Perdata_Hukumonline



RABU, 23 NOVEMBER 2011
Dasar Hukum Persetujuan Diam-diam
Adakah landasan hukum dari persetujuan secara diam-diam? Apabila ada, di mana bisa saya temukan? Kalau ternyata ada di BW, pasal berapa dan menggunakan penafsiran apa? Terima Kasih.  
Mengenai dasar hukum persetujuan secara diam-diam kita dapat merujuk padaPasal 1347 Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang berbunyi:
Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan.

Mengenai Pasal 1347 KUHPerdata, Prof. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (2002: 40) menulis bahwa:
...hal-hal yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka hal yang menurut kebiasaan selalu diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undangyang merupakan hukum pelengkap.

Mengenai persetujuan atau kesepakatan diam-diam, kita juga dapat merujuk padaPutusan Mahkamah Agung No2178 K/Pdt/2008 yakni perkara antara PT. Dwi Damai dengan PT. Philips Indonesia tentang pendistribusian dan penjualan produk-produk bermerek Philips. Dalam pertimbangan hukum putusan disampaikan antara lain:
“...bahwa setelah berakhirnya masa perjanjian kerja sama distributorship yang dimulai pada tanggal 1 Januari 2002 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2003, kedua belah pihak masih tetap melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang dilaksanakan beritikad baik (goeder trouw, bonafide) seperti transaksi-transaksi pemesanan barang, pembayaran dan sebagainya, selayaknya perjanjian yang belum berakhir. Hal ini adalah mencerminkan adanya faktor Simbiosis-mutualistis, yaitu para pihak sama-sama membutuhkan peranan salah satu pihak. Dengan adanya perbuatan hukum yang dilakukan berupa transaksi-transaksi perdagangan biasa, maka secara diam-diam kedua belah pihak telah menyatakan sepakat untuk dan oleh karena itu tunduk dan masuk kepada pembaharuan perjanjian distributorsbip tahap ke-2, yakni sebagaimana yang tercantum dalam Surat Perjanjian (Vide Bukti P-l) bahwa atas kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian ini dapat diperbaharui untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun berikutnya yakni sampai dengan tanggal 31 Desember 2006;
Dengan kesepakatan diam-diam itu, maka berlaku mutlaklah asas konsensualitas (vide Pasal 1320 KUHPerdata) yang merupakan kekuatan Undang-Undang bagi para pihak (vide Pasal 1338 KUHPerdata).”
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:

 RABU, 04 MEI 2011
Dasar Hukum Penetapan Waris dan Akta Waris
Terima kasih kesempatannya. Apakah dasar hukum dari fatwa waris? Apakah akta Notaris dalam hal pewarisan dapat diterima secara hukum? Jika diterima, apakah masih perlu fatwa waris dari Pengadilan? Thank you.

Jawaban: AMRIE HAKIM
1.      Fatwa atau penetapan ahli waris dikeluarkan oleh pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama). Penetapan ahli waris untuk yangberagama Islam dibuat oleh Pengadilan Agama atas permohonan para ahli waris. Dasar hukumnya adalah Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan, penetapan ahli waris yang beragama selain Islam dibuat oleh Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah Pasal 833 KUHPerdata.

Di samping itu, surat keterangan waris juga dapat dibuat di bawah tangan dan ditandatangani oleh semua ahli waris, diketahui lurah dan dikuatkan camat (lihat jawaban no. 2 di bawah).

2.      Akta notaris dalam hal pewarisan bisa berarti akta wasiat (lihat Pasal 16 huruf h UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) atau akta pembagian dan pemisahan harta peninggalan (lihat KUHPerdata Bab XVII tentang Pemisahan Harta Peninggalan).

Selain itu, dalam hal pewarisan notaris juga membuat surat keterangan waris  yang merupakan akta di bawah tangan dan bukan merupakan akta notaris. Adapun surat keterangan waris (verklaring van erfrecht) yang dibuat oleh notaris adalah keterangan waris yang dibuat bagi ahli waris dari warga/golongan keturunan Tiong Hoa. Surat keterangan waris tersebut dibuat di bawah tangan, tidak dengan akta notaris. Pembuatan surat keterangan waris bagi keturunan Tiong Hoa oleh notaris, menurut notaris Edison, mengacu pada surat Mahkamah Agung (“MA”) RI tanggal 8 Mei 1991 No. MA/kumdil/171/V/K/1991. Surat MA tersebut telah menunjuk Surat Edaran tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 yang diterbitkan oleh Direktorat Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) di Jakarta, yang menyatakan bahwa guna keseragaman dan berpokok pangkal dari penggolongan penduduk yang pernah dikenal sejak sebelum merdeka hendaknya Surat Keterangan Hak Waris (SKHW) untuk Warga Negara Indonesia itu:
-         Golongan Keturunan Eropah (Barat) dibuat oleh Notaris;
-         Golongan penduduk asli Surat Keterangan oleh Ahli Waris, disaksikan oleh Lurah/Desa dan diketahui oleh Camat.
-         Golongan keturunan Tionghoa, oleh Notaris;
-         Golongan Timur Asing bukan Tionghoa, oleh Balai Harta Peninggalan (BHP).

Demikian dijelaskan Edison dalam artikelnya berujudul “Peran Notaris dalam Pembagian Warisan Sebagai Penengah dan Stabilisator” dalam blognyasuratketeranganwaris.blogspot.com. Baca juga tulisan J. Satrio berjudul “Surat Keterangan Waris dan Beberapa Permasalahannya.

3.      Jadi, penetapan ahli waris baik yang dikeluarkan oleh pengadlan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri) atau akta waris yang dibuat oleh notaris diakui secara hukum. Sehingga, dalam hal ahli waris telah memiliki akta waris yang dibuat oleh notaris, maka yang bersangkutan tidak perlu lagi meminta penetapan ahli waris dari pengadilan.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetboekStaatsblad 1847 No. 23)

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

SABTU, 30 JULI 2011
Dasar Hukum dan Pelaksanaan Putusan Serta Merta
Saya mau tanya tentang pengertian hukum acara perdata dan apakah dalam putusan serta merta itu dapat dilaksanakan dengan baik? Selain itu, bagaimana dengan kelembagaannya dalam lingkungan peradilan apakah sudah mempunyai kekuatan hukum?

Jawaban:  DIANA KUSUMASARI
1.      Mengenai pengertian hukum acara perdata kami merujuk pada buku “Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata” karya Moh. Taufik Makarao, S.H., M.H. Dalam buku tersebut (hal. 5) dikutip pendapat Wirjono Prodjodikoro(mantan Ketua Mahkamah Agung) mengenai pengertian hukum acara perdata sebagai berikut;

Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

2.      Putusan serta merta sebenarnya terjemahan dari “uitvoerbaar bij voorraad” yang artinya adalah putusan yang dapat dilaksanakan serta merta. Artinya,  putusan yang dijatuhkan dapat langsung dieksekusi, meskipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pada dasarnya putusan serta merta tidak dapat dilaksanakan, kecuali dalam keadaan khusus. Dasar hukum atas larangan tersebut adalah Pasal 180 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”)Pasal 191 ayat (1)Reglement Voor de Buitengewesten (“RBG”)Pasal 54 dan Pasal 57Reglement Op De Rechtsvordering (Rv), dan SEMA  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil, serta SEMA No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil. Lebih jauh, simak artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta.

Dalam buku “Hukum Acara Perdata” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. disebutkan bahwa menurut Subekti, praktik penerapan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu (putusan serta merta, red.), telah mendatangkan banyak kesulitan dan memusingkan para hakim. Satu segi undang-undang telah memberi wewenang kepada hakim menjatuhkan putusan yang seperti itu meskipun dengan syarat-syarat yang sangat terbatas. Pada sisi lain, pengabulan dan pelaksanaan putusan tersebut selalu berhadapan dengan ketidakpastian, karena potensial kemungkinan besar putusan itu akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. Demikian menurut Subekti sebagaimana kami sarikan dari buku “Hukum Acara Perdata” (hal. 898).

Dalam artikel Seputar Gagasan Menghapus Putusan Serta Merta,ditulis antara lain bahwaAndi Samsan Ngaro yang pada saat itu adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pernah menanggapi pendapat Bagir Manan, Ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yang meminta para hakim untuk tidak gegabah membuat putusan serta merta karena putusan serta merta lebih banyak membawa masalah daripada manfaat. Menurut Andi pernyataan Bagir tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya putusan serta merta yang tidak bisa dilaksanakan, karena jaminan yang diberikan oleh Pemohon eksekusi nilainya tidak setara/sesuai dengan nilai obyek eksekusi.

Di sisi lain, pada perkara kepailitan, putusan pailit pada tingkat pertama (Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri) dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (lihat Pasal 8 ayat [7] UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Dengan demikian, terhadap pelaksanaan putusan pailit yang juga termasuk putusan serta merta ini dalam praktiknya dapat terlaksana dengan baik.

Kesimpulannya, mengenai pelaksanaan putusan serta merta ini ada yang dapat terlaksana dengan baik, ada pula yang tidak mudah pelaksanaannya.

3.      Mengenai kelembagaan putusan serta merta dalam lingkungan peradilan tentu telah mempunyai kekuatan hukum dengan sejumlah peraturan perudang-undangan yang  menjadi landasan hukumnya seperti kami sebutkan pada jawaban no. 2 di atas.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1.      Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)
2.      Reglement Voor de Buitengewesten (RBG), Lembaran Negara No. 227 Tahun 1927
3.      Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63 (Rv)
4.      Surat Edaran Mahkamah Agung  No. 3 Tahun 2000 tentang Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) dan Provisionil
5.      Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2001 tentang Permasalahan Putusan Serta Merta dan Provisionil

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter@klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

RABU, 09 NOVEMBER 2011
Dapatkah Rentenir Dipidana?

Apakah seseorang yang meminjamkan uang kepada orang lain dengan bunga yang tinggi atau yang biasa dikenal dengan rentenir dapat dikenakan hukuman pidana? Bila iya, apa dasar hukumnya? Terima kasih hukum online.  

Sejak dahulu, perjanjian pinjam-meminjam uang disertai dengan bunga adalah merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dikenal oleh masyarakat Indonesia, dan hal ini dapat dikatakan telah membudaya. Namun, khusus bagi umat Islam perbuatan ini dikenal sebagai riba yang diharamkan menurut ajaran Islam sebagaimana ditegaskan dalam Alqur'an.

Dalam sistem hukum positif Indonesia, perjanjian pinjam-meminjam yang disertai bunga merupakan suatu bentuk perjanjian yang lahir berdasarkan atas kepakatan antara pemilik uang dan pihak peminjam. Perjanjian semacam ini, di satu pihak dikenal atau diperbolehkan baik dalam sistem Hukum Adat maupun dalam sistem Hukum Perdata, dan di lain pihak tidak ada larangan dalam Hukum Pidana (khususnya tindak pidana perbankan). Sehingga adalah sangat keliru kalau seseorang yang meminjamkan uang dengan bunga dikatakan menjalankan praktik "bank gelap" (istilah ini bukan istilah hukum dan tidak dikenal dalam UU Perbankan),

Pada dasarnya, yang dimaknai dengan bank gelap adalah orang atau pihak-pihak yang menjalankan kegiatan yang seolah-olah bertindak sebagai bank, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”).

Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998, merumuskan sebagai berikut, "Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10 miliar dan paling banyak Rp200 miliar”.
Dari ruusan Pasal 46 ayat (1) UU No. 10/1998 di atas, jelas yang dilarang adalah perbuatan menghimpun dana dari masyarakat. Sedangkan, perbuatan yang dilakukan pihak yang menyalurkan atau meminjamkan uang dengan bunga (rentenir) tidak dilarang dalam UU Perbankan, sehingga demikian rentenir tidak dapat dikualifisir sebagai suatu tindak pidana perbankan, dengan kata lain tidak menjalankan usaha bank gelap.
Dalam kasus yang diduga praktik "bank gelap", yang akhir-akhir ini muncul dipermukaan, pihak tersangka tidak menghimpun dana dari masyarakat, tetapi hanya menyalurkan dana kepada masyarakat yang disertai bunga s/d 10%. Dengan demikian sangat keliru kalau dikatakan telah terjadi praktik "bank gelap" yang merupakan suatu kejahatan perbankan. Untuk jelasnya seseorang barulah dapat dikatakan menjalankan praktik "bank gelap" bila ia menghimpun dana masyarakat dan sekaligus menyalurkan dana kepada masyarakat tanpa izin dari Pimpinan Bank Indonesia.
Jadi menjawab pertanyaan di atas, perbuatan pinjam meminjam uang disertai bunga adalah suatu perbuatan yang legal atau perbuatan tidak terlarang yang tidak dapat dipidana.
Argumentasi hukum dari pernyataan tersebut di atas didukung oleh aturan undang-undang, dalam hal ini BW (Burgerlijk Wetboek) atau yang populer dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)yang sampai saat ini masih berlaku. Dasar hukum perjanjian pinjam-meminjam uang adalah Pasal 1754 KUH Perdata, yang merumuskan sebagi berikut
"Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula."
Adapun mengenai pinjam-meminjam uang yang disertai dengan bunga dibenarkan menurut hukum, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 1765 KUH Perdata, yang merumuskan "bahwa adalah diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau barang lain yang habis karena pemakaian".

Sampai berapa besar "bunga yang diperjanjikan" tidak disebutkan, hanya dikatakan: asal tidak dilarang oleh undang-undang. Pembatasan bunga yang terlampau tinggi hanya dikenal dalam bentuk "Woeker-ordonantie 1938", yang dimuat dalam Staatblaad (Lembaran Negara) tahun 1938 No. 524, yang menetapkan, apabila antara kewajiban-kewajiban bertimbal-balik dari kedua belah pihak dari semula terdapat suatu ketidak-seimbangan yang luar biasa, maka si berutang dapat meminta kepada Hakim untuk menurunkan bunga yang telah diperjanjikan ataupun untuk membatalkan perjanjiannya (Prof. R. Subekti, S.H.Aneka Perjanjian, hal. 1985: 130).

Bahkan dalam sistem Hukum Adat, penetapan besarnya bunga lebih liberal, artinya besarnya suku bunga pinjaman adalah sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan (Yurisprudensi Mahkamah Agung, tanggal 22 Juli 1972, No. 289 K/Sip/1972).

Dalam kasus pinjam-meminjam uang dengan bunga 10% yang dewasa ini dilakukan oleh anggota masyarakat tertentu, yang terjadi sebenarnya bukan suatu tindak pidana, melainkan suatu Penyalahgunaan Keadaan ("Undue Influence” atau “misbruik van omstandigheden”) yang dikenal dalam hukum perdata.  Penyalahgunaan keadaan dapat terjadi, bila seseorang menggerakaan hati orang lain melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadap orang tersebut (Prof. DR. Gr. Van der BurghtBuku Tentang Perikatan, 1999: 68). Pihak kreditur dalam suatu perjanjian-peminjam uang dengan bunga yang tinggi telah memanfaatkan keadaan debitur yang berada posisi lemah di mana ia sangat membutuhkan uang untuk suatu keperluan yang sangat mendesak, sehingga terpaksa menyetujui bunga yang ditetapkan oleh kreditur
Dari uraian tersebut di atas jelas bahwa dalam perjanjian pinjam-meminjam uang dengan disertai bunga adalah perbuatan yang legal atau dibenarkan oleh hukum. Dan mengenai batasan besarnya bunga sampai saat ini (menurut pengetahuan penulis) belum ada aturan hukumnya. Dan perlu pula dipahami bahwa sejak berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 maka Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas mengatur dan mengawasi bank. Sehingga tidak tepat kalau Pemerintah dikatakan sebagai pihak yang menetapkan besarnya suku bunga bank.

Catatan penjawab: Sebagian diambil dari tulisan Fadjar Adam, Pengajar Hukum Pembiayaan dan Hukum Perbankan Pada Fakultas Hukum Universitas Tadulako Palu.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Woeker Ordonanntie 1938 (Staatsblad Tahun 1938 No. 524)

Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Komentar

Postingan Populer