Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Untuk menjawab pertanyaan Anda, ada beberapa komponen
penting yang harus diperhatikan. Dalam setiap transaksi jual beli
tanah, sebelum memutuskan untuk melaksanakan pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan infrastruktur, yang paling penting diketahui
adalah:
1. Tujuan penggunaan tanah tersebut, termasuk seberapa luas nantinya tanah yang akan dibeli.
Sebab hal ini akan berakibat kepada permohonan perizinan untuk penggunaan tanah dimaksud.
Jika
memang peruntukannya untuk pabrik misalnya, dengan luas tanah lebih
dari 5.000-m2 sebaiknya memang atas nama perusahaan. Karena nantinya
akan diwajibkan untuk mengurus berbagai perizinan yang terkait dengan
usaha perusahaan tersebut, seperti: Izin lokasi yang harus dilengkapi
pula dengan UKL, UPL, Amdal, dan lain sebagainya, dan juga harus
mengajukan permohonan rekomendasi dari pemerintah yang terkait (bupati
atau gubernur bergantung dari luas tanah yang diajukan).
Namun,
dalam praktik memang terkadang pengadaan tanah yang tidak terlalu luas
menggunakan nama-nama perorangan dari pemegang saham atau nama direksi
perseroan, dengan alasan: “Sayang apabila tanah yang sudah berstatus Hak
Milik harus terpaksa diturunkan haknya atau dilepas ke Negara kemudian
diajukan menjadi Hak Guna Bangunan/Hak Guna Usaha.”
Untuk keadaan demikian, yang harus dicermati dan dipertimbangkan oleh perusahaan adalah:
a. Risiko pembukuan dan perpajakan.
Dalam
pembukuan, tanah tersebut tidak dapat dicatatkan sebagai asset
Perseroan, melainkan asset perorangan; dan hal tersebut juga akan
membebani pajak dari pemegang saham atau Direksi yang namanya digunakan
(“dipinjam”) sebagai pemilik tanah tersebut.
b. Risiko pemegang saham yang namanya dipakai oleh Perseroan
meninggal
dunia. Apabila hal tersebut terjadi, dalam hal ini adanya kemungkinan
apabila pemegang saham tersebut meninggal dunia, maka tanah tersebut
masuk dalam boedel waris dari pemegang saham yang bersangkutan. Dalam
praktik, memang akan di-back up dengan berbagai surat, tapi biasanya tetap akan merepotkan bagi perusahaan di kemudian hari.
c. Risiko
perselisihan di antara para pemegang saham, yang mengakibatkan
keluarnya pemegang saham yang namanya dipinjam (dalam bahasa awamnya
“pecah kongsi”). Hal ini akan berisiko jika yang bersangkutan tidak
memiliki iktikad baik terhadap penguasaan tanah tersebut.
Serta
berbagai risiko lain yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu,
berbagai risiko tersebut juga harus dipertimbangkan masak-masak oleh
Perseroan yang akan melakukan pengadaan tanah sebelum memutuskan untuk
“meminjam” nama.
2. Status tanah hak yang akan dibeli.
Dari pertanyaan Anda, peralihan haknya apakah perlu dengan jual beli atau tidak, jawabannya jelas: PERLU.
Karena peralihan hak atas tanah secara teori hanya dapat dilakukan dengan akta van transport (akta peralihan: jual beli, hibah, dll) yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Namun, untuk pertanyaan Anda: “Apakah harus ditingkatkan atau tidak?” Ini kembali lagi bergantung pada keperluan perusahaan.
Dalam hal ini, bentuk akta apa yang digunakan untuk melakukan peralihan haknya, bergantung pada:
1. Status tanah dimaksud dikaitkan dengan status pembeli (apakah nama perorangan ataukah nama PT).
2. Dalam
hal status tanahnya adalah Hak Guna Bangunan(HGB) atau Hak Guna Usaha
(HGU) atau Hak Pakai (HP), maka harus diketahui apakah jangka waktu
haknya masih ada ataukah sudah berakhir
Dari pertanyaan tersebut, timbul berbagai variasi kemungkinan:
a. Jika status tanahnya adalah Hak Milik,
sedangkan pembelinya:
a.1. Peorangan
(dalam
hal ini salah satu pemegang saham sebagaimana diuraikan di atas), maka
peralihannya cukup dilakukan dengan cara jual beli biasa di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang.
a.2. Perseroan, maka pembeliannya dapat dilakukan dengan cara:
a.2.1. penurunan hak menjadi HGB/HGU/HP, yang dilanjutkan dengan jual beli (setelah menjadi HGB/HGU/HP)
a.2.2.
pelepasan hak ke Negara dengan menggunakan akta pelepasan hak secara
notariil, yang dilanjutkan dengan permohonan hak oleh badan hukum yang
bersangkutan. Pelepasan ke Negara tersebut juga dapat dilakukan jika
tanah tersebut belum bersertifikat.
b. jika status tanahnya adalah HGB/HGU/HP
b.1. jangka waktunya masih berlaku: pembelinya baik perorangan
maupun badan hukum bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.
maupun badan hukum bisa langsung melakukan akta jual beli biasa.
b.2. jangka waktunya sudah berakhir:
b.2.1. mengajukan permohonan hak kembali atas nama pembeli, setelah haknya timbul, baru dilakukan jual beli biasa.
b.2.2. dibuatkan akta jual beli bangunan dan pengoperan hak secara
notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli.
notariil, baru diajukan hak baru oleh pembeli.
Alternatif lain:
Jika
status tanah adalah HGB, jangka waktunya masih berlaku dan pembelinya
adalah perorangan, maka anda dapat memilih untuk tetap pada status tanah
HGB tersebut (untuk itu cukup dilakukan jual beli dan balik nama),
ataukah Anda ingin berstatus Hak Milik (yang dapat dilanjutkan dengan
proses peningkatan status tanah tersebut).
Mengenai uraian lengkapnya tentang prosedur dan tata caranya bisa dibaca di buku saya berjudul “Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak dalam Memahami Masalah Hukum Pertanahan (Kaifa, 2010).”
Atau Anda bisa menghubungi notaris terdekat sekitar Anda untuk
mengetahui lebih jelasnya. Karena tanpa membaca dokumen, tentunya tidak
mudah untuk memberikan arahan yang tepat sesuai kebutuhan Anda.
Semoga uraian saya cukup jelas dan bermanfaat.
Salam hangat dan persahabatan.
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Rabu, 01 Pebruari 2012
Komentar
Posting Komentar