Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Nama Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah
Pada dasarnya, nama pemilik hak atas tanah di dalam
suatu sertifikat hak atas tanah harus sama dengan nama pembeli di dalam
suatu transaksi jual beli. Namun, hal tersebut tidak selalu mutlak
terjadi apabila ternyata pembeli di dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli
(“PPJB”) telah mengalihkan kepada pihak ketiga, atau dalam hal
si pembeli meninggal dunia sehingga sertifikat hak atas tanah menjadi
atas nama pewarisnya. Untuk melihat apakah PPJB tersebut dapat
dialihkan, maka Anda dapat mempelajari klausula peralihan PPJB ke pihak
ketiga di dalam PPJB tersebut. Peralihan PPJB ke pihak ketiga juga
diatur di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, pada Bagian VIII mengenai Pengalihan Hak, sebagai berikut:
“Selama belum dilaksanakannya jual beli di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, tanpa persetujuan tertulis dari pihak
penjual, pihak pembeli dibenarkan untuk mengalihkan hak atas tanah dan
bangunan rumah kepada pihak ketiga. Demikian pula sebaliknya berlaku
bagi pihak penjual.”
Namun, yang perlu dimengerti adalah nama pembeli di
dalam AJB tentunya harus sama dengan nama pemegang hak di dalam
Sertifikat Hak atas Tanah. Adapun hal tersebut karena suatu pendaftaran
hak atas oleh karena jual beli tanah hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana yang diatur dalam Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), sebagai berikut:
“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam
perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali
pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Pemegang Hak Bersama dalam Satu Sertifikat Hak atas Tanah
Satu sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk
dimiliki oleh beberapa orang atau badan hukum. Dalam praktiknya,
beberapa orang atau badan hukum yang memiliki sertifikat hak atas tanah
tersebut disebut sebagai pemegang hak bersama. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 31 ayat (4) dan ayat (5) PP No. 24/1997, sebagai berikut:
(4) Mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama beberapa orang atau
badan hukum diterbitkan satu sertifikat, yang diterimakan kepada salah
satu pemegang hak bersama atas penunjukkan tertulis para pemegang hak
bersama yang lain.
(5) Mengenai hak atas tanah atau
hak milik atas satuan rumah susun kepunyaan bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dapat diterbitkan sertifikat sebanyak jumlah
pemegang hak bersama untuk diberikan kepada tiap pemegang hak bersama
yang bersangkutan, yang memuat nama serta besarnya bagian masing-masing
dari hak bersama tersebut.”
Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
Secara prinsip, nama pengaju akad kredit harus sama
dengan nama yang tercantum di dalam sertifikat karena pengaju akad pada
umumnya ialah pembeli dari suatu properti. Sebagai pembeli yang namanya
tercantum di dalam PPJB, tentunya pembeli tersebut akan menjadi pihak
ketika dilakukan penandatanganan AJB yang pada akhirnya mengakibatkan
nama pembeli tercantum di dalam sertifikat hak atas tanah. Namun, bisa
juga terjadi, pengaju akad ialah suami, sedangkan nama yang tertera di
dalam sertifikat tanah ialah istri. Hal ini bisa terjadi jika tidak ada
perpisahan harta antara suami dan istri tersebut.
Harta Bersama
Terhadap harta bersama, maka suami atau istri dapat
bertindak setelah terdapat persetujuan dari kedua belah pihak. Hal ini
diatur dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU No. 1/1974”). Pengertian dari harta bersama diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974, sebagai berikut:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;”
Namun, untuk membuktikan bahwa objek jual beli
tersebut merupakan harta bersama, tentunya diperlukan suatu bukti
pencatatan perkawinan (akta perkawinan) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 1/1974 jo. Pasal 11 dan Pasal 12 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari bukti tersebut dapat diketahui apakah objek jual beli tersebut
merupakan harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan, kartu
keluarga pada hakikatnya adalah suatu kewajiban pelaporan oleh warga
Negara Indonesia atas susunan keluarganya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Sehingga, kartu keluarga dapat dianggap kurang memadai untuk membuktikan suatu perkawinan maupun harta bersama.
Jika memang tidak ada surat nikah (bukan karena
hilang, tapi karena nikah siri), maka perkawinan tersebut bukanlah
perkawinan yang tercakup di dalam UU No. 1/1974. Dengan demikian, tidak
ada konsep persatuan harta. Dengan kata lain, tidak ada percampuran
harta antara keduanya. Oleh karena itu, harta suami ialah milik suami
dan harta istri ialah milik istri.
Demikian jawaban dan penjelasan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
4. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil
5. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Senin, 04 Juni 2012
Komentar
Posting Komentar