Hukumonline-Properthy

Hak Anak dari Perkawinan Campuran untuk Memiliki Rumah
 
Saya seorang WNI dan istri saya adalah WNA. Ketika kami sepakat akan membeli rumah melalui program KPR, ternyata Bank yang kami hubungi menolak, karena kami tidak mempunyai hak untuk memiliki tanah dan bangunan. Ada beberapa developer yang menyarankan, bahwa hak memiliki tanah/bangunan diberikan kepada anak saya (umur 3 tahun, WNI) dan diproses melalui pengadilan, setelah itu mengajukan kembali ke Bank. Pertanyaan saya adalah, apakah seorang WNI yang nikah dengan WNA akan otomatis kehilangan atas hak tersebut? Undang-undang apa yang melindungi kami sebagai warga minoritas? Adakah jalan lain, sehingga kami dapat membeli rumah melalui kredit di Bank? Apabila kepemilikan ini saya berikan kepada anak saya yang di bawah umur, jalur hukum apa yang perlu saya tempuh dan perhatikan? Sebelumnya kami ucapkan terima kasih.  
effenrif
Jawaban:
1.      Mencermati penjelasan Anda, Kami asumsikan Anda berencana untuk membeli rumah beserta tanah berstatus Hak Milik.

Perkawinan Anda, seorang warga negara Indonesia (WNI), dengan Istri Anda yang warga negara asing (WNA) merupakan perkawinan campuran. Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (lihat Pasal 57 UU Perkawinan).

Kemudian, kita lihat ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang mengatur bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.” Jadi, harta benda Anda dan Istri Anda setelah perkawinan menjadi suatu harta bersama, kecuali ditentukan lain dalam suatu perjanjian perkawinan (lihat Pasal 29 UU Perkawinan).

Mengenai kepemilikan tanah oleh WNA atau pasangan perkawinan campuran, kita merujuk pada ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UU Agraria”) Ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Agraria mengatur bahwa “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.” Lebih lanjut, Pasal 21 ayat (3) UU Agraria mengatur sebagai berikut:

Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.”

Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) jo. ayat (3) UU Agraria tersebut, maka Istri Anda tidak dapat mempunyai hak milik. Lalu, bila Istri Anda memperoleh Hak Milik karena percampuran harta karena perkawinan ia wajib melepaskan Hak Milik itu dalam jangka waktu satu tahun.

Jadi, dalam hal tidak dibuat perjanjian perkawinan untuk memisah harta kekayaan suami-istri sebelum perkawinan berlangsung, Anda secara otomatis akan kehilangan hak untuk memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik (dan juga Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan) Karena ada percampuran harta antara Anda dengan Istri Anda. Istri Anda akan ikut menjadi pemilik harta pihak suami. Sedangkan, UU Agraria melarang WNA untuk memegang hak milik (lihat Penjelasan Umum Bagian II angka 5 UU Agraria). Selengkapnya simak Status Pemilikan Tanah Untuk Orang Asing yang Telah Menjadi WNI.

2.      Pengaturan UU Agraria sebagaimana dijelaskan dalam jawaban poin 1 walau mungkin dianggap merugikan bagi WNI pada perkawinan campuran, namun dipandang perlu untuk menjaga kepentingan nasional. Menurut hemat kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan landasan hukum bagi pasangan perkawinan campuran tanpa perjanjian perkawinan (pemisahan harta) untuk memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik (dan juga Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan) .

3.      Hal yang bisa Anda dan Istri Anda lakukan ialah membeli Rumah atau Satuan Rumah Susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara, atau Rumah yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak atas tanah (lihat Pasal 2 PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia).

4.      Setiap anak yang terlahir dari perkawinan campuran secara hukum memiliki kewarganegaraan ganda hingga anak tersebut berusia 18 tahun atau sudah kawin . Hal ini sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”). Sedangkan, terkait Hak Milik atas tanah Pasal 26 ayat (2) UU Agraria menegaskan:

“Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Jadi, berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum tersebut, Anda juga tidak dapat mengalihkan kepemilikan hak milik atas tanah kepada anak Anda yang berusia tiga tahun tersebut. Hal ini disebabkan, antara lain, karena anak Anda berkewarganegaraan ganda akibat perkawinan campuran orang tuanya. Jika Anda tetap memberikan -- dengan cara apapun -- kepemilikan hak milik atas tanah tersebut kepada anak Anda, maka perbuatan tersebut adalah batal demi hukum.

Perlu ditambahkan juga bahwa menurut hukum ketika anak hasil perkawinan campuran telah berusia 18 tahun atau telah kawin, maka dia harus memilih salah satu kewarganegaraannya (lihat Pasal 6 ayat [1] UU Kewarganegaraan).

Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
  
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Rabu, 22 Pebruari 2012

Komentar

Postingan Populer