Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline
KPPU Berwenang Jatuhkan Sanksi
Pidana/Perdata?
1. Bagaimana kedudukan KPPU sebagai
lembaga pengawas persaingan usaha yang independen berdasarkan Pasal 30 ayat 2
UU No. 5/1999 (secara normatif)? Apakah KPPU berwenang jatuhkan sanksi pidana
atau perdata? 2. Apa tugas dan wewenang KPPU telah sesuai dengan statusnya
sebagai lembaga independen? 3. Apa kendala yuridis yang dihadapi oleh KPPU
dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga independen? 4. Apa asas dari KPPU?
5. Apakah UU No. 5/1999 telah direvisi? Kalau ya, bisakah minta salinan dari
revisi UU tersebut? 6. Siapa saja tim revisi UU No. 5/1999?
Jawaban:
1. Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(“KPPU”) merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain
menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan
dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif.
Meskipun KPPU mempunyai fungsi
penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan
khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan
sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga
administratif karena kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan
administratif, sehingga sanksi yang dijatuhkan merupakan sanksi administratif.
KPPU diberi status sebagai pengawas
pelaksanaan UU
No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat. Status
hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari pengaruh dan
kekuasaan Pemerintah dan pihak lain. Anggota KPPU diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas persetujuan DPR. Anggota KPPU dalam menjalankan tugasnya
bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini sejalan dengan praktek di Amerika
dimana FTC bertanggung jawab kepada Presiden. Ketentuan ini wajar karena KPPU
melaksanakan sebagian dari tugas tugas pemerintah, sedangkan kekuasaan
tertinggi pemerintahan ada dibawah Presiden. Walaupun demikian, tidak berarti
KPPU dalam menjalankan tugasnya dapat tidak bebas dari campur tangan
pemerintah. Independensi tetap dijaga dengan keterlibatan DPR untuk turut serta
menentukan dan mengontrol pengangkatan dan pemberhentian anggota KPPU (dikutip
dari buku Hukum Persaingan Usaha Teks dan Konteks yang diterbitkan oleh Dr.
Andi Fahmi Lubis, SE, ME et al, hal. 331).
2. Tugas dan wewenang KPPU diatur dalam
Pasal 35 dan Pasal 36 UU 5/99:
Tugas KPPU meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap
perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 4 sampai dengan
pasal 16;
b. melakukan penilaian terhadap
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana
diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24;
c. melakukan penilaian terhadap ada
atau tidaknya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam
pasal 25 sampai dengan pasal 28;
d. mengambil tindakan sesuai dengan
wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam pasal 36;
e. memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
f.
menyusun pedoman dan atau publikasi
yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
g. memberikan laporan secara berkala
atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Wewenang
KPPU meliputi:
a. menerima laporan dari masyarakat dan
atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
b. melakukan penelitian tentang dugaan
adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
c. melakukan penyelidikan dan atau
pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya;
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan
atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga
telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini;
f.
memanggil dan menghadirkan saksi,
saksi ahli dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap
ketentuan Undang-undang ini;
g. meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana
dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi;
h. meminta keterangan dari instansi
Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap
pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini;
i.
mendapatkan, meneliti, dan atau
menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau
pemeriksaan;
j.
memutuskan dan menetapkan ada atau
tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
k. memberitahukan putusan Komisi kepada
pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat;
l.
menjatuhkan sanksi berupa tindakan
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Walaupun salah satu tugas KPPU
adalah memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja mereka kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) (lihat Pasal 35 huruf g UU 5/99).
KPPU juga bertanggung jawab kepada Presiden (lihat Pasal 30 ayat [3] UU 5/99),
dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya KPPU tetap bersifat independendan
terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain (lihat Pasal
30 ayat [2] UU 5/99).
Usaha untuk menjaga independensi
KPPU dari pihak-pihak lain setidak-tidaknya dapat terlihat dari persyaratan
keanggotaan yang diatur dalam Pasal 32 huruf i UU 5/99, yaitu bahwa
anggota Komisi tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha (dikutip dari buku “Persaingan
Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia” oleh Partnership for
Business Competition, hal. 119).
Jadi, dalam pelaksanaan tugas dan
wewenangnya, KPPU terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak
lain, dengan demikian telah sesuai dengan statusnya sebagai lembaga independen.
3. Kami tidak memahami maksud Anda
mengenai asas KPPU. Yang kami ketahui adalah asas dari UU 5/99 yaitu asas
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum (lihat Pasal 2 UU 5/99). Pelaksanaan
asas-asas UU 5/99 ini diawasi oleh KPPU.
4. Kendala yang kerap dihadapi oleh
KPPU dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga Independen sebagaimana pernah diberitakan oleh hukumonline antara
lain:
- Sulitnya pemeriksaan;
- Kebandelan terlapor yang tidak
memenuhi panggilan KPPU;
- Pemberian dokumen palsu oleh
terlapor;
- Kesaksian palsu oleh terlapor.
Untuk mengatasi kendala-kendala
tersebut, KPPU bersama-sama dengan Polri telah menandatangani nota kesepahaman.
KPPU menjalin kerja sama dengan Polri agar kendala-kendala tersebut bisa
diselesaikan.
Selain itu, menurut Komisioner KPPU Anna
Maria Tri Anggraini, KPPU selaku lembaga pengawas juga memiliki beberapa
hambatan lain (dikutip dari materi “Seminar Amandemen UU 5/99 Apakah
Satu-satunya Solusi Dalam Penegakan Hukum Persaingan Usaha yang Efektif?”
pada 17 Maret 2011) yaitu:
- Pembebanan multi tugas dan fungsi
dengan pembatasan kewenangan;
- Ketidakjelasan status pegawai;
- Keterbatasan kuantitas pegawai:
turn-over yang tinggi; dan
- Keterbatasan anggaran operasional.
5 & 6.
UU 5/99 hingga saat ini belum direvisi dan belum masuk pada Daftar
Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional Tahun 2010-2014.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Kamis, 12 Agustus 2010
Kredit Sindikasi
Apakah yang dimaksud dengan kredit
sindikasi? Apa kelebihan dan kekurangannya sehingga Bank perlu memberikan
kredit sindikasi? Mohon penjelasannya.
Menurut
Kamus
yang dimuat dalam situs resmi Bank Indonesia (bi.go.id), disebutkan
bahwa kredit sindikasi adalah:
“pemberian kredit oleh sekelompok bank kepada satu debitur,
yang jumlah kreditnya terlalu besar apabila diberikan oleh satu bank saja (loan
syndication)”
Kredit sindikasi di Indonesia pada awalnya diatur dalam Surat
Edaran Bank Indonesia No. 6/33/UPK tanggal 3 Oktober 1973 mengenai Pembiayaan
Bersama oleh Bank-Bank Pemerintah (Konsorsium), dan Surat Edaran Bank Indonesia
No. 11/26/UPK yang dikeluarkan pada tahun 1979. Terakhir, kredit sindikasi
diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank dan Surat
Edaran Bank Indonesia No. 7/23/DPD tertanggal 8 Juli 2005.
Iswahjudi A. Karim dalam makalahnya berjudul “Kredit Sindikasi” menyebutkan
bahwa Kredit Sindikasi atau ”Syndicated Loan” ialah pinjaman yang
diberikan oleh beberapa kreditur sindikasi, yang biasanya terdiri dari
bank-bank dan/atau lembaga-lembaga keuangan lainnya kepada seorang debitur,
yang biasanya berbentuk badan hukum; untuk membiayai satu atau beberapa proyek
(pembangunan gedung atau pabrik) milik debitur.
Mengapa kredit sindikasi dilakukan? Iswahjudi A. Karim selanjutnya
menjelaskan bahwa kredit tersebut diberikan secara sindikasi, karena jumlah
yang dibutuhkan untuk membiayai proyek tersebut sangat besar, sehingga tidak
mungkin dibiayai oleh kreditur tunggal. Hal ini sesuai dengan definisi di atas,
bahwa dalam pemberian kredit sindikasi, jumlah kreditnya terlalu besar apabila
diberikan oleh satu bank saja.
Menurut Budhiono Budoyo, keuntungan memberikan kredit
sindikasi adalah:
1. Dapat mengatasi masalah BMPK (Batas Maksimal Penyaluran Kredit)
2. Risk Sharing
dengan bank lain
3. Memupuk hubungan kerjasama dengan suatu grup usaha.
4. Meningkatkan Fee Based Income (pendapatan yang berasal dari
fee)
5. Learning process bagi participating bank. Ada beberapa bank yang tidak
mempunyai pengalaman dalam kredit sindikasi. Dengan menjadi salah satu peserta
sindikasi, maka bank tersebut dapat mempelajari mengenai kredit sindikasi
6. Agar dikenal di pasar sindikasi, bagi bank sulit untuk masuk ke
dalam suatu kredit sindikasi terutama apabila tidak mempunyai pengalaman sindikasi.
Hal di atas disebutkan oleh Budhiono Budoyo dalam makalahnya
berjudul “Aspek Bisnis dalam Pembentukan Kredit Sindikasi dan Tanggung Jawab
Masing-Masing Pihak di Dalamnya” yang dibukukan dalam proceedings “Kredit
Sindikasi”, hasil kerjasama Pusat Pengkajian Hukum dan Mahkamah Agung RI.
Sementara itu, Arief T. Surowidjojo dalam makalahnya “Aspek
Hukum yang Harus Diperhatikan dalam Kredit Sindikasi” menguraikan beberapa
permasalahan dalam kredit sindikasi yang harus diperhatikan antara lain:
1. Hak, kewajiban dan tanggung jawab anggota sindikasi, harus secara
detail diatur dalam perjanjian.
2. Hak, kewajiban dan tanggungjawab debitor pada para kreditor,
misalnya kapan wanprestasi terjadi, apakah cukup bila wanprestasi terjadi pada
satu kreditor atau harus kepada kreditor yang lain juga.
3. Masalah enforcement hak-hak anggota sindikasi.
4. Masalah dengan hukum dan yurisdiksi, apabila salahsatu peserta
sindikasi adalah entity asing yang tunduk pada hukum asing. Menjadi
masalah ke mana penyelesaian sengketa akan diajukan?
Jadi, karena rumitnya perjanjian kredit sindikasi ini, maka
perlu kehati-hatian lebih dari pihak bank sebelum memutuskan apakah akan ikut
dalam suatu perjanjian kredit sindikasi.
Demikian penjelasan
kami. Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Peraturan Bank Indonesia No. 7/14/PBI/2005 tentang Pembatasan
Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank
2. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/23/DPD tertanggal 8 Juli 2005
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 03 April 2012
Langkah Hukum Jika Pembeli Online
Shop Tak Mau Bayar
Saya mau tanya, saya menjual barang
berupa kaos dengan harga Rp. 65.000, lalu ada salah satu konsumen yang memesan
dan mencapai kesepakatan untuk membeli kaos yang saya jual. Karena online,
sedangkan letak kami berjauhan saya di Solo, pembelinya di Bekasi, lalu kami sepakat
barang dikirim melalui JNE 1 hari sampai dengan fee Rp. 17.500,- jadi totalnya
Rp. 65.000 + Rp. 17.500= Rp. 82.500,-. Pembeli mengumbar janji-janji namun
sampai saat ini pembeli belum juga membayar. Langkah hukumnya bagaimana agar
saya dapat menggugat pembeli? saya juga menemukan ternyata sang pembeli juga
pernah berjualan secara online, setelah ada yang membeli dan mentransfer uang,
barang yang dijual tidak dikirim-kirim. Bukankan itu penipuan? Bagaimana
solusinya?
Suatu
perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat terjadinya kesepakatan atau
persetujuan antara kedua belah pihak terhadap hal pokok yang menjadi
perjanjian. Sepakat disini diartikan sebagai pertemuan kehendak antara kedua
belah pihak. Dalam transaksi online, pertemuan kesepakatan terjadi antara kedua
belah pihak ketika pernyataan salah satu pihak kemudian disetujui oleh pihak
lainnya. Lebih lanjut mengenai kata sepakat dapat disimak dalam artikel Kekuatan
Hukum Kata Sepakat
dan Kapan
suatu kesepakatan terjadi dalam transaksi E-commerce?.
“Jual
beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah
orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya,
meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.”
Sedangkan
hak milik atas barang yang dijual baru dinyatakan berpindah pada pembeli pada
saat barang tersebut sudah diserahkan dan telah dikuasai oleh pembeli (Pasal
1459 KUHPerdata). Dalam kasus Anda, Anda sudah memenuhi prestasi Anda
dengan menyerahkan barang yang dibeli dan barang tersebut sudah dimiliki oleh
pembeli, akan tetapi pembeli belum juga membayar sesuai yang disepakati secara
online.
Dengan
kata lain, pembeli dapat dikatakan telah wanprestasi, sehingga dapat digugat
atas dasar wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata). Lebih jauh simak artikel
Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH.
Selain
itu, untuk menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan dari transaksi yang
dilakukan secara online ini kita dapat merujuk pada UU
No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”). Namun, dalam UU ITE
sendiri tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan.
Selama
ini tindak pidana penipuan diatur dalam Pasal 378 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”). Walaupun UU ITE tidak
secara khusus mengatur mengenai tindak pidana penipuan, terkait dengan timbulnya
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan Pasal 28
ayat (1) UU ITE yang menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik.”
Terhadap
pelanggaran Pasal 28 ayat (1) UU ITE ini diancam pidana penjara paling
lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat (2)
UU ITE).
Meskipun
Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE mengatur hal yang
berbeda, akan tetapi terdapat kesamaan unsur, yaitu unsur “dapat
mengakibatkan kerugian bagi orang lain”. Tapi, dalam rumusan pasal 28
ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur “menguntungkan diri
sendiri atau orang lain” sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP tentang
penipuan.
Sehingga
pada akhirnya dibutuhkan kejelian pihak penyidik kepolisian untuk menentukan
kapan harus menggunakan Pasal 378 KUHP dan kapan harus menggunakan
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Lebih jauh simak
artikel Pasal
Untuk Menjerat Pelaku Penipuan Dalam Jual Beli Online danApakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi
Penipuan?
Namun,
pada praktiknya pihak kepolisian dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap
suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana penipuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP yang juga memenuhi unsur-unsur
tindak pidana Pasal 28 ayat (1) UU ITE. Artinya, bila memang unsur-unsur
tindak pidananya terpenuhi, polisi dapat menggunakan kedua pasal tersebut.
Jadi,
memang perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut dengan membeli barang tapi
tidak membayar dan menjual barang tapi tidak mengirimkan barang yang sudah
dibayar, secara perdata dapat dikatakan sebagai wanprestasi dan secara pidana
merupakan penipuan.
Untuk
itu, langkah yang bisa Anda ambil adalah tentu cara-cara kekeluargaan perlu
dikedepankan. Namun, jika pembeli tidak beritikad baik, pembeli tersebut dapat
digugat secara perdata dan/atau dilaporkan ke pihak kepolisian untuk dapat
diproses secara pidana.
Demikian
jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Selasa, 20 April 2010
Lelang Eksekusi
Yth. Bpk/ibu pengasuh, mohon
penjelasan bagaimana atau upaya apa yang harus dilakukan oleh saya, jika saya
telah diputuskan oleh MA yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, berhak atas
sita jaminan dan telah dilakukan lelang terhadap jaminan tersebut untuk
melunasi hutang debitur kepada saya? Hanya sampai saat ini telah lebih dari 5
kali lelang belum berhasil (menurut kuasa hukum, lelang akan terus sampai
berhasil) dan tidak ada ujung kapan saya mendapatkan keadilan karena lelang
terus dilakukan dengan setiap kali lelang sebesar Rp6 juta. Sampai kapan
kondisi seperti ini dan upaya apa yang dapat saya lakukan? Bagaimana aturan
sebenarnya? Karena saya secara riil belum mendapatkan keadilan. Justru saya
keluar biaya setiap kali lelang, sampai harta saya habis. Terima kasih.
Widjaya.
Benar,
untuk lelang eksekusi yang belum mendapatkan peminat seperti dalam kasus Anda
akan dilaksanakan lelang ulang. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 10
Peraturan Menteri Keuangan No. 40 PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Lelang (PMK 07/2006). Sayangnya, tidak ada ketentuan sampai berapa kali
lelang ulang ini dilaksanakan. Lelang ulang ini akan terus dilaksanakan
sampai objek jaminan tersebut terjual.
Dalam
hal pelaksanaan Lelang Ulang, Harga Limit pada lelang sebelumnya dapat diubah
oleh Penjual dengan menyebutkan alasannya sesuai peraturan perundang-undangan
(pasal 29 ayat [6] PMK 07/2006). Harga Limit sendiri adalah harga minimal
barang lelang yang ditetapkan oleh Penjual/Pemilik Barang untuk dicapai dalam
suatu pelelangan (pasal 1 angka 20 PMK 07/2006). Jadi, dalam pelaksanaan lelang
ulang Anda dapat meminta kepada Balai Lelang untuk menurunkan harga minimal
barang yang akan dilelang. Tujuannya adalah untuk menarik peminat
lelang.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Senin, 24 Mei 2010
Lelang Eksekusi Hak Tanggungan,
Intervensi Pihak Ketiga
Saat ini kami berencana untuk
melakukan eksekusi agunan berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan, karena debitur
tidak dapat lagi membayar angsuran dan tidak diketahui rimbanya. Secara
administrasi semua dokumen kredit dan jaminan sudah lengkap. Yang menjadi
permasalahan: Saat ini muncul pihak ketiga yang mengaku masih mempunyai
tagihan/piutang kepada penjamin. Menurut pengakuan Pihak Ketiga tersebut jual
beli atas tanah yang sekarang menjadi agunan kredit tersebut belum lunas. Dan
Pihak Ketiga tersebut meminta sejumlah uang sisa pelunasan tersebut dari hasil
lelang. Pengakuan tersebut hanya sepihak dan tidak dapat diklarifikasikan
kepada debitur. Namun, karena Bank telah mendapatkan calon pembeli dengan
penawaran harga yang cukup tinggi di atas sisa hutang debitur, maka Bank
menyanggupi untuk menyediakan pelunasan hutang debitur sesuai klaim Pihak
Ketiga dari hasil penjualan lelang agunan tersebut, asalkan tidak mengganggu
proses lelang. Namun muncul masalah lagi, Pihak Ketiga tersebut meninggal
dunia, dan urusannya dilanjutkan oleh Si Anak (yang ternyata rakus banget). Si
Anak tersebut meminta jumlah uang yang jauh lebih banyak dari permintaan
ayahnya. Dan meminta semua sisa uang hasil penjualan lelang setelah dikurangi
hutang debitur kepada Bank untuk diberikan kepada dia. Padahal dalam UUHT,
"dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutang tersebut yang
setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak
Tanggungan" Bagaimana seharusnya tindakan Bank?
Jual
beli tanah pada asasnya adalah bersifat terang dan tunai. Yang dimaksud
dengan tunai, salah satunya adalah bahwa hak milik beralih seketika pada saat
jual beli tanah dilakukan. Hal ini sesuai dengan pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Merujuk pada penjelasan di
atas, walaupun harga pembelian tersebut tidak dibayarkan secara penuh, akan
tetapi hak milik sudah beralih pada saat perbuatan hukum jual beli tanah
tersebut dilakukan. Selanjutnya, kekurangan pembayaran harga jual beli tersebut
menjadi hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli, namun tidak
membatalkan peralihan hak atas tanah yang telah terjadi pada saat jual beli
tersebut.
Selanjutnya, dalam pasal 6 UU No.
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), diatur:
“Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut”
Bagian penjelasan pasal 6 UUHT
tersebut menjelaskan bahwa,
“Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai
oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal
terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada
janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera
janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan
melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
itu lebih dahulu daripada kreditor kreditor yang lain. Sisa hasil penjualan
tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan ”
Merujuk
pada uraian di atas, maka tindakan Bank terhadap hasil pelelangan seharusnya
hanyalah:
1) mengambil pelunasan piutangnya
2) mengembalikan sisa hasil eksekusi kepada debitur, karena
sisa pelelangan tersebut menjadi hak pemberi Hak Tanggungan, yaitu debitur.
Sedangkan
mengenai kekurangan pembayaran harga jual beli tanah, menjadi urusan utang
piutang antara pihak ketiga tersebut dan debitur. Pihak ketiga tersebut tidak
dapat menuntut Bank untuk memberikan pelunasan harga pembayaran, karena
tidak ada kewenangan pada Bank untuk memberikan sisa hasil eksekusi objek Hak
Tanggungan kepada siapapun kecuali kepada debitur.
Demikian sejauh yang kami ketahui.
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Jumat, 27 Agustus 2010
Lisensi Advokat untuk In House
Lawyer
Sebagaimana pernyataan Denny
Kailimang di salah satu artikel yang dimuat di website ini, in house lawyer
harus memiliki lisensi advokat. Pertanyaan saya, bagaimana cara memperoleh
lisensi advokat untuk in house lawyer? Apakah satu individu mandiri - lulusan
SH (tanpa partner) dapat membuka kantor hukum? Bagaimana prosedur pendiriannya?
Apakah seorang yang membuka kantor hukum mandiri dapat merangkap pekerjaan
sebagai in house lawyer (corporate legal) dan berstatus sebagai karyawan di
suatu perusahaan?
Keterangan Bapak Denny Kailimang tersebut didasarkan bahwasanya lisensi advokat merupakan
perintah undang-undang (mandatory by law) mengacu pada ketentuan Pasal
1 angka 1 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”)
yang menyatakan bahwa Advokat adalah orang yang memberikan jasa hukum baik di
dalam maupun di luar pengadilan, termasuk in house lawyer yang
memberikan jasa hukum kepada perusahaan tertentu yang mempekerjakannya selaku
karyawan.
Cara
memperoleh izin advokat, termasuk untuk in house lawyer, yaitu mengacu
kepada ketentuan dalam UU Advokat dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Persyaratan:
-
warga negara Republik Indonesia;
-
bertempat tinggal di Indonesia;
-
tidak berstatus sebagai pegawai
negeri atau pejabat negara;
-
berusia sekurang-kurangnya 25 (dua
puluh lima) tahun;
-
berijazah sarjana yang berlatar
belakang pendidikan tinggi hukum
-
mengikuti pendidikan khusus profesi
Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat
-
lulus ujian yang diadakan oleh
Organisasi Advokat;
-
magang sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun terus menerus pada kantor Advokat;
-
tidak pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
-
berperilaku baik, jujur, bertanggung
jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
b.
Pengangkatan:
-
Pengangkatan Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat
-
Salinan surat keputusan pengangkatan
Advokat disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM
-
Sebelum menjalankan profesinya,
Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh
di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya
-
Salinan berita acara sumpah oleh
Panitera Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung,
Menteri, dan Organisasi Advokat.
Individu
yang memperoleh gelar sarjana hukum tanpa partner dapat saja mendirikan Kantor
Hukum (Kantor Advokat) selama sudah memiliki lisensi advokat sesuai dengan
ketentuan UU Advokat. Bentuk kantor hukum tersebut bersifat tunggal (sole
practitioner) dan tidak dibutuhkan
suatu perjanjian/akta untuk
mendirikannya seperti kantor hukum yang berbentuk persekutuan perdata (matschaap)
yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih (Pasal 1618 KUHPerdata).
Selanjutnya
apakah seorang advokat yang memiliki kantor sendiri dapat merangkap sebagai
karyawan perusahaan, hal ini tidak diatur secara tegas dalam UU Advokat. Yang
pasti dalam ketentuan Pasal 20 UU Advokat, Advokat dilarang memegang
jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya dan jabatan lain yang
meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi advokat atau
mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya.
Demikian
penjelasan saya, semoga bermanfaat.
Dasar
hukum:
Undang-Undang
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum
dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik
Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar