Perdata_Hukumonline
Eksekusi terhadap harta benda yang dibebani dengan Hak Tanggungan dapat dilakukan apabila debitur wanprestasi atau cidera janji. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT) yang menyatakan bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut apabila debitur cidera janji.
Dalam praktiknya, pemegang Hak Tanggungan yang akan melaksanakan pelelangan selalu meminta fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Hal ini didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986 yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap Grosse Akta Hipotik harus atas perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri. Yurisprudensi MA tersebut masih berlaku karena menurut ketentuan pasal 26 UUHT dinyatakan bahwa peraturan mengenai eksekusi Hipotek tetap berlaku dan menurut penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa grosse Akta Hipotik yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya Hipotek, dalam Hak Tanggungan adalah sertifikat Hak Tanggungan.
Apabila debitur melakukan perlawanan terhadap eksekusi barang di pengadilan, maka terhadap barang yang dibebani dengan Hak Tanggungan tersebut tetap dapat dilakukan eksekusi meskipun belum ada putusan pengadilan. Hal ini dikarenakan adanya Sertifikat Hak Tanggungan yang diatur dalam pasla 14 UUHT, fungsi sertifikat tersebut adalah sebagai tanda bukti yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan dan sertifikat tersebut memuat irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA'. Dengan adanya irah-irah tersebut, maka Sertifikat tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 14 ayat [3] UUHT).
Namun, perlu diketahui bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain (pasal 1 angka 1 UUHT). Jadi, benda yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah tanah, yang merupakan salah satu jenis benda yang tidak bergerak.Sedangkan untuk barang bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia. Sehingga, untuk barang bergerak yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berlaku UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia jo. Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi terkait:
- UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
- Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.3210 K/Pdt/1984 tanggal 30 Januari 1986
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
Komentar
Posting Komentar