Hukumonline-Properthy
Jawaban:
Sebelumnya, kami perlu jelaskan bagaimana pemindahan hak atas tanah melalui jual�beli. Jual-beli
tanah di Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) harus dilakukan secara terang dan tunai. Sifat terang dan tunai merupakan sifat jual-beli tanah menurut hukum adat yang diakui berdasarkan pasal 5 UUPA yang berbunyi, Hukum
agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undangundang ini
dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Terang dan
tunai artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan di hadapan pejabat
umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan.
Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual-beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli PPAT. Akta
Jual�Beli tersebut merupakan salah satu dokumen yang diperlukan dalam
penerbitan sertifikat atas nama pemegang hak yang baru.
Sertifikat hak atas tanah itu sendiri merupakan
surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Demikian ketentuan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Dalam penjelasan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997
disebutkan bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik
dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data
yang benar.
Lebih lanjut, pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan, dalam
hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada
pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan
ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertipikat tersebut.
Karena
Saudara tidak menjelaskan jangka waktu dari jual-beli tanah sampai
dengan penerbitan sertifikat, maka kami akan mencoba menjawab pertanyaan
Saudara dengan beberapa asumsi sebagai berikut:
Asumsi pertama
yaitu jangka waktu dari jual-beli tanah sampai dengan penerbitan
sertifikat adalah KURANG dari lima tahun. Jika jangka waktunya adalah
kurang dari lima tahun, untuk itu Penjual dapat :
a. mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat (Pembeli) dan Kepala Kantor Pertanahan atau;
b. mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penerbitan sertifikat tersebut.
Asumsi kedua
yaitu jangka waktu dari jual-beli tanah sampai dengan penerbitan
sertifikat adalah LEBIH dari lima tahun. Jika jangka waktunya lebih dari
lima tahun, Penjual dapat mengugat ke Pengadilan dengan membuktikan
bahwa perbuatan hukum jual-beli atas tanah antara Penjual dan Pembeli
tidak sah karena:
- jual-beli tidak memenuhi syarat tunai, karena pembelian dilakukan dengan cara hutang, dan
- si Pembeli tidak mempunyai itikad baik sebagaimana diharuskan pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997. Karena itu, sertifikat atas nama Pembeli menjadi tidak sah.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait:
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
- PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Sumber:@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.Senin, 07 September 2009
Komentar
Posting Komentar