham tidaklah beralih. Namun, terhadap dividen bisa beralih atau tidak yaitu apabila dividen tersebut menjadi obyek agunan. Semuanya ini harus diperjanjikan antara kreditor dan debitor.
 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Prof. Erman Rajagukguk pada 20 September 2011 melalui hubungan telepon.
 Dasar hukum:
 Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
jumat, 22 Oktober 2010

Hak Menandatangani MoU
Jika dalam suatu perusahaan direkturnya tidak berada di tempat dalam jangka waktu 1 bulan, apakah pejabat sementara bisa menandatangani Mou (berdasarkan pendelegasian wewenang yang tidak boleh dilakukan hanya mutasi pekerja dan perubahan gaji pekerja)? Atau harus menunggu sampai direktur berada di tempat? Terima kasih bantuannya.

Jawaban:  Shanti Rachmadsyah
Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) menjelaskan bahwa Direksi PT berhak untuk mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Dalam hal Direksi terdiri dari lebih 1 orang, maka yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar (lihat pasal 98 ayat [2] UUPT). Jadi, dalam hal seorang direktur perseroan berhalangan, maka anggota Dewan Direksi lainnya berhak untuk mewakili Perseroan, termasuk menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU).
Dalam hal seluruh anggota Dewan Direksi berhalangan untuk mewakili perseroan, maka Anda harus melihat pada Anggaran Dasar PT tersebut. Lihat apakah ada yang mengatur mengenai siapa yang berwenang mewakili PT melakukan perbuatan hukum dalam hal direkturnya tidak berada di tempat. Sesuai dengan pasal 107 huruf c UUPT, Anggaran Dasar memuat ketentuan tentang pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara. Jadi, Anda harus lihat dahulu ke Anggaran Dasar PT tersebut, siapa yang berhak mewakili perseroan dalam hal tidak ada direktur yang bisa mewakili perseroan.
Mengenai kuasa yang diberikan direksi, menurut pasal 103 UUPT, adalah kuasa tertulis untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Jadi, surat kuasanya adalah surat kuasa khusus, yang merinci apa saja perbuatan atau kepentingan tertentu dari Perseroan yang boleh diwakili oleh penerima kuasa. Adapun perbuatan yang boleh dilakukan si pemegang kuasa adalah terbatas pada perbuatan/kepentingan yang telah ditentukan di surat kuasa.
Menjawab pertanyaan apakah si pejabat sementara berwenang mewakili menandatangani MoU, harus dilihat dahulu secara lengkap surat kuasanya. Jika surat kuasa itu tidak menyebutkan secara spesifik perbuatan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa, maka surat kuasa itu adalah surat kuasa umum. Surat kuasa yang demikian adalah batal demi hukum. Demikian menurut M. Yahya Harahap, S.H. dalam buku “Hukum Perseroan Terbatas”.
Demikian jawaban singkat dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 01 September 2009

Gugatan terhadap CV

Jika sebuah Perusahaan berbentuk CV ditutup (oleh pemiliknya), siapakah yang menjadi/sebagai pihak dari Perusahaan tersebut ketika mereka digugat oleh karyawannya? Karena Perusahaan itu tidak mau bayar pesangon dan hak-hak lainnya dari karyawan.


Commanditaire vennootschap atau Persekutuan Komanditer atau CV merupakan persekutuan yang didirikan oleh dua orang atau lebih, yang mana salah satu pihak bertindak sebagai sekutu komanditer atau sekutu pelepas uang dan sekutu lainnya bertindak untuk melakukan pengurusan terhadap CV (lihat pasal 19 Kitab UU Hukum Dagang atau KUHD).

Untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka perlu dilihat dalam anggaran dasar CV, siapa yang berkedudukan sebagai sekutu pelepas uang dan siapa yang melakukan pengurusan CV.

Perbedaan antara sekutu pelepas uang dengan sekutu pengurus adalah :

  1. Sekutu pelepas uang sebagai sekutu pasif yang hanya berkewajiban untuk memberikan pinjaman uang atau modal kepada CV, tidak boleh melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam CV meskipun ia diberi kuasa untuk melakukan itu, dan tanggung jawabnya hanya sebatas pada jumlah yang telah ia masukkan pada CV (pasal 19 jo. pasal 20 KUHD). Namun, apabila ternyata sekutu pelepas uang tersebut melakukan pengurusan CV, maka akibat hukumnya adalah bahwa ia akan bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk semua hutang dan perikatan CV.

  1. Sekutu pengurus merupakan sekutu aktif, yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pengurusan CV dan bertanggung jawab secara tanggung renteng, serta berwenang melakukan perikatan dengan pihak ketiga (pasal 19 KUHD).

Jadi berdasarkan penjelasan di atas, gugatan terhadap CV ditujukan kepada sekutu yang melakukan pengurusan CV yang bersangkutan. Untuk mengetahui siapa sekutu pengurus, maka dapat dilihat dari anggaran dasar CV yang bersangkutan.

Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga Bermanfaat

Peraturan Perundang-undangan terkait:

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 08 Juli 2002

Gugatan derivatif / derivative action
Apakah hukum perusahaan indonesia mengenal derivative action suit (gugatan derivatif)?

Jawaban:

Sejak berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT"), hak derivatif secara tegas diberlakukan. Ketentuan mengenai ini diatur dalam pasal 85 ayat 3 (terhadap Direksi) dan pasal 98 ayat 2 UUPT (terhadap Komisaris). Dinyatakan bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri terhadap anggota Direksi atau Komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.

Jadi, ketentuan di atas memberikan arti bahwa tindakan derivatif senantiasa dilakukan oleh pemegang saham tertentu (dalam hal ini 1/10) atas nama kepentingan perseroan (bukan atas kepentingan pemegang saham sendiri saja, bandingkan dengan pasal 54 UUPT) terhadap tindakan Direksi atau Komisaris yang merugikan perseroan.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Kamis, 19 Juni 2008

Fundamentum Petendi
1. Apa yang dimaksud dengan Fundamentum Petendi?Apa isinya? 2. Apa yang dimaksud dengan Rekonvensi? dalam hal apa rekonvensi tidak diperbolehkan?

Jawaban:

Jawaban :
Terima kasih sinichi-kudo

Jawaban atas pertanyaan No. 1
Dalam perkara perdata, surat gugatan pada umumnya terdiri dari tiga bagian. Pertama, bagian yang disebut persona standi judicio, yakni bagian yang memuat identitas para pihak (nama dan tempat tinggal). Kedua, bagian yang disebut posita atau fundamentum petendi. Ketiga, adalah tuntutan atau petitum.

Fundamentum petendi adalah sebutan lain dari posita dalam sebuah gugatan. Ia merupakan dalil yang menggambarkan adanya hubungan yang menjadi dasar atau uraian dari suatu tuntutan. Untuk mengajukan suatu tuntutan, seseorang harus menguraikan dulu alasan-alasan atau dalil sehingga ia bisa mengajukan tuntutan seperti itu. Karenanya, fundamentum petendi berisi uraian tentang kejadian perkara atau duduk persoalan suatu kasus.

Suatu fundamentum petendi mencakup bagian yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan kasusnya, dan bagian yang memuat alasan-alasan yang berdasarkan hukum. Tidak mungkin seseorang menuntut sesuatu kalau tidak dijabarkan dalam posita. Perbedaan posita dan petitum bisa membuat suatu gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

Contoh, dalam suatu gugatan perceraian. Anda harus memuat keterangan dalam surat gugatan itu berupa kronologis atau urutan peristiwa sejak mulai perkawinan dilangsungkan, peristiwa hukum seperti lahirnya anak, hingga kejadian yang membuat Anda tidak cocok dengan suami/isteri, termasuk sebab-sebab yang membuat Anda ingin bercerai.

Jawaban atas pertanyaan No. 2
Rekonvensi adalah gugatan balik yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat asal dalam sengketa yang sedang berjalan di antara mereka. Misalnya si A menggugat B ke PN Jakarta Selatan, lalu pada persidangan kasus tersebut si B menggugat balik si A. Tentu saja, gugatan rekonvensi mensyaratkan adanya hubungan hukum antara A dan B (innerlijke samenhang). Gugatan rekonvensi merujuk pada Pasal 132 a dan 132 b HIR, serta pasal 157 dan 158 RbG.

Gugatan rekonvensi pada hakekatnya merupakan upaya penyelesaian terhadap gabungan dari dua kepentingan yang berguna untuk menghemat biaya, menghemat prosedur, dan mencegah adanya putusan hakim yang saling bertentangan untuk perkara yang saling berkaitan. Gugatan rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban pihak tergugat.

Suatu gugatan rekonvensi tidak dapat dibenarkan dalam beberapa hal. Misalnya:
         Pengadilan yang memeriksa, mengadili dan memutus gugatan konvensi tidak berwenang menangani gugatan rekonvensi;
         Perkara tersebut berhubungan dengan pelaksanaan putusan;
         Bila penggugat konvensi (asal) bertindak karena kualitas tertentu, sedangkan gugatan rekonvensi tersebut mengenai diri pribadi penggugat atau sebaliknya. Misalnya A bertindak sebagai wali bagi B untuk menggugat C. Dalam hal ini A bertindak karena kualitas tertentu, sehingga C tidak boleh mengajukan gugatan rekonvensi terhadap diri pribadi A.

Demikian jawaban kami, mudah-mudahan bermanfaat.

@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 31 Januari 2003
Firma
1. Apakah Firma itu? 2. Bagaimana pertanggungjawaban anggota Firma? 3. Bagaimana tata cara pendiriaan Firma? 4. Bagaimana stattus hukum Firma? 5. Bagaimana berakhirnya Firma?
Jawaban:

Firma berdasarkan pasal 16 KUHD adalah tiap-tiap persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan suatu perusahaan di bawah satu nama bersama. Jadi firma adalah persekutuan perdata yang khusus, yaitu menggunakan nama bersama atau firma.

Di mata pihak ketiga, tiap-tiap sekutu firma bertanggung jawab secara tanggung menanggung atas segala perikatan firma. (ps. 18 KUHD). Namun demikian, harus diingat bahwa hanya sekutu yang berwenang menurut anggaran dasar firma yang dapat mengikat pihak ketiga (ps. 17 KUHD). Dengan demikian, sekutu yang tidak berwenang atau walaupun berwenang tetapi tindakannya tersebut tidak sesuai dengan lingkup kegiatan firma, maka sekutu yang bersangkutan bertanggung jawab secara individu atas tindakan yang dilakukannya dengan mengatasnamakan firma. (ps. 17 KUHD).

Untuk mendirikan firma persyaratan tersebut di bawah ini harus dilengkapi:
    • Pembuatan akta otentik berupa akta notaris pendirian firma (Ps. 22 KUHD)
    • Pendaftaran akta pendirian tersebut di kepaniteraaan pengadilan negeri di dalam daerah hukum dimana persekutuan firma itu berdomisili (ps. 23 KUHD), yang sekarang cukup Pendaftaran Wajib Perusahaan pada kantor pendaftaran perusahaan (ps. 14 ayat 1 dan 2 UU No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan)
    • Pengumuman akta pendirian tersebut di dalam berita negara melalui kantor percetakan negara. (ps. 28 KUHD)
Perlu diperhatikan bahwa bila pendaftaran dan pengumuman belum dilakukan sepenuhnya, maka terhadap pihak ketiga firma dianggap suatu persekutuan perdata (ps. 29 KUHD).

Firma bukan-lah badan hukum seperti halnya perseroan terbatas. Karena undang-undang di Indonesia mengatur firma sebagai perusahaan yang dibentuk hanya berdasarkan persekutuan, bukan diakui sebagai badan hukum. Selain itu juga, syarat lain bagi suatu entitas untuk dapat dikatakan sebagai badan hukum adalah mempunyai kekayaan yang terpisah dengan pengurusnya. Pada firma tidak ada pemisahan kekayaan firma dengan pengurus, maksudnya adalah pertanggungjawaban firma kepada pihak ketiga mencakup sampai kepada harta pribadi sekutu-sekutunya (ps. 33 KUHD), berbeda halnya dengan perseroan terbatas yang merupakan badan hukum dimana pertanggungjawaban kepada pihak ketiga hanya sebatas kekayaan yang dimiliki oleh perseroan terbatas tersebut.

Karena firma adalah bentuk persekutuan perdata yang khusus, maka pengaturan pembubaran firmas cukup diatur dalam KUH Perdata, yaitu di Buku III, Bab VIII bagian IV. Berdasarkan pasal 1646 KUH Perdata persekutuan dapat berakhir karena:
  • Telah mencapai waktu yang telah ditentukan sebelumnya dalam akta pendirian (apabila ada)
  • Musnahnya barang atau selesainya perbuatan yang menjadi pokok perjanjian
  • Atas kehendak semata-mata dari beberapa orang sekutu
  • Jika salah seorang sekutu meninggal atau berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit
Sebab berakhirnya persekutuan firma yang dikarenakan meninggalnya salah seorang sekutu, dapat dikesampingkan apabila sebelumnya diantara sekutu-sekutu tersebut telah diperjanjikan bahwa meninggalnya salah seorang sekutu tidak berpengaruh terhadap kelangsungan firma.

Persekutuan (dalam hal ini, dengan firma) tersebut dapat berlangsung terus dengan ahli warisnya, atau akan berlangsung terus diantara sekutu-sekutu yang masih ada. (ps. 1651 KUHPer).
  
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Kamis, 16 Juni 2011
Fiduciary Duty Direksi dan Dewan Komisaris PT
Tolong berikan penjelasan secara jelas tentang fiduciary duties yang diemban oleh Direksi dan Komisaris PT?

Jawaban: Diana Kusumasari

Fiduciary duty oleh Black’s Law Dictionary diartikan sebagai “a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as duty that one partner owes to another)”.
Terkait dengan fiduciary duties dalam Perseroan Terbatas (“PT”), dalam buku “Organ Perseroan Terbatas” (hal. 39) Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia menjelaskan bahwa tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan tersebut dalam sistem common law dikenal dengan prinsip fiduciary duties.
Tugas dan tanggung jawab Direksi sesuai Pasal 92 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) adalah menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Sedangkan, Dewan Komisaris bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi (lihat Pasal 108 ayat [1] UUPT).
Referensi mengenai fiduciary duty juga dapat ditemui dalam buku “Hukum Perseroan Terbatas” yang ditulis M. Yahya Harahap (hal. 374 dan 457). Fiduciary duty ini diartikan oleh Yahya Harahap sebagai “wajib dipercaya”. Menurut Yahya “wajib dipercaya” berarti setiap anggota Direksi maupun Dewan Komisaris selamanya “dapat dipercaya” (must always bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honest) dalam menjalankan tugasnya (Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan).

Sementara penulis lainnya, Ridwan Khairandy dalam bukunya “Perseroan Terbatas” (hal. 209) menulis bahwa dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang Direksi harus melakukan tugasnya sebagai berikut:
1.      Dilakukan dengan iktikad baik;
2.      Dilakukan dengan proper purposes;
3.      Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggungjawab (unfettered discretion); dan
4.      Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).
Dari uraian singkat di atas kiranya dapat kita simpulkan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris dari suatu PT yang mengemban fiduciary duties memiliki kewajiban untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam UUPT dengan sebaik-baiknya, jujur, dengan itikad baik, dan demi kepentingan PT sesuai dengan maksud dan tujuan PT.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 01 Pebruari 2010

Efektifitas pengangkatan komisaris secara retroaktif
Menurut hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia, bisakah RUPS menetapkan bahwa pengangkatan seorang Direksi/komisaris berlaku secara retroaktif?

Jawaban:  Alfi Renata

Menurut hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris untuk pertama kali dilakukan dengan akta pendirian (pasal 94 ayat [2] jo. pasal 111 ayat [2] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT). Untuk selanjutnya, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS (pasal 94 ayat [1] jo. pasal 111 ayat [1] UU PT).
Untuk menjawab apakah pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris bisa ditetapkan berlaku secara retroaktif atau berlaku surut, kita perlu ketahui kapan perubahan anggota Direksi/Dewan Komisaris mulai efektif menurut UU PT.
-    Pengangkatan anggota Direksi mulai efektif sejak dicatat dalam Daftar Perseroan
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas”, perubahan (pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian) anggota Direksi efektif berlaku mempunyai dua sisi:
1)   secara internal, mulai efektif berlaku sejak tanggal keputusan RUPS diambil, kecuali RUPS menentukan secara tegas kapan mulai efektif berlaku,
2)   secara eksternal, sejak pemberitahuan “diterima” dan “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri Hukum dan HAM.
Hal itu bertitik tolak dari ketentuan pasal 94 ayat (8) UU PT yang mengatakan:
-       selama belum disampaikan pemberitahuan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi kepada Menteri (menurut pasal 94 ayat [7], jangka waktu pemberitahuan tersebut adalah paling lambat 30 hari sejak tanggal keputusan RUPS),
-     maka Menteri “menolak” setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 94 ayat (8) tersebut, menurut Yahya Harahap, dapat ditarik kesimpulan dan konstruksi hukum, perubahan anggota Direksi baru efektif kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal perubahan itu “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri.
-      Efektifnya pengangkatan Dewan Komisaris ditentukan RUPS.
Menurut pasal 111 ayat (5) UU PT, keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, ditentukan atau ditetapkan sendiri dalam keputusan RUPS yang bersangkutan. Apabila keputusan RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, maka saat mulai berlakunya hal-hal tersebut, adalah “sejak ditutupnya” RUPS (pasal 111 ayat [6] UU PT).
Selanjutnya pasal 111 ayat (7) UU PT mengatur bahwa setiap pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris;
1)     “wajib diberitahukan” kepada Menteri,
2)     yang bertugas menyampaikan pemberitahuan adalah Direksi,
3)     jangka waktu pemberitahuan, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
4)     Menteri “mencatat” pemberitahuan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian dalam Daftar Perseroan.
Dalam hal pemberitahuan tersebut di atas belum dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi (pasal 111 ayat [8] UU PT).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada larangan dalam UU PT apabila RUPS menetapkan pengangkatan anggota Dewan Komisaris berlaku secara retroaktif.
Dari penjelasan sebelumnya, menurut kesimpulan Yahya Harahap, perubahan anggota Direksi baru efektif kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal perubahan itu “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri. Demikian halnya dengan perubahan susunan Dewan Komisaris, mengingat ketentuan bahwa untuk perubahan Dewan Komisaris harus diberitahukan dan dicatat dalam Daftar Perseroan; dan Menteri akan menolak pemberitahuan mengenai perubahan susunan Dewan Komisaris apabila belum dilakukan pemberitahuan perubahan susunan Dewan Komisaris yang sebelumnya.
Konklusi:
-            Dari hal-hal yang tersebut di atas, UU PT tidak mengatur secara eksplisit ketidakbolehan asas retroaktif dalam pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris. Namun, dari pasal-pasal dan uraian sebagaimana tersebut di atas, menurut hemat kami, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris tidak dapat berlaku secara retroaktif.
-            Selain itu, apabila berlaku secara retroaktif, akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan. Ketidakpastian hukum yang dimaksud adalah tidak diketahui secara pasti siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan PT selama jabatan anggota Direksi/Dewan Komisaris kosong/tidak langkap sampai tanggal diselenggarakannya RUPS untuk mengangkat anggota Direksi/Dewan Komisaris yang baru.
Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar Hukum Perusahaan lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline & Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 01 Pebruari 2010
Efektifitas pengangkatan komisaris secara retroaktif
Menurut hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia, bisakah RUPS menetapkan bahwa pengangkatan seorang Direksi/komisaris berlaku secara retroaktif?

Jawaban: Alfi Renata

Menurut hukum perusahaan yang berlaku di Indonesia, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris untuk pertama kali dilakukan dengan akta pendirian (pasal 94 ayat [2] jo. pasal 111 ayat [2] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT). Untuk selanjutnya, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris dilakukan oleh RUPS (pasal 94 ayat [1] jo. pasal 111 ayat [1] UU PT).
Untuk menjawab apakah pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris bisa ditetapkan berlaku secara retroaktif atau berlaku surut, kita perlu ketahui kapan perubahan anggota Direksi/Dewan Komisaris mulai efektif menurut UU PT.
-    Pengangkatan anggota Direksi mulai efektif sejak dicatat dalam Daftar Perseroan
Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas”, perubahan (pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian) anggota Direksi efektif berlaku mempunyai dua sisi:
1)   secara internal, mulai efektif berlaku sejak tanggal keputusan RUPS diambil, kecuali RUPS menentukan secara tegas kapan mulai efektif berlaku,
2)   secara eksternal, sejak pemberitahuan “diterima” dan “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri Hukum dan HAM.
Hal itu bertitik tolak dari ketentuan pasal 94 ayat (8) UU PT yang mengatakan:
-       selama belum disampaikan pemberitahuan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi kepada Menteri (menurut pasal 94 ayat [7], jangka waktu pemberitahuan tersebut adalah paling lambat 30 hari sejak tanggal keputusan RUPS),
-     maka Menteri “menolak” setiap permohonan yang diajukan atau pemberitahuan yang disampaikan kepada Menteri.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 94 ayat (8) tersebut, menurut Yahya Harahap, dapat ditarik kesimpulan dan konstruksi hukum, perubahan anggota Direksi baru efektif kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal perubahan itu “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri.
-      Efektifnya pengangkatan Dewan Komisaris ditentukan RUPS.
Menurut pasal 111 ayat (5) UU PT, keputusan RUPS mengenai pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, ditentukan atau ditetapkan sendiri dalam keputusan RUPS yang bersangkutan. Apabila keputusan RUPS tidak menentukan saat mulai berlakunya pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris, maka saat mulai berlakunya hal-hal tersebut, adalah “sejak ditutupnya” RUPS (pasal 111 ayat [6] UU PT).
Selanjutnya pasal 111 ayat (7) UU PT mengatur bahwa setiap pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris;
1)     “wajib diberitahukan” kepada Menteri,
2)     yang bertugas menyampaikan pemberitahuan adalah Direksi,
3)     jangka waktu pemberitahuan, paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS.
4)     Menteri “mencatat” pemberitahuan pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian dalam Daftar Perseroan.
Dalam hal pemberitahuan tersebut di atas belum dilakukan, Menteri menolak setiap pemberitahuan tentang perubahan susunan Dewan Komisaris selanjutnya yang disampaikan kepada Menteri oleh Direksi (pasal 111 ayat [8] UU PT).
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada larangan dalam UU PT apabila RUPS menetapkan pengangkatan anggota Dewan Komisaris berlaku secara retroaktif.
Dari penjelasan sebelumnya, menurut kesimpulan Yahya Harahap, perubahan anggota Direksi baru efektif kepada pihak ketiga, terhitung sejak tanggal perubahan itu “dicatat” dalam Daftar Perseroan oleh Menteri. Demikian halnya dengan perubahan susunan Dewan Komisaris, mengingat ketentuan bahwa untuk perubahan Dewan Komisaris harus diberitahukan dan dicatat dalam Daftar Perseroan; dan Menteri akan menolak pemberitahuan mengenai perubahan susunan Dewan Komisaris apabila belum dilakukan pemberitahuan perubahan susunan Dewan Komisaris yang sebelumnya.
Konklusi:
-            Dari hal-hal yang tersebut di atas, UU PT tidak mengatur secara eksplisit ketidakbolehan asas retroaktif dalam pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris. Namun, dari pasal-pasal dan uraian sebagaimana tersebut di atas, menurut hemat kami, pengangkatan anggota Direksi/Dewan Komisaris tidak dapat berlaku secara retroaktif.
-            Selain itu, apabila berlaku secara retroaktif, akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga yang berkepentingan. Ketidakpastian hukum yang dimaksud adalah tidak diketahui secara pasti siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan PT selama jabatan anggota Direksi/Dewan Komisaris kosong/tidak langkap sampai tanggal diselenggarakannya RUPS untuk mengangkat anggota Direksi/Dewan Komisaris yang baru.
Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar Hukum Perusahaan lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline & Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Kamis, 23 Oktober 2003

Apakah dana untuk pembagian deviden suatu perusahaan itu diambil dari laba bersih atau dari saldo laba ?(dengan mengingat pada ketentuan di UU Perseroan Terbatas dan anggaran dasar perusahaan)

Jawaban:

Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan bahwa dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak menentukan lain, seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai deviden. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembagian deviden pada suatu perusahaan itu diambil dari laba bersih, bukan dari saldo laba.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.


Senin, 15 September 2008

Definisi Perusahaan Satu Group
Yth. Pengasuh Hukumonline Saya mohon bantuan bapak/ibu pengasuh tentang batasan perusahaan satu group dan referensinya apakah ada UU atau PP atau hal lainnya yang bisa menjelaskan hal tersebut.

Jawaban: Bung Pokrol

Saudara Hakim yang baik,
Sepanjang pengetahuan saya, definisi group tidak diatur di dalam undang-undang. Meskipun begitu, dalam beberapa ketentuan teknis, dapat kita temui penjabaran definisi group perusahaan. Hanya, perlu dipahami juga, bahwa penjabaran tersebut secara yuridis hanya dapat dipakai dalam ruang lingkup ketentuan tersebut.

Ketentuan teknis tersebut, di antaranya adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1999 tentang Izin Lokasi yang menjelaskan pengertian group perusahaan sebagai dua atau lebih badan usaha yang sebagian sahamnya dimiliki oleh orang atau oleh badan hukum yang sama baik secara langsung maupun melalui badan hukum lain, dengan jumlah atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya badan usaha. (Pasal 1 ayat (3))

Sebagai bahan perbandingan, dalam KUH Perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) group didefinisikan sebagai: Kesatuan ekonomi di mana badan-badan hukum atau persekutuan-persekutuan terkait secara organisatoris. Group perusahaan adalah badan-badan hukum dan persekutuan-persekutuan yang saling terkait di dalam sebuah group. (Pasal 2:24b BW)

Kalau kesatuan ekonomi dapat diartikan sebagai adanya kesatuan kepemilikan dan/atau pengendalian sebuah perusahaan, maka sebenarnya sudah ada jawaban yang jelas untuk pertanyaan anda.  Batasan group perusahaan adalah sebagai berikut:
  1. Dua atau lebih badan usaha yang terkait secara organisatoris.
  2. Kepemilikan (saham) oleh orang atau badan hukum yang sama (aspek kepemilikan).
  3. Orang atau badan hukum tersebut dapat menentukan penyelenggaraan jalannya badan usaha (aspek pengendalian).

Semoga cukup memperjelas. Terima kasih. (Imam Nasima)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer