Hukumonline-Properthy


Keabsahan Surat Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah (SPPHT)
 
Saya ingin bertanya, apakah suatu surat pernyataan pelepasan hak atas tanah yang dibuat tanpa saksi dan atau di hadapan pemerintah adalah sah menurut hukum? Kemudian, apakah surat pernyataan pelepasan hak atas tanah harus mencantumkan persetujuan isteri/suami apabila objek yang akan dilepaskan haknya merupakan harta perolehan bersama ketika dalam status menikah?". Mohon penjelasannya. Terima kasih.
sugeng sjamsuri
Jawaban:

Pelepasan Hak atas Tanah

Pada dasarnya, pelepasan hak atas tanah meliputi banyak aspek. Seperti, pelepasan hak atas tanah dalam rangka pembaharuan hak atau perubahan hak, pelepasan hak atas tanah dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan swasta maupun pelepasan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal.
 
Adapun pelepasan hak atas tanah dalam rangka perolehan tanah bagi orang maupun badan hukum yang hendak mendapatkan tanah dilakukan dengan pemberian ganti kerugian atas dasar musyawarah dengan orang yang melepaskan hak tersebut. Namun, pelepasan hak tersebut tidak secara otomatis menjadikan kedudukan si pemberi ganti kerugian kemudian menjadi pemegang hak atas tanah. Tanah yang dilepaskan tersebut akan menjadi tanah negara, dan kemudian diberikan kepada si pemberi ganti kerugian tersebut.
 
Dalam praktiknya, masing-masing aspek pelepasan hak atas tanah sebagaimana diuraikan di atas memiliki bentuk (form) Surat Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah (“SPPHT”) dan ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Misalnya, apakah harus dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan, atau dibuat dalam bentuk akta notaris atau juga disaksikan oleh Camat setempat maupun disaksikan oleh saksi-saksi lain.
 
SPPHT Tanpa Saksi atau Pejabat yang Berwenang

Sehubungan dengan pertanyaan Anda, mengenai sah atau tidaknya SPPHT yang dibuat tanpa saksi atau pejabat yang berwenang, maka Anda harus mengetahui terlebih dahulu SPPHT tersebut meliputi aspek dalam bidang apa. Namun secara umum, SPPHT harus dibuat dengan disaksikan oleh pihak lain, baik itu disaksikan oleh pejabat yang berwenang, maupun notaris. Apabila tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 131 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permenag No. 3/1997”), permohonan pendaftaran hapusnya hak atas tanah tidak akan diterima, apabila tidak memenuhi syarat sebagai berikut:
 
(3) Pendaftaran hapusnya hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang disebabkan oleh dilepaskannya hak tersebut oleh pemegangnya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan berdasarkan permohonan dari pihak yang berkepentingan dengan melampirkan:
a.       1) akta notaris yang menyatakan bahwa pemegang yang bersangkutan melepaskan hak tersebut, atau
2) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Camat letak tanah yang bersangkutan, atau
3) surat keterangan dari pemegang hak bahwa pemegang hak yang bersangkutan melepaskan hak tersebut yang dibuat di depan dan disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
b.persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan apabila hak tersebut dibebani Hak Tanggungan;
c.sertifikat hak yang bersangkutan;
 
Pencantuman Persetujuan Istri/Suami dalam SPPHT

Jika memang pelepasan hak atas tanah dilakukan oleh salah satu dari pasangan suami istri, maka pelepasan hak tersebut harus disetujui oleh pasangannya, kecuali tidak ada persatuan harta terhadap pasangan suami istri tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:
 
“(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.”
 
Demikian jawaban dan penjelasan ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
 
Dasar hukum:
1.    Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2.    Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
 
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Senin, 04 Juni 2012

Komentar

Postingan Populer