Perusahaan_Hukumonline


Rabu, 24 Pebruari 2010

Izin mendirikan perusahaan ke notaris?

1. Kenapa untuk pendirian suatu perusahaan perlu izin notaris? 2. Apakah notaris itu di gaji oleh pemerintah? 3. Apakah notaris itu seperti dokter negeri, yaitu selain dapat gaji dari pemerintah juga dapat upah dari klien? 4. Apa saja syarat untuk menjadi seorang notaris?

Jawaban:  Alfi Renata

1.      Pendirian suatu perusahaan tidak memerlukan izin notaris. Yang benar adalah undang-undang mengatur untuk pendirian perusahaan tertentu yang berbadan hukum harus dibuat dengan akta notaris, seperti Perseroan Terbatas (pasal 7 ayat [1] UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) dan Yayasan (pasal 9 ayat [2] UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004). 
2.      Tidak, Notaris tidak digaji oleh pemerintah. Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (pasal 36 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris). Notaris menerima honorarium dari masyarakat umum atas jasanya, misalnya dari masyarakat umum yang membuat akta di hadapan Notaris. 
3.      Tidak. Seperti yang telah diuraikan dalam butir nomor 2 di atas, Notaris tidak mendapat gaji dari Pemerintah, melainkan mendapat honorarium dari masyarakat umum/klien yang memakai jasanya. Adapun besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya. Honorarium Notaris diatur dalam pasal 36 UU No. 30 Tahun 2004. 
4.      Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris diatur dalam pasal 3 UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu:
a)     warga negara Indonesia;
b)     bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c)     berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d)     sehat jasmani dan rohani;
e)     berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f)       telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g)     tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris. 
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2004
2.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3.      Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas



Selasa, 19 Juni 2012
Kewenangan Direksi Perseroan Terbatas

Jika pada Anggaran Dasar PT pada bagian Tugas dan Wewenang Direksi diatur bahwa 2 orang anggota Direksi bersama-sama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan. Apakah artinya di sini setiap tindakan pengurusan, termasuk pengurusan di internal Perusahaan harus diputuskan/disetujui oleh 2 orang Direksi? Ataukah ketentuan 2 orang Direksi tersebut hanya dalam hal untuk mewakili Perseroan ke luar / eksternal (di luar dan di dalam pengadilan)?  

Jawaban: Ilman Hadi
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), pengertian Direksi adalah:

“Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.”

Mengenai tugas dan wewenang Direksi lebih jauh diatur dalam Pasal 92 (5) UUPT bahwa dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Jika kemudian ternyata RUPS tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi, maka pembagian tugas dan wewenang direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi (Pasal 92 ayat [6] UUPT).

Selain berwenang untuk pengurusan sehari-hari Perseroan, Direksi juga berwenang mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 98 ayat [1] UUPT). Dan dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar (Pasal 98 ayat [2] UUPT).

Dalam Anggaran Dasar perusahaan Saudara disebutkan bahwa “2 orang anggota Direksi bersama-sama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan”.

Dari bunyi ketentuan anggaran dasar yang Saudara sebutkan, jelas bahwa 2 orang direksi secara bersama-sama berhak dan berwenang untuk melakukan suatu tindakan untuk dan atas nama Direksi. Sehingga kewenangan bertindak harus dilakukan secara bersama-sama antara 2 orang Direksi dimaksud, tidak sendiri-sendiri. Juga dalam hal mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan harus juga dilakukan bersama-sama.

Jadi, bila bunyi anggaran dasar PT Saudara menentukan bahwa 2 orang anggota Direksi bersama-sama berhak dan berwenang bertindak untuk dan atas nama Direksi serta mewakili Perseroan, artinya setiap tindakan yang dilakukan Direksi maupun kegiatan mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan harus dilakukan secara bersama-sama dan bukan oleh salah satu di antara mereka saja.

Padahal, sesuai uraian kami di atas, tugas dan wewenang direksi dapat dibagi. Oleh karena itulah, dalam praktik kita temui ada berbagai macam jabatan direksi seperti Direktur keuangan dan Direktur personalia. Sehingga, setiap anggota direksi dapat melakukan tindakan pengurusan yang dipercayakan kepadanya. Meskipun Pasal 97 ayat (4) UUPT menyebutkan jika anggota Direksi terdiri dari dua orang, maka tanggung jawab atas pengurusan PT berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota direksi.

Dan dalam hal mewakili perseroan, disebutkan bahwa ketika anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Makna dari penggunaan kata “setiap” adalah masing-masing (satu per satu) dari orang anggota direksi dapat mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tidak harus secara bersama-sama kecuali memang dikehendaki demikian dan dituangkan dalam anggaran dasar seperti yang Saudara sebutkan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 06 Mei 2008
Pertanyaan:
Jaminan Hutang
apakah barang jaminan berupa sepeda motor seharga pasaran 4 juta beserta BPKB & STNK boleh dijual atas hutang orang yg menjaminkan sebesar 10 juta. karena yg punya hutang dan yg menjaminkannya tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan dan tidak bisa dihubungi lagi. janjinya 1 minggu akan datang menyelesaikan, tapi setelah tiga bulan ngga datang2 dan tidak bisa dihubungi lagi. karena kalo dijual pun tidak mencukupi hutangnya malah masih sisa banyak. sedangkan uangnya adalah uang perusahaan yg harus segera dipertanggung jawabkan. apakah kalo itu dijual kita bisa dituntut pasal penggelapan nggak?

Jawaban: Bung Pokrol

Terimakasih Pak Rudiky,

Berdasarkan pertanyaan Anda mengenai benda sebagai jaminan hutang, apakah bisa dijual tanpa dituntut pasal penggelapan, kami akan menjawab berdasar informasi yang sudah Anda sampaikan lewat pertanyaan.

Penyerahan benda jaminan atas perikatan utang piutang termasuk dalam kategori gadai. Melihat dari paparan dalam pertanyaan Pak Rudi, sepertinya hubungan utang-piutang antara masuk kategori gadai. Tentang gadai ini diatur dalam Pasal 1150  KUHPerdata. Selanjutnya dalam Pasal 1151 KUHPerdata diatur bahwa persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan bagi pembuktian persetujuan pokok.

Sayang, dalam pertanyaan, Pak Rudi tidak menyebut apakah krediturnya Pak Rudi sendiri atau perusahaan dimana Pak Rudi bekerja. Namun dalam asumsi kami, krediturnya adalah Pak Rudi pribadi. Dengan demikian, pastinya ada perjanjian utang piutang dengan benda jaminan (motor berikut kelengkapan surat) yang dibuat di bawah tangan antara Pak Rudi pribadi (selaku kreditur) dengan pihak lain yang berhutang (selaku debitur).

Secara yuridis, pihak yang berpiutang terutama pada gadai yang tertuju terhadap benda bergerak, memberikan hak preferensi dan hak yang senantiasa mengikuti bendanya. Pak Rudi sebagai pemegang gadai mendapat perlindungan terhadap pihak ketiga seperti seolah-olah pemilik sendiri dari benda tersebut. Dengan begitu, Pak Rudi mendapat perlindungan sepanjang penerimaan  benda tersebut dilandasi dengan iktikad baik. Artinya, Pak Rudi tahu persis atau minimal telah mengira bahwa debitur adalah pemilik yang sesungguhnya dari benda yang digadai.

Selanjutnya Anda juga tidak menyebutkan apakah perjanjian utang piutang dengan jaminan dibuat secara tertulis atau lisan. Jika perjanjian utang-piutang itu dituangkan dalam bentuk tertulis, hal ini akan lebih memudahkan untuk melakukan perbuatan hukum lain semisal ketika hendak mengalihkan atau menjual jaminan kebendaan tersebut.  

Namun demikian, jika perjanjian gadai tersebut hanya dinyatakan secara lisan, hal ini pun tidak menjadi masalah sepanjang ada penegasan dalam kesepakatan lisan itu yang mengandung dua pernyataan debitur. Dua pernyataan itu antara lain pernyataan untuk memberikan jaminan kebendaan atas utangnya itu dan  pernyataan memberi kewenangan serta kuasa jual kepada pak Rudi apabila timbul kondisi debitur bercedera janji.

Pasal 1155 KUHPerdata memunculkan kewenangan bagi Anda untuk menjual benda gadai yang dikuasai dalam rangka pelunasan hutang. Tapi khusus jika orang yang berutang memang nyata telah melakukan cidera janji alias tidak memenuhi kewajiban (pelunasan seperti yang telah disepakati).

Mengacu ketentuan dalam KUHPerdata itu, ada dua cara untuk mengeksekusi benda gadai. Pertama, jika hendak dijual secara tertutup ((tidak di muka umum/privat sale), harus dilakukan melalui perantara pengadilan sesuai diatur dalam Pasal 1156 KUHPerdata. Tapi masih dengan catatan, para pihak memang telah sepakat bahwa kreditur diberikan kewenangan mengeksekusi atas benda jaminan tersebut secara penjualan langsung.

Cara  kedua adalah melalui bantuan kantor lelang negara sebagai bentuk penjualan di muka umum. Dengan demikian apabila para pihak telah menyepakati bahwa kreditur diberikan hak untuk mengeksekusi tanpa perantaraan pengadilan, kreditur dapat langsung meminta bantuan kantor lelang negara untuk menjual benda gadai. Hal ini untuk memenuhi ketentuan menjual barangnya gadai di muka umum dalam Pasal 1155 KUH Perdata.

Selanjutnya, menengok pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01.2002 tentang Petunjuk Pelaksaan Lelang, pada Pasal 1 angka 1 menyatakan, Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum baik secara langsung maupun melalui media elektronik dengan cara penawaran harga secara lisan atau tertulis yang didahului dengan usaha mengumpulkan peminat.

Sampai di sini, jika dikaitkan dengan pertanyaan Andaapakah menjual benda jaminan tersebut dapat dituntut pasal penggelapan, maka kita harus dilihat dulu ketentuan penggelapan dalam KUH Pidana.

Pasal 372 KUHPidana menyebutkan, Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain dan ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan dengan pidana penjara...dst.

Sepanjang eksekusi barang gadai yang dilakukan mengikuti prosedur eksekusi seperti kami paparkan di atas, maka pasal penggelapan tidak dapat dikenakan kepada Anda. Sebab, pengalihan benda gadai itu dilakukan sesuai prosedur semestinya dan sudah menjadi kewenangan Pak Rudi selaku kreditor yang dijamin oleh hukum.

Kalau Anda menempuh eksekusi lewat perantaraan hakim (pengadilan), jika permohonan dikabulkan, maka akan ada penetapan dari hakim untuk mengeksekusi benda jaminan secara tertutup (penjualan langsung). Sedangkan jika cara yang Anda tempuh adalah menjual lewat kantor lelang negara, maka akan keluar risalah lelang sebagai dasar pengalihan.

Akan lebih baik bila sebelum menjual benda jaminan, komunikasikan dulu hal ini pada si pemilik benda jaminan daripada muncul persoalan di kemudian hari. Mengingat harga jual pasaran dari benda jaminan itu belum dapat menutup utang, sebaiknya Anda terlebih dahulu bertemu debitor membahas perihal pelunasan sisa utang. Buat lagi kesepakatan baru mengenai itu.

Melihat dari pertanyaan Anda, sepertinya uang yang dipinjamkan itu adalah uang perusahaan yang harus segera dipertanggungjawabkan. Namun demikian, masalah bakal jadi lain apabila Anda tidak segera mengembalikan uang perusahaan yang dipinjamkan kepada orang lain.  Dalam hal yang demikian, pak Rudi justru bisa dituntut pasal penggelapan apabila tidak dapat mempertanggungjawabkan uang perusahaan.

Sekian, semoga jawaban kami bermanfaat. (NNC)
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline


Jumat, 29 April 2011
Jangka Waktu Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris
Sesuai Undang-Undang Perseroan Terbatas jabatan Direksi dan Komisaris adalah lima tahun. Apakah bisa Direksi dan Komisaris diangkat kembali? Bagaimana prosedurnya?

Jawaban: Diana Kusumasari

1.      Sebenarnya UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) tidak menetapkan jangka waktu jabatan Direksi dan Dewan Komisaris (“DK”). Pasal 94 ayat (3) dan Pasal 111 ayat (3) UUPT hanya menyatakan bahwa anggota Direksi dan DK diangkat untuk jangka waktu tertentu dan dapat diangkat kembali.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 94 ayat (3) UUPT ini dijelaskan:

“Persyaratan pengangkatan anggota Direksi untuk “jangka waktu tertentu”, dimaksudkan anggota Direksi yang telah berakhir masa jabatannya tidak dengan sendirinya meneruskan jabatannya semula, kecuali dengan pengangkatan kembali berdasarkan keputusan RUPS. Misalnya untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun sejak tanggal pengangkatan, maka sejak berakhirnya jangka waktu tersebut mantan anggota Direksi yang bersangkutan tidak berhak lagi bertindak untuk dan atas nama Perseroan, kecuali setelah diangkat kembali oleh RUPS.”

M. Yahya Harahap dalam bukunya “Hukum Perseroan Terbatas” (hal. 360) menjelaskan, memperhatikan bunyi Pasal 94 ayat (3) serta Penjelasannya, hanya ditentukan hal-hal berikut:
a)     bahwa syarat pengangkatan anggota Direksi harus terbatas untuk “jangka waktu tertentu”, bisa lima atau 10 tahun, tidak menjadi masalah berapa lama jangka waktunya, yang disyaratkan, harus untuk jangka waktu tertentu, dan dilarang tanpa batas waktu.

Namun, dalam praktiknya menurut Notaris Irma Devita Purnamasari, masa jabatan Direksi dan DK adalah lima tahun. Kadang ada PT yang masa jabatan Direksi dan DK adalah 10 tahun, tapi hal tersebut menurut Irma, tidak lazim.

b)     apabila masa jabatan atau masa pengangkatannya berakhir, tidak dengan sendirinya anggota Direksi itu dapat meneruskan jabatannya semula untuk periode selanjutnya. Untuk pengangkatan kembali masa jabatan berikutnya, harus berdasarkan keputusan RUPS.

Mengenai masa jabatan DK, Yahya Harahap mengatakan bahwa yang dilarang undang-undang, pengangkatan seumur hidup. Boleh berapa lama asal untuk jangka waktu tertentu dengan tidak mengabaikan faktor kejenuhan. Jika jangka waktu masa jabatannya terlampau lama, misalnya 20 tahun, bisa mendatangkan kejenuhan dan kehilangan daya kreativitas. Ketentuan masa jabatan DK ini sama halnya dengan yang berlaku bagi Direksi.

Jadi, anggota Direksi dan DK dapat diangkat kembali setelah masa jabatannya habis.

2.      Anggota Direksi dan Dewan Komisaris diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) (lihat Pasal 94 ayat [1] dan Pasal 111 ayat [1] UUPT). Mengenai tata cara pengangkatan anggota Direksi dan DK ini diatur dalam Anggaran Dasar (lihat Pasal 15 ayat [1] huruf h UUPT).

Dikarenakan nama anggota Direksi dan DK tercantum dalam AD, maka RUPS untuk mengangkat anggota Direksi dan DK dilakukan berdasarkan Pasal 88 ayat (1) UUPT yaitu:

“RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.”

Jadi, untuk mengangkat anggota Direksi dan DK harus diadakan RUPS perubahan AD dengan memenuhi ketentuan sebagaimana tersebut di atas yaitu:
·         2/3 bagian dari jumlah saham dengan hak suara harus hadir atau diwakilkan; dan
·         Keputusan sah bila disetujui paling sedikit 2/3 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan.
Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku kecuali AD menentukan kuorum kehadiran atau ketentuan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Catatan: Klinik Hukum meminta pendapat Irma Devita Purnamasari pada 28 April 2011.
Dasar hukum:
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Jumat, 23 Juli 2004
Pertanyaan:
Jasa Kurir
Saya sedang menjajaki untuk membuat usaha jasa kurir, yang hendak saya tanyakan bagaimana cara permohonan dan persyaratan pendiriannya?

Jawaban:  Bung Pokrol

Untuk persoalan jasa kurir ini, pengaturannya dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi No. KM 38/PT.102/MPPT tahun 1994 tentang Pengusaan Jasa Titipan (Kepmen Jasa Penitipan). Pengusahaan Jasa Titipan menurut Kepmen tersebut adalah kegiatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dibentuk berdasarkan hukum Indonesia, dalam hal ini berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi yang telah memiliki surat izin Pengusaha Jasa Titipan untuk menerima, membawa dan/atau menyampaikan surat pos jenis tertentu, paket dan uang dari pengirim kepada penerima dengan memungut biaya.

Untuk mendapatkan izin pemohon wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi dengan melampirkan persyaratan -persyaratan sebagaimana diatur dalam Kepmen Jasa Titipan.
Pe
rsyaratan umum menjadi Penyelenggara sebagai berikut :

a. Berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi, yang dalam akte pendiriannya dimaksudkan berusaha di bidang jasa titipan;
b. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak Perusahaan;
c. Mayoritas sahamnya/modal dimiliki Warga Negara Indonesia atau Badan hukum Indonesia;
d. Mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang tenaga yang mempunyai keahlian di bidang pos dapat diperoleh melalui pendidikan formal, pengalaman kerja atau pelatihan khusus;
e. Melampirkan rencana usaha yang meliputi tarif, pendapatan, pemasaran dan rencana kerja selama 5 (lima) tahun;
f. Mempunyai kantor tetap dan peralatan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal; dan
g. Rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi setempat.

Ada beberapa larangan yang mesti dipatuhi atau ditaati oleh penyelenggara jasa titipan, yang berakibat dengan dicabutnya izin bahkan dipidana bilda dilanggar. larangan tersebut meliputi:

(1). Dengan dalih apapun Penyelenggara dilarang menerima, membawa, dan/atau menyampaikan surat, warkatpos serta kartupos dengan memungut biaya.

(2). Penyelenggara dilarang untuk menerima, membawa dan/atau menyampaikan kiriman berupa korespondensi bisnis yang bersifat aktual dan pribadi antara Bank dan nasabah, antara pengusaha dengan kliennya, kecuali perjanjian kerjasama/kontrak, bill of loading, saham, akta, sertifikat, ijazah, skripsi, makalah, proposal, dan laporan perusahaan.

(3). Penyelenggara dilarang untuk menerima, membawa dan/atau menyampaikan kiriman yang berupa :
a. Barang yang dapat mudah meledak, menyala atau terbakar sendiri;
b. Narkotika dan bahan yang sejenis serta obat terlarang lainnya;
c. Barang cetakan/benda yang menyinggung kesusilaan; dan
d. Barang cetakan/rekaman lainnya yang isinya dapat mengganggu keamanan, ketertiban, dan stabilitas nasional.

(4). Penyelenggara dilarang menggunakan kata pos untuk jenis pelayanan yang dikerjakannya serta istilah-istilah, lambang-lambang, tanda-tanda dan lain-lain yang dipergunakan oleh badan yang oleh negara ditugasi menyelenggarakan pos.

(5). Penyelenggara dilarang menjadi Agen Pos sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah nomor 37 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Pos.

Demikianlah semoga berguna.

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Selasa, 20 Maret 2012

Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya

Suatu kegiatan usaha yang berdiri dengan status perusahaan dagang atau usaha dagang (toko) yang telah berkembang secara kualitas dan kuantitas usaha apakah wajib untuk mengubah status usahanya? Bagaimana hubungan hukumnya dengan tenaga kerja yang dipekerjakan di tempat usahanya tersebut manakala hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak dilandasi dengan perjanjian? Wajib atau tidakkah perusahaan/usaha dagang tersebut untuk membentuk peraturan perusahaan, serta hak-hak pekerja, sebagaimana menurut UU. tentang Ketenagakerjaan? Terima kasih.  

Jawaban:

1.                 Apabila yang dimaksud dengan status usaha yaitu jenis badan usaha, maka pada dasarnya untuk mengubah suatu jenis badan usaha bergantung pada visi misi dan tujuan dari badan usaha tersebut. Dalam hal ini apabila Perusahaan Dagang/Usaha Dagang ("PD/UD") saat ini berjalan sesuai dengan kegiatan usahanya, maka PD/UD tersebut tidak perlu untuk "diubah" menjadi badan usaha lainnya.

Namun, apabila dalam perkembangannya PD/UD memiliki visi misi dan tujuan untuk memperluas kegiatan PD/UD dan/atau diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, maka jenis PD/UD tersebut dapat "diubah" dengan membentuk badan usaha baru.

Adapun berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu, suatu badan usaha diwajibkan berbentuk badan hukum dalam hal menjalakan kegiatan usaha seperti Bank, Rumah Sakit, penyelenggara satuan pendidikan formal. Selain itu, apabila terdapat penyertaan modal asing dalam badan usaha tersebut, maka badan usaha tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas. Sehingga apabila dalam perkembangannya PD/UD akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana disebutkan sebelumnya dan/atau terdapat penyertaan modal asing dalam badan usahanya, maka PD/UD tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum.

Untuk mengetahui badan usaha yang tepat untuk PD/UD tersebut, berikut kami uraikan karakteristik untuk beberapa badan usaha baik yang merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.
A.     Badan Usaha berbentuk Badan Hukum
Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya.

Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum terdiri dari :
(1)     Perseroan Terbatas (“PT”)
§      Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam PT;
§      Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya;
§      Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha berbentuk PT.
(2)     Yayasan
§      Bergerak di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota;
§      Kekayaan Yayasan dipisahkan dengan kekayaan pendiri yayasan.
(3)     Koperasi
§      beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas kekeluargaan.
§      Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.

B.       Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum
Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya.

Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:
(1)     Persekutuan Perdata
§      Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya;
§      Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata.

(2)     Firma
§      Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama;
§      Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma.

(3)     Persekutuan Komanditer (“CV”)
§      Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer.
§      Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV. 

Apabila PD/UD akan "diubah" dengan badan usaha lainnya, maka PD/UD tersebut akan dibubarkan serta izin yang dimiliki oleh PD/UD tersebut akan dicabut. Selanjutnya, akan didirikan badan usaha yang sesuai dengan karakteristik dan visi misi yang diinginkan.

2.                 Perjanjian Kerja
Apabila yang dimaksud dengan pertanyaan Anda terkait perjanjian tenaga kerja dengan pengusaha adalah perjanjian tertulis, maka pengusaha yang melakukan perjanjian secara lisan dengan tenaga kerja yang diperkerjakannya sudah merupakan Perjanjian yang memiliki akibat hukum, hal ini berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU No. 13/2003 yang menyatakan bahwa “Perjanjian Kerja dibuat secara tertulis atau lisan”.

Tanpa adanya perjanjian, maka tidak adanya kesepakatan untuk melakukan hubungan kerja antara pengusaha dan tenaga kerja baik lisan maupun tertulis. Hal ini diatur dalam Pasal 50 UU No. 13/2003 yang menyatakan “hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”.

Agar Perjanjian yang terjadi antara pengusaha dengan tenaga kerja dapat sah secara hukum, maka perjanjian yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPer yaitu:
1.       Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.       Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.       Suatu hal tertentu; dan
4.      Suatu sebab yang halal

Sehingga, perjanjian baik secara tertulis maupun lisan antara pengusaha dengan tenaga kerja yang diperkerjakannya tetap memiliki hubungan hukum diantara mereka selama perjanjian tersebut sah secara hukum dengan mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian.

3.                 Kewajiban membentuk Peraturan Perusahaan
Berdasarkan Pasal 108 ayat (1) UU 13/2003, diatur bahwa setiap Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Adapun yang dimaksud dengan Pengusaha berdasarkan Pasal 1 angka 5 huruf a UU 13/2003 adalah;
orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.

Dari kedua ketentuan pasal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Perusahaan (termasuk PD/UD) harus memiliki peraturan perusahaan jika mempekerjakan pekerja/buruh sejumlah 10 (sepuluh) orang atau lebih.

4.                 Hak-Hak Pekerja
Berdasarkan UU 13/2003, hak-hak pekerja yang diatur yaitu sebagai berikut :
1)     Memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja (Pasal 11);
2)     Memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang di selenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja (Pasal 18 ayat 1);
3)     Memperoleh waktu istirahat dan cuti dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 79):
-         istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
-         istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
-         cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
-         istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.        
4)     Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja; moral dan kesusilaan; perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat 1);
5)     Memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1);
6)     Memperoleh jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 99 ayat 1);
7)     Membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh (Pasal 104 ayat 1);
8)     Melakukan mogok kerja sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137);
9)     Menerima pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja (Pasal 156 ayat 1);
10)Hak khusus untuk pekerja/buruh perempuan (Pasal 82):
-         Memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan;
-         Memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan jika mengalami keguguran kandungan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel Voor Indonesie, Staatsblad tahun 1847 No. 43).
4.      Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer