Perusahaan_Hukumonline
Jumat, 05 Oktober 2001
Aset perusahaan
Bagaiamana pemakaian mengenai asset
perusahaan yang khususnya yang disebut dengan benda bergerak dan tidak
bergerak? Kebetulan saya lagi membuat daftar asset perusahaan, apa aja yang
penting buat saya ketahui, terima kasih sebelumnya
Dari segi hukum dalam membuat daftar
asset perusahaan, yang perlu diperhatikan yang mana sajakah asset perusahaan
yang material. Pada prinsipnya, pengertian material disini berarti yang dapat
mempengaruhi kegiatan usaha perusahaan. Standar akuntansi merupakan acuan yang
andal untuk dipegang.
Dalam pemeriksaan dari segi hukum,
pemeriksaan terhadap asset perusahaan biasanya mengacu pada prinsip-prinsip antara
lain sebagai berikut:
- Asset perusahaan baik bergerak ataupun tidak bergerak yang bernilai sekurang-kurangnya 5% total nilai asset atau 10% dari total pendapatan per tahun;
- Asset perusahaan anak perusahaan juga diperiksa seluruhnya; dan
- Pemegang saham utama berbentuk perseroan terbatas (yang mempunyai sekurang-kurangnya 20% dari total hak suara) diperiksa hanya data anggaran dasar dan ijin-ijin.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 13 Juni 2011
Pertanyaan:
Apa Sanksinya Jika RUPS Tahunan
Terlambat Dilaksanakan ?
Pertama salam kenal, saya baru
pertama kali menggunakan sarana informasi ini. Yang ingin saya tanyakan adalah
apa konsekuensi/sanksi bila RUPS tahunan dilaksanakan lebih dari 6 bulan dari
diterbitkan laporan pembukuan? Kemudian bagaimana jalan keluar agar tidak
terkena sanksi tersebut?
Merujuk
pada Pasal 78 ayat (2) UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) Rapat Umum Pemegang
Saham (“RUPS”) tahunan dalam suatu Perseroan Terbatas memang wajib diadakan
dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.
Dalam
RUPS tahunan tersebut, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan
sekurang-kurangnya sebagai berikut (lihat Pasal 66 ayat [2] UUPT):
a. laporan keuangan yang terdiri atas
sekurang-kurangnya neraca akhir tahun buku yang baru lampau dalam perbandingan
dengan tahun buku sebelumnya, laporan laba rugi dari tahun buku yang
bersangkutan, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, serta catatan
atas laporan keuangan tersebut;
b.
laporan mengenai kegiatan Perseroan;
c.
laporan pelaksanaan Tanggung Jawab
Sosial dan Lingkungan;
d. rincian masalah yang timbul selama
tahun buku yang mempengaruhi kegiatan usaha Perseroan;
e. laporan mengenai tugas pengawasan
yang telah dilaksanakan oleh Dewan Komisaris selama tahun buku yang baru
lampau;
f.
nama anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris;
g. gaji dan tunjangan bagi anggota
Direksi dan gaji atau honorarium dan tunjangan bagi anggota Dewan Komisaris
Perseroan untuk tahun yang baru lampau.
Terkait dengan RUPS Tahunan ini Pasal
78 ayat (2) jo. Pasal 79 ayat (1) UUPT mewajibkan direksi untuk
menyelenggarakan RUPS tahunan paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku
berakhir, yang didahului dengan pemanggilan RUPS, di mana pada Pasal 79 ayat
(5) UUPT mewajibkan direksi untuk melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal permintaan
penyelenggaraan RUPS diterima. Apabila tidak menyelenggarakan RUPS tahunan,
direksi dianggap telah melalaikan fiduciary duty-nya terhadap perseroan.
Menurut Hendra Setiawan Boen, fiduciary duty merupakan
tugas-tugas yang dipercayakan kepada dari direksi oleh perseroan dan dasar
bertindak dari kegiatan direksi dalam mengambil keputusan berkenaan dengan
tugasnya menjalankan kegiatan (bisnis) perseroan. Dalam konsep fiduciary
duty, menurut Boen, seorang direksi bertanggung jawab terhadap perseroan,
bukan organ perseroan lainnya, baik rapat umum pemegang saham ataupun dewan
komisaris, apalagi pemegang saham. Lebih jauh simak artikel dari Boen: Tanggung
Jawab Direksi Untuk Memanggil dan Menyelenggarakan RUPS.
Di sisi lain, dalam UUPT sebenarnya
tidak diatur adanya sanksi apabila RUPS Tahunan tidak diselenggarakan dalam
waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.
Jadi,
UUPT saat ini tidak mengatur mengenai sanksi mengenai tidak dilaksanakannya
kewajiban menyelenggarakan RUPS Tahunan dalam waktu paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun buku berakhir. Namun, Direksi tetap wajib menyelenggarakan
RUPS Tahunan sebagai salah satu kewajibannya menjalankan kepengurusan perseroan
sebaik-baiknya dengan memberikan laporan tahunan Perseroan dalam RUPS Tahunan.
Ditegaskan
pula oleh Notaris Irma Devita Purnamasari bahwa pada prinsipnya RUPS
Tahunan diadakan untuk mengesahkan perbuatan hukum direksi, rencana kerja,
alokasi dana, serta laporan kegiatan PT, neraca dan sebagainya. Dalam UUPT
memang tidak disebutkan bagaimana kalau lewat waktu enam bulan setelah tahun
buku berakhir dan tidak diadakan RUPS Tahunan. Tapi logikanya, menurut Irma,
kalau tidak ada pengesahan, artinya belum selesai tanggung jawab PT pada tahun
tersebut.
Oleh karena itu, menurut Irma, jika
telah lewat 6 bulan setelah tahun buku berakhir maka tidak boleh lagi dibuat
RUPS tahunan. Sehingga, laporan pertanggungjawaban, penggunaan kekayaan PT dan
lain-lain yang dilakukan direksi dalam tahun tersebut tidak bisa disahkan.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan editor: Klinik Hukum meminta
pendapat Irma Devita Purnamasari melalui hubungan telepon pada 10 Juni 2011.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Rabu, 03 September 2003
Apakah yang dimaksud dengan Hukum
Impresariat?
Halo Bung Pokrol. Saya ingin
menanyakan menganai peraturan hukum yang mengatur usaha di bidang entertainment
atau event organizer, apakah benar usaha seperti ini di atur dalam hukum
impresariat? Kalau Ya, apakah yang dimaksud dengan hukum Impresariat itu?
bagaimana prosedur pengurusannya dan berapa biayanya? Jika bukan, peraturan
badan hukum apa yang mengatur jenis usaha seperti ini? dan di mana saya bisa
mendapatkan informasi yang sejelas-jelasnya mengenai peraturan ini?
Usaha di bidang entertaiment adalah
usaha di bidang hiburan, sedangkan usaha di bidang event organizer belumlah
tentu merupakan usaha di bidang hiburan.
Oleh karenanya perlu ditekankan bahwa usaha di bidang event organizer
dimaksud adalah yang bergerak untuk bidang hiburan.
Selanjutnya untuk kedua usaha
sebagaimana dimaksud di atas memang diatur oleh ketentuan-ketentuan mengenai
impresariat atau dalam hal ini usaha di bidang jasa impresariat
Pasal 1 butir a Keputusan Menteri
Parpostel No. KM.13/UM.201/MPPT-91 tentang Usaha Jasa Impresariat (Kepmen
Usaha Jasa Impresariat) menyatakan bahwa usaha jasa impresariat adalah
kegiatan pengurusan penyelenggaraan hiburan, baik yang berupa mendatangkan,
mengirimkan maupun mengembalikan serta menentukan tempat, waktu dan jenis
hiburan. Sehingga berdasarkan pasal
tersebut pula dapat disimpulkan bahwa hukum impresariat adalah aturan-aturan
atau ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan pengurusan penyelenggaraan
hiburan sebagaimana dimaksud di atas.
Berdasarkan pasal 26 Peraturan
Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan (PP
Penyelenggaraan Kepariwisataan) dinyatakan bahwa usaha jasa
impresariat diselenggarakan oleh Perseroan Terbatas atau Koperasi, dimana
kegiatan usahanya meliputi :
a. Pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan oleh
artis, seniman, dan olahragawan Indonesia yang melakukan pertunjukan di dalam
dan atau di luar negeri;
b. Pengurusan dan penyelenggaraan pertunjukan hiburan oleh
artis, seniman, dan olahragawan asing yang melakukan pertunjukan di Indonesia;
c. Pengurusan, dokumen perjalanan, akomodasi, transportasi bagi
artis, seniman dan olahragawan yang akan mengadakan pertunjukan hiburan; dan
d.
Penyelenggaraan kegiatan promosi dan
publikasi pertunjukan.
Selanjutnya berdasarkan Pasal 5
Kepmen Usaha Jasa Impresariat dinyatakan usaha jasa impresariat tersebut di atas
dilaksanakan berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk
memperoleh izin sebagaimana dimaksud di atas, maka tahap-tahap yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Mengajukan permohonan tertulis dengan
persyaratan-persyaratan tertentu disertai rekomendasi dari Kakanwil Parpostel
setempat;
b.
Selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, Direktur
Jenderal harus menetapkan izin usaha atau menolaknya;
c. Apabila terjadi penolakan sebagaimana dimaksud pada butir b
di atas, maka akan disampaikan kepada pemohon dalam bentuk tertulis dengan
disertai alasan-alasan keberatan untuk diberikannya izin.
Dinyatakan pula dalam peraturan
tersebut bahwa mengenai tata cara dan persyaratan izin usaha jasa impresariat
diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Namun di lain pihak, berkaitan
dengan besarnya biaya atas prosedur tersebut, tidak diperoleh suatu peraturan
pemerintah yang mengatur atau memperinci mengenai hal tersebut.
Peraturan mengenai usaha jasa
impresariat sebagaimana dimaksud di atas, dapat diperoleh di Departemen
Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan usaha jasa impresariat diatur dalam peraturan-peraturan yang
dikeluarkan sehubungan dengan bidang pariwisata, antara lain adalah:
- Undang-Undang No. 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan;
- Peraturan Pemerintah No. 67 Tahun 1996 tentang
Penyelenggaraan Kepariwisataan;
- Keputusan Menteri Parpostel No. KM.13/UM.201/MPPT-91
tentang Usaha Jasa Impresariat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Rabu, 27 Oktober 2010
Batasan Jangka Waktu Kontrak
Yth. Bung Pokrol. Apakah ada batasan
jangka waktu direktur BUMN membuat kontrak? Maksimal tiga tahun atau lima tahun
atau bagaimana? Peraturan mana yang dipakai?
Jawaban:
Badan
Usaha Milik Negara (“BUMN”) tunduk pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2003
tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”). Menurut pasal 9 UU BUMN,
BUMN adalah berbentuk Persero dan Perum.
Persero
adalah Perusahaan Perseroan, yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang
modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh
satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan
utamanya mengejar keuntungan (lihat pasal 1 angka 2 UU BUMN). Persero
juga bisa berbentuk Perusahaan Perseroan Terbuka, (Persero Terbuka), yaitu
Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau
Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal (lihat pasal 1 angka 3 UU BUMN).
Sedangkan,
yang dimaksud dengan Perum adalah Perusahaan Umum, yaitu BUMN yang seluruh
modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk
kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (lihat
pasal 1 angka 4 UU BUMN).
Jadi, suatu BUMN dapat
berbentuk:
1. Perusahaan Perseroan
2. Perusahaan Perseroan Terbuka
3. Perusahaan Umum
Untuk
BUMN yang berbentuk Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Perseroan Terbuka,
karena bentuknya adalah perseroan terbatas (“PT”), maka juga tunduk pada
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”).
Menurut
pasal 5 ayat (3) UU BUMN, dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi
harus mematuhi anggaran dasar (“AD”) BUMN dan peraturan perundang-undangan
serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi,
transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.
Jadi, yang menjadi batasan sejauh mana direksi boleh bertindak, adalah AD dari
BUMN tersebut dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya, UU BUMN dan
UUPT).
Undang-Undang
PT juga menegaskan hal ini dalam pasal 92 ayat (2) UUPT, yaitu bahwa
direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini dan/atau AD.
Kewenangan
direksi juga ditegaskan dalam pasal 98 ayat (3) UUPT, yaitu bahwa
kewenangan dalam mewakili Perseroan adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, anggaran dasar, atau keputusan
RUPS. Jadi, ada tiga hal yang membatasi kewenangan direksi suatu BUMN, yaitu
ketentuan UU (dalam hal ini UU BUMN dan UU PT), AD BUMN tersebut, serta
keputusan RUPS.
Setahu
kami, dalam peraturan perundang-undangan tentang BUMN tidak ada yang menentukan batasan
jangka waktu kontrak yang boleh dibuat oleh seorang Direktur BUMN. Tetapi,
kembali pada batasan kewenangan seperti diuraikan di atas, perlu juga melihat
kepada AD BUMN tersebut dan keputusan RUPS, apakah ada yang mengatur
tentang batasan jangka waktu kontrak yang boleh dibuat oleh Direktur BUMN.
Demikian penjelasan singkat
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara
2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Setiap artikel jawaban Klinik
Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 17 Oktober 2011
Bagaimana Pengurusan Perseroan Jika
Direksi Terkena Stroke?
Bagaimana kedudukan seorang direksi bilamana
dalam pelaksanaan Perseroan Terbatas dia mengalami sakit jasmani seperti sakit
stroke? Masih kah bisa dikatakan bahwa direksi tersebut berwenang atas
pekerjaannya di Perseroan Terbatas? Terima kasih dan mohon bantuannya.
Dalam
hal seorang direksi mengalami sakit jasmani, harus dilihat kembali pengaturan
pada Anggaran Dasar Perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
107 UU
No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur bahwa dalam anggaran dasar diatur ketentuan
mengenai:
a. tata cara pengunduran diri anggota
Direksi;
b. tata cara pengisian jabatan anggota
Direksi yang lowong; dan
c. pihak yang berwenang menjalankan
pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan
atau diberhentikan untuk sementara.
Pada Perseroan Terbatas, ada kalanya
direksi tidak hanya dijabat oleh satu orang saja. Sehingga apabila ada direksi
yang berhalangan (misal: sakit), perseroan tersebut masih dapat berjalan.
Namun, bila ternyata dalam perseroan itu posisi direksi hanya dijabat oleh satu
orang saja, kemudian direksi tersebut sakit, tentu akan menimbulkan persoalan.
Oleh karena itu, UUPT menentukan bahwa hal ini harus diatur dalam anggaran
dasar (“AD”) yaitu mengenai siapa pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan
mewakili perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan.
Demikian menurut M. Yahya Harahap
sebagaimana kami sarikan dari buku “Hukum Perseroan Terbatas”
(hal. 435). Menurutnya, untuk mengatasi kevakuman atau kekosongan jabatan jika
direksi berhalangan secara temporer/sementara atau permanen, perseroan harus mengantisipasinya
dalam AD dengan jalan mengatur ketentuan, siapa atau pihak mana ataupun organ
mana yang berwenang bertindak menjalankan pengurusan perseroan sesuai
dengan yang ditentukan Pasal 92 ayat (1) UUPT serta siapa yang berwenang
mewakili perseroan ke dalam dan keluar sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat
[1] UUPT.
Lebih lanjut, Yahya menyatakan bahwa
perintah atau anjuran Pasal 107 UUPT tersebut, wajib dengan cermat diperhatikan
Notaris yang diminta menyusun Akta Pendirian dan AD Perseroan. Begitu juga
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, seyogyanya memperhatikannya. Jika
sekiranya pada saat permintaan pengesahan AD, tidak menemukan aturan tentang
hal itu, sebaiknya dianjurkan untuk memperbaikinya.
Dengan demikian, pada saat direksi
berhalangan sementara atau permanen, kewenangannya diberikan kepada siapa yang
disebutkan dalam AD perseroan.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap
artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum,
atau facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 19 September 2011
Bagaimana Mengakses Daftar
Perusahaan di Indonesia?
Berdasarkan UU Perseroan Terbatas,
setiap perusahaan yang berdiri di Indonesia haruslah didaftarkan pada
Kemenkumham, apakah masyarakat umum dapat mengakses daftar perusahaan yang
didaftarkan pada Kemenkumham tersebut? Apabila masyarakat umum dapat mengakses
bagaimana prosedurnya?
Berdasarkan
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ("UUPT"),
akta pendirian perseroan harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM
untuk mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Pengesahan akta
pendirian dilakukan melalui jasa teknologi informasi Sistem
Administrasi Badan Hukum ("SABH") secara elektronik (lihat Pasal 9
UUPT).
Sampai
saat ini, akses SABH hanya dimiliki oleh setiap Notaris yang memiliki izin
praktik yang sah di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu,
masyarakat umum tidak dapat mengakses atau melakukan pendaftaran akta
perusahaan secara langsung ke Kementerian Hukum dan HAM.
Patut
diketahui pula bahwa setelah disahkan maka Menteri akan mengumumkannya dalam
Tambahan Berita Negara (“TBN”), sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1)
UUPT. TBN tersebut dapat kita akses dengan membeli buku-buku himpunan TBN.
Demikian
penjelasan kami. Semoga cukup membantu.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 26 Oktober 2010
Bagaimana Membentuk Perhimpunan
Pemilik Kios?
Mohon informasi tentang
langkah-langkah dan tata cara, membentuk sebuah perhimpunan pemilik kios,
kebetulan kami dan teman-teman memiliki kios di sebuah trade center. Saya sudah
konsultasi dengan beberapa notaris, tetapi jawabannya berbeda-beda. Beberapa
poin yang kami belum tahu: 1. Untuk membuat akte pendirian, apa hanya perlu
beberapa orang saja untuk tanda tangan sebagai pendiri/pengurus? 2. AD/ART
disusun bareng dengan akte pendirian atau setelah itu? 3. Organisasi ini apa
mengacu kepada Undang-Undang Rusun? Sedangkan untuk kios/bisnis, pasti
kepentingannya berbeda dengan hunian apartemen karena keterlibatan pihak
manajemen pengelola mall pasti masih ada 4. Setelah akte jadi, apa harus disahkan
atau didaftarkan ke mana (bupati/walikota atau dinas perumahan setempat)? Mohon
bantuan, atau informasi untuk notaris yang pengalaman di wilayah Tangerang.
Pasal
19 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (“UU Rumah
Susun”) memang mewajibkan penghuni satuan
rumah susun (SRS) untuk membentuk suatu Perhimpunan Penghuni. Perhimpunan
Penghuni ini berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan
penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya.
Namun
yang perlu diingat, UU Rumah Susun dibatasi keberlakuannya untuk bangunan yang
diperuntukkan untuk hunian. Ini sesuai dengan pasal 1 angka 2 UU Rumah Susun:
“Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan
peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian,
yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.”
Jadi,
untuk kios-kios dalam trade center, di mana peruntukan bangunannya bukan
untuk hunian, tidak berlaku UU Rumah Susun, termasuk kewajiban pembentukan
perhimpunan penghuni.
Akan
tetapi, apabila pemilik kios ingin membentuk perhimpunan juga, hal ini
dimungkinkan. Namun, konstruksi perhimpunannya tidak merujuk pada perhimpunan
penghuni yang dimaksud dalam UU Rumah Susun, melainkan perkumpulan.
Perkumpulan
ini sendiri ada dua macam, yaitu:
1. Perkumpulan biasa (tidak berbadan hukum) yang merupakan
organisasi massa dan tidak berbadan hukum. Perkumpulan yang tidak berbadan
hukum tunduk pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkumpulan ini pendiriannya cukup dengan akta notaris saja, dan kemudian
didaftarkan ke Kementerian Dalam Negeri.
2. Perkumpulan yang berbadan hukum, yang tunduk pada Staatsblad
No. 1870 No. 64. Perkumpulan seperti ini didirikan dengan akta notaris, dan
kemudian disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Selengkapnya lihat dalam artikel ini.
Mengenai
akta pendirian perkumpulan (baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum), menurut notaris Irma Devita Purnamasari (13/10), dapat
ditandatangani oleh beberapa orang saja yang bertindak sebagai pendiri, tidak
harus semua pemilik kios. Hal ini, menurut Irma, karena perkumpulan penghuni
yang demikian bukanlah suatu kewajiban bagi pemilik kios-kios, dan
keanggotannya pun bersifat sukarela, bukan wajib. Apabila nantinya para pemilik
kios lain ingin bergabung, mereka dapat bergabung sebagai anggota perkumpulan.
Sedangkan untuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulan, belum ada
pengaturannya secara jelas, namun biasanya dibuat bersamaan dengan pembuatan
akta pendiriannya.
Demikian
penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Staatsblad No. 1870 No. 64 (Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan
Hukum)
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa
3. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
twitter @klinikhukum, atau
facebook Klinik Hukumonline.
Senin, 22 Agustus 2011
Bagaimanakah Keputusan Sirkuler Para
Pemegang Saham (Circulair Resolution) Dibuat?
Salam klinik hukum, saya ingin
bertanya tentang bagaimana proses sebuah Circulair Resolution itu dibuat?
Apakah tiba-tiba salah satu pemegang saham mengirimkan surat kepada pemegang
saham lainnya atau bagaimana? Apakah ada tindakan-tindakan lainnya? Karena
dalam UU PT
tidak diatur mengenai proses dari awal
atas sebuah Circulair Resolution.
Jawaban:
Salam
Bapak Diaz Wiriardi.
Secara umum, Rapat Umum Pemegang
Saham (“RUPS”) mensyaratkan para pemegang sahamnya untuk hadir secara fisik
untuk memutuskan hal-hal yang diperlukan terkait kepentingan perseroan. Namun,
seringkali dirasakan adanya kesulitan untuk mengumpulkan para pemegang saham
secara bersama-sama sedangkan putusan RUPS diperlukan untuk memutuskan suatu
permasalahan. Oleh karena itu, UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) memberikan solusi dengan diperbolehkannya pengambilan
keputusan RUPS melalui keputusan sirkuler.
Ketentuan mengenai keputusan
sirkuler (circulair resolution) ini dapat kita temui dalam Pasal 91
UUPT yang berbunyi:
“Pemegang saham dapat juga mengambil
keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan
hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul
yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut,
syarat yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari 100 (seratus) persen
para pemegang saham perseroan.
Memang
UUPT tidak mengatur mengenai proses dibuatnya keputusan sirkuler ini. Namun,
dalam praktiknya, para pemegang saham telah melakukan komunikasi perihal
hal-hal apa saja yang akan diputuskan dalam keputusan sirkuler tersebut untuk
kemudian dituangkan dalam “Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham”. Lalu
keputusan sirkuler itu harus ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan
berlaku sejak semua pemegang saham telah menandatanganinya.
Irma Devita Purnamasari dalam artikel “Pokok-Pokok
Perbedaan antara UUPT No. 1/1995 dengan UUPT No. 40/2007”, menulis bahwa “Keputusan Sirkuler
Para Pemegang Saham” dibuat di bawah tangan, kemudian dilanjutkan dengan
pembuatan Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar