Rumah Susun
DASAR
HUKUM
Berbagai ketentuan lain yang mengatur
mengenai rumah susun antara lain adalah:
1. Peraturan
Pemerintah RI No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun diundangkan pada tanggal 26
April 1988.
2. Peraturan
Kepala BPN nomor 2 tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta
Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.
3. Peraturan
Kepala BPN nomor 4 tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah
Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ditetapkan pada
tanggal 27 Maret 1989.
4. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 1992 tentang Penyusunan Peraturan Daerah
tentang Rusun ditetapkan pada tanggal 17 Maret 1992.
5. Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Tentang
Pembangunan Rusun ditetapkan pada tanggal 27 Mei 1992.
6. Surat
keputusan MENPERA Nomor 17/KPTS/1994 tanggal 17 Nopember 1994 tentang Pedoman
Perikatan Jual Beli Satuan Rusun.
7. Keputusan
Menpera nomor 06/KPTS/BKPUN/1995 tanggal 26 Juni 1995 tentang Pedoman Pembuatan
Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Penghuni Rusun.
8.
Undang-undang No 5 Tahun 1960
9.
Undang-undang No 16 Tahun 1986
10.
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1988
tentang Rumah Susun
11.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
12.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN
Nomor 3 Tahun 1997
13.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
14.
SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003
15.
Perda tentang Rumah Susun (Belum semua daerah
punya Perda)
19. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta
Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun
20. Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah
serta Penerbitan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
21. Peraturan Daerah DKI Jakarta
termasuk Instruksi Gubernur DKI Jakarta
22.
Undang-Undang nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
23. Peraturan Menteri NegaraAgraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
24. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 11/KPTS/1994 tahun 1994 tentang Pedoman PerikatanJual Beli Satuan Rumah Susun
25.
Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
26. Ketentuan AJB di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang
Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (“Kepmenpera”), yang menyatakan bahwa
AJB harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), dalam hal:
(i) bangunan rumah telah selesai dibangun
dan siap dihuni;(ii) pembeli
telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, serta pajak dan
biaya-biaya lainnya yang terkait; dan (iii) proses permohonan Hak Guna Bangunan
atas tanah telah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar
atas nama penjual.
Bahasan singkat terkait pemberian HGB di atas Tanah HPL Merujuk pada Pasal 19 PP 40/1996, yang berhak menjadi pemegang HGB adalah (i) Warga Negara Indonesia; dan (ii) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan diIndonesia. HGB di atas tanah HPL diberikan melalui keputusan pemberian hak oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan (Menteri) atau pejabat yang ditunjuk,berdasarkan usul pemegang HPL. Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Permenag 9/1999, diatur bahwa permohonan hak atas tanah di atas tanah HPL, dalam hal ini adalah HGB di atas tanah HPL, pemohon HGBterlebih dahulu memperoleh penunjukkan berupa perjanjian penggunaan tanah dari pemegang HPL.
Pemberian HGB di atas tanah HPL didaftarkan di dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Pemberian HGB di atas tanah HPL ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapatdiperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun. HGB di atas tanah HPL ini juga dapat diperbaharui apabila seluruh jangka waktu HGB dan perpanjangannya telah berakhir. Perpanjangandan/atau pembaharuan HGB di atas tanah HPL dilakukan atas permohonan pemegang HGB yang bersangkutan selambatlambatnya 2 (dua) tahun sebelum jangka waktu HGB atau perpanjangannya berakhirdengan mendapatkan persetujuan dari pemegang HPL, yang kemudian dicatat di dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.
Kewajiban Pemegang HGB di atas Tanah HPL:
Setiap pemegang HGB di atas HPL memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
(i)membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;(ii) menggunakan tanah sesuai dengan peruntukkannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya;(iii) memelihara dengan baik tanah dan bangunan di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup;(iv) menyerahkan kembali tanah kepada pemegang HPL setelah HGB tersebut hapus;(v) menyerahkan sertifikat HGB yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Peralihan HGB atas Tanah HPL
Peralihan HGB atas tanah HPL kepada pihak lain dapat dilakukan melalui caracara peralihan HGB pada umumnya, yaitu melalui (i) jual beli; (ii) tukarmenukar; (iii) penyertaan dalam modal, (iv) hibah, dan(v) pewarisan. Namun, hal utama yang wajib diperhatikan adalah bahwa setiap peralihan HGB atas tanah HPL wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari pemegang HPL yang bersangkutan.
Hapusnya HGB atas Tanah HPL
Hapusnya HGB atas tanah HPL dapat terjadi karena alasan hapusnya HGB pada umumnya, yaitukarena (i) berakhirnya jangka waktu HGB, (ii) dibatalkan oleh pemegang HPL, (iii) dilepaskan secarasukarela oleh pemegang HGB sebelum jangka waktu HGB berakhir, (iv) dicabut berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan HakHak atas Tanah dan BendaBenda yang Adadi atasnya, (v) ditelantarkan, (vi) tanahnya musnah, (vii) pemegang HGB tidak lagi memenuhi syarat sebagai subyek yang berhak menjadi pemegang HGB sebagaimana diatur di dalam Pasal 19 PP 40/1996.Apabila HGB atas tanah HPL telah hapus, maka bekas pemegang HGB wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang HPL dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaantanah HPL.
Pelaksanaan pendaftaran
Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG) dan sewa
menyewa dilihat dari aspek pendaftaran tanah serta Perjanjian Pengikatan Jual
Beli menurut UU baru ini dengan syarat harus sudah terbangun minimal 20 persen.
Menurut pasal 97, setiap pelaku pembangunan rumah susun komersial (developer -
red) dilarang mengingkari kewajibannya untuk menyediakan rumah umum
sekurang-kurangnya 20 persen dari total luas lantai rumah susun komersial yang
dibangun.
Selain itu pelaku pembangunan bisa memasarkan dan melakukan perjanjian pengikatan sebelum pembangunan dilaksanakan jika sudah mengantongi kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, memiliki perizinan pembangunan rumah susun dan memiliki jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. Bila belum memenuhi syarat ini, menurut pasal 98, developer dilarang membuat PPJB. Syarat itu bisa dilihat di pasal 43 UU Nomor 20 tahun 2011. Masalah definisi tanah sewa untuk bangunan dalam konteks tanah bersama di dalam pasal 1 angka 4. Kedua, yaitu konstruksi hukum pembangunanumahsusun di atas tanah berstatus barang milik negara (BMN) atau barang milik daerah (BMD). Sedangkan kerancuan ketiga adalah mengenai kompilasi hukum pembangunan rumah susun di atas tanah hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas tanah hak pengelolaan (HPL) dalam konteks UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/ BMD dan perubahannya, yaitu PP Nomor 38tahun 2008.
Selain itu pelaku pembangunan bisa memasarkan dan melakukan perjanjian pengikatan sebelum pembangunan dilaksanakan jika sudah mengantongi kepastian peruntukan ruang, hak atas tanah, status penguasaan rumah susun, memiliki perizinan pembangunan rumah susun dan memiliki jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin. Bila belum memenuhi syarat ini, menurut pasal 98, developer dilarang membuat PPJB. Syarat itu bisa dilihat di pasal 43 UU Nomor 20 tahun 2011. Masalah definisi tanah sewa untuk bangunan dalam konteks tanah bersama di dalam pasal 1 angka 4. Kedua, yaitu konstruksi hukum pembangunanumahsusun di atas tanah berstatus barang milik negara (BMN) atau barang milik daerah (BMD). Sedangkan kerancuan ketiga adalah mengenai kompilasi hukum pembangunan rumah susun di atas tanah hak guna bangunan (HGB) atau hak pakai (HP) di atas tanah hak pengelolaan (HPL) dalam konteks UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/ BMD dan perubahannya, yaitu PP Nomor 38tahun 2008.
Komentar
Posting Komentar