Bisnis dan Ivestasi_Hukumonline



Senin, 25 April 2011

Tentang Obligasi Subordinasi

Bung Pokrol, saya sedang tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut tentang obligasi, khususnya tentang subordinated bond, karena belum lama ini saya membaca mengenai hal tersebut. Pertanyaan saya: 1. Apa yang dimaksud dengan obligasi (subordinated bond)? 2. Apakah yang biasanya dilakukan oleh penerbit obligasi setelah utang dalam bentuk obligasi dilunasi sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran, apakah disimpan atau dimusnahkan atau seperti apa? Terima kasih atas perhatiannya Bung Pokrol.

Jawaban:  Diana Kusumasari

1.      Kami asumsikan subordinated bond yang Anda maksud adalah sub-debt atau obligasi subordinasi sebagaimana diatur antara lain dalam Peraturan Bank Indonesia No. 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (“PBI 10/2008”). Pengaturan obligasi subordinasi dalam PBI 10/2008 adalah dalam konteks obligasi subordinasi sebagai salah satu komponen modal bank. Menurut Pasal 17 ayat (1) PBI 10/2008 beserta penjelasannya, obligasi subordinasi adalah termasuk dalam kategori modal pelengkap level bawah (lower tier 2).
Obligasi subordinasi merupakan surat utang junior yang disubordinasi terhadap utang senior. Dengan demikian, bila terjadi likuidasi maka utang senior haruslah dibayar lunas terlebih dahulu sebelum kewajiban terhadap kreditur junior dipenuhi.Lebih jauh simak artikel kami Bank Global Digugat Ratusan Miliar Rupiah.
2.      Advokat Arie Armand dari kantor hukum DNC Advocates at Work, setelah utang dalam bentuk obligasi dilunasi sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran, maka sertifikat obligasi akan dikembalikan kepada issuer yaitu debitur (yang mengeluarkan sertifikat) untuk kemudian dimusnahkan oleh debitur tersebut.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Kamis, 26 Agustus 2010

Tentang Kantor Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum

Prosedur pendirian kantor hukum seperti apa ya? Dan apa letak perbedaannya dengan lembaga bantuan hukum? Jasa layanan bantuan hukum seperti apa yang dapat diberikan oleh seorang sarjana hukum? Apakah mutlak dalam memberikan jasa konsultasi hukum harus memiliki keabsahan sebagai advokat?

Jawaban:  Amrie Hakim

Kantor hukum atau kantor advokat dapat berbentuk:
  1. Usaha perseorangan. Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk usaha perseorangan dapat Anda simak dalam artikel ini.
  2. Firma. Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk firma dapat Anda simak dalam artikel ini.
  3. Persekutuan perdata (maatschap). Prosedur pendirian kantor advokat yang berbentuk persekutuan perdata sama dengan yang berbentuk firma. Karena syarat pendirian persekutuan perdata sama dengan firma, yaitu harus didirikan oleh paling sedikit dua orang berdasarkan perjanjian dengan Akta Notaris yang dibuat dalam Bahasa Indonesia.

Pada praktiknya, menurut notaris Irma Devita Purnamasari, kantor advokat lebih sering menggunakan bentuk firma. Tapi, dia lebih setuju jika kantor advokat menggunakan bentuk maatschap, seperti halnya maatschap notaris. Alasannya, dalam firma, para advokat yang menjadi sekutu bertanggung jawab secara tanggung renteng atau secara bersama-sama hingga harta pribadi di luar persekutuan (pasal 18 KUHD). Sedangkan, dalam maatschap masing-masing advokat yang menjadi teman serikat bertindak sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi (pasal 1642 KUHPer).

Sebelum menjelaskan apa beda kantor advokat dengan lembaga bantuan hukum, maka kita perlu mengetahui definisi masing-masing yang diatur dalam peraturan perundang-undangan:

Kantor Advokat Indonesia
suatu persekutuan perdata (maatschap) yang didirikan para Advokat Indonesia yang mempunyai tugas memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat (pasal 1 butir 4 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
lembaga yang memberikan bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran honorarium (pasal 1 angka 6 PP No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma)

Jadi, secara umum perbedaan kantor advokat dengan LBH adalah sebagai berikut:


Kantor advokat
LBH
Pendiri
Advokat
Tidak harus advokat
Tujuan
memberikan pelayanan jasa hukum kepada masyarakat.

memberikan bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran honorarium.
Bentuk
-   usaha perseorangan;
-   firma; atau
-   persekutuan perdata
Yayasan.
Honorarium
Advokat menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya (pasal 21 UU Advokat).
Tidak menerima honorarium.

Catatan: Dalam praktik ada juga LBH bersifat mencari keuntungan. Lebih lanjut simak uraian kami di sini.


Jasa hukum, menurut pasal 1 angka 2 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”), adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Jadi, memberikan konsultasi hukum juga termasuk jasa hukum yang diberikan oleh advokat.

Meski demikian, tidak ada larangan dalam UU Advokat apabila non-advokat atau sarjana hukum yang belum menjadi advokat memberikan jasa hukum sebagaimana tersebut di atas. Karena ketentuan pidana bagi orang yang menjalankan profesi advokat seolah-olah advokat padahal bukan advokat yang diatur dalam pasal 31 UU Advokat sudah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi pada 13 Desember 2004.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa ketentuan hanya advokat yang dapat memberikan jasa hukum pada dasarnya bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat penerima jasa hukum (klien). Pemberi jasa hukum yang bukan advokat tidak tunduk pada UU Advokat dan Kode Etik Advokat sehingga yang bersangkutan tidak bisa dikenai tindakan jika, misalnya, mengabaikan atau menelantarkan kepentingan kliennya.

Seorang sarjana hukum yang ingin menjadi advokat dapat menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah sekaligus menimba ilmu praktik dalam kegiatan magang baik di kantor advokat maupun LBH. Seperti diketahui, magang merupakan salah satu persyaratan untuk dapat diangkat menjadi advokat sesuai UU Advokat. Lebih jauh mengenai magang calon advokat dapat Anda simak dalam artikel jawaban di sini.

Demikian hemat kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).
3.      Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
4.      Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma
5.      Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 tentang Tatacara Memperkerjakan Advokat Asing serta Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Dunia Pendidikan dan Penelitian Hukum


Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Senin, 18 Januari 2010

Tentang asas-asas antidumping

Saya mau bertanya tentang masalah perdagangan antidumping. 1) Apa asas-asas yang terkandung dalam hukum antidumping? Karena hal ini menimbulkan kerugian bagi negara yang dirugikan dari dumping tersebut, hal ini bisa merugikan industri dalam negeri suatu negara. 2) Bagaimana membuktikan adanya dumping terhadap suatu produk?

Jawaban:  Amrie Hakim

1.      Praktek dumping merupakan salah satu praktek dagang tidak sehat yang dilakukan oleh negara eksportir, sehingga mengakibatkan kerugian (injury) bagi dunia usaha dan industri di suatu negara. Suatu barang diduga sebagai barang dumping apabila harga ekspor  produk tersebut lebih rendah dari harga jual produk tersebut di dalam negeri.
Larangan praktek dumping merupakan salah satu ketentuan yang termaktub dalam aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi WTO lewat UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization, maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947). Peraturan antidumping dapat dilihat dalam Article VI Persetujuan Anti-Dumping GATT yang terdiri dari 7 ayat.

Sebagai tindak lanjut dari UU No. 7 Tahun 1994, Indonesia membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Ketentuan antidumping tercantum dalam Bab IV Bagian Pertama pasal 18, pasal 19 dan pasal 20. Bab IV tersebut berjudul Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, sedangkan Bagian Pertama bersubjudul Bea Masuk Antidumping. Pasal 18, pasal 19, dan pasal 20 UU No. 10 Tahun 1995 mengatur sebagai berikut:

-   Pasal 18
Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal:
a.      harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan
b.      impor barang tersebut:
1.      menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut;
2.      mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan
3.      menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri.
-   Pasal 19
(1)       Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut.
(2)       Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1).
-   Pasal 20
Ketentuan tentang persyaratan dan tata cara pengenaan Bea Masuk Antidumping serta penanganannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.



2.      Suatu barang baru dikatakan barang dumping apabila memenuhi tiga unsur, yaitu adanya kegiatan dumping yang LTFV (less than fair price), adanya kerugian (injury), dan adanya hubungan timbal balik antara dumping dan kerugian (causal link). Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang WTO.

Indikator-indikator kerugian menurut Komite Anti Dumping Indonesia (KADI):
1.      Penurunan penjualan dalam negeri;
2.      Penurunan keuntungan;
3.      Penurunan output (produksi);
4.      Penurunan market share;
5.      Penurunan produktivitas;
6.      Penurunan utilisasi kapasitas produksi;
7.      Gangguan terhadap return of investment;
8.      Gangguan terhadap harga dalam negeri;
9.      The magnitude of dumping margin;
10. Perkembangan cash flow yang negatif;
11. Inventory meningkat;
12. Pengurangan tenaga kerja/penurunan gaji, PHK;
13. Gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan;
14. Gangguan terhadap investasi;
15. Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal.

Untuk bacaan lebih lanjut Anda dapat merujuk pada buku dan makalah-makalah mengenai antidumping di antaranya “Regulasi Antidumping di Bawah Bayang – bayang Pasar Bebas” karya Sukarmi (Sinar Grafika, Jakarta, 2002). Makalah-makalah yang menjadi rujukan kami dalam artikel ini yaitu “Dumping dalam Perdagangan Internasional dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Melalui WTO oleh Christhophorus Barutu, S.H., M.H. (Indonesian Journal of International Law, Vol. 4 No. 2 Tahun 2007) dan “Anti Dumping Dalam Perspektif Hukum Indonesia oleh Aji Setiadi (PPH Newsletter, No. 43 Desember 2000).

Demikian uraian kami. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
  1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization
  2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer