Hukumonline-Properthy

sengketa kepemilikan tanah
 
Sengketa tentang sertifikat hak atas tanah seharusnya diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi jika batas waktu pasal 55 Undang-undang No.5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yakni 90 hari sudah lewat, apakah dapat diajukan ke Pengadilan Negeri? apakah perbedaannya penanganan mengenai perkara tentang sertifikat hak atas tanah bila diperiksa di Pengadilan Negeri dibandingkan dengan pemeriksaan di Pengadilan Tata Usaha Negara?
mipo
Jawaban:
Yang menjadi objek Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah Keputusan Tata Usaha Negara (Pasal 53 Undang-undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara atau UU 5/86), Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak mengeluarkan adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), BPN merupakan Jabatan Tata Usaha Negara, sehingga jika ada sengketa terhadap Sertifikat Hak atas Tanah yang berhak memeriksa dan mengadili adalah PTUN (kompetensi/ kewenangan absolute). Sesuai dengan Pasal 55 UU 5/86 yakni gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, jadi apabila telah lewat 90 hari, PTUN tidak dapat lagi menerima gugatan tersebut, demikian juga dengan Pengadilan Negeri ataupun Pengadilan lainnya tidak dapat menerima gugatan tersebut karena objek gugatannya yaitu Keputusan Tata Usaha Negara tidak merupakan kewenangan Pengadilan tersebut.
Sebelum masuk ke pengadilan, ada upaya yang bisa ditempuh untuk pembatalan hak atas tanah, jika seseorang merasa dalam penerbitannya ada cacat hukum administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999 (Permen Agraria 9/1999) Pasal 106 ayat (1) jo Pasal 119 dikatakan bahwa Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dimohonkan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan ----Pasal 106 ayat (1). Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau sertifikatnya tanpa adanya permohonan----Pasal 119. Jadi siapa saja yang merasa dirugikan dengan adanya penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dia menganggap penerbitan tersebut cacat hukum administratif,
Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa  Cacat hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1)  adalah :
a.      kesalahan prosedur
b.      kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c.      kesalahan subjek hak
d.      kesalahan objek hak
e.      kesalahan jenis hak
f.       kesalahan perhitungan luas
g.      terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h.      data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
i.        kesalahan lainnya yang bersifat administrative

Di dalam Pasal 3 UU 5 /1986 juga disebutkan bahwa
(1)  apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hak tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara
(2)  Jika suatu Badan Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud
(3)  Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan

Ayat 1 dari pasal 3 tersebut menentukan prinsip dasarnya, yaitu bahwa setiap badan atau Jabatan TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang ia terima apabila hal yang dimohonkan kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya. Kalau ia melalaikan kewajibannya itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa terhadap permohonan yang diterimanya itu, undang-undang menganggap ia telah berbuat menolak permohonan tersebut. Keputusan tersebut bersifat fiktif dan negatif karena Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apapun tetapi oleh undang-undang dianggap telah mengeluarkan suatu penetapan tertulis yang berisi suatu penolakan atas suatu permohponan yang telah diterimanya itu.

Sehingga permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan ke BPN, jika tidak ditanggapi oleh BPN maka BPN dianggap telah mengeluarkan penetapan tertulis yang berisi penolakan permohonan tersebut. Oleh karena itu terhadap BPN yang dianggap telah mengeluarkan Penetapan Tertulis penolakan tersebut dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara dengan jangka waktu 90 hari dihitung setelah pejabat TUN yang bersangkutan dianggap mengeluarkan putusan (lihat pasal 3 ayat 2 & 3 UU 5 /1986)

Tapi memang sering terjadi sengketa tentang Sertifikat Hak atas tanah disidangkan di Pengadilan Negeri. Ada Jurispudensi tetap HR sejak sebelum tahun-tahun Perang Dunia II diikuti dan dianut oleh badan-badan peradilan di Indonesia. Sejak jaman masih berlakunya pasal 2 RO Ind (bunyinya sama dengan Pasal 2 RO Ned) sampai sekarang, walaupun setelah adanya Pasal 50 UU 2/86 dan sejak berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Jurisprudensi tetap tersebutlah pada awalnya yang diikuti oleh hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara Tata Usaha Negara terutama Keputusan-keputusan pemerintah atau penguasa yang sering merugikan hak-hak atau kepentingan masyarakat atau sering juga disebut dengan Perbuatan Melawan Hukum Penguasa (onrechtmatige overheidsdaadzaken/OOD).

Tetapi lama kelamaan Jurisprudensi tetap tersebut sudah menjadi pendapat umum sehingga sampai sekarang sudah tidak asing lagi jika Pengadilan Negeri memeriksa dan memutus perkara yang seharusnya menjadi kewenangan PTUN. Demikian juga sengketa tentang Sertifikat hak atas tanah yang banyak disidangkan di Pengadilan Negeri, perlu diketahui bahwa sebenarnya yang menjadi objek perkara (Objektum litis) dalam sengketa tersebut adalah bukan Keputusan Usaha Negara atau bukan Sertifikat hak atas tanah tersebut melainkan hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dilanggar sebagai akibat keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara atau keluarnya sertifikat tersebut.
         
Perbedaannya adalah :
Pada PTUN objek perkaranya (objektum litis) adalah Keputusan TUN yang dikeluarkan oleh Pejabat TUN atau penguasa, sedangkan pada PN objek perkaranya adalah Hak-hak atau kepentingan-kepentingan masyarakat yang dirugikan sebagai akibat dari dikeluarkannnya Keputusan TUN oleh Pejabat TUN atau penguasa, termasuk dalam hal ini adalah Sertifikat Hak atas Tanah yang dikeluarkan oleh BPN yang seringkali merugikan hak dan kepentingan masyarakat.

Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Jumat, 15 April 2005

Komentar

Postingan Populer