Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Hal-hal yang berhubungan dengan kepemilikan hak-hak atas tanah seperti Hak Milik dan Hak Guna Bangunan diatur dalam Bagian III dan Bagian V UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”). Dalam
kaitan ini, Sertifikat Hak Guna Bangunan (“SHGB”) hanya memberikan hak
kepada pemegangnya memanfaatkan tanah untuk mendirikan bangunan di atas
tanah yang bukan miliknya, karena kepemilikan tanah tersebut dipegang
oleh Negara, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Setelah jangka
waktu tersebut berakhir, SHGB dapat diperpanjang paling lama 20 tahun.
Dan bila lewat dari waktu yang ditentukan maka hak atas tanah tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya sepenuhnya dikuasai langsung oleh
Negara.
Berbeda dengan
Sertifikat Hak Milik (“SHM”), pemegang haknya mempunyai kepemilikan yang
penuh atas tanah dan merupakan hak turun temurun yang terkuat dari
hak-hak atas tanah lainnya yang dikenal dalam UUPA. Hanya warga Negara
Indonesia yang dapat mempunyai Hak Milik. Sedangkan,
perusahaan-perusahaan swasta, seperti misalnya developer atau
perusahaan pengembang perumahan tidak dapat mempunyai tanah dengan
status Hak Milik. Mereka hanya diperbolehkan sebagai pemegang SHGB.
Dalam hal developer membeli tanah penduduk yang semula berstatus
tanah-tanah Hak Milik, maka dalam penerbitan sertifikat hak atas tanah,
Badan Pertanahan Nasional (“BPN”) akan menurunkan status tanah-tanah
yang dimiliki developer tersebut dari penduduk, menjadi berstatus Hak Guna Bangunan, yaitu hanya bangunan–bangunan yang dapat dimiliki oleh developer.
Sedangkan, tanahnya menjadi milik Negara, sehingga sertifikat yang
dikeluarkan adalah dalam bentuk SHGB. Hal ini diatur secara tegas dalam Pasal 36 UUPA.
Namun, pemegang SHGB tidak perlu khawatir karena berdasarkan Keputusan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun
1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal,
tanah dengan status SHGB dapat diubah menjadi tanah bersertifikat Hak
Milik, dengan cara melakukan pengurusan pada kantor BPN setempat di
wilayah tanah tersebut berada. Pengurusan dapat dilakukan oleh si
pemegang SHGB yang berkewarganegaraan Indonesia ataupun menggunakan jasa
Notaris/PPAT. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. SHGB asli
2. copy IMB
3. copy SPPT PBB tahun terakhir
4. identitas diri
5. Surat Pernyataan tidak memiliki tanah lebih dari 5 (lima) bidang yang luasnya kurang dari 5000 (lima ribu) meter persegi, dan
6. membayar uang pemasukan kepada Negara.
Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal.
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Jumat, 23 September 2011
Komentar
Posting Komentar